Falisha C. Profile picture
May 27, 2023 208 tweets >60 min read Read on X
[Jeroan Matah - Jeroan Mentah]

——Kisah Horor Bali, Balinese Horror Story, Horror Thread

Ijin Tag;
@bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor @P_C_HORROR @Penikmathorror @ceritaht @HorrorBaca @autojerit #bacahorror #ceritaseram #horror #ceritahorror #threadhorror #IDNH #desaangker Image
Latar; Sebuah desa berkabut di Bali, 1999.
.....................................
1.

"Wengi, sing ngidang ngubah tempat tugas deweke?" (Wengi, tidak bisakah kamu mengubah tempat tugasmu?) Seorang pria dengan uban di rambutnya menatap sendu kepada putri semata wayangnya
2.

"Sing ngidang pak" (tidak bisa pak) cicit Wengi.

Setelah mendapat surat tugas, Wengi mengetahui kalau dia akan bertugas menjadi bidan di sebuah desa terpencil di Bali.
3.

Yah, Wengi memang asli bali. Tapi desa yang dia tuju adalah desa yang sangat jauh jaraknya dari kota dan tentu fasilitasnya tidak akan memadai.

Walau di dalam hati terasa berat, namun ini adalah tugas mulia. Wengi harus kuat.
4.

Sore hari, gadis itu memasukan barang-barangnya ke dalam koper. Sebentar lagi, mobil yang akan mengantarnya kesana akan menjemputnya ke rumah.

'Puk'

Tepukan halus menyapa bahu sempitnya.
5.

"Ning, mabakti malu disanggah" (Nak, sembahyang dulu di sanggah) ujar ibu Wengi,

*Sanggah adalah tempat sembahyang yang terdapat di pekarangan rumah umat hindu di bali.
6.

Wengi bersembahyang dengan khusuk, meminta perlindungan kepada tuhan agar dia selamat saat menjalankan tugas.

Beberapa saat kemudian, Wengi selesai sembahyang dan mobil yang mengantarnya sudah berada di depan rumah.
7.

Wengi berpelukan sesaat dengan ayah ibunya, melambaikan tangan sejenak.

Hati Wengi mencelos ketika melihat sorot mata sang ayah yang terlihat sangat sedih.
8.

Wengi langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, lalu memasuki mobil.

Mobil pun melaju dari Denpasar, menuju ke utara pulau Bali.
9.

Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam, sampai akhirnya si sopir dan Wengi melewati sebuah hutan pinus yang sangat rimbun. Udara dingin menggigit kulitnya, sehingga Wengi cepat-cepat menaikan jendela mobil.
10.

Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri, hanya ada pohon-pohon dan semak belukar di sepanjang perjalanan.

Wengi melirik sekilas ke arah jam tangannya.

Pukul delapan malam.
11.

Jalanan aspal yang basah penuh dengan dedaunan kering. Kabut begitu tebal hingga pak sopir melaju dengan sangat pelan karena kesusahan melihat jalanan, walau lampu mobilnya terlihat baik-baik saja, namun tidak cukup untuk menembus kabut tebal itu
12.

Tidak ada satupun orang yang lewat atau pemukiman di hutan pinus itu. Sangat sunyi, hanya terdengar mesin mobil. Bahkan Wengi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Apalagi, sepanjang perjalanan, si sopir tidak banyak bicara.
13.

"Pak, apa ini benar jalannya?"

"Beneh ning" (Benar nak) jawab sopir itu sekenanya.

Karena laju mobil yang peln, Wengi bisa mmperhatikan kalau di bbrapa tempat yang dilaluinya, tepatnya di bawah beberapa pohon, ada tugu atau pelinggih yang di atasnya penuh dengan sesajen.
14.

Ada juga sebuah pohon beringin besar yang batangnya dililit oleh kain hitam putih bercorak kotak-kotak seperti papan catur.
15.

Sebagai orang Bali, Wengi sudah memahami kalau itu adalah bentuk penghormatan kepada ciptaan tuhan; seperti pohon besar yang memberi oksigen serta air. Sehingga orang-orang tidak bisa sembarangan menebang pohon, dan lebih menekankan untuk menjaga kelestariannya. Image
16.

Jalanan yang basah dan berkabut itu berkelak-kelok, semakin ke dalam, jalannnya makin sempit.

'Ckkitttttt!'

Sopir tiba-tiba mengerem mendadak, membuat Wengi hampir terperosok ke depan.
17.

"Ada apa pak!?" Pekik Wengi, sambil kepalanya melongok ke arah depan.

"Ade lipi ning" (Ada ular nak) jawab si bapak pelan, lantas kembali melanjutkan perjalanannya.
18.

Wengi menahan nafasnya sejenak. Dia mulai merasa takut.

Beberapa saat melewati jalan berkelok, mereka melewati hutan bambu yang sepertinya ada jurang di sampingnya, dan di tengah jalan hutan bambu itu, mobil tiba-tiba berhenti.
19.

"Ada apa pak?" tanya Wengi dengan cemas.

"Bise ada uug mesinne di depan. Ngoyong dini malu nah ning" (Mungkin ada yang rusak di depan, diam disini dulu ya nak) jawab sopir itu kemudian keluar.
20.

Jujur, jantung Wengi berdetak sangat cepat karena hutan bambu ini terlihat sangat misterius dan gelap. Batang-batang bambu saling bergesek karena tertiup angin, menghasilkan bunyi-bunyi aneh.

'Kreeatt'

'Kreooott'
21.

Wengi melihat ke arah kanannya yang merupakan gugusan bambu, sekilas dia melihat bayangan hitam besar yang melesat di sela-sela pohon bambu. Wengi mengerjap-ngerjapkan matanya pelan, lalu kembali memfokuskan pengelihatannya, namun tidak ada apapun.
22.

Gadis itu lantas cepat-cepat menghadap ke depan, sopir itu terlihat membuka kap mobilnya. Tidak sampai limat menit, sopir itu kembali ke dalam mobil dan akhirnya mobil hidup kembali.
23.

"Sire je sane melinggih meriki, tiang nyelang margi jebos, tiang ker nganter ibuk bidan nike" (Siapapun yang menghuni disini, saya meminjam jalan sebentar, saya mau ngantar ibu bidan ini) gumam sopir itu.
24.

Wengi juga berdoa dalam hati, berharap agar mereka selamat sampai tujuan.

Beberapa saat melewati hutan yang misterius dan mencekam, akhirnya mereka sampai di sebuah pemukiman dengan sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu.
25.

Wengi bernafas lega ketika melihat lampu-lampu berwarna kuning yang terlihat di beberapa teras rumah. Ternyata ada listrik di desa ini. Wengi sudah khawatir kalau dia akan berteman dengan kegelapan saat bertugas disini.
26.

Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di sebuah rumah beton dengan ukuran sedang. Wengi dan sopir itu keluar dari mobil.

Wengi melihat ada seorang lelaki berkulit keriput memakai pakaian khas Bali dan udeng, udeng adalah ikat kepala yang digunakan oleh laki-laki Bali.
27.

Lelaki itu memasang senyum, hingga kedua matanya menghilang menjadi garis tipis.

"Rahajeng Wengi bapak lan ibuk" (Selamat malam bapak dan ibu) ujar lelaki itu dengan ramah.
28.

"Rahajeng Wengi pak" (selamat malam pak) jawab Wengi.

"Tiang bapak Ketut, kepala adat deriki, ibuk sire nggih?" (Saya bapak Ketut, kepala adat disini, boleh tau dengan ibu siapa?) ujar bapak itu lembut.
29.

"Tiang Luh Wengi pak, saking Denpasar" (Saya Luh Wengi pak, dari Denpasar) Jawab Wengi,

Bapak ketut menaikan sebelah alisnya.
30.

"Wengi?"

"Nggih pak, tiang lekad petengne nike" (Iya pak, saya lahir malam hari) Jawab Wengi sambil tersenyum. Ya, 'Wengi' berarti 'malam' dalam bahasa Bali.
31.

Bapak Ketut mengangguk lantas mempersilakan Wengi untuk masuk ke dalam. Wengi cepat-cepat masuk karena udara begitu dingin, bahkan kabut masih menyelimuti sampai disini.
32.

Wengi baru saja ingat kalau dia belum mengambil kopernya, namun sebelum dia keluar, si sopir sudah membawakannya koper itu. Wengi berterimakasi, sedetik kemudian, si sopir pamit untuk kembali lagi dan meninggalkan Wengi seorang diri disana.
33.

Gadis itu duduk di sebuah tempat duduk kayu, di tangannya kini sudah ada segelas air jahe yang dibuatkan oleh bapak Ketut.
34.

"Terimakasi bu Wengi sudah mau bertugas di desa kami. Kami sangat membutuhkan tenaga kesehatan seperti kamu. Semoga kamu betah disini ya nak" Bapak Ketut kembali melempar senyum.
35.

"Sudah tugas saya pak, ngomong-ngomong apa saya akan bertugas disini? Atau ada bangunan khusus puskesmas?"
36.

"Bangunan khusus puskesmas belum ada, rumah saya ini bisa digunakan sementara, lagian juga rumah saya ini tidak dihuni. Ini sebenarnya rumah punya anak saya, tapi anak saya sudah pindah ke kota" jelas bapak Ketut, menyebabkan Wengi mengangguk.
37.

"Ibu Wengi, ngomong-ngomong, sebelum bertugas, saya ingin menyampaikan suatu hal" intonasi bicara bapak Ketut yang tadinya ceria sekarang berubah menjadi serius, membuat suasana menjadi sesak.
38.

Mata abu-abu orang tua itu menatap tajam mata cokelat milik Wengi.

"Apa itu pak?" Wengi menaruh gelas itu di atas meja di depannya, perhatiannya fokus pada orang tua itu.
39.

"Kamu tidak boleh keluar saat sandikala, kecuali sangat penting atau benar-benar perlu. Bu Wengi kan orang Bali, jadi pasti sudah paham kan" ujar pak Ketut, Wengi menganggukan kepalanya singkat.
40.

Sandikala adalah waktu pergantian siang atau malam, sekitar pukul enam sore sampai jam tujuh malam.

Tiga menit kemudian, bapak Ketut pamit dari sana.
41.

"Kalau ada apa-apa, panggil bapak saja ya, bapak ada di seberang jalan sana" Bapak Ketut menunjuk rumah besar yang terbuat dari kayu tepat di seberang jalan.

"Nggih pak, suksme" (iya pak, terimakasi) jawab Wengi sambil tersenyum.
42.

Bapak Ketut kemudian benar-benar pergi dari rumah itu.

Ketika akan menutup pintu, Wengi melihat ada seorang wanita cantik berpakaian adat Bali sedang berdiri di bawah pohon besar, tepat diseberang jalan, menatap Wengi dengan pandangan yang sulit diartikan. Image
43.

Wengi mencoba tersenyum, namun tidak dibalas oleh wanita itu, membuat Wengi mengendikan dua bahunya acuh lalu menutup pintu.

...................................
44.

Pagi, pukul tujuh.

Wengi keluar dari rumah itu sambil menenteng sebuah tas yang berisi peralatan medis seadanya. Rencananya gadis itu mau berkeliling desa untuk memperkenalkan dirinya, siapa tau juga ada warga yang sakit sehingga dia bisa membantu.
45.

Matahari sudah bersinar cerah, namun udara masih tetap dingin. Untung saja Wengi membawa jaket tebal.

Dia mulai melangkahkan kakinya ke arah jalanan, di sebelah kanan dan kiri ada banyak pohon jeruk, pisang dan kopi.
46.

Di jalanan juga Wengi berpapasan dengan anak -anak yang sedang bermain 'tojagan' Image
47.

Tiba-tiba, Wengi mendengar ada suara tangisan wanita dan beberapa warga keluar dari rumahnya dan menuju ke arah suara tangisan yang berasal dari salah satu rumah.

Wengi pun bergegas dan mengikuti kemana warga pergi.
48.

Wengi melihat ada seorang ibu-ibu yang menangis kencang di depan sebuah kandang hewan, sampai dia lesehan di tanah dengan pakaian berdebu dan rambut berantakan.
49.

"Sampine! Sampine!" (Sapinya! Sapinya!) Teriak ibu itu, beberapa warga dan Wengi melihat ke arah kandang. Gadis itu membelalakan matanya ketika melihat sapi terbujur kaku dengan luka di perutnya.
50.

"Bah, ne jeroanne pasti ilang" (Beh, ini jeroannya pasti hilang) ujar salah satu pria.

"Sudah beberapa hari ini ada kejadian ini terus" seorang wanita berbisik di belakang Wengi,
51.

"Ada apa ya?" tanya Wengi.

"Beberapa hari ini, kasus hewan dengan jeroannya yang hilang terus berlanjut. Ada sesuatu yang memakannya, tapi kami tidak tau apa itu.-"
52.

"-Anehnya, si pemakan ini hanya memakan jeroan ternak saja. Dia tidak mau memakan bagian tubuh yang lain" jelas wanita itu membuat Wengi menahan nafasnya sejenak.
53.

