Gui Ernald Profile picture
Mar 13, 2020 340 tweets >60 min read Read on X
SETANGKUP DAUN

-thread horror-

#bacahorror @bacahorror

“Mau ke mana, Win?”
“Mau cari daun buat Ninda.” Yang ditanya terus melaju tanpa menoleh.
“Kambuh lagi?” Sang pria kembali bertanya.
“Iya.” Sang gadis melintasinya pergi. Image
Eko duduk di salah satu pematang sawah. Sawah itu kering karena baru dipanen beberapa hari yang lalu. Enam kerbaunya kambingnya sedang merumput tak jauh dari pandangan mata.
Sebuah arit tergeletak di atas tumpukan rumput sebesar dua dekap yang diikat pepat hingga tak menyisakan ruang beroyog. Bukan hal yang istimewa untuk untuk orang-orang di T yang akrab dengan sawah dan ternak. Anak laki-laki sudah dibiasakan mengarit hingga mencangkul sejak ...
masih berseragam merah putih. Kulit mereka hitam, tubuh pun tipis, tapi otot-ototnya mengkal merata tak dipaksa. Mereka serupa golek dari kayu jati yang diasah oleh nasib. Kokoh namun juga lentur. Eko terbiasa menyunggi buntalan berat rumput itu ...
sambil menuntun kerbau-kerbaunya ke kandang.

Tanpa menoleh pun Wiwin tahu bahwa Eko masih menatapnya. Namun, Wiwin tentu ingat siang hari dua bulan yang lalu itu. Ketika itu hujan tak berhentian dari pagi. Hingga bel pulang sekolah hujan nyatanya masih awet.
Eko memakai mantel kelelawar birunya, mantel itu sudah bolong di sudut kiri belakangnya. Dia naik motornya dengan wajah kesal yang ditahannya. Kau pasti tahu bagaimana orang kesal yang ditahan: tubuhnya nampak tegang, pipinya mengeras, dan napasnya sedikit memburu.
Semua demi menekan deru yang hampir meledak di dalam.

Ninda memang berbeda dari kebanyakan anak gadis di desa mereka. Gadis itu cantik dan dia sendiri pun menyadari hal itu. Dia berani bersuara dan lantang pula kalau ada hal-hal yang tidak dia sukai – atau juga pada ...
hal-hal yang dia sukai. Eko adalah yang dia sukai. Maka tanpa babibu dia meminta Eko mengantarnya pulang sekolah siang itu. Eko yang nampak enggan tak bisa melawan karena kawan-kawan sudah saling bersiutan. Ninda kelihatan senang, dia menang.
Berita bahwa mereka pacaran memang santer terdengar. Walaupun semua orang juga tahu, berita itu hanya datang dari pihak Ninda. Eko tak pernah angkat bicara. Tapi siapa yang akan menolak Ninda?

Ninda menyusup masuk di bagian belakang mantel itu.
Meletakkan tasnya di antara tubuhnya dan tubuh Eko di depan. Dia menundukkan kepala supaya hujan tak menyentuh rambutnya. Mereka berdua melaju di tengah hujan yang masih menderas disertai siutan yang semakin keras. Puncung mantel itu terbang seperti jubah superhero yang terbang.
Wiwin mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Air mata merambang di pelupuknya. Namun, dia buru-buru mengelapnya. Ada yang tak perlu orang lain tahu. Dia diajar begitu. Ibunya adalah contoh hidup masalah rasa, bahwa tak semua rasa harus jadi cerita.
Teman-teman yang bersiutan gembira itu tentu tak tahu bahwa semalam Eko datang ke rumahnya. Alasannya mengembalikan rantang kiriman makanan. Bapaknya Eko ikut meluku di sawah bapaknya Wiwin. Dia pulang paling terakhir, karenanya rantangnya dibawa pulang.
“Terima kasih, Ko!” Ujar Ibunya Wiwin. “Bilang sama bapakmu, dua hari lagi ikut nggaru ya. Biar besok dapat giliran air dulu.”

Eko tersenyum sambil mengangguk. Dia menambahkan, “Wiwin ada, Bu Yani?”
“Ada.” Ibu Yani memanggil anak perempuannya itu. Yang dipanggil keluar dengan senyuman yang serupa. Bu Yani tahu maksud senyuman dua anak SMA itu. Dia pun memilih ke belakang, membiarkan dua orang itu duduk di amben beralas tikar pandan di teras rumah.
Keduanya duduk dipisahkan tumpukan ketela oranye yang tertumpuk di tengah amben. Bersama tapi duduk saling berjauh-jauhan.

“Apa to bedanya ngluku sama nggaru, Ko?” Wiwin membuka pembicaraan.

“Kamu dengar to omongan ibumu?”
“Iya. Tapi aku tak paham. Kan sama saja di bahasa Indonesia, membajak juga.”

Eko tertawa, “Iya. Memang bahasa Indonesia kayaknya sama saja. Kalau meluku itu membalik tanah, ya sama-sama pakai kerbau. Biar tanahnya itu bernapas, Win. Kan habis ditanami sebelumnya.
Kalau nggaru itu, ya sama pakai kerbau juga, atau sapi juga bisa. Tapi bukan membalik tanah, tapi meratakan. Tanah yang sudah dibalik itu kan digenangi air, lalu biar bisa ditanami lagi, diratakan pakai garu. Selain itu biar tanahnya juga lebih gembur.”
Mereka berdua tahu bahwa pembicaraan tentang sawah itu bukan segalanya. Karena malam itu Eko menyatakan hatinya kepada Wiwin. Dia mengaku sudah suka sejak SMP. Tapi baru berani bilang malam itu.

“Gak usah ngomong-ngomong sama teman-teman, ya, Ko. Nanti nggak enak sama Ninda.”
Eko mengangguk. Keduanya tahu, Ninda dan Wiwin sudah bersahabat sejak Ninda pindah dari kota M ke desa T karena bapaknya ditugaskan di kecamatan sini. Ninda memang tak tanggung-tanggung menunjukkan kesukaannya.
Ketika Eko menolak dan bersikap dingin, Ninda menganggapnya khas cowok cool. Wiwin tak biasa seterbuka Ninda. Perasaannya tertutup luapan Ninda yang sedemikiat kasat mata.

“Tapi jujur, aku gak pingin menyakiti dia, Ko.”

Eko pun membalasnya, “Aku juga tidak mau menyakiti dia...
Kita nanti cari cara ngomong sama dia pelan-pelan biar tidak menyakitkan.”

“Memangnya ada penolakan yang tidak menyakitkan?”
Eko terdiam. Wiwin pun terdiam.

“Ya, yang penting kita tahu perasaan kita masing-masing. Pasti ada jalan nanti.”
Wiwin mengangguk. Dia tersenyum kecil, walaupun di hatinya ada perasaan yang meluap-luap saking bahagianya. Seperti ada yang hangat meruam di dadanya. Lalu perutnya bergejolak girang. Tapi Wiwin belajar dari ibunya. Tak semua perasaan harus ditampilkan.
Maka ketika anak-anak itu bersuit kegirangan, melihat motor Eko yang melesat pergi dengan juntaian mantel melambai-lambai, dia berjalan menerobos kerumunan anak-anak yang masih terbawa perasaan senang. Dia berjalan. Di tengah air yang menggenang.
Biasa lapangan rumput di depan sekolah mereka selalu menggenang ketika hujan tak berhentian. Wiwin membiarkan saja air menerobos masuk ke dalam sepatunya. Ada yang lebih dia pedulikan daripada sepatunya: perasaannya yang diam-diam terluka.
Namun, peristiwa pulang itu tak berakhir syahdu menyayat hati. Peristiwa itu berganti mencekam, ketika Eko tiba-tiba memotong jalannya. Anak laki-laki itu tak bermantel. Wajahnya yang kaku berubah bingung.
“Ninda, Win!”
Melihat raut Eko yang tak serupa semula, Wiwin ikut khawatir, “Ada apa?”

“Aku gak tahu. Ninda tiba-tiba melompat dari motor. Terus bergulung-gulung di tepi jalan. Kayak orang kena ayan.”

“Ayan?”

“Aku gak tahu. Gak tahu ayan atau kesurupan. Cepat naik!”
Wiwin tak lagi menghiraukan apakah tubuhnya basah. Karena payungnya terseok-seok oleh angin dari perjalanan motor yang laju itu. Jalan desa beberapa berlubang-lubang, tapi Eko tak memelankan motornya. Dia terus melaju tak alang kepalang.
Di tangan kanannya dia memegang payung yang bergoyang-goyang menebas angin. Tangan kirinya memegang sisi seragam Eko demi mengukuhkan pegangan.

Betapa perasaan itu kadang tak sejalan akal sehat. Beberapa menit yang lalu, dia hampir menangis karena hatinya yang terluka ...
oleh sahabatnya. Dia sadar bahwa dia mengasihi Ninda sedemikian rupa sebagai sahabat. Tapi beberapa menit yang lalu, dia begitu kesal dan membencinya. Ninda selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, mendengar kabar yang tiba-tiba itu perasaannya langsung berubah haluan.
Berganti pertanyaan yang terbahasakan, namun juga kekhawatiran yang tak tanggung-tanggung. Dia hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan Ninda. Mereka sudah bersahabat beberapa tahun ini, dia berpikir sudah tahu segalanya tentang Ninda.
Tapi tidak juga, dia tidak pernah tahu Ninda pernah mengalami hal serupa itu.

“Dia di mana, Mas?”

Di tengah kekhawatiran itu, entah datang dari mana sebutan itu. Wiwin tak pernah memanggil Eko dengan Mas. Dan Eko tanpa diduga melepas tangan dari setir motor kirinya.
Dia memegang tangan kiri Wiwin yang meremas kuat seragamnya. Pegangan Eko hangat. Dan jujur itu membuat Wiwin senang.
Tapi tiba-tiba perasaan lain itu menyerbunya. Sontak bayangan Ninda mengambang di benaknya.
Semacam rasa bersalah, namun juga takut, bagaimana kalau Ninda kenapa-kenapa? Dia melepas pegangan tangan Eko.

“Dia di dekat barongan bambu. Sebelum rumah Pak Arindalu.”

Jawaban Eko membuat Wiwin semakin tak tenang. Perasaannya kacau balau bergantian.
Dia tahu cerita tentang barongan bambu itu. Beberapa orang mengatakan ada cerita-cerita tidak sewajarnya di barongan bambu itu. Cerita seram desa mereka selalu berkisar di dekat rumpun bambu itu. Ada sebuah tempat lain, petilasan di balik gunung.
Tapi petilasan itu lebih terkenal dengan kisah-kisah pesugihan, cerita tentang hantu dan segala ketakutan selalu berkisar di rumpun bambu sebelum rumah Pak Arindalu.

Wiwin terperanjat ketika melihat sosok di depannya.
Tubuh sahabatnya itu nyungsep di rerumpun bambu yang mulai tergenang air hujan yang coklat keruh. Dia masih melihat kaki dan sepatu Ninda. Namun badannya tertutup dengan mantel. Bukan tertutup biasa, tetapi terlilit.
Begitu Eko membuka mantel itu – itu pun dengan paksaan karena mantel itu melilit tak karuan ke tubuh Ninda – keduanya terjengkang. Wiwin sampai jatuh terduduk dengan wajah ngeri.

Tubuh Ninda tidak terbujur dalam posisi yang seharusnya.
Badannya tertekuk ke belakang seperti orang kayang. Sedang kakinya memuntir ke arah sebaliknya. Tangannya mencekiting, posisinya terlipat di balik punggungnya. Jari tangan kiri dan kanannya saling berpaut dalam jari-jari yang saling bertumpukan.
Kepalanya menoleh seperti terpatah ke samping kanan. Napasnya mendengus-dengus seperti kerbau yang kelelahan meluku seharian. Mulutnya menganga dengan lidah yang menjulur keluar. Dari dalam mulutnya meluncur liur kekuningan bercampur dengan air hujan.
Namun yang paling menakutkan, mata gadis itu melirik, menatap tajam kepada Wiwin. Ke arah mana pun Wiwin bergerak, mata itu mengikutinya. Tak berkedip bahkan dalam hujan.

