Kurebahkan diri pada lantai kayu beralaskan tikar jerami. Meski terasa kurang nyaman, namun sudah cukup bagiku untuk jadi alas tidur malam ini.
Sebentar mataku menerawang menatap atap rumah rumbia tanpa langit-langit. Aku masih tak percaya dengan apa yang kualami hari ini.
Baru tadi siang diriku ada dalam sebuah pesta yang meriah, kini malah terdampar di sebuah tempat asing sambil berbaring dalam gelap. Luar biasa...
Tapi lagi-lagi diriku merasa dikelilingi hawa yang tak biasa. Membuatku jadi tak nyaman, hingga enggan memejamkan mata meski mulai mengantuk.
Ingin rasanya aku bersemedi membuka mata batin demi mencari tau. Jujur saja, sama seperti di hutan tadi, tempat ini pun terasa janggal.
Bukan hanya karena suasananya yang gelap dan dingin. Tapi sesuatu yang lebih dari itu.
Tempat ini terasa hampa. Seolah tak ada hawa kehidupan layaknya tempat-tempat yang biasa didiami manusia
Tapi aku tak mau keluarga ini jadi punya pikiran yang tidak-tidak bila melihatku bersemedi di dalam rumah mereka. Demi menjaga etika, tentu saja aku harus meminta ijin lebih dulu bila ingin melakukannya.
AAAAUUUUUU...
Aku terperanjat saat mendengar suara lolongan panjang di kejauhan. Apakah itu anjing yang tadi?
Batinku sibuk menduga-duga. Tapi kemudian terdengar kembali suara lolongan panjang yang kini terasa dekat dan saling bersahut-sahutan!
AAAAUUUUUU...
AAAAUUUUUU...
Ya Allah! Anjing itu lebih dari satu? Apa mungkin dia datang bersama kawanannya? Gawat! Kampung ini dalam bahaya!
Aku bergegas hendak mencari tau. Tapi tiba-tiba sang bapak muncul dari dalam kamar.
"Mau kemana nak?"
"Apa bapak dengar suara itu? Sepertinya ada kawanan anjing hutan yang hendak masuk ke kampung ini." Jawabku coba menjelaskan.
"Nggak apa-apa nak. Sudah biasa. Selama kita ada di dalam rumah, semuanya akan baik-baik saja." Jawab sang bapak.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasannya. Meski diriku masih tertantang untuk mencari kebenarannya, namun aku tak bisa memaksa. Lagipula aku hanya tamu di rumah ini. Tak mungkin aku bertindak sesuka hati.
Lolongan anjing itu masih terus bersahutan di luar sana. Suaranya mampu menggetarkan nyali bagi siapa pun yang mendengarnya.
Tapi sang bapak seperti tak terganggu apalagi takut. Hingga akhirnya terdengar suara menggelegar bagai petir yang membahana..
BLAAAARRR!
BLAAAARRR!
Kali ini raut wajah sang bapak langsung berubah. Sudah jelas nyalinya ciut. Terlihat dari wajahnya yang pucat namun dia coba menyembunyikannya dariku.
Lalu muncul sang ibu dari dalam kamar dengan wajah yang tak kalah ketakutan.
"Pak.. Aku takut pak." Keluh wanita itu sambil mendekat merapat ke arah suaminya.
"Jangan takut. Kamu masuk saja ke dalam kamar. Jaga Sumi. Jangan sampai dia terbangun lalu ikut panik." Jawab sang bapak coba menenangkan istrinya. Sang ibu pun menuruti permintaan suaminya.
"Apakah hal ini sering terjadi pak?" Tanyaku pada sang bapak.
"Iya nak. Bila purnama tiba, si iblis penunggang kuda sering muncul untuk mencari mangsa."
"Lalu anjing-anjing itu? Apakah mereka peliharaan dari si penunggang kuda? Jujur saja, saat tadi saya bertemu anjing itu, saya merasa kalau itu bukan anjing biasa."
Sang bapak tak langsung menjawab. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Akhinya dia menjawab meski terdengar kurang meyakinkan.
"I-iya nak. Anjing-anjing itu memang peliharaan dari iblis itu."
Lalu tak lama, suara lolongan anjing pun menghilang. Suara gelegar dari cambuk si iblis pun tak terdengar lagi. Sang bapak lalu kembali ke kamarnya meninggalkanku sendirian.
Aku pun kembali merebahkan diri. Namun belum sempat mataku terpejam, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu dari luar sambil memanggil-manggil.
"Wooon! Kliwooon! Buka pintunya!"
Aku terkejut. Apa lagi ini? Sang bapak nampak tergesa-gesa keluar dari dalam kamar diiringi sang ibu yang mengekor di belakangnya.
Klek..
Pintu pun dibuka. Ada lelaki bertubuh tinggi besar berkulit hitam legam, dengan jambang serta kumis yang lebat, berdiri sambil bertolak pinggang di depan pintu. Wajahnya nampak sangar penuh emosi.
"Ada orang lain di rumahmu?" Tanya lelaki itu pada sang bapak dengan nada suara yang terdengar marah lalu melirik ke arahku dengan lirikan mata yang tak bersahabat.
"I-iya Kang." Jawab sang bapak terlihat gugup.
