kalong Profile picture
Dec 25 69 tweets 9 min read Read on X
M4TI DALAM RAJUTAN KAIN KAFAN
-athread-

“Satu-satu... aku santet bunda..”
“Dua-dua...aku santet ayah..”
“Tiga-tiga... santet kakek nenek...”
“Satu-dua-tiga...aku bahagia.....”

#bacahorror #rambutkafan #rambutpembawamaut
Image
Image
Sebuah kisah tentang seorang anak yang membantai satu keluarga dalam semalam.

“Satu-satu... aku santet bunda..”
“Dua-dua...aku santet ayah..”
“Tiga-tiga... santet kakek nenek...”
“Satu-dua-tiga...aku bahagia.....”
Begitulah nyanyian yang sering Risma nyanyikan ketika sedang merajut boneka kafan. Hal itu setidaknya mampu membuatnya sedikit tenang.
“Nduk, makannya sudah siap. Yuk, makan dulu...” panggil Ratna dari ruang makan. Tapi tak ada sahutan dari anaknya. Ratna lalu meninggalkan ruang makan, mencari anaknya di kamar. Agar lauk yang baru saja ia goreng masih hangat ketika di makan.
Ratna sampai di depan pintu kamar, ia mengetuk sebelum membukanya.

“Lagi bikin apa, nduk?” tanya Ratna. Ia berdiri di belakang anaknya yang sedang duduk di kursi jahit. Sang anak diam saja, tak menanggapi pertanyaan ibunya.
“Ibuk udah goreng lauknya. Yuk makan dulu. Keburu dingin nanti.” Lanjutnya sembari menunduk di samping anaknya, menatapnya teduh.

Risma, anak perempuan satu-satunya, ia lalu menoleh ke arah Ratna, tersenyum damai. “Sebentar lagi ya, buk. ini sudah mau selesai.”
Ratna menoleh ke arah tangan Risma, di sana, Risma sedang merajut kain kafan putih yang hampir jadi. Rajutan itu membentuk sebuah boneka kecil. Ratna tahu, bahkan masih mengingatnya dengan jelas.
Bagaimana Hasan, suaminya Ratna sekaligus bapaknya Risma, tega meninggalkan Ratna dan Risma demi wanita lain. Hal itu juga di dukung oleh orang tua Hasan yang lebih memilih wanita itu ketimbang Ratna dan Risma.
Semenjak di tinggal bapaknya, Risma menjadi lebih pendiam. Setiap hari kesibukannya hanya merajut kain kafan itu membentuk boneka. Ratna menghitungnya, ada sekitar 4 rajutan boneka kafan yang sudah jadi termasuk yang sedang ia lihat.
“Ibuk tungguin ya.” Ucap Ratna sembari menarik kursi kayu, ia lalu duduk di samping anaknya.

Tak lama setelah itu, Risma bangkit, ia berjalan ke arah lemari kayu yang ada di sebelah meja jahit, membukanya dan meletakkan rajutan boneka kafan itu di dalam lemari.
Sebelum beranjak, Risma menatap barisan boneka kafan sembari berucap lirih.
“Aku benci sama kalian semua!”

********
Malam itu sepulang jam kerja, bertepatan dengan malam selasa kliwon, jalanan terlihat sepi dan lenggang. Tepat setelah belokan kedua dan memasuki jalanan corblok, sepeda motor itu melaju dengan perlahan.
Sesampainya di ujung jalan, motor itu baru berhenti dan di parkirkan di halaman rumah tak seberapa luas.

Risma turun dan berjalan ke arah pintu, mengetuknya dan menunggu pemilik rumah membukanya. Tak lama, pintu dibuka, muncul seraut wajah keriput, Risma masuk ke dalam.
“Duduk dulu, nduk.” ucap lelaki tua yang Risma kenal dengan nama mbah Darmo.

Risma lalu duduk di karpet warna merah, ia menghadap ke arah Mbah Darmo dengan jarak satu meja kecil berisi taburan kembang warna-warni dan kepulan asap kemenyan.
Tak ada raut ketakutan di wajah Risma, malah yang ada di pikirannya saat itu, bagaimana caranya mempercepat ritual ini, agar semuanya selesai.

“Apa kamu sudah yakin?” tanya mbah Darmo memastikan.

Risma mengangguk.
“Syaratnya sudah kamu bawa semua, nduk?” lanjut mbah Darmo.
Risma membuka tas ransel, mengeluarkan rajutan boneka kafan, foto cetak dan empat helai rambut. Lalu di sambut dengan anggukan kepala mbah Darmo.