Dengan gemetar, Wiwin dan Eko mendekati gadis itu. Suara erangan serupa kerbau itu masih terdengar.
Namun begitu Wiwin mendekatinya, dari mulut gadis itu terdengar tawa terkekeh. Suaranya berat dan ampak. Seperti tawa orang tua. Gemetar tangan Wiwin semakin nampak. Ketika Wiwin mendekatkan tangannya ke tubuh sahabatnya, tawa kekeh itu semakin keras.
Seperti mengejeknya. Seperti ada sesuatu di dalam kerongkongannya yang hendak dikeluarkan.
Dengan gigil yang semakin kentara, Wiwin memeluk tubuh sahabatnya itu dengan kedua lengannya. Air matanya bertetesan bercampur air hujan.
Dipeluknya tubuh sahabatnya itu dalam takut dan sayang yang sama kuat. Dan entah bagaimana, tiba-tiba tubuh Ninda melemas. Lemas seperti orang yang pingsan. Normal, seperti tak ada peristiwa barusan.

Eko mendekat membantu Wiwin memegang tubuh Ninda.
Tubuh gadis itu benar-benar lemas.

Wiwin menangis sejadi-jadinya. Eko tak tahu harus berbuat apa. Dalam tangisnya Wiwin memohon kepada Eko, “Panggil orang tuanya, Ko! Panggil semua orang!”
Eko segera bergerak menjauh dan mencekelak motornya.
Tanpa menunggu, motor itu diderukan lari menuju kantor kecamatan.

Wiwin melihat sekitar. Tak ada orang lewat. Di hadapan rerumpun bambu itu, rerumpun salak dan pohon-pohon kekayu sengon. Hujan sepagian tentu membuat orang tak ingin keluar rumah.
Tapi entahlah, baginya kesunyian siang itu kesunyian ganjil. Bukan kesunyian di desa orang hidup, kesunyian aneh yang tak pernah dirasakannya. Ditambah pohon bambu yang terdengar berderak-derak di punggungnya setiap kali angin meniup.
Tanpa dia sadari, bibir Ninda sudah persis di sebelah telinganya. Dalam mata yang masih tertutup, bibir itu bergerak. Suara yang aneh keluar dari bibir sahabatnya itu. Suara yang berat seperti kekehan tawa tadi.

Awalnya Wiwin tak menangkap apa yang dikatakannya, ...
sampai dia kemudian sadar bibir itu berkata teratur seperti orang sedang berhitung, “Wage… Kliwon … Legi … Pahing … Pon … Wage … Kliwon …”
Sahabatnya dalam suara yang entah dari mana itu seperti berhitung menyebut hari pasaran, begitu terus berulang-ulang. Jika habis kembali lagi awal, begitu terus, dengan mata yang tiba-tiba saja mendelik menatap kepadanya dalam seringai lebar.
Melihat tatapan mata dan erangan sahabatnya, sontak Wiwin melepas Ninda. Tubuh sahabatnya itu terpental dari pelukannya. Terjerembab ke genangan air di sebelah bambu. Namun tubuh itu tak lagi bergerak. Tergolek lesu. Mata itu menutup, bibir itu terkatup.
Wiwin merasa bersalah, dia hendak mengangkat tubuh sahabatnya itu, tetapi sekaligus khawatir jika tetiba Ninda membelalak dan menyeringai seperti tadi. Namun rasa kasihan mengalahkan keraguannya. Dia menarik sahabatnya itu kembali dalam pelukannya.
Tubuh itu lusuh, tak nampak kembali bergemuruh.

Sahabat selalu bernilai. Sekalipun beberapa saat yang lalu Ninda sempat melukai, namun itu bukan perbuatan yang diniati. Ninda tak tahu bahwa Wiwin menyimpan hati untuk Eko, pun sebaliknya dengan Eko.
Ninda tak pernah sengaja membuat dia terluka. Ninda sekadar melakukan itu untuk menunjukkan perasaannya. Dan Ninda memang perempuan merdeka. Dia tidak malu memapar dirinya untuk dibaca. Tak takut dihakimi. Wiwin sadar dirinyalah yang terlalu penyimpan.
Seandainya sejak awak berkenalan dengan Ninda dia mengatakan ketertarikannya dengan Eko, mungkin lain juga ceritanya.

Tapi dia adalah perempuan yang diajar untuk sabar. Tak gampang mengumbar. Perempuan adalah penyimpan. Begitu yang dilihatnya dari ibunya.
Menyimpan bahagia, tapi lebih lagi menyembunyikan lara.

Sudah! Sudah! Seharusnya dia sekarang lebih memikirkan sahabat dalam pelukannya, tapi nyatanya perasaannya justru melayang ke mana-mana. Bagaimana lagi, setiap orang adalah tokoh utama dalam ceritanya sendiri.
Sekalipun dia tak menonjolkan dirinya di permukaan, tapi dia tak bisa bersembunyi pada yang disimpan. Hati selalu punya caranya sendiri. Hati selalu jujur, dia saja yang tak berani berhadapan dengan kejujuran hatinya.
Manusia bisa membelokkan pikirannya, tapi tak pernah bisa membohongi perasaannya.

Wiwin melihat tas Ninda yang terlempar sampai ke rerumpun salak di depannya. Tas itu basah, sebasah mereka berdua. Buku-bukunya mungkin sudah nyunyut.
Dia menunggu saja Eko datang bersama orang-orang. Ah! Mengapa tak ada satu pun orang lewat. Jalan barongan ini memang bukan jalan yang biasa dilewati orang, kecuali kalau pergi ke sawah. Jalan ini jalan yang lebih pendek, tapi cerita-cerita yang menyekitari tempat ini
menjadikan banyak orang biasanya memilih jalan yang lebih panjang lewat Selatan desa. Tapi biasanya ada lah satu dua orang lewat. Namun kali ini benar-benar senyap. Benar-benar hari sial.

Eko datang tak lama kemudian, membonceng Pak Samad, bapak Ninda yang bekerja di kecamatan.
Mereka datang tergopoh-gopoh disusul oleh beberapa orang bermotor yang mengiting di belakang. Pak Samad tak bertanya apa pun, mungkin Eko sudah menjelaskan kondisinya. Dia langsung membopong Ninda dibantu beberapa pria. Mereka memindahkan Ninda ke teras rumah Pak Arindalu ...
supaya tidak terkena hujan. Pak Arindalu yang sadar orang berkerumun di terasnya langsung keluar.

Pak Arindalu seorang duda berusia enam puluhan. Pendengarannya masih tajam, sekalipun matanya sudah mulai kabur. Namun, tubuhnya masih cekatan, hidup di sawah menjadikannya ...
nampak lebih tua dari usianya, tapi ototnya masih lebih kuat dari kebanyakan pria kecamatan yang ikut membopong Ninda. Cangkul dan sabit menempanya lebih tajam daripada bolpoin dan pensil yang bisa dipegang oleh para pria kecamatan.
Tubuh Pak Arindalu sekal serupa Eko, berkebalikan dengan para pria di sekitarnya yang bergelonyor dengan lemak yang mulai menggantung di lengan dan perut. Tubuh adalah pencatat sejarah paling mula-mula.

“Pak Ari punya air putih?” Tanya Pak Samad.
Pak Arindalu tak menjawab, dia langsung masuk. Wiwin mengikutinya di belakang.

Pak Arindalu menuangkan air dari kendi ke dalam gelas. Wajahnya tegang dan khawatir.

“Pak Ari punya handuk bersih yang gak dipakai, Pak?” Wiwin menatap pria itu dengan nanar.
Semua orang di desa T saling mengenal bahkan biasa keluar masuk rumah tetangganya saking akrabnya. Tentu ketika ada orangnya. Pak Arindalu menyerahkan gelas itu kepada Wiwin dan dia masuk ke dalam kamar.

Wiwin menyerahkan gelas itu kepada Pak Samad.
Entah kenapa, Pak Samad terlihat membacakan sebuah doa – atau mantra – kepada air itu. Wiwin melihat bapak sahabatnya itu berkomat-kamit sejenak sebelum meminumkan air itu kepada anaknya. Ninda tidak sadar, maka air itu dipaksakan masuk.
Yang tidak disangkakan adalah Ninda tiba-tiba muntah. Tapi dia tak sadar juga.

Yang membuat bulu kuduk Wiwin meremang, di dalam muntahannya, bercampur dengan sisa makanan dan air yang berbau asam, terdapat selinting daun pisang.
Daun pisang segar, digelintir seperti orang menggelintir kartu arisan.

Pak Samad melihat sejenak kepada Wiwin dan orang-orang di sekitarnya. Wajahnya nampak khawatir. Dia menyiramkan sisa air dari dalam gelas ke muntahan tersebut. Beberapa muntahan terbawa air.
“Sudah, sudah!” Pria itu menatap kepada Wiwin, “Win, minta tolong ambilkan air lagi dalam ember, siram bekas muntahnya Ninda biar bersih.”

Sejenak Wiwin tak bergerak, matanya masih memandang lintingan daun pisang itu. Eko menyikutnya. Wiwin tergelagap. Dia segera masuk.
Di dalam dia bertemu dengan Pak Ari yang membawakan handuk, “Pak Ari, saya minta air di ember. Wiwin muntah.”

Pak Ari yang masih terlihat tegang, “Ada apa to, Win?”

“Ndak tahu, Pak Ari. Itu tadi dia dibonceng Eko. Lalu katanya tiba-tiba lompat begitu saja dari motor.”
Pak Ari menggeleng, “Anak jaman sekarang, kalau pacarana sukanya aneh-aneh.” Wiwin tak menanggapi, dia meluncur ke kamar mandi. Mengisi air di ember dengan gayung. Namun, dia merasa ada yang mengawasinya di belakang. Wiwin menoleh. Tak ada siapa pun.
Wiwin kembali mengisi ember itu sampai penuh. Wiwin benar-benar bisa merasakan ada yang mengawasinya dari belakang. Dia kembali menoleh, tak ada siapa pun.

Sekalipun ember itu sudah penuh. Wiwin masih mengisinya lagi pelan-pelan. Sambil mencuri pandang dari sudut matanya.
Dan dia seperti melihat, kepala anak kecil menyembul dari luar, di amping-amping pintu kamar mandi. Bukan hanya seorang saja, tapi ada beberapa orang anak. Wiwin secepatnya menoleh ke belakang. Tak ada siapa pun. Ah, mungkin hanya perasaannya.

Wiwin ke teras membawa ember.
Tubuh Ninda sudah diselimuti handuk. Diletakkan di atas dingklik panjang. Wajah sahabatnya itu pucat, tapi nampak tenang. Wiwin menyiram sisa muntah di lantai teras. Sisa muntahan itu berbaur dengan air hujan. Namun tak ada lagi bekas lintingan daun pisang yang tadi dilihatnya.
Wiwin berbisik kepada Eko, “Kamu tadi lihat lintingan daun pisang di muntahannya Ninda?”

Yang ditanya seperti tak mengerti apa yang dimaksudkan. Tapi Eko sejak tadi memang terlihat syok dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia kelihatan sekali tidak paham dengan apa ...
yang sedang terjadi. Wiwin tak ingin meneruskan pertanyaannya.

“Panggilkan Mas Anto, suruh bawa mobilnya ke sini!” Pak Samad berkata kepada salah seorang dari pria kecamatan. Yang disuruh langsung berangkat. “Win, bisa minta tolong ke rumah, ambilkan jaketnya Ninda, selimut,
atau apa pun yang kering. Bawa ke sini, ya, Ndhuk.” Wiwin mengangguk, dia melihat kepada Eko, Eko mengerti dan berjalan menerobos hujan menuju motornya.

