Netrakala Profile picture
May 2, 2024 131 tweets 15 min read Read on X
-a thread
Kromoleo

Sebuah Pertanda Malapetaka

Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Disclaimer! Tidak diizinkan untuk share dalam bentuk tulisan atau vidio tanpa izin Netrakala.
Kromoleo - Part 1

Duaaakkk....

Aku tersentak dari tidur, ketika mendengar suara keras itu. Aku berkedip berulang, menggerakkan kepala, beradaptasi dengan kegelapan. Namun yang kutemui hanya kesunyian, tidak ada apapun bahkan suara serangga pun seolah ikut membisu.
“Ibu?” panggil ku. Tidak ada sahutan.

Ku coba untuk menghidupkan lampu. Nihil, berulang kali saklar ku pencet, tak ada sedikitpun cahaya yang keluar.
“Bu...” panggil ku sekali lagi jauh lebih keras. Namun masih tetap sama, tidak ada sahutan darinya. Membuat detak jantungku berdebar semakin keras.
Ada yang tidak beres, Entah kenapa kesunyian ini membuat dadaku begitu sesak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dimana Ibu?, tidak biasanya ia seperti ini.
Krieeekkk....

Aku tersentak, ada sesuatu yang bergerak di depan kamar. Ingin rasanya kembali memanggil Ibu, tetapi bagaimana jika itu adalah perampok?
“Perampok?” ucap ku lirih.

Ku gelengkan kepala. Tidak, tidak mungkin kalau itu perampok. Apa yang mereka cari di rumah mungil ini? Barang berharga? Kami tak pernah punya barang berharga semenjak kematian Bapak.
Maka ku putuskan untuk membuka pintu. Saat melihat keluar, aku mendecak lemah. Bahkan diluar kamar jauh lebih mengerikan.
Belum lagi siluet barang-barang yang terkena pendar cahaya dari luar rumah. Sungguh, aku tidak pernah menyukai situasi seperti ini.
“Bu… Ibu?” Panggilku sekali lagi.
Namun tetap saja tidak ada sahutan dari wanita paruh baya itu.

Bruaaakk… Spontan kepalaku menoleh ke arah ruang depan.
Ku dapati ada bayangan yang bergerak. Tapi tak bisa ku tangkap dengan jelas dari sini. Bergegas aku menuju ke sana, aku yakin itu adalah Ibu.
Hingga saat aku berada di ambang pintu, tubuhku terkesiap, ketika mendapati tidak ada seorang pun, kecuali satu benda asing di tengah ruangan.
Benda apa itu? kenapa begitu familiar?...

Belum selesai semua pertanyaan di otakku. Sekelebat tercium aroma yang memuakkan. Ku endus udara disekitar, dan ternyata bau itu berasal dari benda yang ada ditengah ruangan.
Kini jarak ku tinggal beberapa langkah dari benda itu. Berulang kali aku menoleh kebelakang, memastikan hanya aku yang ada diruangan ini, karena sedari tadi seperti ada pasang mata yang memperhatikan ku.
Tangan ku mulai terjulur, menyibakkan kain yang menutupi benda itu.

“Keranda?” Ucap ku lirih. Aku mulai mundur beberapa langkah, aku tahu ada yang tidak beres, jelas ada yang salah disini.
“Ibu” ucap ku mulai merasa takut.

Kini aku berniat untuk pergi. Namun entah apa yang terjadi, semua berada diluar kendaliku. Kenapa kaki ini malah melangkah ke arahnya?
Hingga saat sampai di sampingnya. Ku amati setiap detail, tidak seperti keranda yang selama ini ku lihat. Rangkanya hanya terbuat dari bambu, sedang alasnya hanya berupa papan kayu yang disusun.
Otakku berpikir cepat, siapa yang menaruh benda ini di rumah ku? Ku edarkan pandangan, mencari celah dari mana orang iseng itu masuk.
Hingga saat aku melihat ke atas. Betapa kagetnya diriku. Spontan tubuhku melompat kebelakang sampai terjatuh di ubin batu yang dingin.

Mataku terus terpancang pada kaki yang tergantung tepat di hadapanku. Hal yang paling mengerikan yang pernah ku jumpai selama ini.
“IBU...” aku mulai teriak. Namun masih saja tidak ada sahutan sama sekali.

