Netrakala Profile picture
May 19 164 tweets 18 min read Read on X
-A thread -
Kromoleo - Part 2
Sebuah Pertanda Malapetaka

Ijin taq
@bacahorror

@IDN_Horor

#ceritaseram #ceritahoror Image
Part 2

“Kromoleo?” ucapku tak mengerti.

Apa itu Kromoleo? Rasanya aku pernah mendengar kata itu, tapi dimana?.

“Sita?” Panggil Om Panca membuat lamunan ku buyar.
“Masuk, sudah malam. Dingin diluar” Pintanya.

“Om, apa Sakti selalu tidur larut?” Tanya ku penasaran, teringat dengan lingkaran hitam di sekeliling mata bocah itu.
“Anak itu kelebihan energi, memang dia sedikit lain dari teman-teman sebayanya. Tapi dia sama warasnya dengan kita” Ucap Om Panca sambil berlalu pergi.
Dahiku berkerut. Kenapa Om Panca berkata seperti itu? Padahal tidak ada kata gila dalam kalimatku. Apa selama ini Sakti berbuat sesuatu diluar nalar?

Belum lagi dengan semua hal aneh yang kutemui di rumah ini. Termasuk sesajen yang di tempatkan diluar rumah.

“Sita?”
“Astaghfirullah, Nek” Ucapku kaget, ketika kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku pelan.

“Jangan ngelamun, apalagi di depan pintu. Nanti kesambet dedemit lo” Ucap Nek Mar.

“Nenek, bikin kaget” kataku sambil mengelus dada.
“Sedari kemarin Nenek perhatikan, kamu lebih sering melamun. Masih kepikiran Ibumu?” Tegurnya.

Aku menggeleng, lantas meminta izin untuk beristirahat. Namun, baru satu langkah berjalan, aku teringat dengan tujuanku keluar kamar.
“Nek?” Panggil ku kembali berpaling ke belakang.

“Kenapa nduk?” Tanya Nek Mar.

“Di Desa ini sedang ada orang meninggal?” tanyaku.

Nek Mar, mengerutkan dahinya “Siapa yang meninggal?” tanyanya kembali.
“Ya warga Desa” jelasku.

“Perasaan tidak ada warga yang meninggal. Memangnya kenapa nduk?” tanya Nek Mar.

“Sita tadi dengar suara kerumunan orang. Sita pikir itu orang-orang yang sedang mengantarkan Jenazah” ucap Sita.
“Hush, jangan ngawur. Sudah sudah, sekarang istirahat sana” Ujar Nek Mar sambil berjalan ke arah kamarnya.

Aku mendengus kecil, Ngawur bagaimana. Jelas-jelas tadi ada suara kerumunan orang. Dasar orang-orang aneh. Apa karena ini Ibu tak pernah pulang ke rumah?
*****
Semalaman aku berbaring, menatap langit-langit kamar. Bertanya-tanya apakah keputusan ku untuk pulang ke tempat ini sudah benar?
Dulu mungkin saat Ibu masih hidup, kebebasan menjadi impian ku. Semestinya setelah dia meninggal, bukannya aku bisa hidup bebas tanpa kekangan?

Tetapi kenapa justru aku pergi ke tempat ini? Toh aku bisa membiayai hidup ku sendiri, kenapa aku malah pergi dari kebebasan ku?
“Haaahhhh” Lenguh ku.

“KROMOLEO”

Aku tersentak kaget, menoleh ke arah jendela. Suara apa itu tadi? Kenapa terasa begitu jelas? Ku coba mengatur napas untuk menenangkan ritme jantungku, kemudian berjalan ke arah jendela.
Sepi, tidak ada siapapun di luar sana. Bahkan pemandangan yang ku dapat, justru membuatku bergidik ngeri.

Sebuah lampu bohlam dipinggir jalan berwana kuning, bergoyang pelan di tempatnya. Bahkan kabut mulai turun, membuat suasana bertambah mencekam.
“KROMOLEO”

Aku kembali tersentak, kali ini tatapan ku mengarah ke pintu. Mencari sosok yang mengucapkan kata itu.
Tak mendapatkan apa yang ku harapkan. Ku langkahkan kaki ke sana, lalu ku tempelkan telinga ke daun pintu untuk memastikan.
Namun, setelah beberapa saat, suara itu tak kunjung muncul kembali.

Apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah itu suara Sakti? Ku gelengkan kepala, mencoba berpikir selogis mungkin.
Tidak, tidak mungkin itu milik Sakti, suara barusan jauh lebih berat. Terlebih suara itu terdengar tumpang tindih. Ya! Seperti beberapa orang saling mengucapkan hampir bersamaan.
Penasaran, ku buka pintu kamar. Benar saja, tidak ada siapapun. Bahkan hampir semua lampu sudah dipadamkan.

“Hahhhh” Keluhku sambil mencoba untuk menutup pintu.

Sreeekkk...
Sekelebat, ekor mataku menangkap sesuatu. Ada yang bergerak di sana, di lorong menuju ke arah dapur.

“Nek” Panggilku lirih takut membangunkan seisi rumah.

Tidak ada sahutan. Ku lirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
“Om Panca?” Ucapku sekali lagi, namun tidak ada sahutan.

Dengan langkah berat, ku putuskan untuk memeriksa. Takut jika ada orang asing yang masuk ke dalam rumah.

Krieeekk...
Terdengar suara pintu dapur yang terbuka. Bergegas aku melangkah ke sana, memastikan siapakah yang membuka pintu.

