Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.
Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.
a thread
#bacahorror
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Seperti halnya pada malam itu, Rusmini yang tengah terbaring, sedang memberikan pencerahan kepada Dewi, anaknya, seperti malam-malam sebelumnya.
“Nduk?”
“Gih, buk?”
“Pie? Wis tok pikirke anggonmu milih dalan urip? Ibuk gak mekso awakmu kudu dadi penari koyo ibumu iki.” (Gimanaa? Sudah kamu pikirkan untuk memilih jalan hidup? Ibuk gak maksa kamu harus jadi penari seperti ibumu ini)
“Ibuk pengen uripmu sesuk mulyo, nduk. Ibuk gak pengen nasibmu sengsoro koyo opo sik ibuk rasake saiki.” (Ibu mau hidupmu besok mulia. Ibuk gak mau nasibmu sengsara kaya apa yang ibuk rasakan sekarang)
Dewi tertunduk diam di kursi. Tak sepatah kata pun menyahuti kalimat dari ibunya. Ia bingung harus menjawab apa, masalahnya, sekarang ibunya sedang terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang. Dewi pun tahu kenapa ibunya bisa sampai sakit-sakitan seperti ini.
Satu hal yang Dewi ketahui, jika sampai warisan sampur dan kawaturih itu tidak segera di turunkan kepada Dewi, akan ada sesuatu yang mengerikan terjadi pada ibunya. Dewi tak mau hal itu terjadi.
Dewi mengusap pelan kening ibunya sembari melantunkan tembang jawa yang biasanya ia nyanyikan. Seperti bocah, Perlahan, mata Rusmini terpejam, terlelap, mengistirahatkan tubuhnya yang hampir dua tahun menyusut lemah.
Dewi bangkit dari duduknya, beranjak melangkah pelan, mendekati lemari kayu yang ada di sudut kamar. Perlahan, tangannya menarik ganggang pintu lemari. Setelah lemari terbuka, matanya menatap nanar pada satu kotak yang terbuat dari kayu jati tua.
Setelah puas menatap, tangannya kemudian mengambil kotak kayu yang terselip di tengah-tengah tumpukan daster.
Dewi kembali duduk di kursi, menaruh kotak itu di pangkuannya sebelum akhirnya ia buka. Di sana, ada potongan-potongan kembang melati, sebuah gelang kuningan bermahkota dan seutas kain berwarna hijau dengan hiasan manik-manik pada setiap ujungnya.
Harum melati, terhirup begitu Dewi membuka kotak itu. Sejenak ia terdiam, seakan teringat dgn masa2 di mana sang Ibu masih sehat dgn tarian tradisional. Satu profesi yg sudah di geluti puluhan tahun lamanya, dan akhirnya roboh oleh karena ibunya tak mau menurunkan kepada Dewi.
“Sampure sampirkan nang pundakmu, cah ayu. Kawaturihe pasangno nang lengenmu. Sampur lan kawaturih kui bakal gawe koe di senengi wong akeh. Enggonen...”
(Selendangnya sampirkan di pundakmu. Kawaturihnya pakaikan di lenganmu. Selendang dan kawaturih itu bakal membuatmu di sukai sama banyak orang. Pakailah...)
Suaranya lirih tapi mampu membuat Dewi tersentak kaget. Dewi menoleh ke segala arah, mengitari seluruh isi kamar, mencari sumber suara. Namun ia tak menemukan siapa pun kecuali tubuh ibunya yang masih terlelap.
Dewi kembali menatap isi dalam kotak. Mengambil dua benda itu sebelum akhirnya memakainya. Pas dan selaras dengan tubuhnya saat sampur itu tergelambir seukuran tepat dengan tinggi badannya. Apalagi degan kawaturih yang sudah terpasang di lengannya.
Merasa penasaran, Dewi beralih pandangannya pada cermin.