Kini tubuh yang tergantung itu mulai bergerak pelan memutar, seolah ada angin yang menggerakkannya.
Aku menggeleng sekuat tenaga, mencoba untuk menggerakkan tubuh. Tetapi kenapa? Kenapa tubuhku begitu kaku?

Glodak.. glodak…

Kaget! Keranda di depan ku bergetar dari tempatnya. Ajaibnya. dalam sekedipan mata, ku lihat 6 orang laki-laki sudah berdiri di sana.
Ingin sekali aku pergi dari tempat ini, berteriak sekencang mungkin. Tetapi bibir ini terkunci, seolah ada tangan keras yang menekan tenggorokkan ku.
4 orang laki-laki di depan ku mulai bergerak. Masing-masing dari mereka mengangkat ujung dari keranda bambu. Sedang dua orang lainnya hanya berdiri menundukkan kepala.

“Kromoleo”
Aku terkesiap, saat mendengar saura laki-laki serak dan lirih. Seketika itu pula terjadi pergerakkan pada tubuh yang menggantung itu.

Ku kerlingkan pandangan ke atas. Namun ternyata itu adalah kesalahan, benar-benar kesalahan besar. Kini yang ku dapati jauh lebih mengerikan.
Matanya melotot, lidahnya menjulur, serta suara cekikan yang membuat bulu kuduk meremang.

“Moleh nduk, moleh” Ucapnya terbata tak jelas.

“Ibuuuuu” teriak ku nyaring.
*****
“Sita... Ta, bangun. Astaugfirulloh” ucap seorang wanita.

Aku tersentak, menoleh panik ke segala arah. Dan langsung menghambur ke dalam pelukan wanita paruh baya itu.
“Minum” Ucapnya saat aku sudah mulai tenang.

Ku terima gelas pemberiannya dengan tangan gemetaran. Bahkan tanpa sadar, kaos yang kupakai sudah basah peluh keringat.
Sudah berulang kali aku memimpikan peristiwa itu. Kejadian dimana aku menemukan mendiang ibu yang tergantung di ruang tamu rumah kami.

Hal yang tak bisa ku tahan, aku yang selama ini selalu kuat, seketika menangis. Julukan ku sembagai raa rimba sudah hilang entah kemana.
Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, semua terasa begitu mendadak. Tidak ada permasalahan berat, kenapa ibu melakukan ini semua?

Kenapa ia tega meninggalkan anak semata wayangnya dengan cara keji, yang tak pernah tebayangkan sama sekali.
“Nduk, mimpi buruk lagi?” Tanya Bu Heni prihatin.

Aku hanya mengangguk, tak berucap banyak. Sudah sebulan ini aku tinggal bersamanya, wanita yang ku sebut Bu Heni, tetangga sekaligus orang yang sudah kuanggap keluarga.
“Ikhlaskan, biar ibumu tenang disana.” Ucap Bu Heni sambil terus mengelus punggung ku.

“Bu?” Ucap ku.

Wanita itu berhenti, menatap ku dengan manik mata yang begitu sendu. Ku lihat setitik air mata juga tumpah di pipinya.
“Sita mau pulang” Ucap ku spontan.

“Pulang? Pulang kemana nduk?” Tanya Bu Heni kebingungan.

“Ke rumah Simbah, tempat kelahiran Ibu” Ucapku.
Bu Heni tampak menghela napas, ia tahu kalau selama ini kami jarang sekali pulang kampung. Bahkan aku semenjak kecil hampir tak pernah kembali ke tempat itu.

Namun meskipun begitu, aku tahu kalau Ibu masih sering memberikan kabar kepada Om Panca, saudara laki-lakinya.
“Ya sudah kalau itu memang keputusan mu, Ibu tidak bisa melarang. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan” Ucap Bu Heni, lantas berjalan keluar kamar.
*****
“Yakin gak mau diantar? Memang rumah nenek mu dimana?” Tanya Laras.

Aku menggeleng, tak enak rasanya terlalu banyak meminta tolong kepada keluarga baik ini. Bahkan sudah sebulan lebih mereka mau menampung ku.
Rumah ku? Jangan ditanya. Semenjak Ibu meninggal, aku enggan untuk menginjakkan kaki ke tempat itu.
Bukan tidak mau, tapi aku masih trauma dengan ini semua. Terlebih aku sendiri yang melihat tubuh Ibu terbujur kaku menggantung di ruang tamu.
“Ga perlu Ras. Makasih untuk semuanya” Ucap ku tersenyum simpul.

