Niat baik reformasi Kemenkes untuk meningkatkan kualitas kesehatan Indonesia bukan berarti tanpa cela. RUU Omnibus Law Kesehatan masih perlu pengawalan supaya nggak seperti yang sudah-sudah (if you know, you know). Buat yang masih bingung ini apaan sih sebenarnya, kami mencoba… twitter.com/i/web/status/1…
1) Insentif PPDS dan Nakes
Insentif PPDS dan Nakes sebenarnya sudah diatur dari lama dalam undang-undang sebelumnya, tapi ya...gitu.
Sehingga kalau mau dijadikan prioritas di RUU Kesehatan, harus ada skema yang jelas untuk menjamin pasal ini bisa terealisasi, seperti dari mana biaya insentif didapat, berapa jumlahnya, sampai bagaimana koordinasi antar lembaga dalam menjamin insentif ini terbayarkan.
Dalam dokumen Daftar Inventaris Masalah RUU Kesehatan yang dirilis CISDI, insentif ini harusnya tidak terbatas hanya pada nakes, namun juga kader, tenaga pendamping dan masyarakat, yang harus diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai hak, bukan penghargaan.
Sehingga, insentif, baik kepada dokter PPDS, nakes, maupun kader masyarakat, harus dijamin melalui aturan turunan yang jelas.
Dokumen Daftar Inventaris Masalah RUU Kesehatan milik @CISDI_ID dapat dilihat di sini.
2) Perlindungan Nakes dari Kriminalisasi dan Perundungan
Bagus sih, tapi rasanya perlindungan peserta didik nggak perlu diselesaikan dengan RUU Kesehatan.
Solusi terbaik masalah perundungan adalah supervisi prodi yang baik, pembagian tugas yang lebih jelas untuk tiap tahap peserta didik dan pemberian sanksi yang tegas kepada oknum. Selama ini bisa terjamin, isu ini nggak perlu masuk ke dalam RUU Kesehatan.
Selain masalah perundungan, potensi terjadinya kriminalisasi nakes juga menjadi perhatian.
RUU Kesehatan membahas beberapa sanksi apabila terjadi kerugian akibat prosedur medis. Namun belum ada pasal yang menjamin perlindungan hukum kepada nakes.
CISDI mencontohkan dalam laporan yang sama, bahwa nakes harus terjamin dilindungi dari tuntutan hukum apabila melakukan prosedur medis (sebagai contoh aborsi) selama sesuai standar dan legal.
3) Deskripsi Kelompok Rentan
Di draft awalnya, kelompok rentan dalam RUU Kesehatan terbatas pada ibu hamil dan menyusui, bayi, balita, dan lanjut usia. Definisi masyarakat rentan ini terlalu sempit dan perlu diperluas, supaya inklusif dan non-diskriminatif pada semua masyarakat.
Selain penyandang disabilitas, individu yang mengalami diskriminasi ras/agama/gender, dan lain-lain, dalam thread yang ditulis pada 4 Mei 2023, Puskapa mengingatkan bahwa individu yang tidak memiliki dokumen kependudukan resmi juga harus masuk ke dalam kelompok rentan.
Perluasan makna kelompok rentan akan membantu para pejabat penting dalam menyusun program dan layanan kesehatan yang inklusif bagi semua masyarakat.
Beberapa isu ini sudah direspon oleh pemerintah, seperti perluasan makna kelompok rentan. Namun beberapa masih jadi diskusi. Ada beberapa poin yang belum sempat terbahas, seperti izin kerja dokter asing. Nanti kita lanjut lagi.
Singkatnya, masalah kesehatan di Indonesia kompleks dan nggak bisa selesai simsalabim dengan RUU baru. Aturan yang bagus nggak jadi bagus lagi kalau implementasinya tetap seperti yang sudah-sudah.
Masih banyak yg mengaitkan stunting dengan gizi buruk. Nggak salah. Tapi, sebuah studi menyebut perbaikan nutrisi cuma bisa mengurangi seperlima dari keseluruhan kasus stunting.
Everyone meet ✨️Sanitasi Buruk✨️. Salah satu masalah stunting yg jarang dibahas.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan satu dari dua provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi stunting di atas 40%. Sebuah studi menyimpulkan kalau sanitasi yang buruk adalah salah satu faktor utama penyebab tingginya prevalensi kecacingan di daerah tersebut.
Satu hal yang dianggap mendasari problematika stunting di provinsi ini adalah penyakit infeksi, seperti malaria dan kecacingan. Seorang anak bisa mengalami malnutrisi akibat kekurangan asupan gizi dari makanan atau karena terkena infeksi berulang.