Ini gambar anak @LeoBudiSuryanto. Gambar gaya begini biasa ditemukan di tempat les atau lomba gambar tingkat anak TK atau SD. “Bagus” buat sebagian orang termasuk juri gambarnya karena rapih, berwarna, kertas penuh terisi.
Tapi di balik itu ada masalah.
Setiap anak ditentukan gayanya, diberi aturan mewarnai, diharuskan penuh kertasnya, dikasih contoh gambar yang bagus. Semua akhirnya seragam, tiap anak ngga dikasih kesempatan untuk menunjukkan potensinya.
Semua anak diberi tujuan yang tidak tepat: menang lomba.
Sekian banyak kriteria yang paling besar potensi mematikan daya imajinasi adalah keterbatasan waktu. Anak sekecil itu sudah dikasih beban mental tentang deadline. Bagaimana kalau tiba-tiba dia spontan pengen nggambar ada buah-buahan yang tumpah karena pasar jadi lebih seru?
Bagaimana jika tiba-tiba si anak lebih suka menggunakan hitam putih karena dianggap lebih cepat menyelesaikan gambarnya tanpa harus mewarnai dan kertas jadi penuh cerita dengan berbagai kegiatan?
Dan setelah selesai lomba selalu ada 'korban'. Yang menang merasa senang bukan karena kegiatan gambarnya, tapi dapat piala. Yang kalah merasa tidak punya bakat dan berhenti menggambar.
Yang hepi beneran: orang tua & panitia.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bukan “ngga lolos” tapi “belum lolos”.
Ekspektasi semua akan langsung lancar, diterima kerja itu sering jadi beban, berujung pundung saat ngga kejadian.
The Beatles dilepeh bolak balik sebelum diterima. Bahkan ada yg udah sukses bikin perusahaan tapi terus dipecat dr perusahaannya sendiri.
Tanpa proses jungkir balik, kita ngga bakal cukup mateng.
Tanpa perjuangan panjang, cerita kita ngga bakal menarik & menginspirasi.
Harus segera. Harus sekarang. Harus saat ini.
Pengen cepet2 & instant ini biasanya datang dari pressure sekitar juga.
“Udah lulus kok belum kerja?”
“Udah pacaran kok belum nikah?”
“Udah menikah kok rumah masih kontrakan?”
Membuat kita ngga bisa pegang kontrol hidup kita sendiri
Yang ribet itu bikin SIM di Kuwait. Yg dilihat profesinya, spt dokter, perawat, engineer, manager (mudir: pokoknya punya jabatan tinggi). Kalau graphic design ngga dibolehin, krn takutnya jadi supir taxi gelap.
Kalau mau tetep usaha bikin SIM jalur ilegal, biayanya bisa mencapai KD 500 atau 20 juta rupiah. Lagi nyetir kena razia ngga punya SIM langsung masuk penjara & deportasi.
Sekarang jadi barang rongsokan
untuk berkarya sesuka hati
sambil mengais cuan 😆
Alat-alat kerja lawas bisa memberi opportunity kalau ditekuni, nemu komunitasnya yg bisa memberi apresiasi (termasuk dalam bentuk angka). Selama ini titik utamanya adalah hobi. Lalu nambah titik baru: pixel art. Dan sekarang titik barunya: NFT. Ketiganya bisa tersambung.
Pernah kopi darat dng salah satu collector NFT gue. Dia juga seorang investor dan udah lama ngoprek crypto. Gue nanya "Apa alesan lo kolek karya gue?"
"Ngga tau. Suka aja. Sebagai investor, gue selalu beranalisa, soal value ini itu, pokoknya penuh perhitungan aja."
"Tapi pas liat karya pixel art lo, gue punya banyak alasan personal. Karena emang suka aja. Dan gue ngga peduli bisa jual lagi sbg secondary market atau nggak. Atau, malah gue akan keep it."
"Dan cerita di belakangnya memperkuat niat gue utk bidding karya lo."
Dia kolek 1-2 karya gue yg sejenis. Dan selama ngobrol, dia bertanya "Can we talk art without NFT?" Pertanyaan sederhana yg bikin gue berpikir sepersekian detik.
Dari sejak mulai aktif di socmed dekade lalu, mantra ini masih jadi koncian beberapa kreator. Kemungkinan utk mendapatkan spotlight dan exposure juga jadi lebih besar.
Sejak kenal dia, gue terkagum-kagum dng idenya, usahanya, prosesnya. Walau secara konsep & praktek bisa dilakukan siapa aja tapi tetep aja ogah ngikutin caranya