Wallensky Profile picture
May 1, 2023 132 tweets 14 min read Read on X
Sebentar Ningsih celingak-celinguk memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengarkan. Lalu dia berbisik lirih persis dekat telinga Marlina.

"Aku nikah sama siluman. Pesugihan Lin."

"Ya Tuhan... Edan kamu Ning!" Sahut Marlina sembari geleng-geleng kepala.
"Memangnya kamu nggak takut dengan resikonya? Kata orang kan pesugihan itu biasanya minta tumbal?"

"Iya betul. Tapi tumbalnya tidak harus dari keluarga sendiri kok. Bisa dari orang lain."

"Tumbal nyawa?" Tanya Marlina.

"Iya. Tumbal nyawa bayi yang baru lahir."

*******
Kisah hidup seorang wanita yang menempuh jalan pintas demi kekayaan. Lantas apakah dia bahagia? Ternyata tidak.

Segalanya yang dia pikir akan menjadi indah, malah berakhir dengan kengerian tak berujung. Bahkan kematian jauh lebih baik dibanding dengan apa yang kelak dia alami...
Segera posting bersambung di Twitter! Silahkan like, rt, atau tinggalkan jejak supaya nggak ketinggalan updatenya!

Yang mau nyimak di @karyakarsa_id bisa langsung klik link berikut ini:
karyakarsa.com/Wallensky/suam…
SUAMI

(Bagian 1)

------------
Brak!

Sinta membanting pintu dengan keras. Wajahnya masam. Napasnya mendengus dengan bibir mengerucut tanda dia sedang kesal.
"Ya ampun! Ada apa sih kamu pulang-pulang kok marah-marah begitu? Sampai banting pintu segala lagi!" Tanya Marlina yang keluar dari dalam kamar dengan balutan handuk di kepala.
Sinta melirik sinis ke arah mamanya lalu membuang muka. "Kesel ma!"
"Kesel kenapa?" Sahut Marlina sambil duduk di samping putrinya.
Sinta langsung memperlihatkan sol sepatunya yang lepas. "Nih! Tadi waktu olah raga sepatunya jebol! Aku malu ma! Diketawain sama teman-teman!"
Demi melihat hal itu, wajah Marlina jadi sendu. Dia tak tau harus bilang apa. Sepatu putrinya itu memang sudah waktunya ganti. Sebenarnya dia ingin sekali membelikannya. Tapi uang darimana?
Sedangkan uang kontrakan saja dia sudah menunggak sampai 3 bulan. Sementara uang yang tersisa kini hanya cukup untuk ongkos dan makan sampai akhir bulan saja.
"Pokoknya aku minta ganti yang baru! Aku nggak mau pake sepatu ini lagi!" Teriak Sinta sambil menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamar.
Marlina hanya bisa menghela napas sambil membanting punggungnya pada sandaran kursi. Kian hari beban hidupnya kian berat. Sejak dia ditinggal kabur suaminya yang main gila dengan wanita lain, dunia seakan berubah.
Dia yang tadinya hanya ibu rumah tangga biasa, tiba-tiba harus membanting tulang demi bertahan hidup, termasuk membayar uang kontrakan dan biaya sekolah Sinta yang sudah kelas 2 SMA. Sesuatu yang sama sekali tak pernah dia bayangkan.
Penghasilannya sebagai sales gerai kosmetik belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu yang saat ini bisa dia lakukan.
"Sin, Mama berangkat dulu ya. kalau kamu mau makan, sudah Mama siapkan di meja." Ucap Marlina sambil mematutkan pakaiannya di depan cermin.
"Alah! Paling pake telor dadar lagi! Bosen ma!" Jawab Sinta dengan suara yang terbenam di balik bantal.
Marlina membisu. Lidahnya kelu. Ucapan putrinya tadi bagai sembilu yang menyayat hati. Perih, tapi tak berdarah.

*******
"Lin? Kok melamun sih?" Tanya Desi, temannya sesama sales.

"Nggak apa-apa Des. Cuma lagi pusing aja."
"Pusing? Kamu sakit?"

"Bukan pusing itu. Tapi pusing nggak punya duit!"