Namun yang kudapati malah sesuatu yang ganjil. Keputusan ku hanya sepersekian detik, menyusul Sakti yang keluar rumah atau membangunkan seisi rumah.
“Sakti” pangil ku, tetapi bocah itu malah berlari semakin menjauh.

“Om, Om Panca” panggil ku. Tak ada sahutan, orang-orang itu pasti sudah terlelap dalam mimpi.
Panik, aku bergegas memakai sendal dan langsung keluar menyusul bocah itu. Mau kemana dia? Kenapa keluar malam-malam? Apa Om Panca juga sering mendapati kelakuan Sakti yang seperti ini?
“Sakti” panggilku jauh lebih keras.

Bocah itu masih tak menggubris, justru langkah kakinya kian lebih cepat dari sebelumnya.

“Brengsek” umpatku.
Aku berlari kecil mencoba mengejar bocah itu. Sesekali ia berhenti, bahkan seolah ia tersenyum menyeringai.

Namun setelah jarak kami tinggal beberapa meter, ia kembali berlari menjauh dari ku. Hingga tak sadar, kami mulai masuk ke dalam perkebunan.
Sakti sudah jauh di depan, tak pernah aku mendapati situasi seperti ini. Sungguh, sekitaran ku begitu gelap.

Meskipun aku tak pernah takut kepada yang namanya hantu, tetapi untuk saat ini aku tak membawa sumber pencahayaan sama sekali.
“Sakti” panggilku sekali lagi, hampir aku menangis. Separoh menahan amarah, separoh menahan ketakutan.

Bocah itu kembali berhenti, namun kali ini dia tak menengok dan terus menatap ke arah pohon besar di atas bukit.
“Sakti, kamu ngapain pergi malam-malam? Ayo pulang!” ucapku langsung meraih tangannya.
Sakti bergeming tak melakukan perlawanan, meski tangan kecilnya kucekal dengan kuat.
Namun....
Dingin. Kenapa tangan Sakti begitu dingin, seolah aku sedang menyentuh bongkahan es batu yang baru saja keluar dari lemari pendingin.
“Sakti, ayo” pintaku sambil menarik tangannya.

Bocah itu menolehkan kepalanya, sungguh jika aku seorang penakut. Mungkin aku sudah lari atau mungkin pingsan saat ini juga.
Wajah Sakti yang tampan dan menggemaskan, kini terlihat begitu mengerikan. Senyumnya terasa begitu dingin, seringainya membuat bulu kudukku meremang kuat.

Baru kali ini aku melihat ada expresi yang datar namun begitu begis.
Jengkel, tanpa menunggu jawaban, ku tarik saja dia. Persetan jika ia menangis dan membangunkan seisi Desa.

“Moleh. Moleho” Ucap Sakti.

“Iya kita pulang” kata ku. Karena yang ku tahu Moleh memang berarti pulang dalam bahasa jawa.
Kami berdua berjalan dalam diam. Saat hendak memasuki Desa, Sakti kembali berhenti. Aku berusaha untuk menarik tangannya.

Tetapi ia bersikeras untuk tidak bergerak. Bahkan beberapa kali tu tarik tubuh mungilnya dengan kekuatan extra, tetapi bocah itu tetap bergeming.
“Sakti, ayoooo” ucap ku sudah tidak sabar.

Bocah itu menggeleng, ia menujuk-nunjuk ke arah pepohonan tak jauh dari tempat kami berdiri.

“Sakti, kenapa?” ucap ku mengikuti arah yang ditunjuk bocah kecil itu.
Bukan menjawab, Sakti justru menyentakkan tangannya dengan kuat. Ku lihat, kepalanya tertunduk seperti ketakutan akan sesuatu.
Tak mau berlama-lama, bergegas aku menariknya kembali.
Jelas ada sesuatu yang salah disini, tidak mungkin bocah ingusan ini berjalan sambil tertidur. Atau Sakti memang punya kelainan?
“Kromoleo, Moleho... Kromoleo Moleho”

Sakti bersenandung lirih, membuat bulu kudukku meremang hebat. Dan sialnya, kenapa tidak ada seorangpun warga Desa yang ku temui.
Akhirnya setelah beberapa saat, kami bisa kembali ke rumah Nek Mar. Segera ku buka pintu dapur, menarik tangan Sakti ke arah kamar mandi.

“Cuci kaki, Mbak tunggu disini. Kalau tidak, Mbak kasih tahu Bapakmu” ancam ku agar bocah itu menurut.
Sakti tersenyum simpul, ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun hendak mengunci pintu dapur.
Namun, sayup aku mendengar suara aneh. Bukan suara senandung dari Sakti, melainkan dari arah luar rumah.
Suara keramaian itu kembali terdengar, kali ini jauh lebih jelas dari sebelumnya. Ku beranikan diri untuk sedikit membuka pintu, tetapi ku tutup kembali.

“Bangsat, apa itu?” umpatku lirih, menggelengkan kepala. Mencoba mencerna apa yang baru saa kulihat.
Itu hanya orang-orang yang sedang mengantarkan jenazah. Tapi....

Kesadaran ku timbul, berapa banyak orang yang meninggal di Desa ini? Kenapa sedari tadi ada orang yang mengantarkan jenazah? Jelas tidak mungkin mereka mengiring jenazah keliling Desa.
Ku kerlingkan pandangan ke arah kamar mandi, masih terdengar suara gemericik air. Lalu aku mencoba kembali mengintip ke arah luar.
Yang ku lihat ada beberapa orang sedang bergerak ke arah rumah ini. Tidak banyak, hanya 6 orang. 4 memanggul keranda, satu membawa payung dan satu lagi tak jelas membawa apa.