"Rumornya, yang memakan ternak warga ini adalah siluman. Tapi tidak jelas juga. Tidak ada yang pernah melihat makhluk itu. Dan biasanya, kejadian ini terjadi di bulan-bulan tertentu,-"
54.

"- lalu kejadiannya berhenti begitu saja, lalu beberapa tahun lagi, dimulai kembali. Tapi kami tidak pernah tau kapan mulainya sampai ada korban ternak seperti ini" lanjut wanita muda itu.
55.

'Glup'

Wengi menelan ludahnya kasar. Desa tempatnya bertugas tidak baik-baik saja.
56.

Teringat kembali ekspresi ayahnya yang sendu ketika Wengi akan pergi. Sepertinya, ayahnya itu sudah mempunyai firasat kurang baik sejak kepergian Wengi ke desa itu.

....................
57.

Setelah berkeliling desa seharian dan memperkenalkan diri, Wengi baru kembali ke rumah itu sekitar jam lima sore. Gadis itu langsung tidur karena kelelahan, kemudian bangun sekitar jam enam sore.
58.

"Hoaahem" Wengi merenggangkan otot-ototnya yang kaku, lantas berjalan mengambil handuk hendak mandi. Kamar mandi berada di luar, gadis itu berjalan ke arah pintu. Namun, saat akan membuka pintu, dirinya teringat dengan pesan Bapak Ketut.
59.

Jangan keluar di waktu sandikala.

Alhasil, Wengi kembali ke kamarnya, menunggu agar waktu sandikala berakhir.
60.

Tidak ada televisi yang menemaninya. Wengi juga tidak memiliki ponsel di tahun 1999 itu. Jadi, gadis itu mengambil buku tentang kebidanannya, membacanya untuk membunuh waktu dikesunyian malam.
61.

'Tug'

'Tug'

'Tug'

Wengi menghentikan acara membacanya ketika mendengar suara langkah kaki besar-besar yang mengitari rumah.

'Tug'

'Tug'

'Tug'
62.

Langkah kaki itu semakin lama-semakin mendekat.

'Tug'

Langkah kaki itu berhenti, sumbernya seperti di samping jendela kamarnya.
63.

Wengi melihat ke arah jendela yang sudah ditutupi oleh gorden berwarna merah.

Jantung gadis itu bertalu dengan kencang, tubuhnya kaku, ujung jari tangan dan kakinya mendingin.
64.

Nafas tersengal,

"Jangan-jangan itu maling?" gumam Wengi, walau tubuhnya sudah bergetar gadis itu tetap berdiri lalu menyambar sebuah sapu dan berjalan menuju jendela.
65.

Glup

Wengi menelan ludahnya kasar,

Tangan pucatnya yang bergetar terjulur ke arah gorden

Set!

Gorden dibuka.
66.

Tidak ada apapun. Sunyi, sepi.

Wengi pun menghela nafas lega.

"Apa itu hewan ya?" Gadis itu mengedarkan retinanya ke luar jendela, lalu menutup gorden dengan cepat.
67.

Tidak Wengi ketahui, ternyata ada suatu entitas misterius, dengan rupanya yang ditutupi gelapnya malam masih ada di bawah jendelanya

........................... Image
Bersambung....
Friends, malam ini aku mau update lanjutan cerita dari 'JEROAN MATAH'. Bagi yang nunggu ceritanya follow aku ya! Stay tune malam ini 😉
68.
.................................

Pagi hari, pukul enam.

Wengi berdiri di depan rumah Bapak Ketut.

Ketukan dua kali pada pintu mampu membuat seseorang membukakan pintu untuknya.
69.

Ialah seorang wanita dengan rambut beruban yang disanggul sederhana. Berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar hingga kedua matanya membentuk garis.

"Ibuk bidan nggih?" ( Ibu bidan ya?) tanya wanita itu.
70.

"Nggih, wenten bapak ketut?" (iya, ada bapak ketut?) jawab Wengi, lantas wanita tua itu mengangguk, mempersilakan Wengi untuk masuk.

Wengi melihat bapak Ketut yang keluar dari sebuah kamar.
71.

"Bu Wengi? Wenten napi?" (bu Wengi? Ada apa?) senyuman ramah bapak Ketut mengembang.

"Kemarin malam, ada suara 'tug tug tug' yang mengelilingi rumah. Pas tengah malam juga ada suara begitu. Kira-kira itu apa ya?" Jelas Wengi
72.

Wengi melihat raut wajah bapak Ketut yang menegang, namun sedetik kemudian kembali tersenyum.

"Oh, jangan khawatir bu. Itu sepertinya anak sapi yang suka lancong ke pekarangan rumah" jawab pak ketut dengan cepat.
73.

Wengi menaikan sebelah alisnya, setidaknya kalau itu benar-benar anak sapi, kenapa saat langkah kaki sapi itu berhenti di dekat jendela, kenapa Wengi tidak melihat wujud sapinya? Apa sapinya memiliki kecepatan tinggi untuk bergerak?
74.

Entahlah. Dan juga, hewan seperti sapi bukankah kebanyakan tidak aktif di malam hari? Hm, membingungkan.
75.

"Oh begitu, saya kira apa" Wengi tertawa pelan di akhir kalimat sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.

"Iya, kami juga sering mendengarnya di malam hari. Anak sapi itu tidak bahaya kok" tegas pak ketut.
76.

"Bu bidan, ngajeng dumun, tiang ampun nyakan" (Bu bidan, makan dulu, saya sudah masak) ujar wanita tua itu.

"Ini istri saya, panggil saja meme Ketut" Pak ketut menunjuk istrinya yang sedang meletakan beberapa piring di atas meja. 'Meme' dalam bahasa Bali berarti 'ibu'
77.

"Oh, meme Ketut, tiang ten seduk nike. Durian tiang ngidih, suksme nggih" (Oh, meme Ketut, aku tidak lapar. Lain kali saya minta, terimakasi ya) ujar Wengi, lantas gadis itu cepat-cepat pamit dari rumah pak Ketut.

"Ada yang tidak beres" gumam Wengi sambil menyeberang jaln.
78.

Sementara itu, di rumah pak Ketut, meme Ketut terlihat menatap suaminya dengan mata yang bergetar.

"Sing nyen to Katugtug?" (Jangan-jangan itu adalah makhluk Katugtug?) ujar meme Ketut
79.

"Bise duen to Katugtug, de orange akon ken bu bidan, pang sing nagih mulih ye. Nyen ker ngubadin nak gelem nden" -
80.

-(Mungkin saja itu makhluk Katugtug, tapi jangan bilangin ke bu bidan supaya dia tidak pulang. Siapa nanti yang mengobati warga yang sakit ?) ujar bapak Ketut lantas beliau kembali masuk ke kamarnya
81.