"Hahaha.. Sama dong kalo gitu! Aku juga!"
Marlina tersenyum kecut. Segala canda dan kelakar Desi berikutnya cuma dia tanggapi alakadarnya. Badannya memang di situ, tapi pikirannya melayang kemana-mana.
"Lina? Kamu Marlina kan?"

Marlina seketika menoleh. Di belakangnya berdiri seorang wanita dengan semerbak wangi parfum mahal.
Sejenak Marlina mengerenyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. Lalu wajahnya berubah sumringah sambil memekik girang.

"Ningsih? Kamu Purwaningsih? Ya Tuhan! Aku sampe nggak ngenalin!"
"Apa kabar Lin? Kamu kerja di sini?"

"Iya Ning. Kamu kemana aja? Kok lama nggak ada kabarnya?"
"Aku pindah ke kota lain. Ini sengaja pulang untuk menengok ibu. Tapi sebentar mau cari oleh-oleh dulu. Nggak enak juga kalau datang tangan kosong. Makanya dari bandara aku langsung mampir ke mall ini."
Marlina tak terlalu menggubris jawaban Ningsih. Matanya jelalatan memandangi penampilan teman sebangkunya semasa SMA itu yang kini jauh berbeda. Apalagi dengan segala perhiasan yang dikenakannya.
"Si Teguh apa kabarnya Lin? Kalian sudah punya anak berapa?" Sambung Ningsih bertanya.
Mendengar pertanyaan itu spontan wajah Marlina berubah. Dia ragu untuk menjawab. Namun akhirnya dia utarakan apa adanya.
"Minggat Ning."

"Hah? Minggat? Minggat gimana?"

"Aduh.. panjang ceritanya Ning. Pokoknya sekarang aku cuma tinggal berdua sama anakku."
"Ya ampun.. Ya sudah, kamu pulang jam berapa? Nanti kita makan sambil ngobrol-ngobrol. Aku kangen sama kamu."
"Sekitar setengah jam lagi." Jawab Marlina setelah melirik jam tangannya.
"Ok. Kalo gitu aku ke supermarket dulu. Nanti aku balik lagi ke sini."
Marlina mengangguk lalu diam terpaku memandangi Ningsih yang pergi kian menjauh.
Marlina benar-benar takjub dengan penampilan temannya itu. Ningsih yang dulu dia kenal sebagai gadis yang polos bahkan cenderung kampungan, kini menjelma menjadi wanita dengan tampilan kelas atas yang memanjakan mata. Betapa cepatnya hidup berubah.
Setengah jam kemudian, Ningsih datang kembali sambil menenteng begitu banyak kantong belanjaan. Marlina cuma bisa tersenyum iri. Dia sudah lupa kapan terakhir kali dia pernah belanja sebanyak itu.
"Nih! Aku beliin buat kamu sama anak kamu. Siapa namanya? Oh iya, Sinta ya?" Ujar Ningsih sambil menyerahkan dua kantong belanjaan berisi berbagai macam makanan dan buah-buahan.
"Aduh, nggak usah repot-repot Ning." Balas Marlina terlihat sungkan.

"Alah, pake malu-malu segala. Ayo! Kita mau makan di mana?"

"Terserah kamu."
"Ya sudah. Makan di sana aja yuk?" Ujar Ningsih menunjuk sebuah restoran Jepang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Eh? Jangan di situ Ning! Itu kan mahal?"

"Nggak apa-apa. Aku yang traktir. Ayo!"
Marlina cuma bisa diam sambil berjalan mengikuti Ningsih. Keduanya lantas masuk lalu duduk berhadap-hadapan.
Sang pelayan datang dan langsung menyerahkan daftar menu. Marlina cuma membisu saat membaca nama hidangan yang tak satu pun dia kenali.
"Kamu mau pesan apa?" Tanya Ningsih.

"Samain aja sama kamu." Jawab Marlina malu-malu.