“Kromoleo, Moleho... Kromoleo Moleho”
Deg....

Bulu kuduk ku merinding hebat, pandangan ku langsung ku alihkan ke dalam. Aku tahu sekarang, suara itu, suara yang sejak tadi ku dengar berasal dari orang-orang itu.
“Sakti” ucap ku saat suara gemericik air di kamar mandi sudah tak terdengar. Akan tetapi tidak ada sahutan dari bocah itu.

Bergegas aku berjalan ke sana. Aku sudah mulai ketakutan sekarang, ingin sekali rasanya kembali ke kamar tidur dan mencoba untuk tidur.
“Sakti” panggilku sambil mengetuk pintu kamar mandi.

“Moleho, moleho, moleho”

Bug… cetaarrr…

Aku tersentak, menjauh dari pintu. Itu bukan suara benda jatuh, melainkan sengaja dilempar ke arah pintu.
Belum sempat aku beranjak, pintu kamar mandi terbuka perlahan. Kini ku lihat Sakti berdiri tepat di belakang pintu, tatapannya begitu tajam mengerikan.
Ia mulai menggerakkan tangan mungilnya sampai ke depan bibir. Seolah memberikan gesture agar tidak mengeluarkan suara. Lalu ia kembali tersenyum dan menutup pintu perlahan.

Tersadar, aku berlari ke arah kamar ku...
Bug...

Aku terpental jatuh ke belakang karena menabrak sesuatu yang keras di depan ku.

“Astaghfirulloh, Sita kamu ngapain?” tanya Om Panca keheranan.

“Sakti, Om Sakti” ucap ku gagu sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
Om Panca tampak begitu kebingungan. “Iya Sakti kenapa?” tanya Om Panca sekali lagi.

“Itu, di kamar mandi” ucapku mulai jengkel.

“Panca, kenapa?” tanya Nenek yang ternyata juga terbangun dari tidurnya.
Om Panca hanya menggeleng kebingungan dan kembali menatap ke arah ku.

“Nduk, ada apa?” tanya Nenek yang mulai panik melihat keadaan ku.

“Itu, Sakti di kamar mandi” kataku mulai meninggikan suara.
“Kamu ngelindur? Sakti dari tadi tidur sama kami” ucap Om Panca yang mulai berjalan ke arah kamar mandi.

Ku lihat laki-laki itu membuka pintu kamar mandi. Melongokkan kepala kedalam dan kembali menatapku.
“Sita, kamu ngelindur?” tanya Om Panca.

“Hah” kataku kebingungan. Ngelindur? Siapa yang ngelindur. Justru yang ngelindur itu anakmu sendiri. Bisa gila rasanya kalau seperti ini. Baru kenal satu hari, bocah itu sudah membuat hidupku jadi seperti ini.
“Tidak ada orang, Ta” kata Om Panca.

“Jangan bercanda Om. Jelas Sakti ada di dalam situ” tukas ku membela diri.

Nenek bergerak, ia berjalan menuju ke arah Om Panca yang masih menahan pintu kamar mandi agar tak tertutup.
“Ada kan Nek. Tadi Sakti disitu, beneran Sita enggak bohong” ucap ku.

“Engga ada, nduk” ucap Nenek menatapku khawatir.

“Lihat sendiri kalau tidak percaya” kata Om Panca mulai jengah.
Aku ragu, menggelengkan kepala. Masih begitu takut akan rupa Sakti yang begitu mengerikan, bahkan jauh lebih menyeramkan saat berada di ladang tadi.

“Sita lihat! tidak ada siapapun disini. Sakti dari tadi tidur di kamar kami” kata Om Panca tak sabar.
“Hah?” ucapku kebingungan. Tidak, tidak mungkin Sakti tidur dengan kedua orang tuanya. Jelas-jelas tadi bocah itu menyelinap keluar rumah.

“Tapi tadi Sakti keluar rumah. Beneran Om, Sita lihat sendiri, bahkan Sita ikuti sampai ujung Desa” ucap ku.
“Ckkk” decak Om Panca tak sabar, ia berjalan melewati ku dan langsung membuka pintu kamarnya.

“Tuh lihat! Sakti masih tidur nyenyak. Toh pintu kamar juga sudah Om kunci, sebelum tidur” sanggah Om Panca.
Bergegas aku berjalan ke arah kamar Om Panca. Benar saja, kulihat Sakti masih tertidur pulas meringkuk di pelukan Bulek Fatma.

Aku menoleh ke arah Om Panca dan Nenek bergantian.
“Astaga, terus tadi siapa?” Ucapku tak percaya.

Otakku berputar cepat mencari jawaban. Namun justru kepalaku rasanya seperti di tekan dengan benda padat, rasanya ada yang membetotnya begitu kuat.
“Sudah, mending sekarang kamu istirahat, Ta. Atau mau tidur sama Nenek?” ucap Nek Mar sambil membelai punggung ku.
Aku menggeleng, menolak permintaan Nek Mar. “Tapi, Nek...” ujarku.

Nenek menggeleng, bergegas ia menuntunku agar segera masuk ke dalam kamar.