Sebelum Wiwin pergi, Pak Samad masih sempat berkata, “Maaf merepotkan, ya, Ndhuk!” Wiwin hanya tersenyum.
Di rumah Ninda, Wiwin menemui ibunya Ninda yang sedang menonton TV di rumah. Perempuan itu agaknya belum tahu apa yang terjadi. Wiwin menceritakan kondisi Ninda dan maksud kedatangannya. Perempuan itu kaget luar biasa – namun Wiwin melihat emosi lain di wajah perempuan itu, s
seperti ekspresi marah atau takut. Wiwin tak benar-benar bisa membaca apa yang ditampilkan wajah perempuan yang lebih tua itu.

“Sekarang dia bagaimana?”

“Sudah tenang kok, Bu. Tadi sempat muntah…” Wiwin menahan perkataannya.
Dia tak yakin akan mengatakan ada lintingan daun pisang dalam muntahan Ninda. Tapi tak usahlah, daripada membuat situasi semakin panik. “Pak Samad tadi sudah meminta Pak Johan untuk membawa Ninda dengan mobilnya Mas Anto.”

Namun entahlah, Wiwin seperti menangkap bahwa Bu Ida ...
mengerti ada yang disembunyikannya. Bu Ida memandang Wiwin dengan dalam. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi ditahannya juga. Bu Ida segera masuk dan menyiapkan apa yang diminta.

“Kamu gak sekaligan ganti pakaianmu. Basah begitu. Pakai bajunya Ninda.”
Dari dalam kamar Bu Ida berteriak.

“Nanti saja, Bu Ida. Sekalian ganti di rumah. Biar sekalian selesai mengurusi Ninda saja dulu.”

Bi Ida memberikan pakaian Ninda dan selimut kepada Wiwin. Dia membungkus pakaian Ninda dan selimut di dalam kresek.
Wiwin melihat Bu Ida menangis. Wiwin bisa membayangkan, betapa khawatirnya seorang ibu. Ah, ibu selalu begitu, dia mungkin tak banyak bicara, dia berbicara dengan air muka dan air mata. Seperti ibunya.

“Win…” Bu Ida menahan perkatannya.
Tapi akhirnya dia melanjutkan juga, “Kamu temani Ninda, ya.” Jelas bukan itu yang tadi hendak dikatakannya. Tapi Wiwin merasa tak berhak bertanya apa yang tadi hendak dikatakan oleh Bu Ida. Ada hal-hal yang menjadi bagiannya, tapi ada kalanya juga dia tak perlu tahu terlalu jauh.
Dia hanya mengangguk menyanggupi.

“Bu Ida mau sekalian ke sana sama kami?”

Perempuan itu menatap Wiwin, “Kamu temani Ninda ya. Saya cari mantel dulu. Nanti saya susul.”

“Baik, Bu. Kami duluan.”

Bu Ida mengangguk.
Namun sekali lagi, sebelum Wiwin keluar dari rumahnya, “Win, nanti kamu temani Ninda ya.”

Winda mengangguk menyanggupi.

Siang itu, Ninda diangkut dengan mobilnya Mas Anto. Pak Samad meminta orang-orang kembali ke kecamatan. Wiwin menemani Ninda di dalam mobil bersama Pak Samad.
Namun alih-alih membawa Ninda ke puskesmas atau Rumah Sakit, Mas Anto diminta membawa mobil ke rumah Pak Samad. Ketika Wiwin bertanya apakah Ninda tidak dibawa ke puskesmas kecamatan atau Rumah Sakit, Pak Samad mengatakan Ninda tidak apa-apa.

“Ninda memang punya sejarah ...
gangguan di amigdalanya. Dia memang sering begini ketika dulu masih kecil. Cuma memang tidak pernah kambuh belakangan.” Ujar sang bapak. Pria itu tidak menyangka penyakit itu akan kambuh di sini, setelah bertahun-tahun. Lagi pula, tambahnya, Rumah Sakit kan jauh di kota M,
sedang kualitas puskesmas di kecamatan tidak terlalu bagus. Wiwin tahu bahwa amigdala adalah bagian otak, tapi tidak tahu menahu lebih jauh.

“Yang penting Ninda banyak istirahat. Tidak mikir berat. Kalau mikir berat, pasti akan berdampak ke amigdalanya.”
Pak Samad memandang kepada Wiwin. Lalu memandang kepada anaknya masih belum sadar juga, “Dia itu anak yang kuat, Win.”

“Iya, Pak.”

“Kalau nanti suatu saat kamu lihat dia sedih atau apa, kamu hibur ya. Mungkin tadi ada hal emosional yang memicu penyakit lamanya kambuh lagi.”
Wiwin sebenarnya tak benar-benar puas dengan penjelasan dan jawaban itu. Jawaban itu tak menjelaskan mengapa Ninda bisa tergolek di tanah dalam posisinya yang tak masuk akal tadi. Lalu juga ceracau hari pasaran yang tiba-tiba dia ucapkan. Ditambah lagi, jika memang ini masalah...
otak yang dipicu oleh kondisi emosional, Ninda tadi tidak kelihatan terganggu. Dia malah pulang sekolah dengan senang bersama Eko.

Atau… apakah Ninda tadi sempat bertengkar dengan Eko di jalan? Apakah Eko mengatakan sesuatu yang memicu sakitnya Ninda.
Wiwin melihat kepada kekasihnya yang mengikuti mobil Mas Anto bersisih-sisihan. Remaja pria itu masih kelihatan seperti orang bingung. Eko kelihatan belum sepenuhnya berjenak dengan kejadian siang itu. Wiwin tak pernah melihat Eko seperti itu sebelumnya.
“Kalau kambuh lagi bagaimana, Pak?”

“Gak kok, gak apa-apa. Kamu tenang saja.” Tukas Pak Samad.

Tiba-tiba Wiwin teringat sesuatu, “Bu Ida tadi katanya mau nyusul. Kok belum kelihatan ya, Pak?”

Wajah Pak Samad sejenak menegang. Tapi dia menahannya. Dia justru tersernyum ...
kepada Wiwin, “Mungkin masih bingung di rumah. Tenang saja.” Pak Samad kembali membenarkan posisi selimut, sehingga seluruh tubuh Ninda tertutup, “Oh, ya! Nanti nanti, jangan cerita masalah ini sama Ninda ya. Kalau dia tanya, jawab saja dia pingsan di jalan. Saya gak mau ...
hal ini malah jadi pikirannya."

Pernyataan Pak Samad itu semakin menimbulkan tanda tanya besar untuk Wiwin. Tapi dia tak berani bertanya. Ah, di titik inilah dia kadang merasa kesal dengan dirinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti Ninda yang bisa sangat terbuka dengan ...
apa yang dipikirkannya. Merdeka dan bebas berbicara. Dia diajarkan untuk memendam dan merekam. Dia tak pernah diajar protes. Dia belajar dari ibunya untuk tidak mengatakan tidak. Selalu mengatakan iya, bahkan pada hal-hal yang tak dimengertinya, juga pada yang tak disukainya.
Ibunya ... ah,setiap kali mengingat perempuan itu, ada trenyuh yang tetiba tumbuh di dalam hatinya. Perempuan yang begitu dikasihinya. Perempuan yang diteladannya, yang untuknya Wiwin rela melakukan apa saja.

---
Besok paginya Ninda tak berangkat sekolah. Ninda hanya melihat Pak Samad merampasi daun pisang di depan rumahnya, ketika berangkat sekolah tadi. Bu Ida tak nampak juga.

Wiwin mengajak Eko menyambangi Ninda sepulang sekolah.
Tapi Eko mengatakan tak bisa karena harus menggembalakan kerbau dan kambingnya. Dia juga harus ngarit, karena kemarin hujan seharian dia tak sempat ngarit sesudah mengantarkan Ninda pulang.

“Ko, kamu kemarin apa sempat bertengkar dengan Ninda?”
“Enggak itu…” Eko memandang Wiwin dengan bingung, “Kenapa memangnya?”

Wiwin menggeleng, “Gak apa-apa.” Dia menghela napasnya.

“Kamu ingat wajahnya Ninda kemarin, Win?”

Wiwin mengangguk, “Kamu beneran kan gak bertengkar sama dia?”

Eko mengeras, “Enggak. Gak ada bertengkar.
Dia itu kubonceng nyanyi-nyanyi. Suaranya keras sekali. Aku sebenarnya kesal.” Eko terus memandang Wiwin, “Aku itu maunya ngajak kamu pulang sama aku. Tapi malah dia yang tiba-tiba naik.” Wajah Eko semakin terlihat kesal, “Aku itu kadang gak paham sama Ninda.
Tapi ya begitu, habis nyanyi, tiba-tiba berhenti. Aku sempat mikir akhirnya diam juga. Lah kok malah tiba-tiba malah lompat dari motor. Mantelku ditarik sampai lepas. Motorku jatuh, dan kulihat dia sudah bergerak-gerak sendiri di sebelah barongan bambu sambil mengerang-erang.
Tapi beneran, aku gak tahu kenapa bisa jadi gitu.”

Wiwin mendengarkan cerita Eko dengan seksama. Lalu menarik napas panjang, “Dia punya sakit di otaknya, Ko. Dia gak bisa mikir berat.” Tatapannya kepada Eko belum lepas, “Kita tidak usah jalan bareng dulu, ya.”
Perkataan Wiwin itu jelas mengagetkan Eko, “Lah apa hubungannya? Gak adil lah.”

“Aku gak pingin Ninda sedih.”

“Gak bisa gitu, Win! Urusan Ninda sakit ya OK kita temani dia. Tapi gak berarti lalu kita harus break atau putus. Aku serius lo sama kamu itu, Win.”
Wiwin menahan air matanya.

Eko memegang tangan Wiwin, “Kamu selalu kayak gini.” Wajah Eko berubah, garis tegang di wajahnya melunak, berganti dengan senyuman, “Kamu ingat waktu dulu kita dulu pramuka, kemah di L, pas masih jaman SMP. Hujan deras dan tendamu bocor.
Ria sama Ulin lari-lari teriak-teriak tapi gak jelas mau ngapain. Konyol banget lah mereka berdua itu.” Eko tersenyum, mengingat pengalaman kala itu. Wiwin ikut tersenyum, walaupun air mata hampir menetes di matanya.

“Mereka itu selalu heboh sendiri, ya.
Itu paginya mereka juga nggosongkan wajan lo, masak telur ditinggal lihat para cowok senam. Untung aja gak kebakar kompornya.” Ucap Wiwin mengelap matanya.

Dalam pandangan teduhnya, Eko berlanjut, “Tapi kamu dengan tenang meminta teman-teman memindahkan tas ke tenda ...
anak laki-laki. Kamu paling semangat memindahkan barang-barang. Kamu itu selalu punya cara mengendalikan suasana yang lagi kisruh." Eki menahan senyumnya, "Malamnya, gara-gara tenda anak perempuan gak bisa dipakai, mereka tidur di tenda anak laki-laki.
Kami terpaska tidur di luar karena digusur. Dan kamu, gara-gara tendanya sudah penuh barang dan anak-anak perempuan tidur. Kamu malah milih duduk sama kami yang laki-laki di sekitar api ungguh. Padahal aku tahu kamu paling capek hari itu.”
Wiwin tersenyum kecil, “Aku bahagia, kok.”

“Itu yang bikin aku suka kamu. Kamu itu selalu memikirkan orang lain. Sampai gak mikirkan kenyamanan dan kebahagiaan kamu sendiri.”

Wiwin melepaskan pegangan tangan Eko, “Itu yang sekarang sedang kulakukan pada Ninda.
Aku gak mau orang yang kukasihi menderita, dan aku malah bersenang-senang sendiri.” Dalam benaknya bukan hanya Ninda, tapi yang juga membayang adalah wajah ibunya. Demi itulah air matanya menetes tetiba.

Eko menatap Wiwin, “Kamu berhak bahagia, Win!”

Wiwin menatapkan ...
pandangnya menjurus ke depan, “Makasih, Ko! Aku gak mau jadi egois.”