"Kenapa kamu tidak bilang padaku?" Tanya lelaki sangar itu lagi.
"Ma-maaf Kang. Dia telah menolong Sumi. Saya ijinkan dia untuk menginap malam ini. Besok pagi dia akan pergi." Sahut sang bapak sambil menunduk.
Si lelaki sangar nampak tak suka mendengarnya. Dia kembali berucap sambil melotot.
"Hmm.. Sudah kubilang, anakmu itu hanya akan membawa masalah. Kalau saja kamu bukan adikku, sejak dulu sudah kuusir anak itu. Sekarang dia malah bawa orang asing datang kemari. Aku tak mau tau, cepat kamu usir pemuda itu. Kalau tidak..
"Kalau tidak memangnya kenapa? Kak Yudha ini sudah menolong Sumi! Jangan seenaknya usir dia!" Sahut Sumi yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar lalu berdiri di dekatku coba membela. Dia terlihat tak suka dengan permintaan lelaki itu.
"Heh bocah ingusan! Berani sekali kamu bicara seperti itu? Kalau saja bukan karena bapakmu ini, sudah kuhabisi kamu!" Sahut lelaki itu tak kalah garang.
"Sabar kang.. Sabar.. Jangan marahi Sumi. Semua ini salah saya." Cegah sang bapak coba pasang badan demi melindungi putrinya.
"Pokoknya aku nggak mau tau! Malam ini juga, orang itu harus minggat dari sini!" Teriak lelaki sangar itu sambil menunjuk-nunjuk ke arahku lalu berbalik pergi.
Aku yang merasa jadi sumber pertengkaran, jadi merasa tak enak. Akhirnya kuputuskan untuk pergi dari tempat ini.
"Maafkan kalau kehadiran saya menimbulkan masalah. Lebih baik sekarang saya pamit."
Namun Sumi nampak tak setuju dengan keputusanku dan coba mencegah kepergianku.
"Jangan kak! Jangan pergi! Kalau nanti ada apa-apa bagaimana? Pak, kenapa bapak diam saja sih? Kenapa di kampung ini tak ada yang berani dengan paman Suro?"
"Sumi! Jaga bicaramu! Kakang Suro Keling itu kakakku. Dia pemimpin di kampung ini. Selama ini dia yang menjaga kita dari segala marabahaya, termasuk dari iblis penunggang kuda itu. Kita semua berhutang budi padanya." Sanggah sang bapak.
Aku pun tak tinggal diam coba menengahi. "Nggak apa-apa Sum. Insya Allah saya akan baik-baik saja. Kamu jangan melawan bapakmu ya? Dia itu orang tuamu. Kamu harus nurut apa kata beliau."
"Maafkan kami nak Yudha. Bukan maksud kami mengusir atau tak tau balas budi. Tapi kami tak berani membantah perintah kakang Suro Keling." Ucap sang bapak.
"Nggak apa-apa pak. Saya mengerti. Terima kasih telah mengijinkan saya untuk beristirahat walau sebentar. Sekarang saya pamit dulu. Maafkan saya kalau sudah menimbulkan keributan."
Aku pun segera pergi diiringi tatapan mata tak ikhlas dari Sumi. Gadis remaja itu nampak kecewa. Tapi aku tak punya pilihan lain. Demi kebaikan bersama, aku memang harus pergi dari sini.
Aku melangkah kembali masuk ke dalam hutan. Sungguh sial hari ini. Sudah motorku mogok, sekarang malah diusir dari kampung orang.
Namun setelah beberapa lama ada di dalam hutan, aku kesulitan untuk menentukan arah. Sejak tadi aku seperti berputar-putar saja. Padahal aku masih ingat jalannya. Ada apa ini?
Lalu kuputuskan untuk bersemedi demi membuka mata batin. Aku yakin ada yang tak beres dengan tempat ini. Sejak tadi aku penasaran ingin tau kebenarannya.
Kuambil posisi duduk bersila. Memejamkan mata, memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Tapi mendadak terdengar suara kuda yang meringkik persis di depanku.
Segera kubuka mata, dan langsung terperangah! Astaga!
Kkiiiiiikkk! Kkiiiiiikkk!
Tepat di hadapanku, ada sosok menakutkan yang menunggangi kuda hitam nan besar yang berjingkrak-jingkrak!
Sosoknya begitu menyeramkan! Matanya menyala terang. Tubuhnya yang berupa tulang kerangka memakai jubah yang mengobarkan nyala api, membawa sebuah cambuk dengan api yang menjilat-jilat, membuatnya seolah sedang menggenggam halilintar!
-----bersambung-----
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ninik terbangun saat mendengar adzan Subuh berkumandang. Dia kaget mendapati dirinya tidur di ranjang berhiaskan bunga-bunga bersama seorang lelaki yang berbaring di sampingnya.
Samsuri termenung, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Lantunan ayat suci dari para jamaah pengajian di sekitarnya seolah terdengar sayup dan jauh. Dia memang membaur, tapi seperti ada di tempat lain.
Malam sudah larut, tapi Samsuri masih merenung. Pikirannya ruwet, kepalanya mumet. Bukan masalah hutang, apalagi kekurangan uang, tapi masalah Harso yang sudah berkali-kali merongrong dengan berbagai macam alasan.