Senyum tipis kemudian tersemai dari bibir Dewi, mendapati dirinya begitu anggun memakai kain selendang dan gelang lengan kuningan, -
-membawanya pada bayangan keriuhan di atas panggung, di mana dirinyalah yang menjadi sorotan semua mata pengunjung.
Tapi tak lama, sunggingan senyumnya berubah berganti ketakutan, manakala dari belakangnya ia melihat sosok wanita yang begitu ayu dengan balutan kemben jarik lengkap dengan sampur dan kawaturih seperti yang di pakai Dewi. Sosok itu sedang tersenyum ke arahnya.
Buru-buru Dewi membalikkan badan. Namun kosong, tak ada siapa pun. Yang ada hanya semilir angin lembut beraroma melati menyapu tubuhnya.
Menyadari ada keanehan, cepat-cepat Dewi melipat dan mengembalikan barang-barang itu ke dalam lemari setelah masuk ke dalam kotak.
Dewi pun bergegas keluar dari kamar ibunya.
Namun malam itu, Dewi yang baru saja merebahkan tubuhnya di ranjang, tiba-tiba terganggu oleh suara tembang yang sering dilantunkan ibunya. Penasaran, Dewi keluar kamar untuk memastikan.
Setibanya di pintu kamar ibunya, Dewi mendorongnya. Di sana, Dewi terkejut, manakala tepat di atas ranjang, Rusmini sedang duduk berhadapan dengan sosok wanita tua dengan pakaian lengkap layaknya sinden.
Seakan terhipnotis, Dewi jalan mendekat ke arah sosok itu.
“Rasah wedi, nduk. Aku iki simbahmu. Wong tuane ibumu.” (Gak usah takut, nduk. aku ini simbahmu, orang tuanya ibumu.)
Tak lama, Dewi kemudian menghentikan langkahnya ketika ia tak sengaja menoleh ke arah ibunya.
Rusmini tetiba saja meneteskan air matanya. Wajahnya pucat serta tatapannya menyorot sebuah isyarat untuk Dewi agar tidak mendekat.
Dewi masih berjalan ke arah sosok wanita tua itu.
“Nduk, jipuken sampur karo kawaturih sik tau mbok jajal.” (Nduk, ambilah selendang dan kawaturih yang pernah kamu coba) perintah sosok itu sembari menunjuk ke arah lemari.
Dewi menurut, ia lalu membuka lemari dan mengambil kotak kayu.
"Bukak en, nduk. mari ngene awakmu sik bakal neruske ritual iki.” (Bukalah, nduk. setelah ini kamu bakal meneruskan ritual ini)
Dewi tahu maksud dari ucapan itu. Jika sosok itu menginginkan dirinya untuk menggantikan ibunya untuk menjadi seorang penari.
Dewi tahu, itu adalah satu-satunya cara untuk membuat ibunya sembuh dari penyakit yang di deritanya.
“Iki ngono wis dadi tradisi keluarga, nduk. Gelem ra gelem awakmu kudu gelem nerimo, nek awakmu pengen ibumu mari.”
(Karena ini sudah menjadi tradisi keluarga, nduk. mau gak mau kamu harus terima, kalau kamu mau ibumu sembuh)
Dewi menoleh ke arah ibunya. Tampak jelas Rusmini menggeleng, mengisyaratkan Dewi untuk tidak membuka kotak kayu itu. Tapi pilihannya sudah bulat.
Dewi memilih untuk berkorban demi ibunya agar bisa sembuh dan mendampingi dirinya. Dewi belum ikhlas kalau harus melihat ibunya menderita.
“Nduk, bukaken, mari kui ibumu waras. Nek koe nolak, opo wani mbalelo seko takdirmu, ibumu bakal ciloko. Ibumu bakal ngrasakne soro sik luwih seko iki. ibumu bakal dadi kembang amben, ora urip yo ora mati sakdurunge sampur lan kawaturih kui tok enggo!”