Mbah Darmo menatap tajam ke arah Risma. “Mbah tanya sekali lagi. Apa kamu bener-bener ikhlas?”
“Saya sudah ndak peduli lagi sama mereka, mbah. Yang penting mereka mati, itu sudah adil buat saya dan ibuk saya.” Jawab Risma dengan mantap.

Mbah Darmo menatap sekali lagi ke arah Risma. Ia bisa merasakan beban berat yg di rasakan oleh Risma.
Hidupnya hancur berantakan, cinta pertamanya terhadap seorang bapak musnah karena orang ketiga. Apalagi kakek dan neneknya mendukung untuk menyengsarakan cucu dan menantunya. Itu benar-benar tidak adil, gumam Risma.

“Simbah ada dua pilihan, nduk...” ucap mbah Darmo.
“Apa itu, mbah?” Risma balik bertanya dengan dahi berkerut, penasaran.

“Pilihan pertama, biarkan jin prewanganku yang mengeksekusi. Atau pilihan kedua, dengan pinjam sukmamu dan kamu sendiri yang akan mengeksekusi.”
Risma diam sejenak. Berpikir, mana yang lebih baik di antara dua pilihan itu. Tapi setelah itu, Risma menggeleng.

“Saya punya cara sendiri, mbah.”
Seakan tahu apa yang sedang di pikirkan Risma, mbah Darmo mengangguk paham. “Baiklah kalo itu maumu. Akan simbah kabulkan.”

“Kalo begitu, mari ikut simbah. Malam ini ritual basuh raga.” Ujar mbah Darmo sekaligus menutup perbincangan malam itu.
Risma bangkit dan berjalan mengikuti mbah Darmo. Sesampainya di belakang, di sebuah pondok kecil berdinding anyaman bambu, yang di dalamnya terdapat sebuah gentong berukuran besar, Risma sejenak tertegun.
Ada rasa sedikit takut ketika mbah Darmo memberi penjelasan tentang ritual yang harus Risma jalani. Tapi setelah berpikir kembali tentang pilihannya sendiri, Risma melangkah maju.

“Sudah siap, nduk?” tanya mbah Darmo pelan, namun sempat membuat Risma sedikit terkejut.
Tak ada jawaban, tapi dari anggukan Risma, sudah cukup untuk mengisyaratkan mbah Darmo.

Perlahan, diiringi oleh suara nyanyian serangga malam, Risma melepas satu persatu pakaiannya.
Dingin begitu menusuk tulang, saat guyuran demi guyuran air bertabur kembang membasahi kulit Risma. Matanya terpejam, bibirnya bergetar, mengikuti kalimat-kalimat mantra yang di ucapkan mbah Darmo dari luar bilik.
Tak lama, setelah selesai bergumam membaca mantra, Risma merasakan ada sapuan angin menerpa wajahnya.

“Bersiaplah, nduk. sebentar lagi yang akan membantumu datang.”

Tak lebih dari satu menit, satu hempasan angin beraroma kembang seketika mengejutkan Risma.
Tubuhnya terasa panas, kaku dan sesak. Tapi tak lama, Risma mendengar suara gemerincing bersambut alunan gamelan, membuat tubuhnya bergerak mengikuti.

Risma sadar, jika apa yang tengah ia lakukan, bukan kehendaknya, melainkan ada energi lain yg menggerakkan tubuhnya.
Risma menari, ia terus berlenggak lenggok, sampai akhirnya tubuh Risma terdiam ketika bersamaan suara gamelan itu berhenti.

“Nduk, sudah selesai. Pakai lagi pakaianmu, dan ikut simbah ke depan.” ucap mbah Darmo dari luar bilik.

***
“Mulai sekarang sudah ada yang membantumu. Khodam itu akan melakukan apa pun yang kamu suruh, nduk.” kata mbah Darmo sembari menjulurkan tangannya, memberikan sebuah kotak kayu pada Risma.
“Ini apa, mbah?” tanya Risma sembari perlahan membuka kotak kayu pemberian mbah Darmo.

“Itu isinya rajutan boneka kafan yang sudah simbah bacain mantra. Kamu sudah paham, nduk, cara pakainya?” tanya mbah Darmo.
Risma mengangguk. Mudah saja, seperti pada film-film horor yang pernah ia lihat, tinggal tusuk pakai paku pada boneka kafan itu. pikirnya. Di barengi dengan anggukan kepala mbah Darmo, mengiyakan apa yang sedang Risma pikirkan.
Risma sudah punya caranya sendiri untuk mengakhiri, tinggal tunggu mainnya saja.