Eko tak mau berhenti, "OK, kamu mikirkan perasaannya Ninda. Kamu mikirkan perasaanku juga gak?"

Wiwin memandang Eko dengan tajam, dia berdiri, "Itulah bedanya kita. Itulah kenapa kita lebih baik ...
tidak bersama-sama." Wiwin pun berlalu.

Dari belakang, Eko masih meneriakkan, "Kamu gak akan bisa menyelamatkan semua orang! Kamu gak akan bisa selalu jadi pahlawan!"

---
Sepulang sekolah Wiwin mengunjungi rumah Ninda. Rumah itu tertutup, Wiwin pun mengetuk. Taka da jawaban. Wiwin mengetuk lebih keras, tapi tetap tak ada jawaban.

Wiwin memilih memutar. Ke arah jendela kamar Ninda. Bekas hujan seharian kemarin masih terlihat di sepanjang kebun...
di samping rumah itu. Beberapa pohon melinjo yang tumbuh menjulang di sepanjang kebun itu menghalangi sinar matahari. Membuat tanah masih terjaga basah.

Namun dia sangat terkejut. Jendela kamar Ninda tertutup rapat, tapi dia masih bisa mendengar dengan jelas suara di dalam.
Suara Pak Samad yang berteriak.

“Siapa kamu?”

Tak ada jawaban yang terdengar. Pak Samad terdengar berteriak lagi. “Siapa kamu ini?”

Jawaban yang terdengar justru serupa erangan pelan. Lalu tawa terkekeh. Tawa yang dikenalnya kemarin siang. Tawa dengan nada berat serupa ...
ketika dia memeluk Ninda kemarin. Tawa itu berhenti, “Kliwon…” Ujar suara berat itu. Lalu tertawa lagi. Wiwin ingat, nama-nama pasaran yang diulang-ulang kemarin. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding, suara itu seperti persis terdengar di dekatnya.
Seperti bukan dari dalam ruangan, tetapi dari sebelahnya.

Wiwin melihat sekitar, tak ada apa pun. Namun Wiwin merasakan hal yang sama, seperti ada yang mengawasinya lagi. Sosok di balik rerimbun pohon melinjo. Entah di belakang pohon itu, atau di atas pohon.
Wiwin memandang ke arah pohon, lalu ke atas. Tak ada apa-apa. Tapi dia merasakan seperti ada begitu dekat dengannya.

Dengan keberanian yang ditambah-tambahkan ke dalam dirinya, Wiwin berusaha untuk mengintip ke dalam lewat lubang di sesela antara daun jendela dengan kusennya.
Keterkejutannya bertambah dahsyat, ketika dia melihat samar-samar di lubang sesela itu tubuh sahabatnya itu ditutupi daun pisang dari kepala sampai kaki. Di bagian yang tak tertutup daun nampak kulit sahabatnya yang gosong, membiru hingga coklat. Apa yang sedang terjadi di dalam?
Bau anyir dan gosong, seperti daging terbakar tercium dari sesela lubang itu.

Namun ketika itu, suara lirih mengejutkannya. Suara itu persis di sebelah telinganya, “Pahing… Pon… Wage… Legi… Pahing… Pon… Wage… Legi… Pahing…” Wiwin melihat sekitar, tak ada siapapun.
Suara itu juga seketika hilang. Wiwin berjuang untuk kembali mengintip ke dalam, dengan tetap waspada jika ada sesuatu yang sedang mengawasinya.

Ketika dia melihat ke dalam, sejenak kemudian, dari balik daun pisang itu, suara berderak yang keluar dari bibir sahabatnya.
Suara itu begitu jelas, seperti suara daun kering. Berkeriat. “Ada orang di balik jendela.”

Sontak Pak Samad melihat ke arah jendela. Wiwin melihat wajah pria itu. Wajahnya garang. Dia berdiri. Pria itu berjalan ke arah jendela.
Wiwin berusaha untuk lari, tapi seperti ada yang menahan kakinya. Wiwin berjuang, tapi tubuhnya kaku. Sedang dari suara langkah kakinya, Wiwin tahu Pak Samad semakin mendekat ke arah jendela. Wiwin hanya bisa mematung. Hatinya berdegub tak karuan.
Wiwin mengambil napas panjang. Tubuhnya gemetar. Ujung kaki dan tangannya hingga kesemutan menahan getar. Selot jendela di belakangnya terdengar dibuka. Wiwin menutup matanya. Entah dari mana suara tertawa kecil yang tiba-tiba terdengar begitu saja.
Seperti ada beberapa orang yang sedang mengelilinginya.

Sebuah benda yang berat jatuh di bahunya. Napasnya ngos-ngosan. Dari sudut matanya Wiwin melihat sekilas benda apa yang menumpu di bahunya. Sebuah tangan. Dia menoleh utuh. Tangan Pak Samad.
Wiwin menatap pria yang ada di depannya itu. Wajah Pak Samad tak seperti tadi yang dilihatnya. Wajah itu tidak lagi beringas dan sadis. Wajah itu berubah menjadi tenang dan dalam. Ada saputan kesedihan dalam rona mukanya. Kesedihan yang tak disembunyikan.
“Win…” Suara Pak Samad.

Napas Wiwin masih belum teratur. Kini dia bisa melihat dengan jelas apa yang ada di dalam kamar. Tubuh Ninda terbungkus daun pisang. Namun tak nampak gosong seperti yang tadi diintipnya. Tubuh itu justru kelihatan pucat.

“Pak Sa…”
Pak Samad melihat kepada Ninda, kesedihannya semakin mendalam. Pria itu mengela napas panjang.

“Berapa lama kamu tadi di sini?”

Dengan upaya keras menata napasnya, Wiwin menjawab terbata-bata, “Baru… sa.. ja, Pak. Sa… saya…”

Pria itu agaknya mengerti.
Dia menepuk bahu Wiwin.

“Masuklah, aku bukakan pintu depan.”

“Saya tadi sudah mengetuk pintu, Pak Samad. Tapi tidak ada jawaban.”

Pak Samad mengangguk, “Kalau dari dalam sini, memang tidak kedengaran. Masuklah.”

Suasana masih terasa singup.
Namun bau dan segala suara yang tadi didengarnya sudah tak ada lagi. Mungkin karena pohon-pohon melinjo memenuhi kebun itu dan menjadikan sinar matahari tak dapat tembus yang menjadikan suasana singup ini. Atau entah apa lah.

Wiwin berjalan ke depan.
Pak Samad sudah menunggu di depan pintu. Wiwin melepas sepatunya di depan teras.

“Mau lihat kondisi Ninda?”

Wiwin mengangguk. Dia baru sadar bahwa dahi, tengkuk, lengan, dan tubuhnya telah kuyup oleh keringat dingin. Dia mengikuti Pak Samad di belakang.
Wiwin terkejut melihat barang-barang seisi rumah jatuh berserakan di mana-mana. Berantakan seperti diterjang angin topan. Tapi Wiwin tak punya keberanian untuk bertanya. Dia terus berjalan mengikuti Pak Samad ke dalam.

“Ibunya Ninda pergi ke M pagi tadi. Mencarikan obat.
Belum tahu baliknya kapan. Kalau gak dapat di M ya pergi ke S.”

Wiwin masih terdiam. Dia belum bisa menemukan kata-kata untuk diungkapkan. Pikirannya dipenuhi patahan-patahan gambar peristiwa yang sulit dihubungkan satu dengan yang lain. Dia mencoba menghubungkan setiap ...
peristiwa, tapi tak ada benang merah yang masuk akal.

Wiwin percaya bahwa setiap aksi akan melahirkan reaksi. Sebuah hal pasti akan mempengaruhi hal yang lain. Dan suatu hal itu pun dipengaruhi oleh hal yang lain. Tidak pernah ada sesuatu yang berdiri pada dirinya sendiri.
Semua saling memengaruhi. Namun dalam peristiwa yang dialami Ninda ini, semua jalinan aksi reaksi seperti tak bersambungan satu dengan yang lain. Semua peristiwa seperti variabel yang terpisah-pisah. Lebih mirip kolase yang tak beraturan daripada sebuah alur.
Sampai di kamar Ninda, Pak Samad menggeretkan sebuah kursi ke dalam. Wiwin duduk di kursi dekat kaki Ninda, Pak Samad duduk di kursi yang tadi didudukinya. Daun pisang yang menutupi sahabatnya itu melayu. Serupa daun yang dipanggang di atas bara api. Aroma daun memenuhi ...
sepanjang ruangan, sesekali angin yang menerobos dari luar jendela membawa aroma daun, kayu, dan tanah yang masih basah.

Pak Samad melihat kepada Wiwin.

“Ini kondisi Ninda, Win!”

“Kenapa kok ditutup daun pisang, Pak?”

Pak Samad menghela napas.
Rasanya panjang sekali. Lalu diam. Rasanya diam itu berjalan lama sekali. Wiwin tak berani lagi membuka pertanyaan. Namun, Pak Samad tersenyum.

“Ninda sakit sejak kecil. Seperti yang saya ceritakan kemarin, ada sesuatu di bagian otaknya. Saya dan ibunya sudah membawa ...
ke mana-mana. Tapi kondisinya tetap. Ada saat-saatnya ketika dia kambuh. Dan kalau sudah begitu, badannya panas, sampai kulitnya memerah.” Penjelasan Pak Samad itu menambal misteri tentang tubuh Ninda yang gosong. “Kami waktu itu sudah habis-habisan,
dari rumah sakit satu ke yang lain. Dari dokter satu ke dokter yang lain. Sampai ibunya menyarankan perngobatan alternatif. Kami mencoba dari yang obat-obatan sampai yang telur digelinding-gelindingkan ke tubuhnya. Tapi tetap saja.”
“Daun pisangnya layu itu karena tubuhnya Ninda yang panas, Pak?”

Pak Samad mengangguk, “Akhirnya kami pernah membawa di ke P. Di sana kami dikasih tahu kalau ada yang jagain Ninda sejak dia masih kecil. Katanya orang pintar di P itu, yang jagain Ninda ini baik.
Dia menjaga Ninda supaya terlepas dari hal-hal buruk. Kamu tahu tentang kakak-kakak Ninda?”

“Kakak? Ninda punya kakak, Pak?”

“Ninda tidak cerita ya? Ninda itu dulu punya dua orang kakak, pertama laki-laki dan kedua perempuan. Mereka meninggal ketika usia mereka masih kecil.
Katanya orang pintar itu, keluarga kami ini jadi incaran Wedara Gandhung.”

Tiba-tiba di rambut di sepanjang tengkuk dan lengan Wiwin menegang. Ketika nama itu disebutkan seperti ada suasana dingin mencekat yang seketika lewat. Wiwin mengusap kedua lengannya.
Pak Samad melihat sikap Wiwin itu.

“Kamu terasa to?” Dia tersenyum tipis. “Setiap kali namanya disebutkan, orang yang inderanya tajam pasti bisa terasa. Kamu orang pertama yang aku jumpai di daerah sini. Kamu bisa kerasa.”

“Saya… saya katanya ibu sejak kecil bisa merasakan...
yang seperti itu, Pak Samad. Tapi dulu ketika kecil. Sekarang sudah tidak bisa lagi.”

“Hal seperti itu seperti bakat Win. Tertanam dalam darah kamu. Mungkin suatu saat tidak muncul, tapi tidak pernah pergi.” Wiwin menangkap bahwa Pak Samad lebih antusias daripada tadi.
Dia nampak lebih bersemangat. Dan matanya mulai nampak berbinar. “Mungkin kamu yang bisa menolong Ninda, Win!”

Wiwin terlihat bingung. Tapi penjelasan ini membuat kejadian-kejadian yang terjadi pada Ninda dua hari ini menjadi lebih jelas.
Tapi justru semakin banyak pertanyaan yang muncul, “Kenaka kok tubuhnya ditutup daun, Pak?”