Sementara, dari Jendela dapur, meme Ketut menatap sedih ke arah rumah yang dihuni oleh Wengi.
82.

....................

Dini hari, pukul tiga.

Ketukan pintu dengan ritme cepat membuat Wengi terbangun dari tidur lelapnya. Kaki-kakinya melangkah cepat ke arah pintu, walau sempat menendang kaki meja yang membuat jari kelingkingnya berdenyut.
83.

'Ceklek'

Wengi melihat sepasang suami istri muda, si istri menggendong seorang bayi.
84.

"Bu bidan, tulungin jep, panak tiange kebus" (Bu bidan, tolong sebentar, anak saya panas) si ibu berbicara dengan suara bergetar, menyebabkan Wengi cepat-cepat menyuruh sepasang suami istri itu masuk.
85.

Wengi mengeluarkan peralatan medisnya, memeriksa bayi yang memiliki anting di kedua telingannya itu dengan cekatan. Sedetik kemudian,
86.

Wengi mengangguk singkat, paham dengan diagnosa yang ada di kepalanya. Jari-jari lentiknya lantas mengambil sebuah sirup dengan kotak berwarna merah.
87.

"Berikan sirup ini tiga kali sehari ya" ujar Wengi lembut, menyebabkan kedua suami istri itu mengangguk.

"Bu bidan tinggal sendirian disini ya?" ujar ibu muda itu, Wengi mengangguk sebagai jawaban.
88.

"Bu bidan hati-hati ya, kalau ada apa-apa tinggal minta bantuan orang sekitar sini" ibu itu berujar pelan, mata hitamnya menatap mata cokelat milik Wengi dengan tatapan awas, menyebabkan Wengi menaikan sebelah alisnya.
89.

"Memangnya ada apa ya bu?" Tanya Wengi hati-hati.

Suami istri itu saling berpandangan sejenak, lalu detik berikutnya menatap Wengi berbarengan.
90.

"Yang penting bu bidan jangan keluyuran waktu sandikala" bapak muda itu menggendong bayinya, dan mereka berdiri.
91.

"Terimakasi bu bidan, kami pulang dulu ya" ibu muda itu menyerahkan beberapa lembar uang pada Wengi lalu berbalik duluan, diikuti oleh suaminya. Sedangkan Wengi hanya menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
92.

'Ada apa sih di desa ini?' gumam Wengi dalam hati. Wengi seperti dihadapkan oleh teka-teki dengan sejuta arti. Menangkap gelagat orang-orang di desa ini juga mengantarkannya pada rasa tidak nyaman.
93.

Mereka semua baik, namun dalam mata mereka seperti terselaputi oleh kegelisahan dengan penyebab yang masih misterius.
94.

Wengi lantas mengantar suami istri itu keluar rumah, mereka terlihat berjalan ke arah utara sambil si bapak muda membawa senter.

Wengi memperhatikan kemana suami istri itu pergi, namun lama-kelamaan keberadaan mereka hilang tertelan kabut malam.
95.

Wengi hendak menutup pintu, namun dirinya melihat seorang wanita berpakaian adat Bali sedang berdiri di seberang jalan, tepatnya di bawah pohon.
96.

Wanita yang sama dilihatnya ketika Wengi sampai pertama kali disini. Wanita dengan wajah datar——tanpa ekspresi. Dan untuk apa dia berdiri di tengah malam berkabut seperti ini? Apa yang dilakukannya?

'Blam!'

Wengi langsung menutup pintunya dengan cepat.
97.

...............

Setelah melayani beberapa warga yang datang berobat dari pagi hingga sore, malam ini Wengi rebahan di kasur. Gadis cantik itu memejamkan matanya, ingin sekali segera menyusul alam mimpi. Sedetik kemudian, matanya kembali terbuka lebar.
98.

"Aku belum mandi!" pekik Wengi, tubuhnya langsung mengelijang bangun lalu menyambar handuk serta alat mandi yang terletak di samping meja.

Dia keluar dan berjalan ke arah kamar mandi.
99.

Sejenak, Wengi melihat ke segala arah.

Bulan dan bintang ditelan gelapnya awan hitam, kelap kelip di langit bukanlah bintang, namun seperti petir? Tapi tidak ada hujan.
100.

Di sekeliling desa begitu sepi, sama sekali tidak ada orang yang lewat. Hanya beberapa anjing yang melolong bersamaan, membuat Wengi bergidik ngeri. Desa terlihat misterius dalam balutan kabut malam. Pohon-pohon seakan berbisik satu sama lain ketika angin menerpa mereka.
101.

Tiba-tiba, Wengi merasa ada sesuatu yang memperhatikannya, namun ketika melihat ke segala arah tidak ada siapapun.

"Ah, cuma perasanku saja" gumam Wengi lalu cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi.
102.

Wengi mulai menanggalkan pakaiannya, menggantungnya di paku yang tertancap di tembok. Hingga dia benar-benar telanjang sekarang, lantas jari-jari lentiknya menyentuh gagang gayung.
103.

'BLUG!'

Wengi menahan nafasnya ketika mendengar bunyi seperti kelapa jatuh tepat di samping kamar mandi.
104.

'Ah, mungkin itu memang kelapa' hibur Wengi dalam hati, walau kenyataannya dia tahu kalau tidak ada pohon dengan buah apapun yang tumbuh di sekitar kamar mandi ataupun pekarangan rumah.
105.

Gadis itu cepat-cepat melakukan kegiatan mandinya, hingga beberapa saat kemudian dia selesai, kembali memakai pakaiannya dan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih basah dengan air
106.

Sejenak, Wengi celingak celinguk ke kanan dan ke kiri, berharap menemukan sesuatu yang jatuh tadi, namun karena keadaan gelap dia tidak melihat apapun.
107.

Masih dengan sikap awas, jantungnya berdebar ketika kembali merasa di awasi namun hanya gelap malam yang mengintai, detik berikutnya Wengi berlari masuk ke dalam rumah. Mengunci kamar rapat-rapat.
108.

Tepat setelah memasuki kamar, mata cokelat madunya melihat ke arah jam.

Pukul 19.04
109.

...............

Wengi berjalan-jalan kembali, dia ingin menjelajah sekiranya ada apa saja di desa ini. Jalan-jalan menggunakan sepeda ontel di sore hari sangat menyejukan, tidak seperti di Denpasar yang panas dari pagi sampai pagi.
110.

Wengi terus mengayuh sepedanya sambil menikmati pemandangan matahari terbenam di balik bukit, langit berwarna jingga dengan bias warna ungu membuat sunset sangat cantik di desa dengan udara dingin ini.
111.

