Siapa pun yang lari dan meninggalkan medan pertempuran adalah para pengecut. Para penakut yang tak sedikit pun memiliki imajinasi terselubung dibalik mulia makna pertempuran itu. Sejatinya, mereka telah kalah sebelum bertempur.
Perubahan sebagai keniscayaan tak mungkin kita lawan. Itu adalah pertempuran di mana dia tak peduli dan tak pernah meminta kita hadir di dalamnya. Dia hanya terus berjalan sesuai kodratnya tanpa bertanya. Siap atau tidak kita, bukan urusannya.
Ketika kita lari dan bahkan berjalan mundur pada eforia masa lalu, kita bukan pemimpi, kita pelamun. Bangsa ini, saat ini, tampak sedang ingin berada pada masa itu. Kita berjalan mundur dgn banyak usaha pembenaran berdasar perintah yg dibuat seolah berasal dari Dia sang yg benar.
Dan banyak dari kita percaya. Bukan sekedar percaya, bahkan banyak dari kita pun menjadi agen sekaligus tampil dengan bangga sebagai korban iklan tersebut.
Dunia manusia sedang berjalan dengan teknologi sebagai ujung tombaknya. Kecerdasan manusia sebagai berkah dituntut melampaui lebih dari sekedar takdir melekat yang mereka terima. Dia diminta keluar dari dirinya & terus berubah. Maju & terus maju bila tak ingin dianggap masa lalu.
Terbatas kita pada hal bersifat fisik, telah teratasi oleh terciptanya alat mekanikal. Itu sudah dimulai sejak revolusi industri 1.0 dimana ketel uap memberi wajah baru tentang makna power.
Keterbatasan otak kita pun telah mulai dibantu saat komputer masuk dlm ruang hidup kita sejak revolusi industri 3.0.
Masa depan adalah tentang bersatunya semua hal itu. Dan itu sudah dimulai sejak saat ini, sejak revolusi 4.0 mengisi celah-celah kosong pada generasi sebelumnya.
Tahun 2030, 6 tahun dari sekarang, kita pun sulit membayangkan apa yang akan terjadi di sana. Seberapa radikal perubahan yang terjadi dan memasuki hidup kita, sulit bagi kita untuk menebaknya. Dia bergerak terlalu cepat.
Radikal cara science berubah harus kita imbangi dengan pemikiran-pemikiran berbasis kekinian bukan justru lari meninggalkan gelanggang. Kabur dan menjauh dengan mencari perlindungan pada sejarah masa lalu bukan sikap gentle.
Lebih tepat, pengecut layak kita sematkan pada mereka yang lari. Dan itu hanya akan membuat kita menjadi abu. Abu sebagai bukti kekalahan pada perang dan tak ada catatan sedikitpun tentang kita dalam sejarah.
Kita memang terlihat mundur. Ada banyak parameter dapat kita gunakan sebagai ukuran bagi hal tersebut. Bukankah obrolan sehari-hari kita kini justru terlihat serupa dengan nenek moyang kita jaman mereka belum kenal listrik?
Bukankah banyak dari kita yang bergelar sarjana hingga master justru lebih sibuk bicara bukan pada bidangnya namun realitas semu tentang dogma dan akhlak? Mereka lebih senang berbicara hukum benar & tak benar sebagai bungkus
bukan esensi ilmu pengetahuan sebagai bidang yang seharusnya menjadi milik mereka.
.
.
Sementara kita sibuk berbicara akhirat dengan berlindung dan memanfaatkan aplikasi gelar "ke-doktor-an" kita dalam fisika, biologi, hingga matematika yang kita miliki,
tetangga kita telah mampu menjangkau dan membuat banyak hal. Unsur baru mereka ciptakan sebagai bukti kemenangan dan kita lebih memilih kabur dari perang itu.
.
.
Berjalan mundur mencari tempat berdaur sebagai pelipur.
Luar biasanya, mereka yang lari dan kabur dari gelanggang itu berteriak menang.🙄
Anehnya ketika teriakan menang itu terdengar semakin ramai, hampir seluruh universitas kita diberitakan tumbang. Kalah telak dari negeri jiran yg pada era 70 hingga 80 an belajar banyak dari kita.
Adakah sekali lagi akan ada teriakan bahwa ini justru bukti kemenangan mereka? Mereka memang pintar memanipulasi hitam sebagai abu-abu dan seperti biasa kita gamang dan hanya termangu.
"Separah itukah kita?"
Di luar sana, masih ada cukup banyak saudara kita yang waras dan bangun. Ada pula cukup banyak politisi yang tak ikut arus mencari popularitas melalui jalur cepat yang lagi trending itu.
Masih ada sosok yang peduli dan tak pernah bosan selalu berbicara tentang keharusan negara ini berjalan pada arus besar dunia saat ini, teknologi dengan segala tantangannya.
Presiden pun masih terus mencari formula pasti bagi bagaimana seharusnya menyikapi kondisi sebagian rakyatnya. Kebesaran negara ini memang harus diperjuangkan. Perang kita melawan pembodohan tersistematis masih akan menjadi PR besar bagi bangsa ini.
Paling tidak, di Morowali kemenangan atas nalar telah kita dengar. Di sana banyak anak bangsa dalam beberapa tahun ini sedang berjuang mendapat alih teknologi pembuatan nikel
dan besi nirkarat. Dan luar biasanya, dari Morowali eksport kita pada dua produk itu telah tercatat menjadi yg terbesar di dunia. Hebat..!!
Pun 3D printing dlm produksi mobil listrik kini telah menjadi incaran kita saat nikel sebagai baterai adlh keniscayaan milik bangsa ini.
Siapa pun tak siap, pasti hanya akan mencari cara untuk menggagalkannya. Mereka akan bilang bahwa itu mustahil. Dan ketika itu terbukti, mereka akan bilang negara tak berpihak pada rakyat banyak.
"Mesin telah merampas pekerjaan milik rakyat" demikian mereka akan memakainya sebagai kampanye di ruang-ruang publik.
Mereka adlh kaum tak berimajinasi. Mereka tak akan bisa membayangkan bahwa suatu saat membangun rumah tak butuh waktu lama semudah kita mencetak gelas misalnya.
Itu akan dapat dikerjakan oleh alat yang bernama 3D printing.
Masa depan memang terasa berjalan sangat cepat dan itu juga menuntut adaptasi kita yang cepat pula. Tak sepantasnya kita kabur dan lari dari medan perang seperti itu apalagi mencari
perlindungan dari pikiran-pikiran produk masa lalu yang telah dianggap usang oleh hampir negara di seluruh dunia.
#INDONESIABISA, layak terus kita gaungkan tanpa lelah. Terus kita teriakkan meskipun arus besar dari saudara di kanan kiri kita yang telah tertular selalu berkata sebaliknya.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.