“Oh ya itu…” Pak Samad mendekatkan dirinya ke tubuh Ninda. Sang bapak pun membuka satu persatu daun pisang yang menutupi tubuh Ninda. Sahabatnya itu masih belum sadar.
Tubuhnya nampak pucat. “Sudah dingin.” Ujar Pak Samad. “Kalau kondisinya panas, Wedara Gandhung …” Sekali lagi Wiwin merasa seperti ada yang berkelebat di luar kamar, “… bisa masuk ke tubuh Ninda. Kata orang pintar di P itu, daun pisang bisa menyerap panas dari sumber ...
yang tidak seharusnya. Sekaligus melindungi tubuh Ninda dari serangan hal-hal yang mungkin akan mencelakakannya.”

Wiwin mendekat ke tubuh sahabatnya itu. Wiwin melihat kepada Pak Samad, Pak Samad agaknya mengerti bahwa Wiwin hendak memegang anaknya, pria itu pun mengangguk.
Wiwin memegang tubuh sahabatnya itu. Dan benar, tubuh sahabatnya yang tadi kelihatan gosong terbakar itu sudah dingin. Bahkan lebih dingin daripada tubuh orang biasanya.

“Dingin sekali, Pak”

Pak Samad menganggukkan kepalanya lagi,
“Nanti hangat sendiri pelan-pelan. Itu reaksi fisik. Seperti yang saya bilang kemarin, kalau emosinya Wiwin itu memuncak. Entah saking marah, atau sedih, atau saking bahagianya. Itu mempengaruhi otaknya. Amigdalanya lemah. Kalau sudah kena ke sana, tubuhnya langsung tidak kuat.
Itu yang kemarin terjadi. Dalam kondisi begitu, yang jahat bisa menyerang dia karena pertahanannya lemah.”

Maka satu per satu mulai mulai terangkai. Rahasia itu mulai terjawab perlahan-lahan.

“Karena itu kami orang tuanya berusaha menjaga perasaan Ninda.
Kamu mendukung dia supaya emosinya kuat. Kami mengajar supaya dia tumbuh menjadi pribadi yang kokoh. Tidak gampang terbawa emosi.”

Wiwin bisa mengerti dari mana keberanian Ninda selama ini. Ternyata bukan sekadar karena dia tumbuh di kota,
tetapi di dalam keluarga pun mereka mendukung luar biasa. Wiwin tiba-tiba iri kepada Ninda. Dia berharap memiliki orang tua yang kuat dan selalu memotivasinya seperti orang tua Ninda. Orang tuanya adalah kebalikan dari Pak Samad dan Bu Ida.
Orang tuanya meminta di lebih banyak tenang dan diam. Tak boleh melawan. Andai saja dia tumbuh di tengah keluarga Ninda, mungkin dia tak menjadi seperti sekarang. Anak yang pemalu dan pendiam. Tak berani mengungkapkan pendapatnya karena seringkali ...
merasa takut ditertawakan dan dihina.

Mungkin beban Ninda berat. Wiwin tak tahu perkara Wedara Gandhung atau apa pun itu. Tapi Ninda punya keluarga yang mendukungnya. Ibunya Ninda kuat. Dia berani keluar kota sendiri untuk mencarikan anaknya obat. Ibunya sebaliknya.
Ah, ibunya… mengapa ibunya selalu perempuan yang rapuh. Ibunya sendiri seorang perempuan penyayang. Dia bersyukur memiliki ibu seperti ibunya. Tapi ibunya bukan perempuan yang berani bersuara. Setiap kali bapaknya marah, ibunya hanya diam, lalu tiba-tiba menangis sendirian.
Ibunya tak punya keberanian untuk melakukan yang macam-macam dilakukan oleh perempuan pada umumnya. Ibunya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan di sawah. Waktunya habis di dua tempat itu. Hingga tak punya waktu untuk membangun ceritanya sendiri.
Bapaknya menganggap bahwa perempuan harus menurut kepada suaminya. Tapi Wiwin melihat bapaknya lebih ingin ibunya tunduk kepada bapaknya. Itu yang kadang membuat Wiwin begitu kesal kepada bapaknya. Ibunya bahkan sampai usianya sekarang tak bisa naik motor.
Karena bapaknya memang melarangnya ke mana-mana. Bapaknya selalu mengatakan nanti seperti perempuan-perempuan yang keluyuran ke mana-mana itu. Bahkan untuk ke pasar pun diantar oleh bapaknya. Ketika marah, bapaknya mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakitkan, yang ibunya cuma
bisa bergantung lah, yang ibunya tidak tahu menghormati suami lah. Tapi bukankah bapaknya sendiri yang membuat ibunya begitu. Bapaknya yang mengkondisikan ibunya bergantung. Mengkondisikan ibunya menjadi tak berdaya. Dan jika sudah begitu ibunya hanya bisa diam dan memendam.
Dan Wiwin sekarang sadar bahwa itu yang membentuk dirinya menjadi seperti ini sekarang. Dia yang pemalu. Dia yang tak berani bersuara lantang. Dia yang memendam dan penurut saja. Ah, andaisaja dia dibesarkan seperti Ninda.
Perasaan yang memenuhi pikirannya itu menjadikannya tanpa sadar meremas kaki Ninda. Ada kemarahan dalam dirinya yang tanpa dia sadari mencari jalannya sendiri untuk keluar.

“Win …” Pak Samad berseru melihat kaki anaknya yang diremas. “Ada apa Win?”
“Maaf, Pak Samad. Saya tidak sengaja.”

“Kamu merasakan sesuatu pada Ninda?” Matanya memancar penuh semangat. Wiwin tersadarkan bahwa pria itu bukannya berseru karena khawatir Wiwin menyakiti anaknya, tetapi karena dia menganggap yang ada dalam dirinya bereaksi atas kondisi ...
Ninda saat ini.

“Tidak, Pak…”

“Gak apa-apa, Win. Bilang saja kalau ada sesuatu. Mungkin itu bisa membantu Ninda.”

“Bukan itu, Pak.”

Pak Samad masih memandang Wiwin. Dia tidak percaya bahwa tidak ada apa-apa. Dia agaknya berpikir bahwa Wiwin sedang menyembunyikan ...
sesuatu darinya. Namun Wiwin juga tidak berniat untuk bercerita masalah keluarganya. Untuk apa. Lagipula Pak Samad juga bisa berbuat apa.

“Pak Samad, saya tadi kok mendengar Pak Samad seperti bicara sama seseorang atau sesuatu, ya.”
Pak Samad tiba-tiba nampak sejenak terkejut dengan pertanyaan itu. Dia memundurkan kepalanya sedikit. Tapi dia lalu kelihatan bisa menguasai dirinya lagi, “Itu yang aku maksud tadi.” Namun sebentar saja kemudian, mata pria itu berubah tajam menyelidik. “Kamu tadi dengar to?”
“Ya sedikit, Pak.”

“Dengar apa saja?” Pria itu masih menatapnya dengan pertanyaan. Wiwin merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Tapi dia menjawab juga, “Saya tadi mendengar dia mengatakan Kliwon, atau apa begitu.”

“Lalu?”

Wiwin menggeleng.
Dan wajah Pak Samad berubah menjadi tenang. Begitu saja. Perubahan sikap pria ini begitu segera. Kadang dia nampak sedih, lalu tenang, lalu… benar-benar tak bisa diduga. Dia tiba-tiba menjadi begitu bersemangat, “Itulah, Win! Itu yang menjaga Ninda.
Aku berusaha mengerti dia bagaimana, tapi dia tak mau membuka dirinya. Tapi ya selama dia tidak mengganggu dan masih menjaga Ninda ya tidak apa-apa. Buktinya sekarang tubuhnya Ninda sudah dingin.” Pria itu mendekat kepada anaknya, mencium keningnya, lalu mengusap rambutnya.
“Kasihan ya, Win.”

“Setiap orang punya halnya masing-masing untuk menjadikannya kasihan, Pak. Tapi Ninda bersyukur punya orang tua seperti bapak.”

Pak Samad tersenyum dengan tetap mengusap rambut Ninda, “Kalau saja tidak ada hal ini, mungkin dia sudah bisa berprestasi ...
dan melakukan banyak hal sekarang.”

“Ninda itu selalu berprestasi kok, Pak!”

Pak Samad mengangguk, “Kalau sudah dingin begini biasanya besok akan baik-baik. Saya minta tolong sekali ya, jangan cerita ini kepada Ninda. Kami pun, saya dan ibunya, merahasiakan hal ini dari dia.
Kami tidak ingin ini jadi bebannya dia.”

Wiwin mengangguk, “Temani dia, ya, Win.”

Wiwin tiba-tiba ingat bahwa Bu Ida kemarin mengatakan hal yang sama. Kedua orang tua sahabatnya itu meminta dia menemani Ninda. Jelas dia akan menemani Ninda. Ninda adalah sahabatnya.
Dulu sebelum ada ninda di T, Wiwin adalah anak yang lebih diam daripada sekarang. Ninda membantunya untuk tertawa. Ninda juga yang membantunya mengerti banyak hal, mulai dari sekolah sampai urusan-urusan sesehari yang lain. Ninda adalah bintang di sekolahnya. Dia cantik.
Dia hebat. Dan dia juga menyukai Eko.

“Bu Ida baliknya kapan, Pak?”

Pak Samad masih melihat anaknya, tak berpaling sama sekali, “Ya kalau dia sudah dapat obatnya. Ninda itu masih minum obat terus. Sempat berhenti beberapa bulan ini. Kami pikir sudah aman.
Tapi karena kemarin ada serangan lagi, sepertinya harus minum teratur lagi setelah ini. Besok dia pasti sudah bisa sekolah lagi. Masa kritisnya sudah lewat.”

Wiwin memohon ijin untuk pamit. Pak Samad mengantarkannya keluar. Mereka berdua berjalan menyelusur selasar dalam rumah.
Wiwin sempat menoleh sebentar ke kamar Ninda, dan ketika itulah Wiwin dengan jelas melihat sosok yang menyembul dari balik dinding kamar Ninda itu. Wajahnya kelihatan seperti sosok yang sudah tua, tapi tubuhnya seperti anak-anak kecil. Sosok itu memegang daun pintu.
Matanya jelas menatap kepada Wiwin. Sosok itu mengangkat tangannya lalu melambaikannya memanggil Wiwin.

“Pak Samad!”

Pak Samad menoleh kepada Wiwin.

“Ada yang keluar dari kamarnya Ninda!”

Pak Samad menarik Wiwin keluar rumah. Dia tersenyum, “Kamu tahu kan sekarang.
Tidak apa-apa. Ninda sudah membaik kok kondisinya. Temani dia ya.” Pak Samad menepuk bahu ninda beberapa kali, “Kamu teman yang hebat, Win! Temani Ninda ya kalau dia pas dia sedih, marah, atau yang lain.”

Wiwin masih sempat melihat ke dalam.

“Jangan takut, yang jagain ...
Ninda tidak jahat. Kamu tahu siapa yang jahat.”

Wiwin mengangguk.

“Besok pagi kamu jemput Ninda ya.”

“Iya, Pak.”

---
Manusia terbiasa dengan rasionalitas. Sakit ya ke dokter. Pintar ya belajar. Kalau mengalami gangguan mental ya ke psikolog. Kalau ada hal-hal yang tidak masuk akal, pasti ada penjelasannya secara rasional. Untuk segala sesuatu ada jawaban yang masuk akal.
Tidak ada yang kebetulan.

Tapi nyatanya manusia tak hanya hidup dalam rasionalitas, manusia juga hidup dalam irasionalitas. Bagaimana mungkin ada orang yang sudah disakiti dan ditolak tapi masih mencintai? Bagaimana menjelaskan mujizat? Mengapa di era teknologi,
ketika orang sudah belajar sains sedemikian rupa, nyatanya masih ada orang yang percaya kepada hantu? Mengapa ada orang yang takut pada gelap sekalipun dia tahu tak ada apa-apa di sana? Bagaimana menjelaskan keberuntungan?