"Aish!" Wengi mendecih ketika menyadari rantai sepedanya lepas dari tempatnya.

Gadis itu menjongkrak sepedanya lalu menunduk melihat rantai yang sudah terurai ke bawah.
112.

Wengi tidak bisa membenarkan rantai seperti ini, gadis itu celingak - celinguk ke kanan dan ke kiri berharap ada orang yang bisa dia mintai tolong.
113.

Namun bukannya orang yang dia lihat, malah sebuah papan yang terbuat dengan kayu rapuh, bercat putih yang sudah mengelupas, tulisannya berwarna hitam.
114.

'Setra'

Begitu tulisan di papan itu yang berarti 'kuburan'.

Wengi menghela nafas, dia lantas berjongkok, mencoba memperbaiki rantai sepeda itu dengan jari-jari lentiknya.
115.

"Duh, gimana sih ini caranya" gumamnya sedikit kesal.

"Om Swastyastu" suara seorang kakek membuat Wengi melompat sehingga sekarang dia dalam posisi berdiri,
116.

"A- Om Swastyastu" Wengi cepat-cepat mencakupkan tangan di depan dada, membalas sang kakek. Kakek itu memakai sebuah sarung hitam tanpa alas kaki, juga tanpa baju membuat tulang iga-iganya terekspos sempurna
117.

"Uug nike ning" (Rusak itu nak) ujar kakek itu sambil menunjuk rantai.
118.

"Nggih, pekak ngidang nulungin tiang?" (Iya, kakek bisa membantu saya?) jawab Wengi. Sang kakek mengangguk, lantas berjongkok di samping sepeda Wengi, jari-jari keriputnya menata ulang rantai itu agar berada di tempatnya.
119.

Sibuk memperhatikan si kakek, tiba-tiba Wengi mencium bau yang sangat busuk. Mirip seperti bangkai tikus. Alhasi Wengi menahan nafasnya sesaat, tidak berani langsung menutup hidung karena takut nanti kakek itu tersinggung.
120.

Tidak sampai lima menit, rantainya sudah terpasang dengan baik. Kakek itu berdiri.

Senyum Wengi mengembang, hingga rona merah tipis terlihat di pipinya.
121.

"Suksme nggih pekak" (Terimakasi ya kakek) pekik Wengi,
122.

"Nggih mewali, cobak dumun ning" (Iya sama-sama, coba dulu ya nak) ujar kakek itu, Wengi pun dengan semangat naik ke atas sepedanya. Mencoba mengayuhnya beberapa saat, dan Wengi berhenti lalu merogoh sesuatu dari tasnya—— mengambil beberapa lembar uang,
123.

"Pekak—" ucapan Wengi terhenti begitu saja ketika dia menoleh ke belakang dan tidak melihat kakek itu, mata cokelatnya berpedar ke segala arah. Tadinya dia hendak memberi uang sebagai ucapan terimakasi, namun kakek itu sudah hilang tanpa bekas.
124.

Jantung Wengi berdetak begitu cepat, wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Tanpa menunggu detik berikutnya, Wengi mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi.

Beberapa saat kemudian, Wengi sampai di depan rumah sudah ada bapak Ketut dan seorang nenek.
125.

"Niki bidan ane baru dong" (Ini bidannya yang baru nek) ujar bapak Ketut, memperkenalkan Wengi kepada seorang nenek itu.
126.

"Mih, jegegne. Ibu sire niki?" (Wah, cantiknya. Dengan ibu siapa ini) Nenek itu tersenyum ramah, hingga keriput di sekitar matanya terlihat jelas.
127.

"Tiang Wengi Dong, jagi meubad nggih?" (Saya Wengi nek, akan berobat ya?) Jawab Wengi turun dari sepedanya dan memarkirkan di depan rumahnya. Lalu mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangannya.
128.

Nenek itu mengangguk, sedangkan bapak Ketut tersenyum. Wengi lantas mengajak nenek itu ke dalam untuk memeriksanya, sementara bapak Ketut menunggu di luar.
129.

Sembari mengecek tensi nenek itu, terlintas di kepala Wengi untuk bertanya sesuatu, mungkin saja nenek ini tau jawabannya.
130.

"Dadong, tiang ibi sanje ningeh ade care nyuh ulung dini. Tapi dini sing ade punyan nyuh. Kira-kira ape ye to dong?" (Nenek, saya kemarin malam mendengar ada seperti suara kelapa jatuh disini. Tapi disinikan tidak ada pohon kelapa. Kira-kira itu apa ya nek?)
131.

-Tanya Wengi dengan lembut.

Wengi dapat melihat ekspresi nenek itu menegang, tubuh ringkihnya pun ikut menegang.
132.

Nenek itu terdiam. Ingin Wengi bertanya sekali lagi, namun Wengi tidak enak karena nenek itu terlihat tidak nyaman. Maka, Wengi melanjutkan pemeriksaan dan memberi obat yang cocok pada si nenek, tidak sampai sepuluh menit-
133.

-kegiatan selesai dan Wengi mengantar nenek itu keluar rumah.

"Ampun nggih?" (Sudah ya?) tanya bapak Ketut.
134.

"Nggih, ampun" (Iya, sudah) jawab Wengi sekenanya, bapak Ketut lantas menyerahkan beberapa lembar uang setelah Wengi menyebutkan nominal yang harus dibayar, lalu bapak Ketut mengajak nenek itu keluar dari pekarangan rumah,
135.

namun ketika sampai gerbang, nenek itu menoleh ke arah Wengi yang berdiri di ambang pintu. Tatapan nenek itu begitu gelap, Wengi merinding dibuatnya, namun gadis itu tetap melempar senyum walau tau tidak akan dibalas oleh nenek itu.
136.

Semakin membuat Wengi bertanya-tanya, misteri apa yang terjadi di desa ini. Dan mengapa dia seperti dikucilkan dan tidak pantas diberi penjelasan disini?
137.

.................

Wengi mengetuk pintu rumah bapak Ketut dengan cepat.

Ketukan kelima, pak Ketut membuka pintu, mengernyitkan dahinya ketika melihat Wengi bertamu tengah malam begini.
138.

"Ada apa nak?"

"Listrik saya mati pak" ujar Wengi dengan nafas yang ngos-ngosan. Dia tidak mau hidup dalam kegelapan—bagaimana kalau ada sesuatu? Seperti maling? Dan Wengi tidak bisa melihat jelas untuk melawan? Nah, seperti itu.
139.

"Kok bisa ya? Padahal listrik bapak hidup. Sini masuk dulu" ujar pak Ketut lalu menguap.

Pintu dibuka lebar, Wengi melangkah masuk tanpa segan.
140.

