Bukan, tulisan pendek ini bukan membicarakan orang-orang Indonesia yang menjadi tenaga pengajar di Korea Selatan, namun membicarakan tentang ambisi para politisi, pejabat, dan lain sebagainya. /1
Seperti kita tahu, sekarang lagi ngetrend bagi para politisi untuk mengejar gelar guru besar, seakan-akan bahwa gelar tersebut adalah gelar yang sangat diperlukan untuk memperlihatkan bahwa mereka bukanlah tong kosong yang nyaring bunyinya. /2
Akibatnya, sudah banyak bermunculan fenomena-fenomena di tanah air, yang mana seorang politisi pemegang jabatan tinggi bisa lulus S2 duluan sebelum S1, dan lalu belum lama lulus S3 sudah langsung mengejar posisi "guru besar" yang menimbulkan heboh. /3
Belum lagi politisi-politisi yang belum pernah seumur-umur belum pernah terdengar menulis karya ilmiah, dan bim salabim menerbitkan artikel-artikel mereka di jurnal-jurnal ilmiah. /4
Tentu saja, jurnal-jurnal ilmiah tempat mereka terbit itu jurnal khusus super bagus, seperti yang berada di Budapest, Medan. Ada juga jurnal Egyptology yang editornya sama sekali belum pernah menulis soal Mesir. /5
Atau yang lagi ngetrend sekarang adalah sebuah jurnal tentang Kurdi yang editor utamanya dari Sumatera Barat dan seumur-umur belum pernah menulis tentang isu-isu Kurdi. /6
Sebelum makin ngelantur, mari kembali ke topik utama. Pagi ini saya juga mendapatkan pengumuman ini, yakni salah satu politisi yang sepengetahuan saya seumur-umur belum pernah mengajar, mendadak mau diangkat menjadi guru besar di sebuah universitas di Korea Selatan. /7
Sebelum ini juga, ada seorang pemilik-- uups, pemimpin tertinggi partai -- yang diangkat jadi guru besar kehormatan di Seoul Institute of the Arts. Nah, timbul pertanyaan saya, kok bisa. /8
Saya menghubungi beberapa teman di Korea Selatan buat bertanya, apa jangan-jangan merebaknya epidemi guru besar di Indonesia adalah sebagai bagian dari Korean Wave/K-Pop itu tuh, yang menyebar ke Indonesia. Kalau begitu ya artinya kita sudah tahu asalnya dari mana. /9
Teman-teman saya tentu saja terperangah mendengar kabar itu. Namun, terperangahnya karena pengumuman ini: Nobody makes a speech when they become a full professor in Korea. So this is weird. /10
Bahasa kerennya:
"Tidak ada yang membuat pidato (pengukuhan) waktu mereka menjadi guru besar di Korea. Makanya, ini aneh."
/11
Kemudian: "BUFS does not reveal rank/status of their faculty members on the website.. it seems they have only 1 Indonesian studies faculty member. But if you don’t stay in Korea full-time, it’s impossible to work here as a full professor." /12
Bahasa Konohanya: BUFS tidak memperlihatkan peringkat atau status dosen-dosen mereka di website. Mereka hanya ada satu dosen studi tentang Indonesia. Tapi kalau kamu tidak tinggal di Korea sepanjang waktu, TIDAK MUNGKIN BAGI KAMU UNTUK BEKERJA DI SINI SEBAGAI GURU BESAR. /13
Ada juga komentar: The problem is all other non-professor positions are called “professors” (research professor etc) and it’s hard for us to tell whether one is a real full professor or not . /14
Sometimes everybody knows that a certain person is not a tenure-track professor, but she’s introduced as a professor on TV programs of renowned broadcasters and everybody just remains silent Professor title is cheap in Korea.... 😱😱😱😱😱 /15
PROFESSOR TITLE IS CHEAP IN KOREA.
Intinya, institusi-institusi di Korsel seperti BUFS dan SIA (yang pernah kasih gelar professor ke Mega) memanfaatkan ego dan gila hormatnya para politisi kita buat $$$. /16
Mereka kasih gelar professor kehormatan yang cuma itulah, gelar-gelaran yang harganya cuma secarik kertas, dengan harapan nama institusi mereka tenar di Indonesia, dan para politisi lalu kirim anak-anak, saudara saudari, semuanya, untuk sekolah di sana. /17
Mereka dapat $$$, sementara kita jadi bahan tertawaan sejagad raya.
Kita di negara lain dikasih pantat, dan di sini malah bangga. 🤡🤡🤡🤡🤡🤡
Itulah saudara-saudari, Indonesia Emas 2045. /END
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Jaman Natsir, Indonesia mengalami budget surplus karena Perang Korea. Dalam 8 bulan, cadangan USD meningkat US$ 60 juta dan cadangan emas meningkat sebesar US$ 30 juta. Ada surplus APBN sebesar Rp. 1.3 milyar. US$1 = Rp. 10. @Trystanto2
Itu salah satu alasan kenapa Belanda memaksa Indonesia bayar hutang sebesar 4.3 milyar Guilder. Dianggapnya Indonesia akan dengan mudah bayar dengan cara ekspor hasil buminya, sedangkan Belanda gak punya apa-apa, plus negaranya hancur karena Perang Dunia II.
Selain karena Perang Korea, surplusnya duit di kabinet Natsir itu karena menkeu-nya waktu itu, Sjafruddin Prawiranegara yang terkenal pelit, gak mau hambur-hamburkan anggaran untuk hal-hal yang buat dia gak berguna, dan menekankan efisiensi.