(Nduk, bukalah, setelah itu ibumu sehat. Kalau kamu menolak dan berani berulah dari takdirmu, ibumu bakal celaka. Ibumu bakal merasakan sakit yang lebih dari ini. ibumu bakal jadi kembang amben, tidak mati ya tidak hidup sebelum sampur dan kawaturih itu kamu pakai.)
Mendengar itu, Dewi terkejut, bahkan dia sampai membayangkan bagaimana sengsara ibunya jika sampai Dewi tidak segera bertindak.
Tak lama, sosok itu kemudian menembang sebuah tembang macapat Jawa.
Hal itu membuat Dewi diam sambil mendengarkan, sembari meresapi tiap2 bait yang terkesan sarat akan makna. Tapi tidak untuk Rusmini, raut wajahnya berubah dengan ketakutan yang luar biasa, matanya melotot menatap sosok wanita tua itu dan sesekali menatap Dewi dengan menggeleng.
Di saat yang bersamaan, Rusmini yang semakin melotot, tiba-tiba meronta, tubuhnya mengejang kuat saat dari lubang hidung, mata, mulut dan telinga, mengalir darah hitam menebar aroma busuk.
Dari situlah, Dewi akhirnya memilih untuk membuka kotak kayu itu dan memakai sampur dan kawaturih di lengannya.
Hingga saat ini, di daerah yang tak bisa saya sebutkan, Dewi masih berlenggak-lenggok di atas panggung seperti masa-masa Rusmini.
Bahkan Dewi sampai terkenal di kalangan para pejabat dan orang-orang penting. Karena dua benda itu, sampur dan kawaturih, Dewi sekarang benar-benar menikmati hidup yang bergelimang harta.
Semua orang yang melihat dewi memakai dua benda itu, bakal terpesona layaknya seorang yang sedang di jampi-jampi. Bahkan mereka rela mengeluarkan gepokan uang untuk menyawer.
Sampur dan Kawaturih, itu sudah dianggap Dewi sebagai barang keramat hasil dari tradisi warisan turun temurun keluarganya. yang mana, dia selalu memuliakan, merawatnya dengan baik dan menggunakan sesuai fungsinya.
Tujuan awalnya yaitu hanya untuk menyelamatkan ibunya dari kutukan, yang kelak bakal dia alami sendiri.
Kalau bicara tentang dua benda itu, sampur (selendang) dan kawaturih, kita flashback di tahun 2019 yang lalu, di mana ada sebuah cerita yang pernah jadi perbincangan di media.
Ada sekelompok mahasiswa yang melakukan KKN di desa penari, yang ternyata, di sana disebutkan ada sosok #badarawuhididesapenari. Persis seperti sosok yang di ceritakan oleh Dewi.
“Mbak, apa ada kaitannya sama sosok Badarawuhi?”
Mbak Dewi menyunggingkan senyum tipis, sambil mengangguk kecil.
Selesai.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan
a thread
#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.
Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”
a thread
#bacahorror
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Sebuah kisah tentang seorang mahasiswa yang mendapatkan kos-kosan murah dan luas, tapi di balik semua itu, nyawanya terancam (akan) di jadikan tumbal pesugihan ibu kos.
#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor @bacahorror
Kiriman dari seseorang.
Sebut saja namanya mbak Tia. Jadi mbak tia ini punya pengalaman serem ketika ngkeos. Katanya dia hampir jadi tumbal pesugihannya ibu kos.
Suara Pak Surip terdengar berat, tebal dan bergetar. Tapi setiap kata yang meluncur dari bibirnya seakan tak ubahnya mantra yang memiliki daya magis. Membuat siapa pun yang mendengarnya kehilangan nyali.
“Bangun Yul.”
Yuli tergagap, ia menoleh ke arah suara lalu duduk.
“Buruan mandi, biar segar. Kamu sudah ditunggu Mbah Sukir.”
Yuli mengangguk, dan segera bangkit dari ranjang. Ia kembali teringat kejadian beberapa jam yang lalu.