"Tunggu disini dulu ya nak, bapak mau cari senter" Bapak Ketut lantas masuk ke kamar yang berada di samping dapur.

Wengi sibuk memperhatikan seisi rumah bapak Ketut sampai mata cokelatnya memfokuskan pada kamar di sudut ruangan.
141.

Pintu itu terbuka sedikit, dan ada tangan putih pucat yang menyembul dari dalam— memegang sisi pintu, di dalam kamar itu begitu gelap sehingga Wengi tidak bisa melihat sampai ke dalam . Wengi terus memperhatikan sampai-
142.

'Blam!'

Wengi sedikit meloncat karena terkejut ketika pintu itu ditutup dengan keras.

'Apa itu meme Ketut ya?' batin Wengi.
143.

'Ah, mungkin memang meme Ketut' batin Wengi lagi, meyakinkan dirinya.

Beberapa saat kemudian, bapak Ketut keluar dari kamarnya dan membawa sebuah senter besar.
144.

"Ayo nak" bapak Ketut menuju pintu keluar, diikuti oleh Wengi. Namun sebelum Wengi benar-benar keluar, gadis itu melirik sekilas ke arah kamar di sudut ruangan.
145.

Matanya membulat ketika melihat bercak darah yang ada di depan pintu kamar itu.

'Padahal tadi tidak ada' batin Wengi, gadis itu lantas menggeleng sesaat.
146.

'Mungkin aku salah lihat' ujarnya dalam hati dan mengendikan kedua bahunya.
147.

.........................

Malam, pukul sebelas. Wengi tidak bisa tidur, beberapa kali dia memejamkan matanya, namun tidak bisa. Diperparah dengan suara ribut dari luar dan langkah kaki yang terdengar banyak dan terkesan buru-buru.
148.

Wengi segera bangkit dari kasurnya dan menuju jendela.

Gorden dibuka,

Wengi menyipitkan matanya ke arah jalanan.

Disana,
149.

Ada banyak orang yang berjalan, mereka membawa obor dan juga......sebuah peti yang diiring oleh warga itu.

"Ada orang meninggal ya" gumam Wengi, lalu dia kembali ke atas kasurnya, menggulung diri dengan selimut karena setiap malam pasti terasa dingin disini.
150.

Suara orang-orang itu sudah menghilang.

Wengi menutup matanya dan perlahan gadis itu masuk ke dalam dunia mimpi yang diinginkannya sejak tadi.

Jam bergulir,
151.

Tepatnya jam tiga pagi ketika gadis itu melirik ke arah jam yang ada di atas nakas.

Tenggorokannya terasa kering. Maka, gadis itu berjalan ke arah dapur, jari-jari lentik itu meraih gelas dan menuangkan air, lalu menenggak airnya perlahan.
152.

'BLUG'

Suara itu membuat Wengi menghentikan tegukan airnya dan menjauhkan gelas dari bibirnya yang basah.

'Tuk'

Wengi meletakan gelasnya di atas meja.
153.

'Gluduk-gluduk'

Samar-samar terdengar suara sesuatu yang menggelinding di belakang rumah.
154.

Wengi mendengus kasar, dirinya sebenarnya sudah muak karena diganggu hal seperti ini terus. Ketika dia bertanya, tidak ada kejelasan. Dia lelah, dia hanya ingin membantu di desa ini tapi kenapa ada gangguan seperti ini?
155.

Ditambah, orang-orang di desa ini seperti tertutup dan tidak peduli dengan apa yang dialaminya.

Maka,
156.

Wengi mengambil senter di atas meja makan, kaki-kaki jenjang itu melangkah ke arah pintu, tak lupa sebelum itu mengambil linggis yang terletak di samping pintu-
157.

-Entah mengapa linggis itu ada disana tidaklah penting bagi Wengi, yang penting sekarang adalah mencari tau apa yang menganggunya selama ini.
158.

Dengan nafas yang memburu. Bukan takut lagi yang menguasainya seperti hari kemarin, tapi amarah yang tiba-tiba meluap dalam dada setelah sekian lama diam dan bingung sendirian.
159.

Ceklek!

Pintu terbuka, mata cokelat itu berpedar ke segala arah. Hanya ada kabut dan pohon-pohon yang bergoyang. Tidak ada siapapun, bahkan anjing pun tidak ada yang lewat atau melolong seperti di hari sebelumnya.
160.

Wengi mengambil langkah panjang-panjang menuju ke belakang rumah.

Memeriksa setiap sudut pekarangan dengan senternya, sambil tangan kanannya memegang linggis erat-erat.
161.

Kabut tebal di dini hari membuat penglihatannya terganggu, namun untuk jarak dekat tidaklah masalah.

Sampai Wengi berada di belakang rumah, dia memeriksa pelan-pelan karena tenggorokannya mulai perih akibat udara dingin.
162.

Wengi menyipitkan matanya ketika melihat sebuah sumur yang dililit oleh tumbuhan bersulur. Katrolnya terlihat sudah karatan, di samping sumur ada sebuah ember pecah yang sudah lumutan.
163.

"Siapa yang ada disini? Tunjukan dirimu!!" Teriak Wengi di samping sumur tua itu.

'Kreeatt'

'Kreeoott'

Wengi segera mengarahkan senternya ke arah kanan, ternyata di belakang tembok rumah ini ada hutan bambu.
164.

"——Aku hanya membantu di desa ini, tidak ada maksud lain! Jadi jangan ganggu aku!" Teriak Wengi kembali, kepalang kesal dengan keadaannya.

'BLUG'

Suara itu kembali terdengar di belakangnya,
165.

Ketika menoleh ke belakang dengan gerakan patah-patah,

'Deg'

Mata cokelat Wengi melebar,

Seketika wajah gadis itu mendadak memucat.
Cerita 'Jeroan Matah Part 2' cicilannya akan dimulai tgl 5 Juni 2023. Bagi yg sudah penasaran utk PART 2, kalian bisa membcanya terlebih dahulu di; karyakarsa.com/yurahatake/jer…

-
Bgi yg blum baca dari awal, ini link 'Jeroan Matah Part 1':
PART 2
Mohon maaf karena tidak bisa up tanggal 5 Juni karena kesibukan in my real life yang tidak bisa ditinggalkan. Dan inilah PART 2 dari Kisah Jeraon Matah
.............
"——Aku hanya membantu di desa ini, tidak ada maksud lain! Jadi jangan ganggu aku!" Teriak Wengi kembali, kepalang kesal dengan keadaannya.

BLUG

Suara itu kembali terdengar di belakangnya,

Ketika menoleh ke belakang dengan gerakan patah-patah,
Deg

Mata cokelat Wengi melebar,

Seketika wajah gadis itu mendadak memucat.

Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakan.
Wengi terkejut karena tidak melihat apapun, dia hanya mendengar nafas dengan hembusan besar-besar. Sesekali menggeram.
Karena tidak bisa bergerak, Wengi melirik ke kanan dan ke kiri, ingin tau apa itu, namun sekali lagi tidak ada apapun.

Maka, gadis itu memejamkan matanya.

Berdoa dalam hati dengan memanjatkan mantram gayatri.
Tidak sampai lima menit, tubuh Wengi bisa bergerak kembali.

Nafas gadis itu tersengal naik dan turun, keringat membanjiri dahinya sampai turun ke pelipisnya.

Gadis itu masih saja berani untuk memeriksa segala sesuatu dengan senternya.
Sekarang hanya terasa sunyi yang mencekam.

Wengi tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan memanggil atau menantang sebuah entitas yang tidak ia ketahui wujudnya. Bukan bermaksud, jahat.
Tapi gadis itu hanya tidak ingin diganggu, sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya menerornya.
Suara-suara tadi sangat menyeramkan, namun itu tidak membuat Wengi gentar. Alih-alih lari setelah mengalami kejadian aneh, gadis itu kini mencoba mengarahkan senternya di dalam sumur.

Hanya gelap yang menguasai.

Maka,

Wengi hanya mendengus kasar.
"Jika mereka tetap menggangguku, aku tidak akan berhenti untuk mencari tau apa itu" gumam gadis itu, lalu pergi dari sumur itu, masuk ke dalam rumah.
Tidak Wengi ketahui, ada sebuah bercak darah segar yang mengelilingi sumur itu. Bercak yang menetes dari udara, dibawa oleh entitas misterius yang sedang mencari mangsa.
.........................
Disinilah Wengi duduk sekarang,

Di kursi kayu, teras rumah bapak Ketut dengan cahaya matahari lembut.

Secangkir kopi manis digenggam oleh jari-jari lentiknya.
"Meme Ketut, ibi ade nak ngalain nggih?"   (Meme Ketut, kemarin ada orang meninggal ya?) Tanya Wengi, sambil memperhatikan mata meme Wengi yang mengarah pada sebuah pohon besar di depan pagar rumahnya.
"Nak ngalain? Nyen ngorang?"       (Orang meninggal? Siapa yang bilang?) Meme Ketut langsung menghadap Wengi dengan satu alisnya yang terangkat naik.
"Nggih, ibi tiang nepuk ade nak  ajake liu ngabe peti bangke jam solas peteng ne, mai kelod lakune"  (Iya, kemarin saya melihat ada orang-orang yang membawa sebuah peti mayat jam sebelas malam, mereka berjalan ke arah selatan) Jelas Wengi, mencoba menceritakan apa-
yang dia lihat kemarin malam.

Wengi mengerutkan kedua alisnya ketika melihat meme Ketut menatap tajam pada dirinya.
"Yen ade nak mati, pasti be bapak Ketut ajak tiang nawang. Bapak Ketut nak kepala adat driki"   ( Kalau ada orang meninggal, pasti bapak Ketut dan saya tahu. Bapak Ketut kan kepala adat disini) jelas Meme Ketut. Sontak saja membuat Wengi menahan nafasnya sesaat.
"Terus, apa ane tingalin tiang ibi to me Ketut?" (Terus, apa yang saya lihat kemarin itu Me Ketut?) jawab Wengi, balas menatap tajam ke arah meme Ketut.

"Wong Samar "    Jawab meme Ketut dengan suara pelan, tepatnya bisikan
Wengi tau apa itu Wong Samar  , menurut masyarakat Bali, Wong Samar adalah makhluk yang mirip dengan manusia, hanya saja mereka tidak memiliki lekukan di atas bibir. Makhluk ini juga konon menjalani kehidupan seperti manusia, mereka bekerja, memiliki keluarga dan lain sebagainya Image
Hanya saja, makhluk ini tidak bisa dilihat oleh orang awam. Atau mereka bisa menampakan dirinya jika mereka berkenan.
Meme Ketut terdiam seribu bahasa, membuat Wengi merasa tidak nyaman.

'Lihat, dia mendiamiku lagi. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan atau tabu untuk dibicakan' gumam Wengi dalam hati.
"Eh, bu Wengi! Sudah makan?" Teriak bapak Ketut yang sedang membuka gerbang. Sepertinya pria tua itu baru datang dari suatu tempat.

"Sudah pak" ucap Wengi sambil melempar senyum.
"Kamu tau? Ada ternak yang mati lagi, jeroannya hilang. Aneh sekali.  Kalau ini memang hewan buas kenapa dia tidak makan bagian tubuh yang lain?" Bapak Ketut menggaruk-garuk rambutnya yang penuh uban. Wajahnya menekuk—penuh dengan kegelisahan.
"Sudah ada lima kambing dan empat sapi yang mati seperti itu" lanjut Bapak Ketut.
"Oh ya, jangan takut ya bu Wengi, itu terjadi pada hewan ternak saja" ujar Bapak Ketut, membuat Wengi mengangguk, namun ada rasa penasaran yang mendalam dalam hati gadis itu.

Wengi kemudian pamit pulang kepada bapak dan meme Ketut.
"Antiang malu ning!" (Tunggu dulu nak!) teriak meme Ketut, membuat Wengi menghentikan langkahnya.
"Ning, sing maan ngaturang canang di tugu lan depan umah e diselat rurung?" (Nak, tidakkah kamu pernah menghturkan canang di tugu dan dpn rumh di seberang jalan?) Tanya meme Ketut, rumah yang dimaksudkan oleh meme Ketut adalah rumah yang dijadikan puskesmas sementara oleh Wengi.
*Secara umum, Canang adalah upakara keagamaan umat Hindu di Bali yang digunakan untuk persembahan. Biasanya terbuat dari janur yang dibentuk kotak atau bulat-
lalu isiannya adalah; yang paling bawah bernama porosan yaitu gabungan dari;(potongan daun, potongan daun sirih dan kapur sirih), lalu di atasnya dihiasi dengan bunga dan juga wadah lengis (potongan janur kecil)* Image
Wengi hanya menggeleng, iya dia tidak pernah menghaturkan canang sedari dia sampai disini. Sementara meme Ketut menghela nafas pelan.