“Ckkk, apasih. Jangan lebay. Mau sampai kapan Raja Rimba murung terus” Tukas Laras berdecak pinggang.
Ya begitulah Laras, selalu bisa menghiburku. Bahkan aku ingat, sewaktu kami kecil, ia selalu menjadi tameng untuk ku. Dan dari dialah aku belajar untuk bisa bertahan hidup di kondisi apapun.
Segera aku memeluknya, “Kalau ada waktu mampir” Ucapku lirih.

Laras mengangguk “Om mu siapa namanya? Panca? Jemput kamu kan?” Tanya Laras sambil melepaskan pelukan ku.

“Iya, nanti disana” Ucapku singkat.
Laras kembali mengganguk dan bergegas mendorongku untuk segera masuk kedalam Bus.

“Jaga diri” Ujar Laras sambi melambaikan tangan.
*****
Perjalanan menuju rumah Nenek di Desa cukup membuat lelah. Butuh waktu hampir 10 jam sendiri untuk sampai ke tempat itu.
Waktu berlalu begitu cepat. kini aku sudah sampai di terminal tujuanku. Aku berdiri, celingukan mencari keberdaan Om Panca. Dari pesan singkat yang ku terima, seharusnya ia sudah berada disini satu jam yang lalu.
“Sita?” Panggil suara laki-laki dari arah samping kanan ku.

Kulihat wajah tak asing. yang sebulan lalu ku temui di rumah mendiang kedua orang tuaku. Sebetulnya Om Panca sudah menawariku untuk pulang, tetapi saat itu aku masih enggan menerima.
“Om Panca” kataku tersenyum ke arahnya.

“Ah syukurlah, ayo kita pulang. Nenek sudah enggak sabar ketemu cucu yang sudah lama menghilang” Kekehnya sambil meraih tas yang ku bawa.

“Bagaimana kabarmu Ta?” tanya Om Panca tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
“Baik” jawabku singkat, menoleh ke arahnya.

“Ya sudah, mungkin satu jam lagi kita baru sampai. Sekarang kamu istirahat dulu saja” pinta Om Panca.
Aku menggangguk, namun urung untuk memejamkan mata. Jujur saja aku takut jika harus tidur, takut jika mimpi itu kembali datang menghantui.

“Kenapa murung Ta? Masih kepikiran Ibumu?” tanya Om Panca.
“Setiap malam om, ibu selalu datang di mimpi Sita” ucap ku lugas.

Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Om Panca. Menanyakan sesuatu yang sudah sudah pasti, jelas saja aku masih memikirkan Ibu. Heran!
“Tatik sedari dulu memang susah ditebak. Ia selalu melakukan apa yang menurutnya baik. Bahkan saat Bapak tidak merestuinya untuk menikah. Tatik memilih pergi meninggalkan rumah” Kata Om Panca.
“Kakek tidak setuju dengan pernikahan Ibu dan Ayah?” tanya ku penasaran, pasalnya selama ini yang ku tahu, Kakek meninggal sebelum aku lahir didunia ini.

“Tatik, sudah di jodohkan dengan teman Bapak” ucapnya.
Aku hanya mengangguk dan kembali menatap ke arah luar. Tak pernah sekalipun aku tahu kalau Ibu pernah kabur dari rumah.
Selama ini di kehidupan kami, tak pernah sekalipun aku mendengar cerita keluarga dari Ibu. Ia selalu menutup rapat, entah dengan alasan apa, aku pun tak pernah tahu.
Tak terasa, kami sudah mulai masuk ke area Desa, kanan kiri yang terlihat hanya pepohonan yang rindang.