"Ya sudah. Saya pesan yang ini dua ya mas." Sambung Ningsih sembari menunjuk daftar menu.
"Lin, gimana ceritanya si Teguh bisa minggat? Dari tadi aku penasaran." Tanya Ningsih.
Sebentar Marlina menghela napas. Lalu dia pun menceritakan apa yang telah terjadi. Cerita sedih tentang suaminya yang kepincut wanita lain lalu pergi begitu saja meninggalkan dirinya dan Sinta.
"Ya Allah.. Aku bener-bener nggak nyangka Lin. Padahal kalian itu kan pacaran sudah lama ya? Si Teguh juga kayanya cinta mati sama kamu? Kalian itu termasuk pasangan yang serasi waktu SMA dulu."
"Udah lah Ning. Nggak usah dibahas. Bikin nyesek aja."

"Eh, sory Lin. Ya sudah, kita bahas yang lain. Gimana kabar Sinta anak kamu? Sudah kelas berapa dia?"

"Sudah kelas 2 SMA Ning."
"Ya ampun. Nggak berasa ya? Padahal dulu masih kecil. Hmm.. Gimana kalau habis ini aku mampir ke rumah kamu?"
Marlina pun mengiyakan. Jujur saja, dia juga kangen pada sahabatnya itu. Begitu banyak cerita yang ingin dia bagi. Tapi sebenarnya dia ingin tau bagaimana kisah hidup Ningsih hingga dia bisa berubah begitu drastis.

*******
Selama beberapa hari, Ningsih selalu mengunjungi Marlina sambil membawakan berbagai macam oleh-oleh. Beberapa kali dia juga memberikan uang jajan untuk Sinta. Bahkan Ningsih juga melunasi semua hutang-hutang Marlina.
Jujur saja, meski sungkan, Marlina jadi senang karena merasa terbantu. Tapi dia masih ragu dengan pengakuan Ningsih yang bilang kalau dia kini jadi seorang pengusaha yang sukses.
Cerita Ningsih terlalu mengada-ada. Bahkan cenderung dilebih-lebihkan. Dan Marlina kenal betul dengan Ningsih yang sejak dulu memang tak pandai berbohong.
Akhirnya Marlina coba menanyakan kembali tentang pekerjaan Ningsih dan terus mendesaknya agar mau berterus terang.
Merasa terpojokkan, Ningsih pun menyerah. Akhirnya dia mengaku kalau dia memang berbohong. Sejak dulu dia memang tak pandai menyimpan rahasia. Apalagi di hadapan Marlina yang begitu mengenalnya luar dalam.
"Ok Lin, aku mau jujur sama kamu. Asal kamu tau, sebenarnya aku belum pernah ceritakan ini pada siapa pun. Tapi khusus untuk kamu, ini jadi satu pengecualian. Tapi kamu harus janji jangan bilang siapa-siapa." Ucap Ningsih.
Marlina heran. Dari gelagatnya, apa yang hendak disampaikan Ningsih seakan-akan sebuah rahasia yang teramat besar.
"Memangnya kamu kerja apa sih?"

"Nggak Lin. Aku nggak kerja. Aku dapatkan semua ini dari suamiku."
"Suami? Kamu nikah sama orang kaya?"

"Bisa dibilang begitu. Tapi aku nikah bukan sama manusia."

"Bukan sama manusia? Ini maksudnya gimana sih?"
Sebentar Ningsih celingak-celinguk memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengarkan. Lalu dia berbisik lirih persis dekat telinga Marlina.

"Aku nikah sama siluman. Pesugihan Lin."
"Heh! Jangan bercanda ya Ning! Aku nanya serius!" Balas Marlina sedikit kesal karena merasa dipermainkan.
"Aku nggak bercanda Lin. Aku serius. Sudah hampir 3 tahun aku jalani semua ini. Hasilnya bisa kamu lihat sendiri." Sahut Ningsih seraya membentangkan tangan seolah memamerkan dirinya.
"Tunggu dulu. Ini kamu beneran? Nikah sama siluman? Jadi suami istri?" Tanya Marlina lagi minta diyakinkan. Padahal dirinya merasa kali ini Ningsih tak bohong.
"Iya. Beneran. Masa aku bohong."

