My Authors
Read all threads
#jasad The Journey Chapter 7 resmi dimulai, take a seat and enjoy. #kisahhorror
Setalah percakapan di pesta ulang tahun Frans, aku dan Boni tidak pernah berbicara tentang keadaannya lagi. Namun, justru perkataan Boni meninggalkan rasa pahit di dalam diriku, banyak hal yang sebelum tidak pernah kuacuhkan muncul di dalam benakku.
Aku merasa waktu jd berjalan lambat, nyaris setiap malam aku termenung di ruang tamu.Aku memikirkan semuanya, mulai dari Mamak sampai hidupku sejauh ini.Tentang kekosongan yg selalu aku elak, selama ini aku sudah berhasil menutupinya tp mengapa malam itu Boni berhasil membukanya.
Segala usahaku untuk lari dari diriku sendiri terlihat belangnya, tidak ada hasil apa-apa selain efek placebo yang menenagkan untuk sementara waktu. Sampai saat ini aku masih belum menemukan diriku sendiri, bodohnya aku tidak pernah mencoba mencari.
Hari itu bersama Anjani aku menemukan diri sendiri, seakan tidak ada lagi batas antara aku dan kehidupan. Anjani adalah media spiritualku dalam mencari obat dari kekosonganku yaitu cinta.
Semua sudah jelas, aku dapat melihat akar dari segala kekosongan itu. Masalah itu ada pada diriku sendiri, aku tidak pernah menerima diriku sendiri. Ada perubahan besar setelah kematian Mamak, dan aku tidak bisa memungkiri itu.
Begitu pengecutnya aku ketika memutuskan untuk lari begitu saja lalu menenggelamkan diri dalam kebohongan. Boni adalah bukti nyata keberhasilan melawan ketakutan untuk mengakui jati diri, sorot mata Boni adalah manifestasi dari kekuatan tak terbantahkan.
Aku berharap bisa sekuat Boni.
Kendati aku dan Boni hanya berbincang hal yang sepele, aku merasa ia tahu apa yang terjadi di dalam diriku. Ia tahu aku limbung, tetapi ia melihatnya bukan sebagai kehancuran tapi kelahiran.
Dan ia menungguku untuk melepaskan lilitan tali tambang di leherku, dan melangkah pergi dari kursi.
Tanpa kusangka Boni menelponku malam sepulang dari rumah sakit, ragu-ragu kuangkat telponnya.
“Lagi ngapain lo?” kudengar suara Boni dari gagang telpon.
“Enggak ngapa-ngapain, baru pulang juga gue. Ada apa?”
Boni diam sejenak, ada suara bising di dekatnya.
“Keluar yuk, gue lagi bosen di apartemen. Lagi pengen makan sembarangan juga, lo siap-siap sana.”
Aku terkesiap, “Sabar, bung. Main tembak aja, belum tentu gue bisa.”
Aku mendengar Boni tertawa geli, “Udah, jangan banyak cing-cong. Sepuluh menit lagi gue jemput lo, ini gue udah di mobil.”
Aku mengernyit, ternyata suara bising itu adalah suara mesin mobilnya.
“Gue belum mandi, nih.” Aku gelagapan.
“Udah, pokoknya sepuluh menit lagi lo udah siap.” Sergah Boni lalu menutup telponnya.
Aku panik, tak tahu apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu.
Lagi pula aku belum siap bertemu dengan Boni apa lagi tanpa Frans, sosoknya kini membuatku segan. Akhirnya aku mandi asal-asalan, dan mengambil asal kaus dan celana jeans di lemari.
Tepat sepuluh menit kemudian Boni mengetuk-ngetuk pintu pagar, aku tergopoh-gopoh keluar dengan rambut yang masih basah.
“Abis mandi wajib?” Boni berkomentar sembari tertawa.
“Lain kali gue laporin ke polisi lo, ini namanya penculikan dengan paksa.” Balasku.
Di mana-mana penculikan ya dengan paksaan.”
Boni meneruskan tawanya sampai di mobil, aku duduk di sebelahnya memandangi jalan di luar jendela.
“Kita mau ke mana nih?” aku menoleh ke Boni.
“Gue lagi laper nih, dan hari ini gue mau makan sembarangan. Kita cari pinggiran aja.” Jawabnya singkat, ia melirik cepat.
