INDONESIA BISA
.
.
.
Siapa pun yang lari dan meninggalkan medan pertempuran adalah para pengecut. Para penakut yang tak sedikit pun memiliki imajinasi terselubung dibalik mulia makna pertempuran itu. Sejatinya, mereka telah kalah sebelum bertempur.
@budimandjatmiko
Perubahan sebagai keniscayaan tak mungkin kita lawan. Itu adalah pertempuran di mana dia tak peduli dan tak pernah meminta kita hadir di dalamnya. Dia hanya terus berjalan sesuai kodratnya tanpa bertanya. Siap atau tidak kita, bukan urusannya.
Ketika kita lari dan bahkan berjalan mundur pada eforia masa lalu, kita bukan pemimpi, kita pelamun. Bangsa ini, saat ini, tampak sedang ingin berada pada masa itu. Kita berjalan mundur dgn banyak usaha pembenaran berdasar perintah yg dibuat seolah berasal dari Dia sang yg benar.
Dan banyak dari kita percaya. Bukan sekedar percaya, bahkan banyak dari kita pun menjadi agen sekaligus tampil dengan bangga sebagai korban iklan tersebut.
Dunia manusia sedang berjalan dengan teknologi sebagai ujung tombaknya. Kecerdasan manusia sebagai berkah dituntut melampaui lebih dari sekedar takdir melekat yang mereka terima. Dia diminta keluar dari dirinya & terus berubah. Maju & terus maju bila tak ingin dianggap masa lalu.
Terbatas kita pada hal bersifat fisik, telah teratasi oleh terciptanya alat mekanikal. Itu sudah dimulai sejak revolusi industri 1.0 dimana ketel uap memberi wajah baru tentang makna power.
Keterbatasan otak kita pun telah mulai dibantu saat komputer masuk dlm ruang hidup kita sejak revolusi industri 3.0.
Masa depan adalah tentang bersatunya semua hal itu. Dan itu sudah dimulai sejak saat ini, sejak revolusi 4.0 mengisi celah-celah kosong pada generasi sebelumnya.
Tahun 2030, 6 tahun dari sekarang, kita pun sulit membayangkan apa yang akan terjadi di sana. Seberapa radikal perubahan yang terjadi dan memasuki hidup kita, sulit bagi kita untuk menebaknya. Dia bergerak terlalu cepat.
Radikal cara science berubah harus kita imbangi dengan pemikiran-pemikiran berbasis kekinian bukan justru lari meninggalkan gelanggang. Kabur dan menjauh dengan mencari perlindungan pada sejarah masa lalu bukan sikap gentle.
Lebih tepat, pengecut layak kita sematkan pada mereka yang lari. Dan itu hanya akan membuat kita menjadi abu. Abu sebagai bukti kekalahan pada perang dan tak ada catatan sedikitpun tentang kita dalam sejarah.
Kita memang terlihat mundur. Ada banyak parameter dapat kita gunakan sebagai ukuran bagi hal tersebut. Bukankah obrolan sehari-hari kita kini justru terlihat serupa dengan nenek moyang kita jaman mereka belum kenal listrik?
Bukankah banyak dari kita yang bergelar sarjana hingga master justru lebih sibuk bicara bukan pada bidangnya namun realitas semu tentang dogma dan akhlak? Mereka lebih senang berbicara hukum benar & tak benar sebagai bungkus
bukan esensi ilmu pengetahuan sebagai bidang yang seharusnya menjadi milik mereka.
.
.
Sementara kita sibuk berbicara akhirat dengan berlindung dan memanfaatkan aplikasi gelar "ke-doktor-an" kita dalam fisika, biologi, hingga matematika yang kita miliki,
tetangga kita telah mampu menjangkau dan membuat banyak hal. Unsur baru mereka ciptakan sebagai bukti kemenangan dan kita lebih memilih kabur dari perang itu.
.
.
Berjalan mundur mencari tempat berdaur sebagai pelipur.
Luar biasanya, mereka yang lari dan kabur dari gelanggang itu berteriak menang.🙄
Anehnya ketika teriakan menang itu terdengar semakin ramai, hampir seluruh universitas kita diberitakan tumbang. Kalah telak dari negeri jiran yg pada era 70 hingga 80 an belajar banyak dari kita.
Adakah sekali lagi akan ada teriakan bahwa ini justru bukti kemenangan mereka? Mereka memang pintar memanipulasi hitam sebagai abu-abu dan seperti biasa kita gamang dan hanya termangu.
"Separah itukah kita?"
Di luar sana, masih ada cukup banyak saudara kita yang waras dan bangun. Ada pula cukup banyak politisi yang tak ikut arus mencari popularitas melalui jalur cepat yang lagi trending itu.
Masih ada sosok yang peduli dan tak pernah bosan selalu berbicara tentang keharusan negara ini berjalan pada arus besar dunia saat ini, teknologi dengan segala tantangannya.
Presiden pun masih terus mencari formula pasti bagi bagaimana seharusnya menyikapi kondisi sebagian rakyatnya. Kebesaran negara ini memang harus diperjuangkan. Perang kita melawan pembodohan tersistematis masih akan menjadi PR besar bagi bangsa ini.
Paling tidak, di Morowali kemenangan atas nalar telah kita dengar. Di sana banyak anak bangsa dalam beberapa tahun ini sedang berjuang mendapat alih teknologi pembuatan nikel
dan besi nirkarat. Dan luar biasanya, dari Morowali eksport kita pada dua produk itu telah tercatat menjadi yg terbesar di dunia. Hebat..!!
Pun 3D printing dlm produksi mobil listrik kini telah menjadi incaran kita saat nikel sebagai baterai adlh keniscayaan milik bangsa ini.
Siapa pun tak siap, pasti hanya akan mencari cara untuk menggagalkannya. Mereka akan bilang bahwa itu mustahil. Dan ketika itu terbukti, mereka akan bilang negara tak berpihak pada rakyat banyak.
"Mesin telah merampas pekerjaan milik rakyat" demikian mereka akan memakainya sebagai kampanye di ruang-ruang publik.
Mereka adlh kaum tak berimajinasi. Mereka tak akan bisa membayangkan bahwa suatu saat membangun rumah tak butuh waktu lama semudah kita mencetak gelas misalnya.
Itu akan dapat dikerjakan oleh alat yang bernama 3D printing.
Masa depan memang terasa berjalan sangat cepat dan itu juga menuntut adaptasi kita yang cepat pula. Tak sepantasnya kita kabur dan lari dari medan perang seperti itu apalagi mencari
perlindungan dari pikiran-pikiran produk masa lalu yang telah dianggap usang oleh hampir negara di seluruh dunia.
#INDONESIABISA, layak terus kita gaungkan tanpa lelah. Terus kita teriakkan meskipun arus besar dari saudara di kanan kiri kita yang telah tertular selalu berkata sebaliknya.
.
.
.
Share this Scrolly Tale with your friends.
A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.