Iman dan cinta adalah bagian dari yang irasional itu.
Kita tak pernah melihat Tuhan, tapi mengapa percaya? Mungkin kita bisa merasionalisasikannya. Banyak jawaban diajarkan. Mulai dari kita diajar percaya seperti itu sejak kecil. Ada juga yang mengatakan karena manusia punya kerentanan dalam hidup dan secara psikologis manusia ...
mencari ketenangan, maka Tuhan hadir di sana. Sampai upaya-upaya pemaknaan yang lain. Nyatanya penjelasan rasional demikian tak pernah benar-benar memuaskan. Tetap ada yang irasional. Kadang ada orang yang menyebut pengetahuan di luar batas rasional itu sebagai superasional ...
atau transrasional. Hal itu sebenarnya untuk menyatakan hal yang sama, yaitu kenyataan bahwa rasionalitas terbatas, kita hidup juga dengan irasional-irasional. Bahkan dalam matematika pun ada bilangan irasonal. Ada bilangan imajiner, akar min satu.
Akar min satu tidak ada secara rasional, tapi tanpa angka itu banyak prinsip Fisika kuantum tidak terjelaskan. Hanya dengan memasukkan angka itu, rumus-rumus menjadi mungkin.

Namun, ada juga yang sangat menggenggam irasionalitas secara berlebihan,
sehingga mengejek ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Yang begini pun sama saja. Mereka mungkin lupa bahwa nyatanya banyak capaian ilmu pengetahuanlah yang membantu manusia bertahan hidup sampai hari ini. Listrik, komputer, internet, bahkan katrol sumur timba.
Tidak bisa segalanya dijawab dengan irasional. Beriman tanpa rasionalitas menjadikan orang menjadi banal dan fatal. Ada orang sakit aneh sedikit dibilang santet, ada yang berkelebat di belakang sedikit saja disebut hantu.
Manusia hidup dengan rasionalitas dan irasionalitas bersama-sama. Kenapa keduanya harus selalu dipertentangkan? Bukanlah lebih baik memeluknya sebagai keutuhan hidup.

Memeluk keduanya menjadikan seseorang mampu membedakan antara rahasia dan misteri. Rahasia memang tersembunyi,
tapi bisa dicari jawabannya. Rahasia adalah untuk ditemukan. Ada rahasia dalam penyakit yang dialami oleh Ninda. Dan Wiwin harus mencari jawabannya. Jawaban yang rasional, sehingga dia bisa menemani sahabatnya itu dengan seharusnya.
Namun, ada hal-hal yang adalah misteri, hal-hal yang tak akan mampu dia ungkap. Hal-hal yang tersembunyi yang tak akan sepenuhnya mampu dipahami manusia, kecuali ketika sang misteri itu menampakkan dirinya sendiri. Seperti mengapa dia diberikan bakat seperti ini,
padahal dalam keluarganya tak ada yang memiliki bakat serupa itu. Apa rencana Tuhan menempatkan kemampuan ini padanya? Ada misi apa yang hendak diembannya? Demikianlah misteri, sebesar apa pun dia berjuang merasionalisasikannya, masih tetap ada yang tak terselami,
di sanalah irasionalitas memainkan perannya.

Ah, memikirkan itu membuat Wiwin kelelahan sendiri. Dia melepaskan mukenah dan melipat di sebelahnya. Dia pun menata kembali sajadahnya. Keduanya ditumpuk dan diletakkan di lemari. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil air minum.
Ibunya duduk di dapur sambil memotongi ketela.

“Ibuk nggak tidur? Sudah jam sebelas.”

Ibunya tersenyum, “Tinggal ini. Besok mau dibuat ngirim ke sawah, Win.”

Wiwin mencuci gelasnya, lalu duduk di sebelah ibunya, “Sini Wiwin bantu.”

Ibunya memberikan pisau dan telenan.
Wiwin mengambil ketela itu dan memotong-motongnya. “Ini mau buat apa, Buk?”

“Digoreng saja. Dijadikan cemilan. Mungkin nanti buat tambahan perkedel juga. Kalau kentang saja, habisnya banyak. Mahal.”

Wiwin menatap perempuan di sebelahnya. “Gak capek, ta, Buk?”
Ibunya tersenyum, “Kok aneh-aneh saja kamu ini.”

“Buk… Bapak itu dari dulu gak pernah bantu Ibuk ya kalau urusan ngirim begini ini?”

Dengan tetap mengiris ketela ibunya menjawab, “Wong bapakmu juga capek, Win. Dia kan kerja juga.”

“Tapi Ibuk yang tidak pernah berhenti.
Ibuk pagi masak, lalu ngirim ke sawah. Di sawah masih bantu-bantu. Sampai di rumah ngerjakan kerjaan rumah. Tidak pernah berhenti. Padahal bapak kalau pulang sawah ya tidur, nonton tivi.”

Ibunya mengambil napas, meneruskan pekerjaannya, “Ini pekerjaan perempuan, Win.”
Jujur Wiwin terluka sekali dengan jawaban perempuan di sebelahnya itu. Ada rasa yang menonjok dadanya, perasaan panas “Harusnya kan apa-apa bisa dikerjakan sama-sama. Ibu kalau ke sawah juga ikut mengerjakan pekerjaan sawah.
Tapi bapak gak pernah membantu mengerjakan pekerjaan rumah, yang katanya ibuk pekerjaan perempuan tadi. Belum lagi kalau bapak marah sama ibuk kasarnya luar biasa. Aku gak tahan dengan kata-kata kasar bapak, kok Ibuk bisa kuat?”
Perasaan panas di dadanya merambat hingga ke wajahnya. Menggumpal dalam air matanya yang begitu saja menetes tanpa bisa dibendungnya.

Ibunya mengambil kain, lalu memberikan kain itu kepada Wiwin untuk mengusap air matanya, “Aku sudah hidup bersama bapakmu puluhan tahun, Win.
Kalau gak ada bapakmu dari mana kita bisa hidup, wong ibuk ya gak pernah kerja ngasilin uang.”

“Itu karena ibuk gak pernah diberikan kesempatan, kan?”

Ibunya terus memotongi ketela. Tidak melihat kepada Wiwin lagi. Wiwin tahu bahwa perempuan itu memiliki perasaan yang sama ...
di hatinya.

Wiwin terus bicara, “Dulu cita-cita Ibuk waktu kecil jadi apa?”

Bu Yani tersenyum. Lalu kembali memotong ketela. Wiwin yakin ibunya punya cita-cita. Ibunya punya dunia yang dibayangkan ketika masih remaja. Wiwin tak pernah tahu itu.
Mungkin ibunya ingin jadi penjahit, atau jadi guru, atau jadi yang lain. Namun perempuan itu dilamar oleh bapaknya ketika lulus SMP. Setelah itu hidupnya sepenuhnya untuk keluarga. Ibunya mungkin masih punya mimpi, tapi dia memilih meninggalkan mimpinya demi menjadi istri.
Hingga lahir kedua kakaknya laki-lakinya. Lalu dia. Setelah kelahiran ketiga anaknya itu, hidup ibunya adalah untuk keluarganya, tak tersisa lagi ruang untuk dirinya sendiri. Menjadi ibu rumah tangga memang luar biasa.
Tapi sampai hari ini Wiwin bahkan tak pernah tahu apakah ibunya masih punya mimpi untuk hidupnya sendiri.

Wiwin menangis bersenggukan. Tiba-tiba dia ingat pada perkataan Eko. Dia pun tak berbeda. Dia sering serupa ibunya, memikirkan kebahagiaan orang lain sampai tidak ...
memikirkan dirinya sendiri. Ketika dia melihat kepada ibunya, dia tidak tega ibunya menjadi seperti ini. Apakah dia nanti akan menjadi seperti ibunya? Selepas SMA hanya akan menunggu dikawini. Lalu hidupnya habis di dapur. Apakah egois memiliki impian yang berbeda. Entahlah.
Perasaan itu begitu menyakitkannya.

“Sudah, kamu tidur. Ibu saja yang teruskan. Tinggal sedikit.” Bu Yani menatap anak perempuannya, “Ibu bahagia lihat kamu. Lihat mas-masmu jadi orang.”

Wiwin mengelap air matanya, walaupun sesenggukannya belum hilang juga.
Ada perasaan tidak adil yang dia rasakan. Tapi dia pun tak berani berpikir lebih. Yang dia tahu ibunya telah menjadi istri dan ibu yang luar biasa. Apakah dunia memang begini, selalu ada orang-orang yang harus berbahagia dengan apa yang tersedia saja di depan matanya,
sedangkan orang lain bisa meraih yang bahkan tak nampak oleh mata.

“Besok bangunin Wiwin, ya, Buk. Wiwin mau shalat subuh. Sekalian bantu Ibuk.” Wiwin berdiri. Ibunya tersenyum.

Wiwin berjalan menuju kamar. Dia meletakkan kepalanya di kasur.
Dia mencoba untuk menutup matanya tapi tak bisa. Dia tidak bisa berhenti memikirkan apakah mimpi ibunya. Ah andaikata ibunya lebih terbiasa berbicara. Tapi dia pun membayangkan andaikata ibunya berbeda, mungkin juga dia tak akan dicintai seperti ini. Entahlah.
Sudah hampir dua jam Wiwin berusaha mengatupkan matanya, tapi tak berhasil-berhasil juga. Udara di kamarnya sudah dingin menjelang tengah malam. Tapi dia merasa sangat tidak nyaman. Sudah lewat jam dua belas. Dia harus tidur, atau dia tidak akan bisa membantu ibunya besok pagi.
Ada yang lebih mengganggu daripada gangguan yang datang dari luar, pikiran yang datang dari dalam. Sesuatu yang dari luar bisa dilepaskan, bisa dikebaskan dan pergi. Namun sesuatu yang ada dalam diri menancap begitu kuat.

Wiwin kembali duduk. Dia mengecek handphonenya.
Ada beberapa pesan di grup kelasnya. Tak ada yang berguna. Untung saja dia tidak pernah membawa handphone ke sekolah. Kalau tidak, handphone ini pasti sudah basah ketika kemarin menolong Ninda yang nyungsep di pohon-pohon bambu. Keluarga Wiwin bukan keluarga Ninda yang ...
apa-apa serba mudah. Mau ganti handphone tinggal tukar di konter. Dia harus menabung sendiri untuk punya handphone ini, mengingat satu-satunya yang menghasilkan uang di keluarga ini hanyalah bapaknya.

Entah bagaimana, dari balik pijar cahaya handphone yang memapar matanya,
Wiwin seperti melihat sebuah sosok berdiri di sebelah lemarinya. Sosok itu tak lebih tinggi dari anak SD. Menempel seperti lengket di lemari. Tubuhnya tipis, kepalanya menonjol besar menatap Wiwin.

Wiwin tergeragap. Tiba-tiba tubuhnya menjadi panas.
Buku-buku jarinya kaku dan kuduknya meremang. Dia merasa denyut jantungnya bergebam dalam derap yang lebih kerap. Dia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dia tidak sendirian di kamar ini.

Wiwin membuka pengaturan handphonenya dan menyalakan senter di handphone itu.
Dia menyorot sebelah lemari. Kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Tak ada apa pun. Hanya ada sebuah payung yang bersandar di lemari. Tapi yang dilihatnya tadi jelas bukan payung. Wiwin jelas-jelas bisa melihat gelembung kepala sosok itu.
Dia menyorotkan senter itu ke sepenjuru kamar. Tak ada apa pun.

“Halo! Tolong, siapa pun jangan ganggu.”

Wiwin tidak bisa menyembunyikan bahwa dia takut. Tubuhnya masih tegang. Tapi beberapa kali pun dia menyorotkan senter ke kamarnya, tetap tak ada siapa pun.
Dia lalu memilih untuk menutupi tubuhnya dengan selimut. Dia meringkuk di kasurnya bertutupkan selimut dari kaki hingga kepala. Dia ingin mengucapkan doa-doa pendek, tapi begitu saja semua doa yang dihapalkannya tak muncul karena saking takutnya.
Ketika itulah dengan sangat jelas Wiwin bisa mendengar ada suara yang menggaruk-garuk di bawah dipannya. Suara itu seperti suara orang berkeleset di lantai, tapi tangannya menyentuh dipan di atasnya dan mengeruk-ngerukkan jarinya. Suara kerukan itu semakin keras.
Wiwin berusaha menutup telinganya. Tapi suara itu tetap terdengar juga.

