Kenapa masih ada sebagian dari kita yang begitu membenci warga Tionghoa? Bagaimana sejarahnya sehingga sebagian dari mereka bisa bertahan di Indonesia dan sebagian lagi memilih pindah kewarga-negaraan? Apa peran Soeharto dan Gus Dur di sana?
Berikut perjalanan mereka.
A Thread-
Sebenarnya jauh di tahun 1740, diskriminasi ras pada etnis Tionghoa sudah ada di Batavia. Saat itu, Gubernur Jenderal Valckenier asal Belanda memerintahkan anggotanya untuk membantai 10.000 warga Tionghoa (yg kebanyakan berprofesi pebisnis) karena melawan kebijakan politiknya.
Tapi kalau bahas dari 1740, kejauhan deh. Jadi ayo kita mulai aja dari kisaran tahun 1965.
Udah sempet baca kan thread saya yg sedikit membahas soal kerusuhan 1965? Bisa cek di pinned tweet, ada di artikel soal Pemuda Pancasila, perubahan zaman dari Soekarno ke Soeharto, dsb.
Amy Freedman (peneliti Amerika) menulis dalam penelitiannya yg berjudul “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia”, bahwa akar dari kebencian orang Indonesia pada warga turunan Tiongkok (yg disebut Tionghoa), berasal dari politik pecah belah Soeharto.
Pertama, Soeharto mendefinisikan warga Tionghoa sebagai warga non-pribumi, di mana kondisi masyarakat Indonesia sejatinya majemuk karena berasal dari berbagai macam ras & tidak dapat didefinisikan yg mana pribumi asli melalui ras.
Pembedaan penyebutan ini jadi salah satu pemicu.
Kedua, Soeharto memaksa warga Tionghoa untuk berasimiliasi (berbaur) dengan rakyat yang ia kategorikan sebagai “pribumi”.
Banyak akhirnya masyarakat yg melihat bahwa warga keturunan (atau Tionghoa) bukan merupakan bagian integral dari berkembangnya kemajemukan di Indonesia.
Ketiga, seperti yg pernah saya bahas di beberapa thread sebelumnya, banyak yg mengira bahwa warga Tionghoa Indonesia berkaitan erat dengan ajaran komunis yg diterapkan oleh Tiongkok (atau disebut RRC).
Dan saat itu, banyak dari mereka meregang nyawa karena politik adu domba ini.
Saat itu, ada sebagian warga Tionghoa yg memang sangat sukses di jalur bisnis dalam negeri, sehingga mereka dijadikan representatif untuk mewakili seluruh warga Tionghoa di Indonesia. Sedangkan, kala itu kondisi ekonomi Indonesia cukup kelimpungan saat ada transisi kekuasaan.
Berbagai macam tindakan anarkis pada warga Tionghoa terjadi di beberapa titik semisal di Medan, Makasar, Bandung, Semarang, dsb, dlm rentang tahun 1965-1966. Sekitar 300-500 ribu korban tewas.
Itu pula yg menyebabkan sebagian dari mereka memutuskan untuk pindah dari Indonesia.
Hal ini jelas beralasan. Keberadaan mereka di Indonesia saat itu kian terancam karena desakan represif aparat dan warga yg meyakini bahwa mereka adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), atau tuduhan bahwa mereka tidak berTuhan. Sekitar 100.000 orang keluar dari Indonesia.
Di luar kerusuhan itu, Soeharto yg saat itu belum menjabat resmi sebagai Presiden (masih berstatus Pejabat Presiden) mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 dan diteken tanggal 6 Desember 1967, yg “dimaksudkan” agar warga Tionghoa cepat melebur dengan “pribumi”.
Isinya beberapa:
1. Warga Tionghoa tidak boleh pakai nama asli (harus pakai nama berbau Indonesia). Makanya mungkin warga Tionghoa Indonesia dgn Tionghoa Malaysia ada sedikit perbedaan di nama. Di Malaysia, warga Tionghoanya masih pakai nama asli, di mana di Indonesia mereka dipaksa ganti nama.
2. Perayaan pesta agama yg berasal dari Cina tidak boleh diadakan di tempat terbuka, melainkan dilakukan di lingkungan internal saja (seperti rumah).
Maka tiap ada perayaan Imlek di jaman Soeharto lalu, tidak semeriah perayaan Idul Fitri & Natal yg bisa disaksikan banyak orang.
3. Begitu juga ada pelarangan pelaksanaan tradisi Cina, semisal Barongsai. Para anak-anak warga Tionghoa diawasi absennya saat Imlek tiba. Penyebutan Imlek pun cuma ada di Indonesia, karena seharusnya disebut Sin Cia. Istilah ini dipakai agar tidak mencolok istilah Tiongkoknya.
Yang menyedihkan ialah, diskriminasi dan kekerasan terhadap warga Tionghoa tidak berhenti sampai di situ.
Tahun 1998 kala Soeharto semakin kuat untuk ditumbangkan, banyak dari mereka yg kembali merasakan berbagai macam tindakan anarkis.
Penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, dsb.
Hampir sama dengan kejadian tahun 1965, kesenjangan ekonomi jadi faktor utama kebencian membabi buta terhadap warga Tionghoa. Krisis ekonomi di Asia Timur di pertengahan 1997 berdampak pada krisis moneter di Indonesia. Sebagian orang menganggap warga Tionghoa-lah penyebabnya.
Kebencian rasial kian menyebar di berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta sendiri sekitar 1200 orang tewas akibat kebrutalan ini.
Pria warga Tionghoa dibakar dan dipenggal, para wanitanya diperkosa beramai-ramai. Bagi yang punya usaha, barangnya diambil & tokonya dibakar.
Pak Prabowo memang sering membuat orang menangis ketika melihatnya. Saah satunya ibu Damaris Hutabarat (ibu Ucok Munandar, korban penghilangan paksa aktivis 98) yang baru meninggal tahun lalu, tanpa tahu di mana jasad anaknya.
Ada juga Mugiyanto, korban penculikan aktivis 1998 yang beruntung masih ditemukan hidup & masih bisa memberikan pengakuannya saat ditangkap & disiksa.
Bikin nangis juga ngebayanginnya 🥲
Ini juga bikin nangis 🥲
Ini pengakuan kakak dari Suyat, salah satu aktivis yang diculik, mahasiswa asal Universitas Slamet Riyadi Surakarta, yang hilang pada 13 Februari 1998 & sampai sekarang kakaknya tidak tahu di mana jasad adiknya.