Lama aku berbaring manatap langit-langit kamar. Memikirkan setiap detail kejadian aneh yang barusan kualami.
“Moleho, Kromoleo” Kata ku lirih berulang kali. Teringat ucapan Sakti dan orang-orang yang memanggul keranda.

Moleho, selama ini yang ku tahu kata itu berarti “pulang”. Apa Sakti memintaku untuk pulang? Tapi untuk apa?
Dan siapa bocah yang keluar rumah dengan ku. Padahal Sakti tidur di kamar orang tuanya? Belum lagi orang-orang pengantar jenazah itu.

Arrrg.... rasanya kepalaku hampir meledak.
Ku hela napas, mencoba menenangkan diri. Jelas ada yang tidak beres di tempat ini. Mungkin besok aku akan bertanya kepada Nek Mar. Ya, aku harus mencari tahu soal Sakti dan orang-orang pemanggul keranda itu.
*****
Paginya, aku terbangun dengan kepala begitu berat. Semalaman aku tidak bisa tidur, saat adzan subuh berkumandang mataku baru bisa terpejam.
“Maaf Bulek, Sita kesiangan. Semalem tidak bisa tidur” Ucap ku saat melihat makanan sudah tersaji di depan meja.

“Iya, kata Om Panca kamu ngelindur, Ta?” tanya Bulek.
“Enggak tahu Budhe, Sita juga bingung. Padahal Sita yang minta Sakti untuk bersih-bersih...” kata ku langsung menceritakan semua yang terjadi.

“Masa sih? Mungkin penghuni sini mau kenalan sama kamu, Ta” ucap bulek.
“Penghuni? Penghuni apa sih Bulek?” tanya ku tak paham.

“Dedemit. Mungkin mereka mau kenalan sama kamu. Yah semacam sambutan selamat datang” ucap Bulek asal.
Aku bergidik mendengar ucapan Bulek Fatma. Yang benar saja! Penyambutan macam apa yang membuat orang bingung dan ketakutan.

“Bulek, Sita bantuin, ya?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Halah gak perlu, biasanya yang masak juga Bulek.” Timpal Bulek sambil mengerakkan dagunya, memintaku untuk duduk.

Tak mau berdebat, akhirnya aku hanya membuat teh hangat dan segera duduk menghadap Bulek.
“Ta, nanti ikut Bulek ya? Kamu kan belum kenal sama warga sini, biar punya teman” Ajak Bulek.
Sebenarnya aku enggan. Meski tergolong orang yang mudah beradaptasi, tetapi rasanya aku belum berminat untuk berinteraksi dengan orang-orang.
Terlebih warga Desa pasti mengetahui perihal kematian ibu. Jujur saja aku malas membahas segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

“Mmm… Maaf Bulek. Kalau besok gimana? Bukan Sita tidak mau. Cuma malas saja kalau mereka membahas soal Ibu” Ucap ku.
Bulek Fatma menatapku intens. Sorot matanya tak bisa ku mengerti, entah dia marah atau merasa prihatin.
“Ya sudah! Besok kalau sudah siap, biar Bulek kenalkan sama orang-orang disini. Tidak baik hidup di Desa tetapi tidak kenal dengan tetangga” Ucapnya, sambil berlalu pergi ke kamarnya.
Aku menghela napas. Apakah aku harus berinteraksi dengan orang-orang Desa? Toh aku kesini bukan untuk menatap selamanya.
Penat dengan situasi ini. Kuputuskan untuk jalan-jalan, mungkin dengan begitu aku bisa sejenak melupakan Ibu atau kejadian semalam.

Setelah pamit kepada orang rumah. Bergegas aku pergi, menyusuri jalan yang kemarin ku lewati dengan Sakti.
Bukan karena mau, hanya jalanan ini yang aku ingat. Toh aku ingin memastikan tempat yang ditunjuk oleh Sakti semalam.
Sepanjang perjalanan aku beberapa kali berpapasan dengan warga yang baru pulang dari ladang. Tak ku kira mereka begitu ramah, tiap kali berpapasan, seutas senyum atau ajakan untuk mampir selalu mereka utarakan.
Aku terus naik ke arah bukit.Aku yakin tempat ini yang kemarin ku lewati bersama Sakti.

Terus saja kulangkahkan kaki menuju pohon besar di tengah bukit. Begitu takjub, saat mendapati pohon itu begitu tinggi, belum lagi akar-akar yang menjuntai kebawah.
Ku edarkan pandangan, mengamati sekitaran. Tempat ini begitu sepi, bahkan tak ku temui siapapun. Ada rasa enggan untuk masuk ke dalam, tetapi rasa penasaran membuatku ingin mendekatinya.

Saat aku hendak melangkah lebih jauh…
“Mbak” Terdengar suara perempuan dari arah belakang.

Terlonjak, ku tolehkan kepala. Mencari tahu siapa yang memanggilku...

“Mau ngapain?” Ucapnya angkuh.
Ku lihat seorang wanita muda berdiri tak jauh dari ku. Ia memiliki paras cantik, rambutnya digerai indah ke samping. Namun, sorot matanya begitu dingin dan tajam. Belum lagi tampah berisi sesajen yang ia bawa, membuat aura misterius terpancar dari sosok ini.
“Maaf, saya cuma mau...” Ucap ku sambil menunjuk ke arah pohon dibelakang ku.

“Mbak, siapa?” Tanya wanita itu.