Lalu terdengar tawa. Ini suara tawa yang dikenalnya. Ini suara yang keluar ketika Ninda tak sadar. Suara itu persis berasal dari bawah kasurnya. Tapi bukan hanya satu suara.
Rasanya ada beberapa orang yang bersuara di bawah. Sejenak suara tawa itu datang, sejenak kemudian hilang dan sunyi. Lalu terdengar lagi. Wiwin semakin mengeratkan selimutnya. Nyatanya suara tawa itu semakin keras.

“Dii… di … am..” Wiwin berusaha berbicara tapi suaranya ...
tergagap oleh ketakutan. Walaupun begitu, suara tawa itu memang tak terdengar lagi. Lalu hening. Hening sekali. Tak ada suara angin, yang ada hanyalah suara napas Wiwin yang terbekap selimut. Hingga tiba-tiba saja terdengarlah suara itu, “Pahing … Pon … Kliwon… Pahing… Pon…
Kliwon… Pahing… Pon… Kliwon”

Mengapa selalu suara ini. Seperti ada yang berhitung. Dan berhitung dengan hari pasaran. Yang dia tahu, hitungan mereka tidak lengkap. Mereka tidak menyebut Wage dan Legi. Namun suara itu jelas. Suara itu berasal dari bawah kasurnya.
Dan lagi, suara kerukan-kerukan jari. Suara itu bergerak ke sisi bawah kasurnya. Seperti keluar dari bawah tempat tidurnya. Mereka tetap menyerukan hitungan yang sama, ““Pahing … Pon … Kliwon…” Begitu terus berulang-ulang.

Wiwin memberanikan diri membuka selimutnya.
Dan benar saja. Dia melihat tiga makhluk sebesar anak kecil menari-nari di depan kakinya. Makhluk-makhluk itu serupa orang tua, tapi tubuhnya kontet. Ada yang gundul, persis yang dilihatnya di sebelah lemari. Ada yang berambut panjang dengan payudara yang menyentuh tanah.
Ada yang berkepala sangat besar tapi hampir penyet. Ketiganya telanjang. Berjalan mendekat ke arah Wiwin.

Sambil terus berhitung mereka mengangkat kedua tangan mereka ke udara. Melambai-lambaikannya seperti tarian yang sangat buruk. Tangan-tangan itu menjangkau-jangkau ke atas.
Tubuh mereka berayun-ayun naik turun. Kepala mereka seperti tak benar-benar menancap di tubuhnya, sehingga bergoyang ke sembarang arah, seiring goyangan tubuhnya naik turun. “Pahing … Pon … Kliwon…Pahing … Pon … Kliwon…”
Dalam gemetar Wiwin melihat bahwa makhluk itu tidak berhitung. Mereka mengucapkan setiap pasaran yang berbeda-beda. Mereka mengucapkannya bergantian. Yang payudaranya menyentuh tanah menyebut Pahing. Yang kepala penyet menyebut Pon. Sedangkan yang gundul menyebut Kliwon.
Mereka bergantian menyebutkan hari-hari itu sambil menari-nari, hingga menjadi serupa lagu atau hitungan.

“Pahing … Pon … Kliwon…Pahing … Pon … Kliwon…Pahing … Pon … Kliwon…”

Dari arah kakinya makhluk itu meringsek kea rah Wiwin, mereka naik ke atas kasur dengan ...
tangan yang masih mengacung-ngacung ke udara dan tubuh yang menari-nari. Wiwin menutup matanya. Tapi dia bisa mendengar mereka semakin dekat. Wiwin tidak merasa ditindih, tapi tubuhnya mendadak dingin tidak karuan.

Ketika dia membuka matanya, makhluk-makhluk itu sudah ...
menjilati kaki dan lengannya sambil terus menyebutkan nama-nama hari pasaran itu bergantin. Wiwin berusaha bangkit dan mengibaskan mereka. Dia berdiri dari tempat tidur dan berlari keluar kamar. Tubuhnya terasa sangat berat.
Makhluk-makhuk itu tetap menempel kepadanya sambil menjilat-jilatinya. Wiwin bersusah payah berjalan menuju pintu. Dingin yang dirasakannya semakin menusik sampai ke dalam tulang.

Tapi begitu dia keluar dari kamar. Ketiga makhluk itu tiba-tiba menghilang.
Lampu ruang tengah yang menhadap kamarnya sudah mati. Tetapi dia melihat lampu dapur masih menyala. Dia berlari ke dapur.

Di dapur dia masih melihat ibunya. Ibunya tampak masih memotongi ketela di atas telenan.
Perempuan itu tak melihat Wiwin yang ngos-ngosan karena posisi tubuhnya yang memunggungi Wiwin. Wiwin mendekati ibunya dengan napas yang masih memburu.

“Buk! Ibuk belum tidur. Tolong Wiwin, Buk!”

Tapi ibunya tak menoleh kepadanya.
Seperti tidak mendengar suaranya. Wiwin mendekati ibunya dan menjangkaukan tangannya ke bahu ibunya. Dan Wiwin terkejut luar biasa. Ibunya bukan memotongi ketela, tetapi memotongi jari-jarinya sendiri. Perempuan itu mengiris jari-jarinya tepat di setiap buku-buku jarinya.
Lalu memotongnya dengan keras ketika sampai di tulang. Begitu terus sampai di jari paling atas. Darahnya mengucur, tapi sepertinya perempuan itu tak merasakan sakit. Atau bahkan tak sadar.

Ketika habis jari-jarinya, pelan dia memotong sedikit demi sedikit telapak tangannya.
Bibir ibunya bergumam, “Pahing … Pon … Kliwon… Pahing … Pon … Kliwon…”

Wiwin terjengkang jatuh ke belakang. Sekuat tenaga dia berteriak, “Ibuk! Ibuk!”

Perempuan itu menoleh pelan-pelan. Belum sempat Wiwin melihat wajahnya, sebuah tangan mendekap Wiwin dari belakang.
“Win! Wiwin bangun!” Suara ibunya.

Wiwin terkejut karena ibu dan bapaknya ada di belakangnya. Ibunya mendekap tubuhnya, sedang bapaknya membawa kayu besar. Mungkin khawatir dipikir ada maling atau sesuatu yang lain. Tidak ada lagi perempuan yang menyerupai ibunya di depannya.
Bahkan lampu dapur pun mati.

Bapaknya menjangkau steker lampu dan menghidupkan lampu.

Ibunya berseru, “Kamu Ngompol?”

Wiwin terkejut menemukan bahwa dia mengompol. Bajunya basah. Basah itu merata dari kamarnya menuju dapur.
Dia menyeret dirinya yang tidur sambil mengompol ke dapur.

“Kamu nglindur?” Ibunya masih kelihatan bingung.
Bapaknya menunduk dan mendekat, “Bukan, ini bukan ompol!” Dan mereka baru sadar bahwa basah dari kamar menuju dapur itu bukan basah yang encer seperti air kencing, tetapi kental. Dan seiring bertambahnya waktu, pelan-pelan bau itu semakin tajam. Bau air liur.
Wiwin harus mandi tengah malam itu. Dia telah menggosok tubuhnya dua kali dengan sabun. Namun, perasaan kotor dan menjijikkan itu masih terus menempel. Dia tidak bisa memutuskan manakah pikiran yang paling kuat memenuhi dirinya saat ini, marah, sedih, atau bingung.
Yang jelas dia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar mandi. Namun, Wiwin tetaplah Wiwin. Dia berusaha tidak menangis dengan keras. Dia menutup suara tangisnya dengan kran air yang mengalir.

Ketika selesai mandi, dia melihat ibunya mengepel lantai. Bapaknya tak nampak lagi.
Mungkin kembali tidur.

“Kok bisa bau air liur begini, nduk?”

Wiwin tak menjawab pertanyaan ibunya, dia justru balik bertanya, “Bapak tidur lagi?”

“Iya, bapakmu lelah. Seharian kemarin kan ke sawah. Lalu nanti ini ke sawah lagi.”

“Memangnya Ibu gak lelah?”
Ibunya mengerti maksud pertanyaan anaknya itu. Namun, perempuan itu lebih memilih untuk diam dan menyelesaikan pekerjaannya mengepel. “Sudah dibawa istirahat, Win. Sudah ibu bersihkan kok kamar kamu.”

Wiwin menggeleng, “Gak berani aku, Buk!”

Ibunya memeras kain pel, mencucinya.
Lalu membuang air sisa pel-pelan, “Mau ditemani Ibuk, ta?” Wiwin tersenyum dan mengangguk. Dulu ketika dia masih kecil, kalau dia merasa takut karena merasa telah melihat atau mendengar sesuatu, kedua kakak laki-lakinya akan menggelar kasur di kamarnya,
menemaninya tidur – tentu mereka akhirnya lebih banyak ngobrol sampai bapaknya datang dan memarahi ketiganya. Tapi ketika kedua kakaknya itu sudah kerja di luar kota seperti sekarang, Wiwin tak punya lagi orang yang bisa dimintanya menemani ketika dia takut seperti sekarang.
Ibunya pergi ke kamar depan, mengambil bantal dan meletakkannya di kamar Wiwin. Wiwin meringkuk dalam dekapan ibunya.

“Kamu dulu itu paling terakhir berani pisah dari ibuk dibandingkan mas-masmu. Baru pas kelas dua SD. Mas Aris itu dulu umur 4 tahun sudah berani.
Mas Iwan pas mulai masuk TK Besar, gara-gara diejek sama Mas Aris. Lah kamu diejek pun gak mempan.”

Wiwin mendekap ibunya semakin lekat. Ada kenyamanan yang tak bisa digantikan. Kehangatan pelukan ibu adalah sorga yang tak mungkin bisa digantikan apa pun.
Dalam masa tenang, pelukan ibu meyakinkan bahwa kita sungguh disayang. Dalam masa tegang yang penuh ketakutan, pelukan itu menenangkan, bahwa kita tak berjalan sendirian dan terlindung aman. Pelukan ibu serupa tangan kokoh yang menentramkan, namun juga lembut mendamaikan.
“Kamu dulu itu masih sering nangis bahkan ketika kamu sudah besar. Paling perasa.”

“Menurun dari ibunya, kan! Ibu juga gitu.”

Ibunya tersenyum, memeluk rambut anaknya.

Wiwin menegakkan duduknya dalam pelukan ibunya hingga ibunya ikut terduduk, “Bu, apakah ibu pernah melihat...
hal-hal yang tidak bisa dilihat orang pada umumnya? Hal-hal yang gaib begitu?”

“Kenapa kamu tanya gitu?”

“Ibu ingat kan dulu aku sering cerita bisa melihat hal-hal seperti itu. Pas SMP aku gak pernah lihat yang aneh-aneh lagi. Tapi rasanya belakangan ini,
hal itu kayak kembali sama aku.”

“Kamu sungguh-sungguh?”

“Iya. Aku tadi gak tahu, apakah aku memang berjalan sambil tidur atau bagaimana. Tapi aku seperti melihat tiga orang di dalam kamarku.”

“Pantas ibu kok merasa rasanya sejak siang tadi rumah rasanya gak enak.
Itu makanya ibu tadi sampai gak bisa tidur, lalu memotongi ketela. Para perempuan dari keluarga kita, dari mbah-mbah buyutnya ibu, ceritanya punya kedekatan dengan masalah-masalah seperti itu. Ibu tidak bisa melihat. Dulu ibu bisa mendengar.
Tapi sesudah punya anak, dari jaman Mas Aris ibu sudah tidak pernah mendengar hal-hal begitu lagi. Tapi ibu masih bisa merasa kadang-kadang.”

