DARI LAUT KITA BERTANI
.
.
.
Bila 70% halaman rumah kita adalah air, seharusnya kita pasti lebih mengerti tentang apa itu konsep air. Kaki dan badan kita senang dengan basah-basah dan kita pandai berenang.
Kita mencari sekaligus mendapati banyak keuntungan atas air melimpah kita miliki.
Ikan dan segala jenis makhluk hidup di sana adalah makanan kita, mata pencaharian kita. Kita berperahu dan memanennya sebagai berkah.
Di sana, kita pun mengenal apa itu perahu dengan segala perniknya. Termasuk ilmu navigasi di dalamnya.
"Adakah alasan logis sehingga kita tak lagi mengenalnya? Tak mengambil manfaat atas itu?"
Orang tua kita melarangnya. Orang tua kita tak lagi mengijinkan kita bermain di sana karena alasan tertentu. Bisa karena trauma masa lalunya atas pengalaman hidup tak menyenangkan yg pernah dilaluinya & maka demi kebaikan semua pihak, anak-anak tak lagi diijinkan bermain di sana.
Orang tua kita memilih untuk memulai cara baru bagi hidupnya dan kita sebagai keturunannya terputus dengan budaya kakek dan nenek kita.
Maka cerita menakutkan atas apa itu air dan akibat yang akan anak-anaknya dapat, harus dibuat.
Ayah dan ibu memberi atau menciptakan dongeng agar kita tak mendekati air.
Di dalam air ada makhluk menakutkan sebagai mitos dan anak-anak menjauh dari ruang tempat kakek dan neneknya dulu pernah jaya dimulai dari sana.
Budaya dan wajah siapa keluarga itu dahulu, saat itu juga berubah.
Demikianlah kita bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, air adalah jembatan kita. Air adalah juga tempat di mana kita saling bertemu satu dengan yang lain.
Air sebagai jembatan bagi pertemuan itu membuat kita mengerti apa itu teknologi kapal.
Itulah alasan logis kenapa sejarah mengungkap betapa hebat kita di masa lalu sebagai BANGSA PELAUT.
Itu tuntutan alam sebagai panggilan atas takdir kita mendapat berkah berupa tanah yang dikelilingi oleh laut.
Maka, ketika seorang Portugis bernama Diego de Couto dalam buku Da Asia, yang terbit pada tahun 1645 mengatakan bahwa jauh sebelum bangsanya sampai di Tanjung Harapan Afrika dan Madagaskar,
orang-orang dari Nusantara dan ternyata sudah mendahuluinya, seharusnya bukan berita luar biasa.
.
.
Orang-orang Portugis Lah yang terlalu underestimate terhadap bangsa yang akan dikunjunginya.
Dan mereka makin kaget dengan kenyataan bahwa Malaka tempat yang ditujunya ternyata adalah pelabuhan besar dan banyak kapal yang jauh lebih besar dari miliknya ada di sana.
Dalam buku itu juga ditulis kesaksiannya bahwa perairan di Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an didominasi oleh kapal-kapal dagang dari Nusantara. Jalur rempah rempah yang sangat vital dikuasai oleh mereka yakni, Maluku, Jawa, dan Malaka.
Bahkan Kota pelabuhan di Malaka pada waktu itu pun praktis menjadi kota orang-orang yang berasal dari Jawa khususnya. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, sekaligus mengendalikan perdagangan internasional.
"Lalu kenapa hari ini kita sangat lemah di laut?"
Madagaskar dengan kita terpisah jarak sejauh 8000 km. Samudra Hindia dengan ombak ganasnya tak mungkin dilewati oleh kapal tanggung. Harus dengan kapal besar, kuat dan ilmu navigasi para pelautnya pun pasti juga luar biasa hebat.
Diperkirakan, pada abad 9 pulau itu sudah dikunjungi oleh orang-orang yang berasal dari Nusantara. Lebih jauh lagi Tanjung Harapan, itu daerah di selatan dan barat Afrika.
"Iya, kalau memang kita dulu pernah hebat di laut, kenapa hari ini kita terpuruk?"
Sriwijaya tercatat sebagai kerajaan yang sangat concern dengan laut dan maka Kerajaan itu sering disebut dengan kerajaan maritim.
Kebesaran Sriwijaya diteruskan dan bahkan menjadi sangat lebih masif dalam ukuran militer dan kekuatan lautnya oleh Majapahit.
Ada catatan bahwa dalam hal kekuatan laut, Majapahit memiliki 5 armada. (AS hari ini memiliki 6 armada?)
Berapa jumlah kapal yang dimilikinya, tidak diketahui secara pasti. Tetapi jumlah terbesar yang pernah digunakan dalam satu ekspedisi adalah berjumlah 400 buah
kapal-kapal besar yang disebut JUNG masing-masing didampingi beberapa kapal yang lebih kecil. Ini mengingatkan kita pada kapal induk AS yang tak pernah keluyuran sendirian. Itu terjadi pada tahun 1345-1350 saat Majapahit menyerang Pasai.