"Lalu kalian tinggal satu rumah atau bagaimana? Coba tolong jelaskan."
"Ya nggak gitu juga Lin. Namanya juga nikah sama mahluk gaib, sudah pasti caranya juga beda. Kami nggak tinggal satu rumah. Suamiku itu cuma datang di waktu-waktu tertentu saja."
"Ya Tuhan... Edan kamu Ning!" Sahut Marlina sembari geleng-geleng kepala.
Ningsih cuma tersenyum sambil mengangkat bahu. Dia pun kembali melanjutkan penuturannya.
"Tadinya aku juga nggak nyangka bakal begini Lin. Tapi aku terpaksa. Keluargaku terlilit hutang yang amat besar. Gara-gara itu orang tuaku jadi sakit. Semua harta sudah ludes terjual. Aku putus asa. Sampai akhirnya ada yang menawarkan aku untuk menempuh cara ini."
Marlina terdiam. Alasan Ningsih terdengar klise. Sudah terlalu banyak kisah serupa yang dia dengar. Tapi siapa kira justru kini sahabatnya sendiri yang mengalaminya. Sungguh ironis.
"Kalau benar begitu, memangnya kamu nggak takut dengan resikonya? Kata orang kan pesugihan itu biasanya minta tumbal?"
"Iya betul. Tapi tumbalnya tidak harus dari keluarga sendiri kok. Bisa dari orang lain. Dan itu juga setahun sekali."
"Tumbal nyawa?" Tanya Marlina.

"Iya. Tumbal nyawa bayi yang baru lahir."
Marlina terperanjat! Mulutnya melongo. Bulu kuduknya seketika merinding...

"Gila kamu Ning! Kok tega sih? Lalu bayi siapa yang sudah kamu tumbalkan?"
"Bayi orang lain. Aku nggak kenal. Aku cuma diminta untuk memberikan tanda pada si calon korban. Lalu siluman itu sendiri yang datang menjemputnya."
"Ya Tuhan..."

Marlina cuma bisa geleng kepala. Dia benar-benar tak menyangka kalau Ningsih yang dulunya dia kenal begitu polos kini berbicara tanpa empati layaknya pembunuh berdarah dingin.
Tapi dia tak mau menghakimi. Di dunia yang gila ini, segalanya bisa saja terjadi. Apalagi bila sudah berurusan dengan uang.
Setiap orang punya caranya masing-masing untuk mendapatkannya, bahkan dengan cara keji sekali pun. Seperti yang baru saja Ningsih sampaikan.