Kebetulan gue juga gak sempet beli makanan, traktir gue, ya?”
Boni tersenyum kecil, “Sebagai penculik yang baik gue pasti memberi makan target gue, kalo sampe mati gue gak dapet duit dong.”
Kami berdua masuk ke dalam sebuah warung pecel tenda biru di pinggiran jalan.
“Enggak salah, nih?” aku terbata-bata.
“Kenapa?” Boni bertanya balik seperti orang tak berdosa.
“Boni yang sosialita Jakarta makan di tempat gini?” aku bertanya lagi, tak mau kalah.
“Makanan di sini enak, kok. Lagian pikiran lo sempit banget, emangnya kalo makan di resto lebih enak? Enggak, kan?”
“Tapi tetep aja, gak sesuai sama pembawaan lo.” Kilahku.
“Kelas itu cuma ukuran yang sengaja dibikin mereka yang ingin dagangannya laku, modal kecil untung segunung. Sadar gak sih, pola pikir lo udah disetel kapitalis.”
Aku mendengus.
“Emang lo maunya apa? Sosialis? Apa-apa ngarep disubsidi?” tukasku.
Boni melipat tangannya di atas meja, sang pemilik kedai berdiri di dekat kami. Ia hanya menunggu sampai aku dan Boni selesai.
“Enggak juga, gue sih fleksibel. Kalo lagi pengen hedonis ya gue akan jadi hedonis, kalo pengen sosialis lain cerita.
Sayangnya sekarang gue lagi gak mood jadi sosialis.” Setelah menyelesaikan ucapannya Boni memberi isyarat pada pemilik warung untuk datang dan menanyakan pesanan kami.
Aku harus mengakui bahwa Boni benar, makanan warung itu enak dan tentunya murah.
Banyak karyawan berkemeja rapi makan di warung lain di sekitar kami, aku bisa melihat senyum licik di wajah Boni.
“Enak, kan?” ejek Boni.
Aku tak menjawab, hanya mengangguk sembari mendumel.
Setelah makan kami memutuskan untuk duduk-duduk sejenak di warung itu sambil merasakan keramaian.
Bangku plastik yang kududuki berderit, pantatku mulai pegal. Di hadapanku Boni masih memerthatikan, aku merasakan ada sesuatu di matanya.
“Kalo gue boleh tahu, gimana hubungan lo sama nyokap lo?”
“Kenapa lo tanya itu?”
Boni berdehem, pita suaranya macet. “Jati diri seseorang banyak terpengaruh sama hubungan dengan orangtua, terutama ibu.”
“Lo gak mesti jawab pertanyaan gue.” Lanjut Boni.
Bayangan akan sosok Mamak kembali hadir malam itu, kenangan bersamanya dulu bangkit seperti maya hidup, mereka menggerogoti otakku.
“Hubungan gue sama Mamak sebenernya baik-baik aja, dia tipe ibu yang baik dan menyayangi anaknya. Tapi..” aku berhenti,aku mendengar mamak berbisik.
“Tapi apa?” Boni nampak tak sabar menungguku melanjutkannya, perhatiannya terhisap olehku.
“Entah kenapa gue merasakan hal yang aneh, kadang gue merasa dekat sama Mamak di satu sisi tapi jauh di sisi lain.” Aku menerawang ke depan.
“Maksud lo?”
“Gue gak pernah membicarakan Mamak semenjak gue liat dia di peti mati, baru sekarang gue membicarakannya lagi,” perkataanku ditangkap sebagai sanjungan oleh Boni, dan memang itu adanya. Berbeda dengan orang lain, aku tidak menutup diri pada Boni.
Boni hanya mendengarkan, tidak lebih dari itu.
“Di balik sosoknya yang selalu tenang dan mudah bersosialisasi, ada sesuatu yang tidak stabil di dalam dirinya. Ia bisa jadi Ibu bersuara lembut yang menidurkanku dengan dongeng yang ia karang sendiri...
tetapi dlm sekejap ia menjadi ibu tegas yg bs memukulku hanya karena aku mendapat nilai jelek atau tdk menjadi apa yang dia kehendaki.”
Aku merasakan kepedihan merangakak di dalam suaraku yg lirih,&Boni menangkap kegetiran di wajahku. Ia mencoba memahami dan terus mendengarkan.