Hingga, aku melihat ada sebuah bukit kecil yang menjulang. Ditengahnya terdapat satu pohon besar yang ku yakini adalah pohon beringin.
Akhirnya, kami sampai di sebuah pekarangan rumah yang cukup luas. Om Panca bergegas membantu ku, membawa tas dan masuk ke dalam rumah sambil memanggil Nenek.
Sejenak aku ragu untuk ikut masuk kedalam. Masih ku perhatikan sekitaran, rumah Kakek Nenek cukup luas.
Hampir seumur hidup tak pernah datang ke tempat ini, bahkan saat aku mencoba menggali kenangan, semua tampak kabur.
“Sita? Kamu sita kan nduk?” terdengar suara wanita dari arah rumah. Aku tersenyum, setengah berlali dan langsung memeluk wanita itu.

Ia begitu erat memelukku, berulang kali mengucapkan permintaan maaf yang tak ku pahami maknanya.
“Sudah Bu, kasian Sita kedinginan” ucap Bulek Fatma yang berdiri di ambang pintu dengan seorang bocah laki-laki di sampingnya.

“Bulek” ucap ku dan langsung menghambur kepelukannya.
“Sehat? Ayo masuk, sudah Bulek siapkan kamarmu” ucapnya.

“Dan ini pasti Sakti?” tanya ku kepada bocah itu.

Ia mengangguk malu-malu. Tapi ada apa dengannya, kenapa bocah kecil ini memiliki bekas hitam di sekitar matanya? Apa dia sedang sakit?
“Sudah ayo masuk. Sakti jangan aneh-aneh” ucap Om Panca. Karena bocah itu seperti ingin menyelinap keluar rumah.
Kami semua mengangguk, sekilas aku melihat ke arah samping. Tepat diujung sana, walau temaran tapi masih bisa kupastikan kalau itu adalah sesajen.

Sebuah tampah berisi mangkuk dengan bunga tabur, buah pisang dan dua gelas berwarna gelap dan bening.
Tak mau berpikir macam-macam, aku mulai melangkah masuk. Ruang tamu keluarga ini begitu rapi, banyak foto berjajar. Satu yang cukup besar, sebuah lukisan satu keluarga kecil.

“Ibumu” ucap Nenek,
Aku melangkah lebih dekat, mengamati tiap senti lukisan itu. Benar, aku mengenali bocah perempuan itu sebagai ibu dan yang laki-laki adalah Om Panca.
“Ta, istirahat. Ini kamar kamu, bersih-bersih baru kita makan” kata Bulek.

Ku turuti dan segera masuk ke dalam kamar, langsung saja kurebahkan tubuh diatas kasur. Begitu nyaman, membuat rasa kantuk mulai melanda.
*****
Paginya, aku terbangun dengan suara kokok ayam yang begitu keras. Udara disini begitu dingin, tidak seperti di kota, bahkan saat mentari sudah terbit, kabut pun masih tampak menyelimuti.

“Sudah bangun, Ta?” ucap Bulek.
“Sita bantu, Bulek” ucapku memposisikan tubuh di sampingnya.

“Tidak usah, mending kamu jalan-jalan sana. Biar nanti di temani Sakti, sudah sedari kemarin bocah itu tidak sabar ketemu sama kamu” ucap Bulek.
“Memangnya kenapa?” tanya ku penasaran.

“Naksir mungkin” ucap Bulek tak acuh,

Aku terkekeh, bagaimana bisa bocah itu suka dengan ku. Bahkan kami saja belum pernah bertemu sama sekali.
“Sakti, sudah jangan main di dalam rumah” terdengar suara Nenek dari arah depan.

Sakti dengan lincahnya melompat kesana kemari. Ia menunggangi kuda lumping dan pecut di tangan kanannya.

Cetarr…
Sakti melecutkan pecut yang ia bawa, membuat Nenek sedikit terlonjak kaget dari tempatnya.

“Sakti…” Tegur Nenek dengan suara meninggi.
Namun bukannya berhenti, bocah itu malah lebih giat lagi menari dan melecutkan pecutnya sembarangan. Nek Mar hanya menggeleng dan menjauhi bocah itu.
“Sakti suka kesenian?” tanya ku mendekati bocah itu.

“Jangan ditanya nduk, bukan suka lagi… Heran! Anak jaman sekarang, dulu Panca itu kalau sudah melarang langsung diam, la ini malah makin makin” Gerutu Nenek sambil berjalan ke arah dapur.
Aku tersenyum, kembali menatap Sakti. “Sakti, mbak boleh ikut main?” Tanya ku.