“Sekarang pulanglah.” Suara berat mbah Darmo akhirnya membuat Risma bangkit dan berpamitan sebelum akhirnya berlalu pergi.
Satu keanehan seketika di rasakan Risma, manakala ketika ia keluar dari rumah mbah Darmo, Risma mendadak merasakan ada energi besar yang membuatnya ketakutan.
Sebab ia tahu betul, jika di sekitar tempat itu, mendadak di penuhi oleh sosok-sosok terbungkus kain kafan berjumlah puluhan, yang sedang melayang-layang di atas rumah mbah Darmo.
Tak hanya itu saja, hilir mudik dari beberapa sosok layaknya sebuah perkampungan, semakin membuat Risma ketakutan. Buru-buru Risma menghidupkan motornya dan segera menarik tuas gas, meninggalkan pekarangan rumah mbah Darmo.
Sampai tiba di ujung jalan, lagi-lagi Risma di kejutkan oleh satu pemandangan menakutkan. Di mana, tepat di depannya, puluhan sosok wanita dan lelaki berpakaian compang-camping, berbaris di bawah pohon.
Risma yang sudah di penuhi rasa takut, terus melajukan motornya, ia tak berani menoleh apalagi berbalik. Seumur hidupnya, Risma belum pernah merasakan setakut ini, sampai membuat tubuhnya seolah mati rasa.

“Dari mana, nduk? kok jam segini baru pulang?”
Pertanyaan itu pertama kali Risma dengar sesaat setelah ia masuk ke dalam rumah. Risma terdiam di ambang pintu, ia berpikir, alasan apa yang logis untuk menjawab pertanyaan ibunya.
“Nduk, ibuk tahu kamu masih dendam sama bapakmu, tapi mbok ya ibuk di kabarin kalo kamu pulangnya telat. Ibuk khawatir kamu kenapa-napa.”

“Iya buk, maafin Risma. Risma mandi dulu, buk.” Jawab Risma langsung nyelonong masuk ke dalam kamar.
Ratna terdiam, bukan karena ucapannya, melainkan ada satu hawa aneh yang ia rasakan dari tubuh anaknya. Pandangannya mengikuti gerakan Risma. Wajah Risma yang pagi tadi terlihat murung, kini tampak senang.
Sesampainya di kamar, Risma buru-buru menyimpan kotak kayu pemberian mbah Darmo ke dalam lemari baju. Namun baru saja berbalik dari lemari, tepat di depannya, Risma sejenak berdiri mematung.
Kepalanya perlahan di angkat, tubuhnya gemetar, pandangannya menatap lurus pada makhluk kurus jangkung bungkuk yang telah berdiri di hadapannya.

“Nduk, ojo pisan-pisan nyalahi aturan! Nek ora pingin nyawamu dadi gantine!”
(Nduk, jangan sekali-kali menyalahi aturan! Kalau tidak mau nyawamu yang menjadi gantinya)

“Ini jadi pengingatmu!” ujar kembali sosok itu sebelum menghilang.
Risma cepat-cepat menuju kasur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Berharap cepat terlelap dan bangun keesokan paginya untuk segera melanjutkan misinya.

***
Di sebuah rumah bertingkat dua, keluarga Hasan sedang duduk bersama menikmati pergantian malam di ruang keluarga. Mereka tertawa bersama saling berbagi cerita sembari menonton televisi.
Tak lama dari itu, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Hasan bangkit dan berjalan menuju pintu depan untuk membukanya. Terjadi jeda beberapa detik ketika Hasan melihat ternyata tamu yang datang adalah Risma, anaknya.
Mereka berdua saling menatap. Ada rasa canggung di antara keduanya.

“Siapa mas yang datang?” terdengar suara perempuan dari dalam. Salma, istri kedua Hasan. Bertanya memastikan.

Tak ada jawaban dari Hasan, Salma pun bangkit dan menyusul suaminya.
“Loh ada Risma. Kok ndak di suruh masuk to, mas.” Ucap Salma menyerobot, “Gimana to mas Hasan ini,” lanjutnya sembari menarik pelan lengan Risma, mempersilahkan masuk.

Di dalam rumah, Risma duduk di ruang tamu. Hasan, Salma dan Risma, mereka mengobrol panjang lebar.
Tak lama setelah itu, Narti, orang tua Hasan atau mertua Salma, muncul dari ruangan lain dan menyuruh mereka semua untuk makan malam. Risma berkata dalam hati, sebentar lagi... sebentar lagi tujuannya akan tercapai!
Di meja makan persegi panjang, sudah tersedia banyak sekali makanan. Mereka duduk saling berhadapan kecuali Risma, ia duduk tepat di ujung. Pemandangan yang begitu sempurna untuk Risma.