Aku berjalan ke arahnya, “Saya Sita. Cucunya Nek Mar, keponakan Om Panca” Ucapku memperkenalkan diri.
Ia tidak langsung menjawab, justru melihatku dari atas ke bawah, sepertoi menilai sesuatu. Sungguh! aku benci sekali saat orang menelisik tubuhku seperti itu.
“Saya Ratih. Kamu belum tau tempat ini?” Tanya Ratih sambil meletakkan tampah ke tanah.

Aku menggeleng. Kupikir ini hanyalah bukit biasa. Kesini pun, sekedar memastikan kalau semalam bukan hanya mimpi belaka.
“Ayok” Ajak Ratih.

“Kemana?” Tanya ku bingung.

“Bukannya mau masuk?” Tanya Ratih datar.
Masuk? Masuk kemana? aku sedikit waspada dengan wanita ini. Jangan-jangan ia salah satu dedemit yang di ceritakan Bulek tadi pagi.
Ku kerling kaki wanita itu, memastikan kalau kakinya masih menapak tanah. Dan Syukurlah, ia tidak mengambang seperti cerita horor yang selama ini ku dengar.

“Kalau ga mau ya sudah” ucap Ratih acuh.
Aku mengangguk mengiyakan ajakkannya. Ratih pun segera mengambil tampan sesajen yang ia bawa. Lalu ku ikuti langkah kaki perempuan itu mengitari pohon.
Ternyata dibalik pohon besar itu, ada sebuah bangunan kecil semi permanen. Tempat itu begitu suram dan kotor, banyak sekali dedauan dan beberapa sampah mengering. Belum lagi bekas dupa atau kemenyan di pintu masuk.
“Kamu sering kesini?” Tanya ku sambil melihat tampah sesajen yang ia bawa.

“Setiap malam jumat” Kata Ratih singkat.
Ratih menaruh tampah di sisinya agar bisa membuka pintu bangunan.
“Makam?” Tanya ku kaget.

“Iya, ini makam dari sesepuh desa” Ucap Ratih datar tanpa menoleh.

“Mau ikut, berdoa?” Tanya Ratih menoleh ke arah ku.
“Boleh?” Kata ku meminta izin.

Ratih tersenyum, menganggukkan kepalanya. lalu duduk bersimpuh dan mulai membakar kemenyan serta dupa yang ia bawa.
Ratih mulai menangkupkan tangannya ke depan dada. Mulutnya komat kamit menggumamkan sesuatu yang tak ku mengerti.
Aku sebetulnya tidak tahu harus berdoa seperti apa. Tidak pernah sekalipun di agamaku diajarkan berdoa dengan model seperti ini. Bagiku ini hanya menghormati Ratih yang sudah mengajakku ke tempat ini.
“Cuma ada satu makam?” Tanyaku saat Ratih bergerak mengambil anglo kecil dan mulai berdiri mengelilingi makam.

“Iya” Ucapnya singkat lalu duduk bersimpuh dan mulai membakar kembali kemenyan serta dupa yang ia bawa.
Aku mengamati sekitaran lebih detail. Ruangan ini cukup luas, alasnya berupa tanah. Ada 4 buah tiang kayu besar berukir.
Dan ada satu benda di ujung ruangan yang membuat ku terkesiap. Spontan aku berpaling ke arah Ratih yang masih diam bersimpuh.
Kemudian ku tatap benda itu sekali lagi, satu ingatan muncul begitu cepat. Bak rol film yang diputar dengan kecepatan maksimal.
Aku kembali ke malam terakhir saat aku memimpikan Ibu. Sebuah keranda bambu dengan kain putih yang diikat di salah satu ujungnya.
Kulangkahkan kaki mendekat ke arah keranda itu agar lebih jelas. Aku benar-benar tidak percaya, kenapa benda ini bisa sama persis dengan yang ada di mimpiku.

Tubuhku seketika merinding hebat, saat menyadari kalau semalam orang-orang itu juga membawa keranda seperti ini.
“Kromoleo” Ucapku tanpa sadar.

“Kamu ngomong apa?” Tanya Ratih.

Aku berpaling ke arah Ratih yang ternyata sudah memperhatikan ku dari sisi makam.
“Aku pernah memimpikan benda ini. Yang pasti aku pernah memimpikan keranda ini di panggul oleh beberapa orang laki-laki” Ucapku sambil menunjuk keranda tersebut.

Ratih tidak menjawab. Namun sedikit warna di wajahnya menghilang, ada sorot ketakutan darinya.
“Ayo pulang” Ucapnya buru-buru.

Aku tak paham. Kenapa Ratih yang tadinya terlihat santai tiba-tiba panik seperti itu.
Kembali ku lihat keranda bambu di ujung ruangan. Ada desiran aneh yang muncul, bahkan sekelebat aku mencium aroma busuk bercampur dengan dupa dan kemenyan.
“Hei, Sita ayoo!” Ucap Ratih yang sudah berada di pintu masuk.

Tersadar. Aku bergegas melangkah ke arah Ratih. Wanita itu langsung menutup pintu dan berjalan cepat ke arah Desa.
“Ratih, hei” Ucap ku

“Lebih baik kamu pulang, jangan keluar malam. Kalaupun ada suara aneh, jangan pernah kamu coba untuk cari tahu” Ucap Ratih.

“Maksudnya?” Tanya ku kebingungan.
Ratih menggeleng, “Lakukan saja, atau jauh lebih baik kamu kembali ke kota” Kata Ratih segera pergi dari hadapan ku.