Tanpa menjawab, ia malah tersenyum dan melototkan matanya membuatku keheranan. Kemudian tanpa ku duga, ia langsung berguling-guling dilantai.
“Eh..ehh,,, Bulek ini Sakti kenapa?” kata ku panik, saat bocah itu terus bergerak-gerak seperti meronta.

“Sakti jangan seperti itu!, Ibu panggilkan Bapak kalau ngeyel” kata Bulek.
Bocah seketika berhenti. Dengan wajah cemberut ia berdiri dan langsung menarik tanganku.

“Pura-pura kesurupan itu. Sudah sana temenin Sakti main” ucap Bulek, sedang Nenek hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan cucunya itu.
“Eh Sakti mau kemana?” tanya ku bingung, karena Sakti terus menggandengku keluar pekarangan rumah.

“Stttt” ucapnya singkat.
Mau tidak mau aku mengikutinya. Sepanjang perjalanan Sakti hanya diam dan terus menggandeng ku.

Kami terus berjalan beberapa waktu, bahkan ku kira kami hampir keluar dari jalanan desa. Aku mengenali, karena semalam melewati tempat ini bersama Om Panca.
“Sakti ayo pulang” Pinta ku.

“Bosen aku mbak, kita jalan-jalan saja” Ucapnya.

Aku mengerutkan kening, bocah ini diluar dugaan. Tingkahnya memang seperti anak kecil, tapi kenapa saat ia berbicara, seolah aku sedang berhadapan dengan remaja.
“Kenapa? Kamu ga punya teman di Desa?” Tanya ku.

Ia menggeleng, “Tidak ada yang mau main samaku.
Katanya aku aneh” Ucapnya sambil duduk di rerumputan.
Dahiku mengerut, “Aneh gimana?” Tanya ku penasaran.

Sakti diam tidak menjawab. Kami sama-sama terdiam, menikmati pemandangan yang atas ketinggian. Desa ini indah, pegunungan yang berjejer, pohon pohon pinus, udara yang segar, sungguh berbeda sekali dengan perkotaan.
“Sakti?” Panggil ku sekali lagi.

Ia hanya menggeleng, dan kembali menarik tangan ku. Ada apa dengan bocah ini, kenapa dia begitu misterius.
“Disana mbak, aku sering diajak bapak kesana. Dari pada dirumah, kadang aku sering ikut Bapak ke ladang” Ucap Sakti.

“Kamu tahu jalannya?” Tanya ku.

Sakti mengangguk, ia tersenyum dan menarik menarik tangan ku agar mengikutinya.
Benar saja, setelah beberapa saat dengan peluh yang sudah membanjiri tubuh. Kami tiba diladang yang cukup besar. Dari kejauhan ku lihat Om Panca tengah sibuk wora wiri di antara tamanan cabai yang sudah siap panen.

“Bapak” Teriak Sakti kencang.
“Heh, kok sampai sini kalian. Jalan kaki?” Tanya Om Panca.

Sakti mengangguk dan menunjukku, kemudian Om Panca hanya mengangguk dan tersenyum.

“Kenapa?” Tanya ku kebingungan.
“Sakti mau ngajak kamu jalan-jalan” Ucap Om Panca.

Aku sungguh tak mengerti cara berkomunikasi dengan Sakti. Ia tidak bisa, tetapi kenapa justru memilih menggunakan bahasa isyarat yang tak ku ketahui.
“Ya sudah, jangan jauh-jauh” Ucap Om Panca.

Kami kembali berjalan menyusuri ladang. Yang menjengkelkan, kadang Sakti tiba-tiba berlari. Sesekali dia juga bersembunyi. Ah sepertinya memang bocah ini kurang perhatian.
“Sakti sudah y, mbak cape. Kita pulang ya?” Kata ku menyerah.

Sakti terkekeh, dan langsung menarikku untuk pulang. Namun kali ini, ia tidak membimbingku di jalan yang kita lalui tadi.
Justru bocah ini menarikku hampir masuk ke dalam area yang penuh dengan pepohonan. Bahkan aku mendengar suara gemericik air.

“Sakti kita mau kemana?” Tanya ku penasaran.
“Pulang” Ucapnya.