"Mai ning, si baang Canang" (Kesini nak, akan kuberikan Canang) Meme Ketut kemudian masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Wengi di belakangnya.
Wanita tua masuk ke dalam dapur, sedangkan Wengi berdiri di tengah-tengah ruang tamu. Mata cokelatnya berpedar ke segala penjuru arah.
Dan perhatiannya kali ini terpusat pada sebuah kamar di sudut ruangan. Pintunya terbuka sedikit.
Wengi menyipitkan matanya, dia melihat untaian rambut panjang mencapai lantai di sela pintu itu, lalu detik berikutnya, rambut itu tertarik ke dalam kamar yang sepertinya gelap. Kamar itu lagi.
Wengi lantas menyusul ke dalam dapur. gadis itu melihat wanita tua sedang memasukan beberapa canang ke dalam tas kresek berwarna kuning.

"Meme Ketut kude ngelah panak?" (Meme Ketut berapa punya anak?) tanya Wengi.
"Tah a besik. Panak muani, lakone be luwas ngalih gae ke Badung" ( cuma satu. Nak muani, tapi sudah pergi bekerja ke kota Badung) Jawab meme Ketut sambil menyerahkan tas kresek itu kepada Wengi.
Alih-alih mengambil tas kresek yang disodorkan, Wengi malah berdiam diri seperti patung, menatap tas kresek kuning yang digoyang-goyangkan oleh meme Ketut.

"Ning?" (Nak?) Meme Ketut menautkan kedua alisnya.
"O-o-nggih, suksme meme Ketut" (O-o-ya, terimakasi meme Ketut) Wengi menggelengkan kepalanya sekilas lalu segera mengambil tas kresek yang berada di meme Ketut, lalu gadis itu cepat-cepat keluar dari rumah meme Ketut.
Wengi menyebrang jalan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri.

"Mereka punya satu anak laki-laki? Hm, mungkin itu anggota keluarganya yang lain? " gumam Wengi.

-Bersambung-
Suksma pada kalian yang sudah baca sampai disini. Untuk part akhir dari Jeroan Matah ini tersedia di Karyakarsa. Tidak dilanjut di thread twitter lagi. Jka kalian berkenan dan pengen tau lanjutan ceritanya sampai akhir silakan langsung ke Karyakarsa:

karyakarsa.com/yurahatake/jer…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Falisha C.

Falisha C. Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @falishachandini

Dec 3, 2023
PERMAINAN HANTU PALING MENYERAMKAN ALA JEPANG

—mainkanlah permainan ini jika ingin malapetaka segera menghampirimu

Ijin tag dan mohon bantu rt🙏
@bacahorror
@bagihorror
@qwertyping
@IDN_Horor
@ceritaht
@HorrorTweetID Image
1. Satoru-kun

Satoru-kun adalah roh atau hantu yang dideskripsikan dalam wujud anak laki-laki.

Konon, Satoru-kun ini tau perihal masa lalu, masa sekarang dan juga masa depan, dia juga memiliki semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kita lemparkan. Image
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh jika kamu ingin memainkan permainan ini. Tapi jangan sekalipun coba-coba atau nekat! Ini berbahaya! Don't try at everywhere! Tapi jika kalian masih sangat ingin mencoba, itu tanggung jawab kalian sendiri!
Read 45 tweets
Oct 5, 2023
#creepypasta

[ TEROR DI KAMPUS ]

—hari itu, para mahasiswa dan mahasiswi yang tadinya berisik sekali ketika aku mengajar, tiba-tiba mendadak mereka menjadi diam dengan wajah pucat.

@bacahorror
@IDN_Horor
@P_C_HORROR
#bacahorror Image
Aku mengajar di sebuah kampus yang cukup elit dan terkenal. Aku seorang dosen wanita, mengajar pada fakultas hukum yang ilmunya aku tekuni selama bertahun-tahun.
Aku sungguh senang mengajar disini, sampai suatu ketika ada sebuah kasus yang menggemparkan kampus ini. Bagaimana tidak? Ada seorang pembunuh gila yang kemudian membunuh beberapa orang yang kebetulan lewat di kampus ini.
Read 23 tweets
Sep 27, 2023
#creepypasta

[ RESIGN ]

—satu persatu rekanku mengundurkan diri, sementara aku berusaha bertahan untuk mencari tau kenapa hampir semua rekanku mengundurkan diri

@bacahorror
@IDN_Horor
@P_C_HORROR
#bacahorror Image
Aku baru bekerja sekitar dua bulan di sebuah kafe yang sangat cantik. Perabotan dan hiasan, bahkan dindingnya juga terbuat dari kayu. Ditambah lampion-lampion kuning yang menggantung di atas setiap meja.
Kafe ini sangat sepi walau letaknya di tengah kota. Aku berpikir, mungkin kafe ini sepi karena semua harga makanan dan minumannya jauh di atas kafe biasanya. Tentu saja mahal, bahan bakunya langsung berasal dari luar negeri dengan kualitas premium.
Read 26 tweets
Aug 26, 2023
[ API PADA DINI HARI ]

—Kisah nyata horor yang terjadi sekitar tahun 2013, di Bali.

@bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor @P_C_HORROR @Penikmathorror #bacahorror Image
...........................

Kisah nyata yang terjadi sekitar tahun 2013, di Bali.

.................
Sebut saja Rika. Gadis yang masih SMP itu baru saja pulang dari sekolahnya siang itu, namun ketika dalam perjalanan pulang sambil menaiki sepeda motornya, gadis itu melihat kerumunan warga di sebuah ladang jeruk, ada juga mobil polisi yang terparkir disana.
Read 24 tweets
Aug 10, 2023
[ DI BALIK HUTAN BAMBU ]

—kisah nyata horor, Bali.

Tentang siapa yang membuat motor Tuti mati.

@bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor @Penikmathorror #bacahorror Image
Kisah nyata horor yang dialami baru-baru ini oleh temanku, sebut saja namanya Tuti.

.....................
Tuti adalah anak perempuan yang tomboi. Dari rambutnya yang dicukur laki, kaos, celana, kamar yang penuh dengan botol beer dan sebuah gitar yang menggantung di dinding kamarnya yang bercat putih, cara jalannya pun seperti laki-laki. Dan teman-temannya pun dominan pria
Read 26 tweets
Jul 24, 2023
[ DIA BUKAN SUAMIKU ]

—Terinspirasi dari kisah nyata kakek Made; Bali, sekitaran tahun 1974.

"Black magic yang berhasil menggemparkan seluruh warga desa"

@bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor @Penikmathorror #bacahorror Image
...................

Terinspirasi dari kisah nyata yang dialami kakek Made: Bali, sekitar tahun 1974. [detail tempat dan identitas dirahasiakan demi keamanan narasumber]
.......................
Televisi tabung berwarna hitam putih, menyala. Memutar drama bahasa Bali dengan seorang lelaki memakai bedak dan lipstik, kemudian lelaki lainnya memakai topeng kayu dengan pahatan ekspresi sedih.
Read 26 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(