-----bersambung-----
Selama beberapa hari, cerita Ningsih selalu terngiang-ngiang di telinga Marlina. Begitu mengusik pikirannya.
Jujur saja, dia salut dengan Ningsih yang berani ambil resiko untuk menempuh jalan gila itu. Bahkan dia sangsi apakah dia berani melakukan hal yang sama bila ada di posisi Ningsih.
Tapi semakin direnungi, Marlina merasa kalau saat ini dirinya juga ada dalam situasi yang mirip. Memang tak sama persis, tapi himpitan ekonomi yang saat ini dia alami membuat dirinya merasa terwakili oleh cerita Ningsih.
Sampai akhirnya bisikan setan pun mulai menyelinap ke dalam hatinya, menguasai pikirannya, menutupi keimanannya. Hingga membuatnya tergoda untuk meniru jalan yang ditempuh Ningsih.
Kalau Ningsih bisa, kenapa aku tidak? Lagipula dari cerita Ningsih, resikonya tak terlalu menakutkan. Dia pun lantas menakar dan meyakinkan diri kalau dia juga sanggup melakukannya.
"Ning, kamu bisa bantu aku untuk mengikuti jejakmu?" Tanya Marlina pada Ningsih.
Untuk sesaat Ningsih cuma tersenyum. Marlina jadi sedikit heran melihat reaksi dari sahabatnya itu.
"Kenapa kamu malah senyum-senyum gitu? Aku serius Ning." Desak Marlina.
"Hmm.. Sudah kuduga kalau kamu akan memintanya. Aku kenal kamu Lin. Kamu tak terbiasa hidup susah. Tapi apa kamu yakin? Kamu tau kan kalau ini jalan yang dilaknat Tuhan?"
"Ah! Persetan dengan Tuhan! Dimana Dia saat aku membutuhkannya? Justru malah kamu yang datang jadi malaikat penolong. Dan aku yakin kalau ini adalah jalan keluar dari semua kesulitanku."
"Tapi apa kamu sudah mantap? Asal kamu tau, setelah kamu melakukannya, tak ada lagi jalan untuk kembali. Kamu selamanya akan jadi budak siluman itu."
"Aku sudah siap. Semua sudah kupikirkan baik-baik. Lebih baik jadi budak siluman tapi hidup senang daripada terus-terusan hidup susah. Aku sudah nggak sanggup Ning. Kalau saja tak ingat Sinta, rasanya mau mati saja."
Ningsih kembali tersenyum. Dia maklum dengan sikap sahabatnya itu. Marlina anak semata wayang dari keluarga yang dulunya kaya. Dia sejak kecil begitu dimanja. Hingga akhirnya cinta membutakan matanya.
Dia nekat menikahi Teguh kekasihnya sejak SMA meski pemuda itu berasal dari keluarga yang ekonominya tergolong pas-pasan.
Awalnya mereka memang bahagia. Orang tua Marlina terus memberikan dukungan berupa limpahan uang yang justru membuat pasangan itu jadi terlena.
Namun nasib mulai berbalik sejak papanya Marlina masuk penjara karena tersangkut skandal korupsi hingga semua hartanya disita. Mamanya yang syok kemudian jadi sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal akibat tak kuat menanggung malu dan hebatnya tekanan batin.
Namun semua kesengsaraan itu rupanya belum cukup. Teguh yang jadi sandaran Marlina satu-satunya malah bertingkah gila dengan main serong lalu pergi meninggalkan anak istrinya.
"Baiklah kalau memang kamu sudah yakin. Besok kamu ikut aku." Ucap Ningsih yang langsung disambut senyuman Marlina.

*******
Esok harinya, Marlina dibawa Ningsih pergi menemui mak Enok, seorang nenek tua yang jadi kuncen penghubung antara sang siluman dengan para calon pemujanya.
Rumahnya jauh di sebuah desa terpencil. Butuh waktu seharian untuk mereka bisa sampai ke sana.
Singkat cerita, kini Marlina dan Ningsih telah duduk di hadapan mak Enok yang terus memandangi Marlina lekat-lekat.
"Apa kamu sudah yakin? Kalau masih ragu, lebih baik kamu pulang saja. Ini bukan untuk main-main." Ucap mak Enok coba mengukur seberapa keras tekad Marlina.
"Yakin mak. Lahir batin saya sudah siap." Jawab Marlina sambil melirik Ningsih yang duduk di sebelahnya. Ningsih pun mengangguk demi ikut meyakinkan mak Enok.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti malam kita langsung saja mulai upacaranya. Aku akan siapkan dulu syarat-syaratnya. Sementara menunggu, kalian boleh tetap tinggal di sini."
Selesai berkata, mak Enok pun pergi meninggalkan kedua sahabat itu. Entah mau kemana, Marlina tak berani bertanya.
"Ning, apa nanti aku harus memberikan imbalan untuk mak Enok?" Tanya Marlina sesaat setelah mak Enok pergi.
"Sebenarnya sih nggak perlu. Dia nggak pernah minta apa-apa. Tapi biasanya setiap orang akan memberikan uang sebagai tanda terima kasih kalau niatnya sudah terkabul. Terserah mau kasih berapa. Dulu aku kasih dia 100 juta."
"Hah? 100 juta? Nggak salah?" Pekik Marlina terperangah.
"Iya. Nggak masalah. Asal kamu tau, kalau sampai nanti kamu berhasil, uang yang akan kamu dapatkan itu jumlahnya nggak kira-kira. Bisa milyaran."
Marlina kembali terperangah! Dadanya langsung berdebar-debar mendengar jawaban Ningsih.

