M U N A F I K
.
.
.
Ketika muncul cerita bombastis dengan bumbu berlebihan dan kemudian akun seperti tante Mar terserah serah, Beni Kabur hingga Lizal Lamli turut "ndomoleng" di sana, otomatis nalar kita sebagai program, segera akan menyangkal.
Biasanya itu hoax! Demikian kata si nalar.
Pada cerita Wadas, bukankah itu lebih tepat bila ditarik pada reaksi wajar sebuah peristiwa terkait kelompok pro dan kontra warga yang tanahnya mau dibeli oleh negara?
Yang pro pingin kejelasan tanahnya yang sudah ditaksir itu jadi dibeli atau engga dan yang kontra khawatir kalau tanah tetangganya benar dibeli negara, pasti menyulitkan posisinya kelak.
Pro kontra yang menjadi bagian wajar hidup kita memang gampang menjadi ga wajar manakala ada kepentingan "ndompleng" disana. Apalagi bila dikaitkan dengan politik.
Ngga terlalu berlebihan bila pada cerita Wadas unsur politis lebih mendominasi. Lihat saja para aktor yang tiba-tiba muncul. Kira-kira, ya itu-itu lagi wajah akan tampil.
Sehat otak kita akan segera menolak cerita tentang ribuan polisi menyerbu sebuah desa di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah yakni Wadas.
Tak logis pada era informasi super cepat seperti saat ini, seseorang atau oknum berharap bisa ngumpetin keberadaan ribuan polisi yang akan menyerbu sebuah desa yang berada di tengah pulau Jawa.
Dan maka, logis cara berpikir para komandan polisi itu tak akan mengizinkan tindakan vulgar seperti itu. Itu pasti tidak akan dilakukan oleh Polri.
Apalagi ketika ada tambahan bumbu polisi mengepung masjid. PARIPURNA banget bohongnya.
"Trus yang benar yang mana?"
Sudahlah, pak Mahfud sudah jelasin panjang lebar dan komplit. Tak ada cerita lebih komplit dari penjelasannya. Satu hal yang paling penting, proyek itu secara hukum sudah SAH. Gugatan melalui PTUN sudah inkracht. Sudah melalui tahapan terukur hingga kasasi.
Bila proyek itu tak dijalankan, pemerintah justru akan dianggap "mencla menclé". Sudah menetapkan bendungan Bener itu sebagai PSN tapi tak dilaksanakan. Itu juga berpotensi terjadinya pelanggaran hukum
"Maksudnya?"
Putusan pengadilan yang menolak gugatan warga yang tidak setuju adalah bukti negara sudah BENAR. Jalankan! Itu saja tanpa embel-embel lagi.
Terkait potensi kerusuhan yang sudah dan akan terjadi karena sebab hadirnya para provokator yang mendompléng pada peristiwa ini, WAJIB hukumnya pemerintah mengejar para aktor-aktor itu.
Jangan hanya klarifikasi. Rakyat tak butuh seremonial palsu sebagai ending dan lalu, besok atau lusa mereka akan menjadi kompor lagi.
Itu justru akan membuat image bahwa pemerintah memang senang membuat warga negaranya jantungan. Pemerintah senang memelihara keributan.
Ayo bisa ga?
Berani ga?
Kerusakan yang telah mereka hasilkan tak pantas hanya dihargai 10 ribu rupiah dalam rupa lembar materai dan kemudian ketawa ketiwi berpelukan sebagai bukti telah saling memaafkan dengan framing "kita bangsa pemaaf".
Itu MUNAFIK!!
.
.
.
Share this Scrolly Tale with your friends.
A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.