Aku bingung dengan perkataan Ratih. Apa yang membuatnya berbicara demikian, apakah ada sesuatu yang sedang terjadi di Desa ini?
Aku bergegas mengejar Ratih yang sudah beberapa meter jauh di depan ku. Langkahnya terlihat buru-buru.

“Ratih” panggil ku, membuat wanita itu kembali berhenti.
“Aku lupa jalan pulang, bisa bareng?” pinta ku mencoba mencari alasan.

Ia mengangguk, namun tak berucap lebih jauh.
“Ratih, apa semalam ada orang meninggal di Desa ini?” tanyaku mulai tak bisa mengendalikan rasa penasaran.
“Tidak, apapun yang kamu lihat atau dengar abaikan saja” ucapnya singkat, terus melangkah menuju Desa.

Aneh, kalau semalam tidak ada orang meninggal kenapa ada orang-orang yang membawa keranda berkeliling desa semalaman.
“Kromoleo itu apa?” tanyaku tak peduli dengan raut wajah Ratih yang mulai jengah.

Kini Ratih berhenti, menatapku jengkel. Biar saja dia marah, aku benar-benar ingin tahu arti kata itu. Sudah beberapa kali aku mendengar itu, baik dari Sakti maupun orang-orang semalam.
“Ratih?” tanya ku sekali lagi.

Wanita itu menatap sekitaran, aku pun juga melakukan hal serupa. Sepertinya ia sedang melihat kondisi sekitar kami.
“Sesuatu yang tidak baik, kalau kamu ingin tahu tanyakan saja pada bocah kecil di rumah mu itu. Atau kalau tidak, datang saja ke cungkup tadi tepat tengah malam.--
-- Tapi kurasankan untuk tidak melakukan itu semua” ucapnnya langsung berlari kecil meninggalkan ku dengan kepala penuh pertanyaan.
Aku memandang Ratih kebingungan, aneh sekali wanita itu. Kenapa aku malah disuruh pergi ke tempat suram itu.

Lantas aku berjalan ke arah rumah Nek Mar. Namun saat hampir sampai terdengar suara Bulek memanggilku.
“Sita” panggil Bulek dari salah satu pekarangan rumah.

Ku lihat ada ibu-ibu disana, begitu juga Sakti dan beberapa anak kecil. Namun anehnya Sakti terlihat duduk sendiri di ujung rumah.
Tak elok menolak panggilan, bergegas ku langkahkan kaki menuju tempat Bulek berada.

“Mbak Sita, dari mana kok Sakti ga diajak” ucap Sakti langsung menghampiri ku.
Bocah itu langsung memelukku erat, bahkan seperti menarikku agar menjauh dari orang-orang dipekarangan itu.

“Maaf ya, tadi kan Sakti lagi pergi sama Bapak” ucapku mengelus kepalanya.
“Oh ini anaknya Tatik, sudah besar dan cantik ya” ucap salah satu wanita.

“Heheh. iya Bu, saya Sita” kataku memperkenalkan diri.

“Iya Budhe sudah tahu, sini nduk duduk sini” ucapnya.

“Sita kesini dulu” pinta Budhe.
Mau tak mau aku berjalan ke arah mereka. Sebelum aku melangkah lebih jauh, pandanganku tertuju pada tampah kecil di ujung bangunan.

“Sesajen?” batin ku penasaran “Kenapa di rumah ini juga ada sesajen seperti di rumah Nenek?”
“Mbak, ayo temenin Sakti” rengek bocah itu.
Belum juga aku duduk, Sakti sudah menyeretku untuk pergi dari tempat itu.

“Eh... Iya sebentar” ucap ku.

“Sakti, biar Mbak Sita istirahat dulu” kata Bulek Fatma.
Bukannya menurut bocah itu makin meraung dan terus menyeretku. Mau tidak mau aku menurutinya.

“Mau kemana?” tanya ku.

“Kita keladang aja Mbak, enakan disana daripada di Desa” ucapnya tak memandang ku.
Aku mengerutkan dahi, nada bicara bocah ini kembali seperti orang dewasa. Bagaimana mungkin?

Tiba-tiba saja aku teringat dengan ucapan Ratih yang memintaku untuk bertanya kepada Sakti soal Kromoleo.
“Sakti, semalam beneran kamu tidur?” tanya ku.

Bocah itu berhenti, menolehkan kepalanya menatapku dengan raut wajahnya kebingungan.

“Tidur kok, sama Ibu dan Bapak. Kan Mbak Sita yang jalan-jalan sendiri” ucapnya polos.
Aneh, apa Bulek menceritakan kejadian semalam kepada Sakti?

“Sakti tahu dari mana kalau Mbak keluar rumah semalam?” tanya ku memastikan.

Sakti mengangkat kedua pundaknya. “Sakti tidur, Cuma dengar kalau Mbak Sita jalan-jalan malam” jelasnya.
“Sakti tahu apa itu Kromoleo?” tanyaku

Bocah itu tampak terkesiap, bahkan kulihat tubuhnya bergetar pelan. Seolah kata yang kuucapkan begitu menakutkan.

“Sakti?” tanya ku sekali lagi.
Bocah itu menggeleng, menandakan tidak mau menjawab pertanyaan ku. Aneh sekali, kenapa ia begitu ketakutan seperti itu.

“Jadi Sakti tidak tahu apa itu Kromoleo?” tanyaku.
Ia kembali menggeleng, dan segera menarik tangan ku agar segera melangkah. Kalau Sakti tidak tahu apa itu Kromoleo, kenapa Ratih memintaku untuk bertanya kepadanya? Atau aku harus menuruti pilihan yang ke dua?