Kuikuti saja. Toh bocah ini lebih tahu jalan ketimbang diriku. Daripada hilang, malah bisa jadi mangsa hewan buas.
Hingga, kami benar-benar menyusuri jalanan setapak. Yang membuatku tercengang, aku kembali melihat pohon besar menjulang tinggi. Namun kali ini, jarak kami jauh lebih dekat.

“Sakti” Panggilku.
Bocah itu berhenti, lantas ia menoleh ke arah ku dan ke arah pohon besar. Seketika raut wajahnya memucat, ia menggeleng dan langsung berlari cepat meninggalkan ku.
Aku yang panik langsung bergegas menyusulnya. Tapi langkah bocah itu begitu gesit, beda dengan ku yang seumur hidup jarang sekali berolahraga.

“Sakti” Panggilku ngos-ngosan.
“Hish, kenapa bocah itu” Erang ku sambil mengelus dada.

Kulihat sekitaran. Sakti tak tampak batang hidungnya, kemana bocah itu pergi?

“Sakti” Teriak ku.
Sebal sakali dengan bocah itu. Baru beberapa jam berinteraksi dengannya, sudah membuatku berada disituasi seperti ini.

“Sakti” Teriakku sekali lagi, tidak ada jawaban. Hanya gaung yang terdengar dari suara teriakkan ku.
Ku pandangi sekitaran, sepertinya aku sudah masuk ke dalam hutan atau batas Desa. Jika aku kembali ke jalan tadi, mungkin bisa bertemu dengan Om Panca.

Tapi bagaimana dengan Sakti? Bagaimana kalau bocah itu hilang atau di terkam hewan buas.
“Aaarrggg” Erang ku sebal. Segera aku berbalik berniat kembali ke ladang.

Sreeekkk…

Secepat kilat tubuhku berbalik, jelas ada sesuatu yang bergerak dibelakang ku.

“Sakti?” kata ku.
Tidak ada sahutan, tapi semak yang ada di depanku bergetar, seolah ada yang menggerakkannya.

Sreeekkk…

Kepalaku berpaling ke arah kiri, semak di samping kiri ku juga bergerak-gerak. Nafasku mulai memburu, aku hanya sendirian ditempat ini.
Perlahan aku mundur. Namun mataku terus terpancang pada semak-semak di depan dan kiriku.

“Dorrrr”

“Arrrggggg” Jerit ku kaget sampai terjungkur kebelakang. Sakti yang entah dari mana, kini sudah berdiri di hadapanku dan dengan polosnya ia terkekeh.
“Kaget ya Mbak?” Ucapnya jail.

Ya menurutmu? Aku menelan saliva, menahan emosi. Belum tahu saja dia berhadapan dengan siapa?
Mata ku menyipit melihat Sakti yang begitu girang. Saat menyadari tatapanku, bukannya ketakutan justru bocah itu menyeringai dan balas menyipitkan mata.

“Ayo pulang” Ucapku tegas,
Tanpa ada bantahan sama sekali, bocah itu langsung menurut dan bergegas menuntunku kembali ke rumah.

Sekali lagi, saat aku hendak sampai di ladang. Kembali ku lihat pohon tinggi yang menjulang, aku begitu penasaran tempat apa itu.
Seketika itu juga, Sakti mempercepat langkahnya. Aku tidak tahu apa yang membuat bocah itu tampak begitu ketakutan.
*****
Sore sudah menjelang, kini aku hanya duduk di teras belakang rumah sambil menyeduh teh panas. Seandainya dulu aku datang ke tempat ini bersama ibu, pasti semuanya akan jauh lebih indah.
“Hush… ngelamun nanti kesambet lo. Anak perempuan itu tidak boleh duduk sore-sore seperti ini diluar rumah. Apalagi pas menghadap pintu” Ucap Nenek.
“Memangnya kemana Nek?” Tanya ku penasaran.

“Banyak dedemit baru keluar, sudah sana masuk. Kalau mau duduk di teras tapi setelah magrib” Pinta Nenek.
“Dedemit katanya? Memang hal semacam itu masih ada di jaman modern seperti ini?” Batinku.

Lantas aku berdiri, tetapi mataku tertuju pada tampah yang baru saja diletakkan oleh nenek di ujung teras. Mirip sekali dengan sesajen yang semalam ku lihat.
“Nek, sesajen itu untuk apa?” Tanya ku.