“Sudah, sudah ngobrolnya. Sekarang kita makan dulu.” Ujar Hasan mempersilahkan.
Mereka lalu mengambil makanan. Sedangkan Risma, ia menatap mereka berempat bergantian sambil menyunggingkan senyumnya.

“Makan yang kenyang, biar mati kalian tidak kelaparan!” batin Risma dalam hati.
“Loh, Risma kok ndak makan?” tanya Salma mengejutkan. Risma mengangguk lalu mengambil beberapa lauk.

Tak lama setelah itu, ketika mereka masih duduk di ruang makan sambil bercerita satu sama lain, Risma menantikan momen ini.
Momen saat-saat terakhir mereka bersenang-senang dahulu, lalu mati kemudian.

Bibir Risma komat-kamit, membaca mantra pengikat sukma. Sedetik kemudian, Hasan, Salma dan kedua orang tuanya mendadak membeku diam. Namun mata mereka masih bisa bergerak.
Risma tersenyum. Ia lalu mengeluarkan kotak kayu yang sedari tadi ia bawa, meletakkan di atas meja dan mengeluarkan rajutan boneka kafan. Risma lalu bangkit dari duduk, membenarkan posisi duduk mereka berempat menghadap ke arah Risma.
“Siapa dulu yang mau mati?” tanya Risma sesaat setelah kembali duduk di kursinya. Seketika tatapan tajam mengarah ke arah Risma. Mereka semua melotot, meronta, berusaha bicara namun tak bisa, hanya suara gumaman yang terdengar.

Sambil menari, Risma menyanyikan lagu ini.
“Satu-satu... aku santet Salma..”
“Dua-dua...aku santet Hasan..”
“Tiga-tiga... santet tua bangka...”
“Satu-dua-tiga...aku bahagia.....”

Risma benar-benar seperti orang gila.
Risma lalu memandang rajutan boneka kafan itu, mencari sebuah nama. Salma! Ya, Salma menjadi korban pertamanya. Risma mengambil keris berukuran kecil yang ada di dalam kotak kayu, dan menggesek-gesekkan pada boneka kafan Salma.
Di sana, Salma menangis namun hanya gumaman yang terdengar. Sementara Risma, ia tertawa terbahak-bahak.

“Sabar... sabar, belum waktunya kamu mati, Salma! Aku masih mau bermain dulu.”
Pertama-tama Risma melantunkan syair lagu pada bait pertama, Satu-satu... aku santet Salma..

Lalu menggores boneka kafan itu mulai dari leher, kemudian lengan dan perut. Bersamaan dengan itu, darah keluar sesuai dengan apa yang di lakukan Risma.
Salma semakin menggerung kesakitan. Berkali-kali mencoba meronta namun tetap saja Salma mematung di tempat duduknya. Kemudian dengan perlahan, Risma menghunuskan keris itu tepat pada mata boneka kafan sampai tembus ke belakang.
Seketika mata Salma bolong dan darah muncrat ke mana-mana. Tak hanya di situ saja, ketika tubuh Salma mengejang hebat, Risma kembali menghunuskan keris itu berkali-kali di bagian tubuh lainnya. Membuat Salma langsung mati di tempat.
Mata Hasan dan kedua orang tuanya yang melihat langsung melotot, seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka menggerung, seakan meminta tolong untuk menghentikan semuanya. Namun tetap saja, Risma tak menggubris.
Risma mengambil rajutan boneka kafan sambil melantunkan bait kedua, “Dua-dua...aku santet Hasan..”

Sejenak Risma menatap ke arah bapaknya. Terlintas di kepalanya kepingan-kepingan memori masa lalu. Di mana Risma, Hasan dan Ratna masih satu atap.
Mereka bercanda gurau, tertawa, bermain bersama. Ingin rasanya ia kembali ke masa-masa itu, namun karena kehadiran Salma, kehidupan keluarga kecilnya hancur berantakan. Risma beralih menatap dua orang tua lainnya, dengan sunggingan sinis, Risma berucap.
“Mbah kung, mbah dok...” panggil Risma. “Anak kalian mati di tangan anaknya sendiri! Hihihi...”

Risma lalu mengangkat boneka kafan itu dan “SLEPPPP!” paku tertancap tepat di kepala rajutan boneka kafan. Seketika nyawa Hasan melayang.
Risma menatap jasad bapaknya yang masih terduduk. “Maafin aku ya, Pak!” hihihi...