"Gila! Serius? Sebanyak itu?"
"Iya. Itu belum seberapa. Malah kalau kamu pintar menyimpan uang, jumlahnya bisa sampai puluhan milyar, bahkan lebih. Tapi jarang ada orang yang bisa simpan uang sampai sebanyak itu. Biasanya mereka dengan entengnya akan menghambur-hamburkannya. Termasuk aku."
Demi mendengar hal itu, seketika hati Marlina jadi berbunga-bunga. Dulu orang tuanya yang kaya saja tak pernah bisa punya uang sebanyak itu. Dia pun makin tak sabar untuk segera mendapatkannya.
Menjelang tengah malam, mak Enok kembali datang. Dia pun langsung meminta Marlina untuk mandi kembang di halaman belakang yang telah dipersiapkannya.
Selesai mandi, Marlina diminta untuk berbaring tanpa busana di atas dipan kayu. Mak Enok pun mengasapi sekujur tubuh Marlina dengan asap dari bakaran dupa yang aromanya begitu menyengat.
Setelah selesai, mak Enok menyayat lengan Marlina dan menampung darahnya dalam sebuah mangkuk. Lalu dia memecahkan sebutir telur abu-abu berbintik hitam yang isinya dicampurkan dengan darah Marlina yang ada di dalam mangkuk tadi.
"Minum ini. Habiskan." Perintah mak Enok sambil menyodorkan mangkuk itu kepada Marlina yang kini duduk bersimpuh di hadapannya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Marlina menerimanya. Tercium bau anyir bercampur amis yang seketika membuat perutnya mual. Namun dia berusaha untuk menahan diri agar tak muntah lalu meminumnya sampai habis.
Mak Enok terus memperhatikan semua itu sambil manggut-manggut. Begitu pula Ningsih yang sejak tadi ikut menyaksikan.
"Sekarang dengar baik-baik. Tujuh hari ke depan, sang siluman akan datang menemuimu. Untuk itu kamu harus sudah siap. Itu adalah malam pertamamu sebagai pengantin. Tapi ingat, jangan sampai ada orang yang tau saat kamu melakukannya, atau semuanya akan sia-sia."
Marlina pun mengangguk meski sebenarnya dia masih kurang paham. Tapi dia pikir selebihnya nanti bisa dia tanyakan pada Ningsih.
"Dan satu hal lagi. Setelah itu, kamu sudah harus memberikan tumbal sebelum genap satu bulan. Aku tak perlu lagi menjelaskan caranya. Kamu nanti bisa tanyakan pada temanmu ini." Pesan mak Enok lagi.
"Iya mak." Balas Marlina mengangguk patuh.

"Bagus. Sekarang kamu boleh pulang." Ucap mak Enok menutup semua rangkaian upacara.
Sepanjang perjalanan pulang, Marlina pun meminta petunjuk Ningsih atas semua hal yang dia kurang mengerti.
"Ning, untuk melakukannya, apa aku harus punya kamar khusus?"
"Iya. Kamu kan tadi dengar sendiri? Mak Enok bilang, jangan sampai ada orang lain yang tau."
"Aduh. Aku baru kepikiran. Di rumah kan ada Sinta?"

Ningsih malah tertawa. Marlina jadi tambah bingung. Apanya yang lucu?
"Ya ampun Lin, gitu aja kok repot. Kamu tinggal pesan kamar hotel. Beres!"
"Memang bisa begitu?"

"Kenapa enggak? Dia itu mahluk gaib. Dimana pun kamu berada, dia pasti akan menemukanmu."
Marlina langsung manggut-manggut. Lalu dia pun lanjut bertanya tentang hal lainnya.

"Kira-kira tampangnya seperti apa Ning? Apa dia nakutin?"
Ningsih menggeleng sambil tersenyum. "Sama sekali nggak. Dia akan datang dalam wujud lelaki biasa. Pokoknya kamu nggak perlu takut. Tapi kata mak Enok, suatu saat nanti dia akan datang dalam wujud aslinya."
"Memang aslinya gimana?"