*****
Malamnya, kami semua yang ada di rumah Nek Mar, berkumpul di ruang tengah. Senda gurau bahkan suara tawa terdengar renyah.
Sudah lama sekali aku tidak merasakan seperti ini. Kami para orang dewasa memainkan kartu, bagi yang kalah bakal di coret mukanya dengan bedak. Dan sayangnya Nek Mar yang selalu kalah dalam permainan ini.
“Hahaha, ibu kalah lagi” gelak Om Panca, sambil mengocok kartu di tangannya.

“Aduhhh.... Anak mantu cucu durhaka semua. Masa ibu mukanya jadi mirip penari seperti ini” kata Nek Mar.
“Haha, nenek Mirip Sakti” kata Sakti yang juga mencoret-coret mukanya.

“Sesekali ya Bu, sudah lama tidak seperti ini. Sekarang giliran Sita yang dicoret” ucap Bulek yang langsung disetujui semua orang.
Aku meronta, Nenek dan Om Panca memegangi kedua tanganku. Sedang Sakti dan Bulek mencoret-coret mukaku dengan bedak.

Tok...tok...tok...

“Assalamualaikum, Panca”
Terdengar suara ketukan pintu dan panggilan dari laki-laki yang tak ku kenali.

“Sebentar ya” kata Om Panca sambil berdiri dan mengusap wajahnya menghilangkan sisa bedak.
Kami melanjutkan permainan. Namun baru beberapa saat kami bermain, Om Panca kembali masuk ke ruang tengah dengan raut wajah kaget.

“Kenapa Mas?” tanya Bulek.

“Mbah Suhar meninggal” ucapnya.
“inalilahi wainalilahi rojiun” kami berucap bersamaan.

“Aku mau ke rumah duka, kalian?” tanya Om Panca.

“Aku juga mas” ujar Bulek yang langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan muka.
Sedang Nenek malah menatapku sedikit intens. “Nek ada apa?” tanyaku penasaran.

Ia menggeleng “Enggak nduk, sudah siap-siap sana” pintanya.

“Loh, Sita juga ikut?” tanyaku.
“Iya, nanti kamu temenin Sakti disana” jawab Nenek.

Setelahnya kami bergegas membersihkan diri, mengganti pakaian yang pantas dan pergi ke rumah duka.
Aku sebenarnya tidak ingin ikut. Suasana duka seperti ini hanya mengingatkanku pada mendiang Ibu, suara lantunan surah Yasin justru membuatku menitikkan air mata.
“Mbak” panggil Sakti membuyarkan lamunanku.

“Kenapa?” tanyaku mendekat ke arahnya.

“Ayo pulang, Sakti takut mati” ucapnya polos.
Aku kebingungan, semua orang di rumah Nek Mar sedang di tempat ini. Lagi pula sudah malam, pasti jalanan juga sepi.

“Mbak, Ayo” kata Sakti mulai merengek.
“Sebentar, Mbak tanya Nenek dulu ya” ucapku.

Setelahnya walau Nenek tidak mau kami pulang terlebih dahulu, akhirnya dia mengizinkan karena Sakti terus merengek dan bahkan sudah hampir menangis.
Jalanan menuju rumah Nenek begitu sepi. Rasanya seperti malam kemarin, hanya ada aku dan Sakti.
Mungkin kemarin aku tidak memiliki rasa takut berlebihan. Tetapi setelah kejadian semalam, serta pembicaraan dengan Ratih, ada ketakutan jika Sakti yang bersamaku saat ini bukan manusia seperti malam kemarin.
“Sakti” ucapku

Bocah itu tak menjawab, ia terus melangkah sambil mencengkeram tangan ku erat.

“Sakti” panggilku sekali lagi.

“Ayo Mbak, cepet keburu dateng” ucapnya tak jelas.
Hei, apa yang datang? Suasana sedang seram seperti ini kenapa malah bocah itu berbicara aneh.

Kulangkahkan kaki sedikit lebih cepat, bahkan sialya Sakti meminta untuk digendong. Hah, dasar bocah ini, kenapa selalu merepotkan.
Aku terhenti, sayup kembali mendengar suara-suara. Aku ingat betul, suara ini yang ku dengar semalam.

“Sakti dengar?” tanya ku memastikan.
Sakti menggeleng kuat, memintaku agar cepat pergi dari tempat ini. “Mbak Ayo cepet” pintanya memaksa.

Aku berjalan lebih cepat lagi, namun baru beberapa langkah. Aku kembali berhenti, karena suara itu semakin terdengar kencang.

“Kromoleo”
Tubuh Sakti menegang di gendongan ku. Lalu dengan cepatnya ia turun dari punggungku, menarikku ke arah samping.

“Sakti kenapa?” ucapku panik.
Bocah itu diam dan terus merengek memanggil ibunya. Sial, kenapa ini? Tadi minta pulang, sekarang minta ke tempat ibunya.

“Sakti, ayo” desak ku.
Ia terus menggeleng. Jengkel, aku berusaha untuk menarik tangannya agar mengikutiku. Namun, ia justru menarik kembali.