“Lalu gimana cara dia membesarkan elo?”
“Dengan cara keras, punishment and reward. Dia juga ngajarin gue untuk selalu terlihat sempurna di depan saudara dan teman-temannya, di setiap pertemuan keluarga dia selalu bilang gue akan jadi dokter.”
“Dan dia benar,” Boni menyela.
“Lebih tepatnya gue mati-matian jadi dokter buat dia, semenjak Mamak meninggal gue berjanji untuk mewujudkan impiannya, dan di sinilah gue.” Aku mengangkat kedua tanganku.
Boni bertepuk tangan, “Di balik seorang dokter ada ibu bertangan besi.”
Aku tertawa, bukan karena ucapan Boni lucu tapi karena diriku begitu menyedihkan. Bahkan langkahku saja sudah diatur Mamak, dan ketika ia meninggal aku pun masih mau dia atur.
Gue begitu bergantung sama Mamak sehingga ketika dia pergi gue jadi bingung, kayak kehilangan identitas.”
“Dan itu lo rasakan sampai sekarang?”
Aku mengangguk.
“Sekarang semuanya jelas.” Boni berkata.
“Apanya yang jelas?”
Boni memberikan senyum samarnya, “kekosongan di mata lo.”
Aku terkejut, Boni benar-benar bisa melihat jauh ke dalam diriku. Aku diam, kami hanya saling menatap selama beberapa menit.
“Gue curiga nih sama Frederik.” Boni langsung mengganti pokok pembicaraan lantaran ekspresiku yang tak nyaman.
“Curiga kenapa?”
“Dari semenjak ulang tahun Frans, dia gak ada kabarnya.”
“Emangnya dia belum pulang dari tugas luar kotanya?”
Boni menghela napas panjang, “Udah, tapi semenjak pulang dia katanya enggak enak badan. Setiap ngumpul dia gak dateng, alasannya gak enak badan.”
“Frans udah jenguk dia ke rumahnya?”
Boni tersenyum sebelah bibir, “Udah, katanya sih emang sakit.”
“Terus apa yang bikin lo curiga?”
Ada banyak hal yang mungkin ingin diutarakan Boni, tetapi ia memilih untuk tidak membahasnya.
“Mungkin cuma firasat enggak enak doang kali, tapi ya bisa aja gue salah. Mungkin gue terlalu curigaan.” Boni mengangkat bahu.
Oh, iya.” Boni kembali bersuara.
“Gue cerita ke ibu tentang elo, dan dia kayaknya tertarik sama elo. Katanya belum pernah ada yang berani bertanya tentang keadaan gue langsung di depan gue, jadi siapapun yang melakukan itu pasti dia deket sama gue.”
Aku mendadak jadi salah tingkah. “Serius? Aduh, gue jadi gak enak. Jangan diinget-inget lagi masalah itu.”
Boni menepuk pundakku, “Gue udah bilang kalo gue gak tersinggung, malah kalo lo mau ngelanjutin juga gak apa-apa.
Siapa tahu gue bisa membantu lo bebas dari ikatan yang menjerat lo sekarang.”
Dadaku langsung nyeri, seperti disundut dengan rokok menyala dari dalam.
Rupanya benar Boni tahu apa yang aku pikirkan semenjak hari itu, aku berusaha tenang tapi kegelisahanku sudah keburu terdeteksi.
“Santai aja, ibu cuma pengen ketemu sama elo. Jadi dia mau ngundang lo makan malam di rumah, lo harus datang. Masakan ibu enak banget.”
Aku tak bersuara.
“Setelah ayah meninggal, ibu adalah orang yang paling berarti buat gue.
Kalo elo mengecewakan ibu artinya lo juga mengecewakan gue.” Ujar Boni setengah mengancam.
Aku merasa tersudut, tidak ada pilihan yang dapat kuambil. Aku harus menerimanya.
“Oke, gue akan dateng. Tapi dengan syarat lo juga ajak Frans.” Jawabku.
“Beres.” Sahut Boni.
Boni mengantarku sampai di depan rumah, sebelum pergi ia mengingatkan lagi akan undangan makan malam ibunya. Untuk kesekian kalinya aku mengatakan bahwa aku akan datang, Boni nampak puas dan pergi meninggalkan rumahku. -bersambung- #kisahhorror
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with adeigama

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!