"Aku sih nggak tau. Selama ini dia belum pernah tunjukkan wujud aslinya padaku. Tapi kata mak Enok, dia itu punya wujud asli seekor ular."
Marlina langsung kaget. Ular? Kenapa mesti binatang yang satu itu? Sejak dulu dia paling takut dengan mahluk melata yang menjijikkan itu.
"Kenapa? Takut?" Ejek Ningsih begitu melihat wajah Marlina yang berubah kecut.
"Iya. Kamu kan tau sendiri, dari dulu aku paling takut sama ular."
"Tenang aja Lin. Aku punya tips buat kamu. Kalau suatu saat nanti dia tunjukkan wujud aslinya, kamu merem aja. Nggak perlu kamu lihat sampai tugasmu selesai. Beres kan?" Ucap Ningsih memberi saran.
Marlina kembali manggut-manggut. Kekhawatirannya sedikit berkurang. Kini dia sudah tak sabar untuk menantikan 'malam pertama' nya.

--Bersambung ke bagian 2--

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Wallensky

Wallensky Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @wallensky10

Apr 13
--- ISTRI SIMPANAN ---

Bab 2 - Hamil

@Penikmathorror @HorrorBaca @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror_id

#bacahorror #ceritahorror #threadhorror #horror Image
Bab 2 - Hamil

***

Esok harinya, om Gun menghubungi Dahlia menanyakan kesediaannya untuk menemani jalan-jalan. Dahlia pun menyanggupi. Lagi pula tak ada salahnya memenuhi permintaan itu, toh dia akan dapat uang lebih banyak lagi.
Read 60 tweets
Apr 12
Horor Series "Titisan Siluman Ular"

Part 17

LANGIT MERAH DI PRAMBANAN

Bab 1 - Pendamping

@Penikmathorror @HorrorBaca @IDN_Horor @bacahorror

#bacahorror #ceritahorror #threadhorror #horror Image
"Aku dapet wangsit dari Watu Gede, pernikahan ini harus diundur karena bertepatan dengan hari dibuatnya candi. Asal kalian tau, itu adalah hari keramat, makanya dilarang untuk melakukan perayaan apapun. Kalau masih ngeyel juga, kalian bakal celaka." Ujar mbah Karsiyem.

***
Sebuah pantangan telah dilanggar, menyebabkan bangkitnya kekuatan kuno maha dahsyat yang mengerikan. Yudha berusaha menghadapinya, tapi siapa sangka, justru dia harus meregang nyawa..
Read 92 tweets
Mar 30
--- ISTRI SIMPANAN ---

@Penikmathorror @HorrorBaca @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror_id

#bacahorror #ceritahorror #threadhorror #horror Image
Om Gun berdiri tepat di depan Dahlia dengan wajah yang bengis. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi memperlihatkan kuku-kukunya yang runcing, lalu menghujamkannya ke perut Dahlia hingga tembus sampai ke dalam!

AAAAAKH!

***
Seorang wanita penghibur menerima tawaran menikah dari seorang lelaki kaya demi hidup dalam gelimang harta.

Lalu apakah dia bahagia? Awalnya begitu. Hingga segalanya berubah jadi malapetaka dan kesengsaraan.

Pada akhirnya, tak ada yang cuma-cuma di dunia ini...

***
Read 72 tweets
Mar 21
--- RAHASIA CITRA ---

Bab 7 - Rahasia yang terungkap

@Penikmathorror @HorrorBaca @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror_id

#bacahorror #ceritahorror #threadhorror #horror Image
Bab 7 - Rahasia yang terungkap

***

Pak Cipto duduk termenung. Ditatapnya pintu kamar Citra yang tertutup rapat. Putri kesayangannya itu kini tertidur setelah melalui peristiwa yang menegangkan. Untungnya anak itu cepat dibawa pulang, kalau tidak, tak terbayangkan apa jadinya.
Read 71 tweets
Mar 15
--- RAHASIA CITRA ---

Bab 6 - Pentas tari

@Penikmathorror @HorrorBaca @IDN_Horor @ceritaht @bacahorror_id

#bacahorror #ceritahorror #threadhorror #horror Image
RAHASIA CITRA

Bab 6 - Pentas tari

***

Seminggu setelah kematian pak Agus, awan duka masih menyelimuti. Pak Cipto tak henti menguatkan hati Priyo dan juga ibunya yang terlihat masih terguncang.
Read 80 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(