Di sana ada catatan bahwa setiap kapal memiliki panjang sekitar 70-180 meter, berat sekitar 500-800 ton dan dapat membawa 200-1000 orang. Kapal-kapal ini juga dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang (meriam khas Majapahit) berukuran kecil.
Menurut kitab Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII - XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.
Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.
Hal ini dinyatakan oleh Ma Huan yakni penterjemah Cheng Ho yang mengunjungi Jawa pada tahun 1413.
Ia menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di mana pun di Asia Tenggara.
Demak mencoba melanjutkan status hebat kerajaan Majapahit di laut ketika kerajaan itu runtuh. Paling tidak Portugis merasakan betapa hebat armada Demak ketika menyerang mereka di Malaka.
Dalam rangka membantu sultan Mahmud dari Malaka yang wilayahnya direbut oleh Portugis, Pati Unus di tahun 1511 dan 1521 mengerahkan armada lautnya.
Demikian pula Ratu Kalinyamat sebagai penerus Pati Unus yang gugur pada penyerangan keduanya, pada tahun 1550 dan 1574 kembali membantu sultan dari Malaka. Sekali lagi armada itu harus kembali menemui kekalahan.
Kemampuan laut kita semakin menurun dan terlebih ketika VOC datang awal abad 17 dan mengalahkan Portugis. Bukan Malaka dipilih jadi pusat, Jayakarta yang diganti nama dengan Batavia dipilih.
Demak runtuh diganti Pajang dan kemudian Mataram.
Sejak Mataram berkuasa, laut tampak semakin dijauhi. Sangat mungkin itu akibat begitu dominannya Portugis dan kemudian VOC menguasai laut kita.
Bila pilihan itu diambil dan seolah Mataram lebih memilih sebagai kerajaan agraris, itu tampak pada perebutan wilayah di Jawa Timur.
Dan demi alasan kontrol perdagangan, Mataram pun tercatat merebut kota-kota niaga di pesisir. Lasem pada tahun 1616, Tuban 1619, Gresik 1623, dan Surabaya tahun 1625. Itu adalah kota-kota pelabuhan tempat di mana kapal dibangun.
Penerus Sultan Agung yakni Amangkurat I, terlalu benderang mendukung VOC dan pesisir semakin banyak dikuasai oleh VOC.
Kombinasi antara tekanan maritim VOC dan kecurigaan Mataram terhadap masyarakat pesisir, menyebabkan menurunnya dunia kemaritiman kita.
Konon "perkawinan" antara raja Jawa dan Ratu Laut Kidul adalah bentuk imbal jasa dari kemenangan Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, atas Arya Penangsang.
Aryo Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto, raja terakhir Kesultanan Demak.
Mitos Nyi Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan, jelas makin menjauhkan rakyat dari lautan di mana jembatan itu dulu adalah tempat kita bertemu.
Jung yang dalam bahasa Jawa adalah "Jong" yang juga berarti kapal dengan ciri tertentu lenyap pada abad 17 seiring menjauhnya Mataram dari laut.
Setelah hilangnya jong pada abad ke-17, makna kata "jung" yang sampai saat itu digunakan sebagai transkripsi kata "jong" dalam bahasa Melayu dan Jawa, berubah artinya menjadi hanya merujuk kapal Cina saja.
Perkataan "Jung" juga dapat diperkatakan berasal dari bahasa Tionghoa, yaitu Teow Chew dan Hokkien yang berasal dari selatan Cina. Dalam bahasa Teow Chew kapal jung disebut "Jung" dan dalam bahasa hokkien disebut sebagai "Jun".
Menghilangnya kapal besar dengan lambung berbentuk "V" dan terbuat dari kayu jati yang terdiri hingga 4 lapis dengan tiang layar berjumlah 3-4 dan layar berbentuk kotak dan mampu mengangkut hingga 1000 orang itu, hilang pula makna nama jong.
Sejak saat itu nama jung adalah tentang kapal Tiongkok.
"Emang seberapa hebat Jong sebagai kapal?"
Dulu, laut China Selatan adalah halaman kita.
Laut China Selatan adalah seperti salah satu tempat bermain bagi bangsa besar ini memperoleh julukannya sebagai bangsa maritim KARENA KITA MEMILIKI “JONG”
Akankah kita harus mengulang besar sejarah kita pernah gapai? Jong sebagai hebat kendaraan laut pada jamannya adalah jawabannya.
Mencari jejak siapa kita hingga Kanton seolah hanya sejengkal sebagai jarak dan Madagaskar sangat terkait dengan kita, Jong pula akan menjawab.
Jong adalah sisi lain siapa kita dulu yang kini terlupakan.
Apa dan bagaimana JONG, semoga ada tulisan lain yang bisa bercerita.
.
.
.
Share this Scrolly Tale with your friends.
A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.