Ketika muncul cerita bombastis dengan bumbu berlebihan dan kemudian akun seperti tante Mar terserah serah, Beni Kabur hingga Lizal Lamli turut "ndomoleng" di sana, otomatis nalar kita sebagai program, segera akan menyangkal.
Biasanya itu hoax! Demikian kata si nalar.
Pada cerita Wadas, bukankah itu lebih tepat bila ditarik pada reaksi wajar sebuah peristiwa terkait kelompok pro dan kontra warga yang tanahnya mau dibeli oleh negara?
Yang pro pingin kejelasan tanahnya yang sudah ditaksir itu jadi dibeli atau engga dan yang kontra khawatir kalau tanah tetangganya benar dibeli negara, pasti menyulitkan posisinya kelak.
Pro kontra yang menjadi bagian wajar hidup kita memang gampang menjadi ga wajar manakala ada kepentingan "ndompleng" disana. Apalagi bila dikaitkan dengan politik.
Ngga terlalu berlebihan bila pada cerita Wadas unsur politis lebih mendominasi. Lihat saja para aktor yang tiba-tiba muncul. Kira-kira, ya itu-itu lagi wajah akan tampil.
Sehat otak kita akan segera menolak cerita tentang ribuan polisi menyerbu sebuah desa di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah yakni Wadas.
Tak logis pada era informasi super cepat seperti saat ini, seseorang atau oknum berharap bisa ngumpetin keberadaan ribuan polisi yang akan menyerbu sebuah desa yang berada di tengah pulau Jawa.
Dan maka, logis cara berpikir para komandan polisi itu tak akan mengizinkan tindakan vulgar seperti itu. Itu pasti tidak akan dilakukan oleh Polri.
Apalagi ketika ada tambahan bumbu polisi mengepung masjid. PARIPURNA banget bohongnya.
"Trus yang benar yang mana?"
Sudahlah, pak Mahfud sudah jelasin panjang lebar dan komplit. Tak ada cerita lebih komplit dari penjelasannya. Satu hal yang paling penting, proyek itu secara hukum sudah SAH. Gugatan melalui PTUN sudah inkracht. Sudah melalui tahapan terukur hingga kasasi.
Bila proyek itu tak dijalankan, pemerintah justru akan dianggap "mencla menclé". Sudah menetapkan bendungan Bener itu sebagai PSN tapi tak dilaksanakan. Itu juga berpotensi terjadinya pelanggaran hukum
"Maksudnya?"
Putusan pengadilan yang menolak gugatan warga yang tidak setuju adalah bukti negara sudah BENAR. Jalankan! Itu saja tanpa embel-embel lagi.
Terkait potensi kerusuhan yang sudah dan akan terjadi karena sebab hadirnya para provokator yang mendompléng pada peristiwa ini, WAJIB hukumnya pemerintah mengejar para aktor-aktor itu.
Jangan hanya klarifikasi. Rakyat tak butuh seremonial palsu sebagai ending dan lalu, besok atau lusa mereka akan menjadi kompor lagi.
Itu justru akan membuat image bahwa pemerintah memang senang membuat warga negaranya jantungan. Pemerintah senang memelihara keributan.
Ayo bisa ga?
Berani ga?
Kerusakan yang telah mereka hasilkan tak pantas hanya dihargai 10 ribu rupiah dalam rupa lembar materai dan kemudian ketawa ketiwi berpelukan sebagai bukti telah saling memaafkan dengan framing "kita bangsa pemaaf".
Itu MUNAFIK!!
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.