“Kromoleo”
Terdengar jelas dan lirih. Aku yang kaget langsung mengedarkan pandangan kesegala arah, namun tidak ada siapapun disana.
Kembali ku tatap Sakti, bocah itu masih meringkuk di pinggir jalan. Sial kenapa harus ditempat seperti ini. Lihat saja, sekelilingku begitu sepi, hanya ada pepohonan dan serangga malam.
Tap...tap...tap...

Aku kembali menoleh kebelakang, mendengar saura langkah kaki beriringan. Dari kejauhan ku lihat sesuatu yang ganjil seperti malam kemarin.
“Kromoleo Moleho” ucap suara saling tumpang tindih dari orang-orang yang berdiri tak jauh dari tempat ku.

Tubuhku gemetar, kenapa mereka menguburkan jenazah malam-malam seperti ini. Aku mundur selangkah ada rasa khawatir yang timbul.
Segera aku berpaling ke arah Sakti. Bocah itu masih diam meringkuk ketakutan. Bahkan ia mulai mengeluarkan suara isakan.

“Moleh, moleh” (pulang, pulang) lirihnya.
Aku kembali melihat ke depan. Orang-orang itu begitu mengerikan, 6 orang dewasa berdiri di tengah jalan denan latar belakang gelapnya malam berkabut dengan memanggul keranda dari bambu tanpa isi.
Tiba-tiba saja mereka bergerak. Panik aku menoleh ke arah Sakti, namun hal yang kutemui justru membuat ku jauh lebih panik.

“Sakti” panggilku
Tidak ada sahutan, bocah itu sudah hilang entah kemana. Kenapa aku tidak menyadari? Bahkan aku tak mendengar suara langkah kakinya.

“Kromoleo” terdengar suara dari sekumpulan orang itu.
Jantungku berdebar kencang. Aku menoleh kembali ke arah mereka. Kini yang kudapati, orang-orang itu berjalan begitu pelan ke arah ku.

-TBC-
Buat teman-teman yang mau baca part 3 bisa langsung gas ke Karyakarsa ya.

karyakarsa.com/netrakala/krom…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Netrakala

Netrakala Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @netrasandekala

May 2
-a thread
Kromoleo

Sebuah Pertanda Malapetaka

Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Disclaimer! Tidak diizinkan untuk share dalam bentuk tulisan atau vidio tanpa izin Netrakala.
Kromoleo - Part 1

Duaaakkk....

Aku tersentak dari tidur, ketika mendengar suara keras itu. Aku berkedip berulang, menggerakkan kepala, beradaptasi dengan kegelapan. Namun yang kutemui hanya kesunyian, tidak ada apapun bahkan suara serangga pun seolah ikut membisu.
Read 131 tweets
Apr 15
-a thread
KEPATEN - Part 4
Bagaimana jadinya jika sebuah ritual budaya meminta tumbal nyawa warga desa
Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Part 4

“Kenapa mbak?” Tanya Bapak penjual nisan.

“Lebih baik nisan ini dibawa pulang saja. Di desa kami tidak ada yang meninggal hari ini” Pinta ku.

“Loh, gimana to? La terus ini gimana?” Jelas Bapak itu.
Read 136 tweets
Mar 27
-a thread
KEPATEN - Part 3

Bagaimana jadinya jika sebuah ritual budaya meminta tumbal nyawa warga desa
Ijin taq

@bacahorror

@IDN_Horor

#ceritaseram #ceritahoror Image
Kepaten - Part 3

Aku dan Mas Suroso menatap Bapak tidak percaya. Bagaimana mungkin dia membiarkan kami melakukan ritual itu?

Aku hampir beranjak mengikuti langkah Bapak.

“Sebentar, saya masih belum paham. Air mandi jenazah mana yang bakal di pakai?” Tanya Mas Suroso.
Read 143 tweets
Mar 17
A thread -

Kepaten - Part 2
Bagaimana jadinya jika sebuah ritual budaya meminta tumbal nyawa warga desa

Izin taq @bacahorror @IDN_Horor
#ceritahoror #ceritaseram Image
“Wih wangi, bikin laper” Ujar Mas Suroso.

Sebatas ku lirik orang itu, lalu melanjutkan mengaduk bumbu yang sudah tercampur dengan minyak.

“Kok cemberut, kenapa to Widuri kesayangku? Nanti gosong lo” Lanjut Mas Suroso.
Read 192 tweets
Feb 29
-a thread
KEPATEN

Bagaimana jadinya jika sebuah ritual budaya meminta tumbal nyawa warga desa

Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Disclaimer!
Tidak diizinkan untuk share dalam bentuk tulisan atau vidio tanpa izin Netrakala.
Kepaten - Part 1

Desa Keranjan - 1993

Ramai! Tak biasanya lapangan Desa begitu penuh. Kumpulan manusia berdesakan, saling sikut dan dorong. Warga desa tetangga pun ikut datang berduyun. Banyak pula pedagang dengan semangat menjajakan jualannya.
Read 168 tweets
Feb 25
Berawal dari iseng, justru dapat cerita yang menurut gw sama sekali ga masuk akal.

Izin taq
@IDN_Horor @bacahorror #horror #ceritahoror Image
Ok sebelum mulai, gw disclaimer dulu. Gw ga izinin siapapun untuk share dalam bentuk tulisan dan vidio.
Berawal dari rasa penasaran, gw mulai cari-cari informasi soal Kuyang.

Gw pikir ga masuk akal banget ada manusia bisa misahin kepalanya. Dan teeengg...

Beruntung gw dapat narsum yang emang tahu seluk beluk dari setan ini.

Kita up pelan-pelan ya.
Read 9 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(