Selama Soeharto berkuasa, pemilu tetap dilaksanakan. Namun, tentu dilakukan dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, & masif.
Bagaimana langkah rezim ini hingga berhasil mencacatkan demokrasi?
#UtasMild #PemiluCurang
Pemilu 1971.
Rezim dengan demokrasi semu dimulai. Golongan Karya (Golkar) digunakan sebagai kendaraan politik dengan supir andal yang mengerahkan berbagai cara untuk memenangkannya.
Di baliknya, ada Ali Moertopo yang punya tugas untuk menggembosi partai-partai peserta pemilu melalui Operasi Khusus (Opsus).
Dua partai yang ketiban sial diporak-porandakan adalah PNI & Partai Muslimin Indonesia (Parsumi).
Tak cukup sampai situ, rezim Soeharto juga memobilisasi pegawai negeri.
Awalnya, PNS dilarang untuk ikut partai. Namun kemudian, Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) yang jadi bagian dari Golkar dibentuk sebagai wadah satu-satunya bagi pegawai negeri.
Walhasil, Golkar menang MUTLAK. Golkar berhasil mengantongi 62% suara & mendapatkan 236 kursi di DPR.
Sedang di urutan kedua ada Partai Nahdlatul Ulama (18,6% & 58 kursi). Yang cukup mengejutkan, partai bentukan Sukarno, PNI yang menjadi pemenang pemilu 1955 hanya mendapatkan 6,9% suara & 20 kursi.
Pemilu 1977.
Mempersiapkan untuk pemilu ini, empat tahun sebelumnya alias pada 1973, kebijakan penyederhanaan partai dikeluarkan.
Parpol dikelompokkan dalam dua ideologi besar: Nasionalis & Islam.
Di sisi Islam, terbentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari Partai NU, Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), & Partai Islam PERTI.
Untuk Nasionalis, terbentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari PNI, Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Parkindo, & Partai Katolik.
Peleburan partai ini membuat pemilu 1977 hanya diikuti tiga peserta partai, yaitu PPP, PDI, & Golkar. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi Golkar.
Tak sampai di situ, pemilu jadi kian tertutup. Aturan baru membuat pemilih hanya dapat memilih partai & nama calon-calon parlemen tak dicantumkan.
Sesuai perkiraan, Golkar menang telak dengan perolehan 62,1% suara & memperoleh 232 kursi di DPR.
Disusul dengan PPP (29,2% suara & 99 kursi) lalu PDI (8,6% suara & 29 kursi).
Pemilu 1982.
Semakin terang-terangan, Orba seenaknya merombak struktur badan penyelenggara pemilu. Ketua Dewan Pertimbangan Lembaga Pemulihan Umum dijabat oleh Menteri kehakiman.
Anggotanya pun ditambah dengan memasukkan anggota personel ABRI, parpol, & Golkar.
Pada pemilu yang menghabiskan biaya total Rp132 miliar itu juga terjadi kerusuhan kampanye Golkar di Lapangan banteng pada 18 Maret 1982.
Konon, kerusuhan itu direkayasa untuk mendiskreditkan Ali Sadikin, mantan gubernur Jakarta & salah satu penandatangan Petisi 50.
Pemilu 1987.
Kontrol pemerintah dan ABRI dalam lembaga penyelenggara pemilu masih kuat. Pemerintah juga (masih) menerapkan aturan diskriminatif terhadap partai selain Golkar.
Sebagai contoh, larangan pembentukan cabang partai di bawah tingkat provinsi, pengurangan masa kampanye dari 45 hari ke 25 hari, hingga pelarangan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Tak hanya sampai situ, rezim ini juga memanfaatkan para birokratnya memobilisasi dukungan terhadap Golkar.
Salah satu caranya adalah dengan menekan kepala desa untuk mengumpulkan suara bagi Golkar.
Segala pembatasan yang tak ada pengaruhnya bagi Golkar, para kader yang menempati posisi penting dalam birokrasi & militer, serta dukungan-dukungan untuk Golkar membuatnya menang telak 73%.
Pemilu 1992.
Menjadi pemilu terakhir bagi kejayaan rezim Orba. Hasil yang tak disangka keluar. Suara Golkar menurun hanya jadi 68% dari pemilu sebelumnya yang mencapai 73%.
Sedangkan PDI suarannya naik jadi 14,89% (sebelumnya 10%) serta PPP memperoleh 17% (sebelumnya 15%).
Kecurangan-kecurangan sistematis ini berhasil membuat rezim Orde Baru langgeng berkuasa hingga lebih dari tiga dekade.
Sejarah telah mencatat, dan semoga, masa depan mengingat.
Ingat tidak beberapa waktu lalu aku bikin thread tentang prestasi dan kontroversi capres? Sekarang saatnya kita bedah kontroversi cawapresnya.
Buat apa? Biar imbang, tau yang baik dan yang kurang baiknya, begitu. Lezgo, mari, yukk!
Kita mulai sesuai nomor urut ya, biar nggak bingung. Ini dia kandidat cawapres nomor urut 1 dengan nama Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Kontroversi beliau yang pertama adalah konfliknya dengan Gusdur di PKB. Ada yang masih inget nggak?
Perselisihan antara Gus Dur dan Muhaimin dimulai selepas Muktamar PKB pada tahun 2005. Saat itu, hasil Muktamar PKB menempatkan Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB sementara Gus Dur ditetapkan menjadi Dewan Syura PKB.
Dalam perjalanannya, hasil muktamar tersebut ternyata menimbulkan dua kubu di tubuh internal PKB.
Sentralitas Henry Kissinger di tengah konflik paling berdarah setelah Perang Dunia II tak dapat diabaikan.
Tubuhnya yang berlumuran darah tak akan mungkin dicuci bersih bahkan setelah kematiannya.
#UtasMild #7HarianKissinger
Heinz Alferd yang lahir dari pasangan Louis & Paula Stern Kissinger di Furth, Jerman ini menunjukkan bakat cemerlangnya di kelas sebagai kutu buku & gila sepak bola.
Ia dibesarkan dalam tradisi religius Yahudi yang mengedepankan kesederhanaan & kerja keras.
Antisemitisme mulai menghantam keluarganya saat Hukum Nuremberg diberlakukan pada 1935.
Ayahnya menjadi pengangguran, ia dirundung & dipersekusi sejak kecil hingga remaja. Ini yang akhirnya membuat keluarganya kabur ke New York & menumpang pada sepupunya.
Ada sebuah strategi yang digunakan oleh anak diktator untuk menggaet pemilih muda. Caranya dengan membangun citra di medsos & buat mereka melupakan sejarah.
Nyatanya, itu berhasil & mengantar Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. jadi presiden Filipina.
#UtasMild #Marcos
Menurut The Economist, bagi keluarga besar Marcos, menguasai kursi kepresidenan bukanlah sarana untuk menciptakan perubahan lebih baik tapi “puncak dari upaya selama sekian dekade untuk merehabilitasi nama keluarga.”
Nama Marcos tak bisa dipisahkan dari rezim represif & brutal.
Selama era darurat militer (1972-1981) plus 5 tahun terakhir Marcos Sr. berkuasa, tercatat 70 ribu orang ditahan, 34 ribu orang disiksa, & nyaris 400 orang menjadi korban penghilangan paksa.