Tak mau berlama-lama, Risma mengambil dua rajutan boneka kafan sekaligus. “Biar kalian matinya bareng, ya.” Risma mengambil garpu dan menusuknya secara bersamaan.
Seketika darah keluar dari mulut dan hidung dua orang tua itu. Risma lalu berdiri, melantunkan bait terakhir. “Satu dua tiga, aku bahagia...”
Malam itu menjadi malam paling tragis. Di mana, seluruh anggota keluarga Hasan dibantai dengan SANTET RAJUT KAFAN oleh Risma. Dengan berjalan gontai, Risma keluar meninggalkan rumah mantan bapaknya.

**SELESAI**

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Dec 7
Tragedi "PENGANTIN KEMUKUS"

a thread
Based on True Story

#bacahorror @bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor

Image
Image
Image
TRAGEDI PENGANTIN KEMUKUS
MENUNTUT GANTI NYAWA

*Penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi dan nama tokoh, kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan dari beberapa narasumber yang terlibat.
Beberapa puluh tahun yang lalu. Kejadian itu masih terus terngiang-ngiang di kepala. Namanya Mas Aris (bukan nama sebenarnya), seseorang yang harus kehilangan salah satu sahabatnya, Mas Surya, akibat mengikuti ritual Pesugihan di Gunung Kemukus.
Read 201 tweets
Nov 13
thread horor

-SEKAR PATI-

“Sekar Pati! itu sudah tidak bisa dihentikan sebelum empat nyawa sekeluarga jadi congkok di depan pengantin perempuan!"
.
.
#bacahorror @IDN_Horor @gudangmistery @bacahorror #sekarpati Image
Di sebuah rumah yang berdiri di atas sebidang tanah dengan luasan 800an meter persegi itu tampak mewah pada tahun itu. Rumah bercat dominan kuning dengan pagar tembok batu bata setinggi dada orang dewasa mengelilingi.
Di halaman yang bisa di masuki tiga mobil sekaligus itu terdapat dua pohon mangga yang rimbun, menambah suasana rumah terkesan lebih sejuk dan asri. Tepatnya di dalam ruangan yang biasa untuk menerima tamu, Anton tidak sendirian.
Read 156 tweets
Nov 10
thread horor

TULAH ALAS ANGKER
Part 5 end

#bacahorror @IDN_Horor @gudangmistery #tulah Image
Lastri bangun, seketika menyadari kalau ada seseorang di luar sana. Buru-buru Lastri meraih pisau, dengan hati-hati, Lastri mengintip dari celah pintu tenda. Di sana, Lastri bisa melihatnya, seseorang yang tak asing sedang berdiri tepat di depan tenda.
Read 101 tweets
Nov 9
THREAD HOROR

-SENGKOLO-

Sengkolo itu ada, di mana pun dan kapan pun, akan selalu mengikuti selama manusia itu bernafas.

#sengkolo #malamsatusuro #satusuro #bacahorror Image
Samar terdengar suara merintih lirih dari dalam rumah. Suara itu berasal dari mulut Warni, wanita beranak satu, istri dari Imam.

"Aduh, Mas... Sakit, sakit banget, Mas!" Rintihan Warni sangat mengiba.
Membuat dia lelaki dan seorang perempuan tua yang berada di sampingnya, merasa panik.

"Ini tadinya gimana, Mam!" Seru Pak Joyo, lelaki sepuh, bapak Warni.
Read 66 tweets
Oct 31
"LASTRI"
TULAH ALAS ANGKER
PART 4

A THREAD HOROR
#bacahorror @IDN_Horor @gudangmistery Image
Kira-kira apa yang harus aku katakan kepada Tante Tuti kalau Rumi ini sudah mati? Lagi pula, mencari orang hilang di hutan itu tidaklah mudah, apalagi kalau dia sampai masuk ke dimensi lain. Hahaha..... aku saja belum pernah masuk sana.
Read 127 tweets
Oct 20
A THREAD HORROR

-SOSOK PENUNGGU GUDANG ANGKER-

"Plis yang tahu tempatnya atau lokasinya jangan di spill ya."

#bacahorror #spooktehber Image
Kadang kita harus dipaksa untuk menghadapi keangkeran atau keseraman tempat kerja. Kadang juga, kita harus di perlihatkan oleh sosok-sosok yang mengerikan.

Malam ini sebut saja namanya Tika, dia akan menceritakan tentang seramnya pabrik tempatnya bekerja.
Dari sini Tika yang akan bercerita.

Plis yang tahu tempatnya atau lokasinya jangan di spill ya.

Di sini gw mau cerita tentang pengalaman gw pas kerja di salah satu pabrik di Bogor. Jadi kantorku ini letaknya ada di kawasan Bogor.
Read 43 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(