PENDIDIKAN, KUNCI KEBANGKITAN NASIONAL
.
.
.
.
.
Dalam satu tarikan garis lurus, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sejarah tentang bagaimana bangunan sebuah negara yang wilayahnya
membentang dari Sabang sampai Merauke itu dibangun.
.
.
Ada proses panjang harus dilalui. Pondasi yang baik sangat menentukan kualitas bangunan yang akan dibangun di atasnya. Pun Indonesia merdeka.
Sebagai sebuah bangunan, peristiwa Kebangkitan Nasional adalah tentang pondasi yang dibuat demi tujuan Indonesia merdeka.
Kritik Jurnalis Pieter Brooshooft (1845-1921), tentang kewajiban moral Belanda untuk memberi lebih banyak hak kepada rakyat Hindia Belanda ditanggapi
pemerintah kolonial.
.
.
Pada tahun 1901, Ratu Belanda secara resmi mendeklarasikan "Kebijakan Etis" yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Hindia. Itu hanya dimungkinkan dengan hadirnya pendidikan dan maka banyak berdiri sekolah-sekolah.
Pendidikan pada anak negeri ini pada akhirnya menghadirkan kesadaran individual tentang pentingnya makna kebangsaan.
Ketika dilakukan secara kolektif, BOEDI OETOMO sebuah organisasi yg bergerak di bidang sosial, ekonomi & budaya didirikan, oleh Dr Sutomo & para mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA pada 20 Mei 1908 adalah cikal bakal bagi lahirnya pergerakan Nasional.
Itu pondasi awal bangunan bernama NKRI.
Entah karena apa, pondasi kita hari tampak keropos. Bangunan bernama NKRI itu sering terlihat goyang dan tak lagi kokoh.
Cara kita hidup dalam kebersamaan tanpa sekat sedang digugat dan kita kalah.
Rasa bangga pada kebangsaan kita sedang mendapat perlawanan masif tanpa sedikit pun jeda selama beberapa tahun ini dan kita lelah.
.
.
Hal itu mudah kita lihat dari bagaimana kita saling tikam sebagai sesama anak bangsa hanya karena masalah sepele.
Hari ini, (terutama saat perseteruan Palestina dan Israel mendapat moment) kebersamaan kita dalam satu Indonesia benar-benar mendapatkan ujiannya. Warna agama demikian mengkristal dalam saling klaim benar pada cara kita berpihak dan kita sama-sama telah menetapkan posisi.
Kita berdiri dalam saling berhadapan. Tercerai kita dalam anggap paling benar pada masing-masing.
Rasa kebangsaan kita hanyut dalam arus deras bujukan surga kaum kanan dan kita terhempas pada sudut itu. Kita tak berdaya...
Rasionalitas kita terpinggirkan oleh rasa takut dan kita memilih berkelompok pada kaum yang sewarna dengan kita. Itu seperti kita abai pada kemanusiaan sekaligus kebangsaan. Luntur dalam warna, merah putih kita tak lagi menjadi harga mati.
Sebagai satu nasional, kita terlihat compang camping. Terlalu mudah tubuh kita terkontaminasi oleh faktor luar. Kita terpapar dan lemah. Kita seperti bangunan yang tak lagi berdiri di atas pondasi yang benar.
Kita butuh memperbaiki pondasi rumah kita bersama. Kita "rebuild" Kebangkitan Nasional dalam cara sama kita pernah lakukan sebagai dasar, pendidikan.
Membayangkan bahwa setelah 75 tahun kita merdeka debat kita hanya melulu soal akhlak, surga, ayat, cara berdoa, adalah penistaan atas rasionalitas. Memalukan bin menggelikan. Itu seperti kita berbalik pada jaman batu di mana otak tak banyak diperlukan.
Dan hal itu sangat terkait dengan kualitas pendidikan kita.
.
.
"Emang kenapa dengan pendidikan kita?"
Bagaimana bila ternyata Indonesia menempati urutan 12 dari 12 negara yang di nilai di Asia? Itu kata survei Political and Economic Risk Consultant (PERC).
Bagaimana bila dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP)?
Bagaimana pula bila dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP)?
Dan bagaimana pula bila dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP)?
"Artinya?"
Mbuh..!!
Yang saya tahu, dengan bangga mereka sering bilang bahwa baju seragam sekolah bernuansa agama menunjukkan akhlak. Yang saya tahu, murid mendapat nilai 50 pada pelajaran agama tak naik kelas. Yang saya tahu, pelajaran agama diberikan sejak dari kelas 1-12 bahkan hingga kuliah.
Yang saya tahu, anak bikin tiktok dan trending bukan dibina tapi dibinasakan dengan dikeluarkan dari sekolah.🤦
Kita butuh revolusi pendidikan. Kita berharap banyak pada Menteri Pendidikan Nadiem akan memberi warna berbeda pada sistem Pendidikan kita.
Baru-baru ini, pada podcast dengan Presiden, Nadiem mengatakan, "Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, akan diadakan survei karakter, dimana nilai-nilai Pancasila dapat kita ukur dan kuantifikasi per sekolah.
Isu-isu seperti intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan dapat diukur dan menjadi salah satu program big data pertama Indonesia."
Nantinya, melalui Asesmen Nasional yang menjadi pengganti UN, siswa bakal dinilai berdasarkan kemampuan literasi dan numerasi.
Siswa juga bakal mengikuti survei karakter dalam asesmen tersebut. Ini penting, selain sistem hafalan benar-benar akan mulai ditinggalkan, Pancasila kembali menjadi tuan rumah dalam pendidikan kita.
Ketika Kementerian pendidikan disatukan dengan riset dan teknologi, di sana sinergi pendidikan dan penelitian akan mengajak pendidik dan anak didik masuk pada ranah ilmiah.
Di sisi lain, belum lama ini kita juga dengar adanya rencana sebuah konsorsium swasta ingin menciptakan komunitas berbasis iptek di mana research, inovasi, teknologi, dan investasi saling berterkaitan.
Di sana, di Bukit Algoritma Sukabumi Jawa Barat, komunitas yang digadang Budiman Sudjatmiko sebagai Silicon Valley nya Indonesia ini diharapkan memberi kontribusi pada sehat masyarakat kita sebagai insan sadar iptek memiliki tempat berkarya.
Bukankah itu seperti sebuah kebetulan? Seperti harapan terwujud dalam saat bersamaan? Kita patut berharap banyak pada kolaborasi Pendidikan kita dengan entitas Bukit Algoritma yang pada suatu saat nanti dapat melahirkan banyak manusia unggul.
Kebangkitan Nasional dari keterpurukan kita yang lama bergeming sebagai pondasi atas akan didirikannya bangunan bernama NKRI yang berisi manusia-manusia unggul adalah keniscayaan yang tak boleh ditunda.
Kita sudah sangat tertinggal dalam banyak hal dan debat kusir tentang agama hingga akhlak sebaiknya tak lagi menjadi satu-satunya keunggulan bagi rakyat negara ini.
Kita berharap banyak pada para nasionalis seperti @nadiemmakarim dan @budimandjatmiko mampu mengisi celah kosong yang lama telah ditinggal para penghuninya.
Sumpah Pemuda sebagai ikrar bersama kita tuju dan proklamasi dalam wajah negara ini tinggal landas menjadi negara maju, adalah cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya.
.
.
.
Share this Scrolly Tale with your friends.
A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.