“Sudah, itu tradisi. Sana masuk dulu” Jawab Nenek.

Belum sempat aku menjawab, terdengar suara keras dari dalam rumah. Sudah bisa dipastikan kalau itu ulah Sakti.
Bulek sempat memarahi Sakti karena pergi sampai sejauh itu. Ia pun hampir memarahi ku juga, pasalnya aku dianggap tidak tegas dan malam menuruti permintaan bocah itu.
Aku masih mencoba menahan diri, bagaimana dia bisa menyalahkan ku? padahal belum genap aku semalam tinggal di tempat ini.

Beruntung Nenek membelaku. Kalau tidak mungkin Sita si Raja Rimba bakal membalas mulut pedas Bulek Fatma.
“Sakti, jangan tidur di pintu!” Jerit bulek mencoba untuk menarik Sakti.

Sungguh! aku pun tak paham dengan cara bocah ini berpikir. Kenapa dia begitu cari perhatian dengan tingkah polahnya.
“Sakti, berdiri. Gak boleh tidur di depan pintu. Kalau ngeyel biar nanti ketemu dedemit” Ucap Nenek.

Aku mengerutkan dahi, hampir tertawa dengan perkataan Nenek. Apa hubungannya tidur di depan pintu dan dedemit.
“Bukan Sakti yang mau ketemu Dedemit tapi Mbak Sita” Ucap Sakti.

Mata ku melotot, hampir saja aku bersimpati kepada bocah itu. Siapa juga yang mau ketemu dedemit? Dasar gila.
“Hush, jangan bicara sembarangan” Kata Nenek.

“Ya benar, tadi Mbak Sita pengen pergi ke cungkup di atas bukit” Kata Sakti.

Cungkup? Apa itu cungkup? Bahkan aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Sakti. Aku mencoba menatap bulek, mencari jawaban atas kebingungan ku.
“Sudah. Sakti jangan pernah main ke sana lagi” kata Bulek tegas. Sakti mengangguk, bergegas dia berdiri dan segera masuk ke dalam kamarnya.
*****
Malamnya, aku tak bisa tidur. Berulang kali aku mencoba untuk terpejam, tetaapi semua terasa percuma. Justru bayang-bayang wajah ibu selalu muncul di dalam benak.
Jengah dengan situasi ini, aku berniat untuk membuat teh hangat. Siapa tahu dengan begitu, aku bisa segera memejamkan mata.

Namun saat hendak membuka pintu. Telingaku menangkap sesuatu, seperti suara orang berjalan mondar-mandir di depan kamar ku.
Seketika syaraf di tubuhku menegang, apa ini mimpi? Ku coba untuk mencubit pipi. Sakit! Berarti ini bukanlah mimpi. Ah bodohnya diriku, mungkin saja itu Om Panca atau yang lainnya.
Bergegas kubuka pintu. Ruang tengah begitu temaran. Tidak ada seorang pun disana, padahal jelas tadi aku melihat bayangan orang berlalu lalang.

Tak mau berpikir macam-macam. Aku menuju ke arah dapur untuk membuat teh hangat.
Saat aku hendak kembali ke kamar, sayup aku mendengar suara riuh. Awalnya aku tak begitu penasaran, mungkin saja itu suara warga yang sedang melakukan ronda malam.
Tapi tunggu. Kenapa suara itu jauh lebih mirip orang yang sedang menghantarkan jenazah. Ya! Aku tahu persis, baru sebulan lalu aku melaluinya.
Tetapi siapa dan kenapa mereka menguburkan orang malam-malam seperti ini? Penasaran, ku langkahkan kaki ke arah jendela, berniat mengintip untuk memastikan kalau itu memang rombongan pengiring jenazah.
Namun, saat kusibakkan gorden, aku tak melihat apapun. Semua tampak sunyi dan tenang.

Nekat, kubuka pintu. Ku edarkan pandangan mencari sumber suara tadi.

“aneh” bisikku lirih.
Merasa ada yang tidak beres, aku bergegas menutup pintu. Tetapi tubuhku seketika membeku, beberapa meter disana, Sakti sedang berdiri menatapku lengkap dengan pakaian kuda lumpingnya.

Cetar…
“Aduhh…“ Keluh ku, saat Sakti dengan keras melecutkan pecutnya.

Sakti mulai menari, namun matanya terpejam erat. Bahkan aku sampai terpesona, gerakannya begitu luwes, seolah dia pemain profesional.

“Sakti” Ucapku
Bocah itu tak menggubris, ia terus menari. Namun kali ini membelakangiku.

“Sstttt… Sakti “ Ucapku sedikit lebih keras.

Aku takut terlalu dekat dengan bocah itu. Bukan membuatnya berhenti, bisa-bisa malah aku yang adi korban lecutan pecutnya.
“Ssttt Sakti. Ya Allah. Bocah ini” Ucapku mulai geram.

Perlahan Sakti berhenti menari, ia menatapku dengan sorot mata tajam. Seolah ia memiliki dendam kesumat.
Perlahan bocah itu melangkah ke arahku.

Glek… aku menelan saliva, kenapa suasana menjadi begitu menakutkan. Bahkan, tanpa sadar aku mundur beberapa langkah untuk memberi jarak pada bocah itu.
“Sakti, bangun!” Ucapku

Sakti tak menjawab, justru ia kembali melecutkan pecutnya dengan keras.

“aduhh” Kataku mulai jengkel dengan sikap Sakti.
Ingin sekali aku kembali ke kamar. Tetapi Sakti terus melangkah mendekatiku. Akh ingin berteriak meminta tolong. Tapi kenapa lidahku begitu kelu.

Krekk…

Langsung ku lihat ke bawah. Tanpa sengaja aku menginjak sesajen yang dibuat Nenek tadi sore.
Kini jarak kami tinggal beberapa langkah...

“Sakti, jangan nakal!” Ucap Om Panca dari arah dapur.

“Hah” Aku menggerang, ada apa dengan bocah ini? Kenapa perilakunya begitu aneh? Lagi pula ini sudah hampir tengah malam.
“Bagus ga mbak? Tarian ku?” Ucapnya polos tak berdosa.

Bagus dari mana? Bikin jantungan iya. Apa tidak ada yang memberi tahu Sakti, kalau siang itu untuk beraktifitas, dan kalau malam itu untuk istirahat.
“Bagus, Tapi lain kali mainnya siang aja ya” Jawab ku lemas.

Sakti mengangguk. Lalu mendekat dan berbisik sesuatu yang membuatku bergidik kebingunan.

“Kromoleo”
*****
-TBC-
Yang mau baca Part 2 bisa langsung gas di Karyakarsa dulu ya.

karyakarsa.com/netrakala/krom…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Netrakala

Netrakala Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @netrasandekala

Aug 4, 2024
a Thread -
Wangsulan - Part 1
Saudara Kembar Ku Mati Karena Ritual Sesat Ayah.

@IDN_Horor @bacahorror Image
Disclaimer.
Cerita Pendek selesai di part 2 ( Sudah selesai di @karyakarsa).
Tidak diperkenankan untuk reupload cerita ini dalam bentuk apapun tanpa seizin Netrakala.
WANGSULAN
-Part 1-

“Menikah?” Tanya ku kaget.

“Iya, kapan mau nikahi aku? Aku butuh kepastian mu, mas” Jelas Hasna.
Read 95 tweets
Jul 12, 2024
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END) Bag 2
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Last part.

Kita Lanjutakan ya.
Part sebelumnya...
Aku terus melangkah, menuju ke rumah Najib. Sesekali aku melihat ada sekelebat bayangan bergerak di sampingku.

“Nduk”
Read 109 tweets
Jul 8, 2024
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END)
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Kita lanjut Part terakhir ya.

Mohon maaf jika ada kesalahan kata atau ejaan yang kurang baik.

Buat teman-teman minta komentarnya ya...
Read 95 tweets
Jul 3, 2024
-a thread
Kromoleo - Part 5
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Part 5

Aku hanya berdiri di ambang pintu, mencari keberadaan Ratih. Namun yang ku temui hanya kesunyian.

Beberapa kali aku menyorot senter ke segala sisi, bahkan ke arah keranda di ujung ruangan.
Read 133 tweets
Jun 17, 2024
-a thread
Kromoleo - Part 4
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 132 tweets
May 27, 2024
-a thread
Kromoleo - Part 3
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor

#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 148 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(