Wiwin benar-benar duduk di kasurnya, berhadapan dengan ibunya, “Wiwin tadi melihat tiga orang itu seperti menjilati tangan ...
dan kaki Wiwin, Bu.” Wiwin bergidik ngeri dan jijik.

“Dulu kalau ibu mendengar sesuatu, biasanya ada hal-hal buruk yang akan terjadi. Dulu waktu ibu masih SD ibu pernah dengar suara laki-laki di luar jendela ibu. Mengatakan katanya mbah kungmu tenggelam di laut.
Ibu cerita tapi tidak ada yang percaya. Wong mbah kungmu dulu itu kerjanya di sawah bukan melaut. Tapi mbah kung jadi takut, dia menghindari laut. Sampai lima hari kemudian, mbah kungmu meninggal. Dan kamu tahu, dia meninggal seperti orang tenggelam. Badannya basah semua, ...
terus badannya menggembung dan berat. Seperti tubuhnya berisi air. Tapi sejak itu mbah putri meminta ibu tidak pernah menceritakan hal-hal seperti ini lagi dan menyimpannya sendiri.”

“Ini mau ada apa ya, Bu? Aku takut jadinya.”
“Sini…” Ibunya mengulurkan tangannya. Wiwin mendekat dan masuk dalam pelukan ibunya kembali. Entahlah hanya begitu saja rasanya separuh ketakutannya menghilang. Begitu saja dia segera merasa syahdu dan tenteram. Ibu memang tak tergantikan. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi.
Yang pasti hati-hatilah. Tidak perlu khawatir berlebihan, kita tahu nasib orang itu di tangan Tuhan. Kita berserah saja pada rencanaNya. Dan Tuhan itu pasti tidak pernah memberikan yang buruk kepada umatNya.”

“Semoga semuanya baik-baik saja ya, Buk.”

“Semoga. Jangan ...
cerita-cerita kepada bapakmu. Bapakmu tidak senang dengan hal-hal seperti ini.”

---

Ninda duduk di bangku kelas sambil makan tahu petisnya. Tidak ada temannya yang tahu peristiwa dua hari yang lalu itu kecuali Wiwin dan Eko.
Dan Eko pun sudah berjanji tidak akan menceritakannya. Agaknya Pak Samad juga meminta orang-orang yang mengetahui peristiwa itu untuk tidak mengatakannya. Ninda hanya tahu bahwa dia pingsan lalu dibawa pulang, lalu baru sadar dua hari sesudahnya.
Wiwin bisa membaca bahwa sebenarnya Ninda tidak puas dengan penjelasan pingsan saja, tapi sahabatnya itu agaknya putus asa karena orang-orang yang ditanyainya memberikan jawaban yang sama kepadanya.

“Kamu kok gak bilang kalau punya sejarah suka pingsan, Nin.
Aku benar-benar ketakutan kemarin.” Wiwin ikut mencocolkan tahu ke petis.

“Itu dulu waktu aku kecil sering kayak gitu. Tiba-tiba gak sadar. Tapi katanya papa mama ya gak apa-apa. Cuma jujur ya Win, aku itu bingung. Papa mama itu gak pernah bawa aku ke dokter kek,
selalu dikasih obat sendiri.”

“Tapi sembuh?”

“Ya sembuh emang, habis gitu ya biasa lagi. Tapi aku itu pingin sekali-sekali ngecekin sebenarnya ada apa.”

“Ibu kamu udah balik?” Wiwin menelan potongan terakhir tahunya.
Lalu mengambil plastik berisi petis itu dan membuangnya ke tempat sampah.

“Belum, gak biasanya mama pergi sampai segini. Aku kontak HPnya juga gak bisa.”

“Gak ada sinyal kali pas-an.”

“Mungkin ya. Eh, Win. Kapan-kapan temenin aku ke M, ya aku pingin sekali ...
pas kita libur gitu ke dokter atau RS memeriksakan hal ini.”

Wiwin mengangguk.

“Eh, by the way, Eko gimana ya? Aku gak mau nih kasih bad impression ke dia. Dia pasti takut ya kemarin aku tiba-tiba pingsan gitu. Dia sampek gak mau ngomong sama aku hari ini, Wiiinnn!”
Ketika itulah perasaan Wiwin rasanya terbagi-bagi. Dalam kondisi yang biasa saja cukup sulit untuk mengatakan kepada Ninda bahwa dia memiliki perasaan kepada Eko, dan begitu pula sebaliknya. Apalagi ketika sekarang kondisinya seperti ini.
Entahlah, tiba-tiba Wiwin merasa kasihan kepada Ninda. Gadis itu seperti burung yang ceria, terbang ke mana pun sesukanya. Dia bebas bercuit apa saja yang ada di hatinya. Tapi atas kondisi dirinya, dia bahkan tak tahu apa-apa. Orang tuanya menyimpan rahasia darinya.
Rahasia yang aneh dan mengerikan. Dia hanya menerima sisa-sisa informasi yang sudah diatur sedemikian rupa, dibungkus dalam kebohongan-kebohongan manis, supaya dia tidak terluka. Supaya dia tetap bisa menjadi burung yang ceria. Keluarga Wiwin mungkin tak sesempurna keluarga Ninda
dalam mengajar dan membebaskan, tapi setidaknya mereka tidak pernah menutupi siapa dirinya dan tak perlu berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Di sisi lain, Eko yang didamba olehnya pun tak memiliki perasaan yang sama. Anak lelaki itu justru menyukai Wiwin sedemikian dalamnya.
Dan untuk itu pun Ninda tak tahu apa-apa. Ninda seperti gadis naif yang merasa hidup ini akan serba baik-baik saja. Padahal kenyataan sedang menipunya. Atau malah menertawainya habis-habisan. Gadis yang seolah tahu segalanya tapi justru tak tahu apa-apa.
Yang miris adalah justru Wiwin, sang sahabat itu, justru mengetahui segalanya tentang dia. Tentnag sakitnya. Tentang roh aneh yang bergentayangan hendak menyerbunya. Tentang pelindung yang menjaganya. Tentang cinta yang tak balas mencintainya.
Karena itulah jika Wiwin membuka kenyataan bahwa Eko mencintai dirinya dan bukan Ninda. Lalu misalnya Ninda tahu kondisi dirinya. Itu pukulan yang gila-gilaan bagi sahabatnya ini.

Orang sering mengatakan lebih baik jika kita tahu segalanya. Nyatanya bagi Wiwin,
tidak benar-benar begitu. Pengetahuan itu justru membuat Wiwin tak bisa bebas. Dia menjadi orang yang tak merdeka mengatakan kejujuran, karena kejujuran hanya akan menyakitkan. Ah, andai saja dia tak tahu apa-apa. Tak perlu Eko mengatakan cinta kepadanya.
Andai saja dia gadis desa biasa yang tumbuh sebagai anak SMA biasa saja.

“Kamu suka Eko sejak kapan sih, Nin?” Wiwin memandang lekat mata sahabatnya itu. Mendengar pertanyaan itu Ninda berbinar. Sekadar mendengar nama Eko saja rasanya bisa membangkitkan semangat Ninda.
“Kamu ingat waktu kita bertiga dulu pergi ke Pantai Watu Hoyag. Waktu itu kita kan sepedahan saja, tapi kamu masak sudah kayak orang piknik saja. Eko itu rela lo bawain barang bawaanmu, bawa masakanmu biar kita berdua bisa sepedahan tanpa terganggu.
Dia rela melakukan semua itu karena dia gak bisa lihat cewek susah. Cowok macam gitu itu sudah jarang banget di mana-mana, Win! Cowok yang bisa respek sama cewek itu idaman, Win! Cowom macam itu yang harus dikejar mati-matian.”
Tentu Wiwin ingat peristiwa beberapa tahun lalu itu. Ketika itu dia baru berkenalan dengan Ninda yang baru datang. Tapi dia juga tahu, bahwa Eko mau membawakan masakan Wiwin yang beberapa rantang, bukan sekadar karena Eko baik. Eko memang baik,
tapi ada alasan lain mengapa Eko melakukan itu. Tapi Ninda tak membacanya, dan jika dia bisa membaca justru itu akan menyakitinya.

“Ini juga, Win! Dia juga kan yang tiap hari nyamperin kita kalau mau berangkat sekolah. Rumahnya itu gak melewati jalur rumah kita.
Malah bertolak belakang, tapi dia mau-maunya jemput aku, jemput kamu juga – yang notabene kamu sahabatku kan. Ngapain dia melakukan semua itu kan? Di aitu gila lah.”

Wiwin hanya bisa mengangguk, ya Eko memang gila jika mencintai seseorang.
“Aku tahu, Win, di balik sikap dinginnya dia sama aku, sebenarnya di aitu juga menyimpan perasaan tapi gak pernah diungkapin. Dia ngungkapinnya lewat tindakan. Tapi ya memang kalian anak-anak T ini, gak biasa ngomong sih ya. Akua ja gak pernah tahu kamu suka sama siapa.”
Tiba-tiba Ninda menahan perkataannya, “Kamu itu pernah jatuh cinta kan, Win?”

Wiwin mengangguk, “Ya pernah lah.”

“Tapi kok gak pernah cerita-cerita! Siapa? Anto? Rio? Perasaan kamu adem-adem aja sama semua cowok. Tunjukin kalau kamu cinta itu, jangan cuma dipendam, Nona!”
Wiwin tersenyum, “Aku itu gak bisa sebebas kamu kalau urusan perasaan, Ninda.” Dia berbicara dengan jenaka, “Eh ke kantin lagi, yuk. Aku masih lapar, Nin. Masih ada 10 menit.”
“Ayo!” Sambar Ninda, dia langsung berdiri dan menarik Wiwin, lalu menggamit lengan sahabatnya itu, “Siapa tahu ketemu Eko. Hihihi!”

---
Sampai dua minggu sejak peristiwa itu, Bu Ida, Ibu Ninda belum pulang juga. NInda mengatakan bahwa ibunya mampir sebentar ke rumah kakeknya, merawat kakeknya yang sedang sakit juga di M. Tapi Wiwin tak bisa sepenuhnya yakin. Pak Samad mengatakan Bu Ida mencari obat buat Ninda.
Wiwin tak tahu obat apa yang dimaksudkan, tapi tidak mungkin seorang ibu meninggalkan anak perempuannya yang mengalami hal seperti itu lalu tidak kembali sampi dua minggu. Lalu bagaimana dengan obat untuk Ninda?

Namun, dasar Wiwin, dia pun tak pernah berani bertanya lagi
apa yang terjadi. Dia terima saja alasan Ninda. Anggap saja kakek Ninda memang sedang sakit dan Bu Ida bergantian memberikan perhatian ke sana.

Sampai suatu sore, Pak Samad yang masih menggunakan pakaian dinas kecamatan datang ke rumahnya dengan wajah panik.
Wiwin sedang menyapu halaman. Pekerjaan yang biasa dia lakukan setiap mandi sore. Jika tidak bapaknya bisa marah semalam-malaman.

“Win! Ninda kambuh!” Pak Samad mendekat kepada Wiwin, berusaha menjaga suaranya tetap pelan supaya tidak ada orang lain yang mendengar.
Tapi memang tak ada orang di rumahnya. Bapak dan ibunya masih di sawah.

“Kambuh gimana, Pak?”

“Kamu ngerti, seperti dulu itu.”

Wiwin segera cepat-cepat menyelesaikan kerjanya. Dia mencakup sampah, membuangnya ke pauwan. Meletakkan sapu dan cikraknya.
Lalu naik ke boncengan motor Pak Samad.

“Dia di rumah sama siapa, Pak?” Wiwin tentu tak berani berpegangan kepada Pak Samad. Tidak pantas. Walaupun Pak Samad melakukan motornya dengan sangat cepat. Jalanan desa sudah diaspal, tetapi berlubang-lubang di mana-mana.
Jalanan yang begitu menyulitkan posisi duduknya, tapi sudahlah.

“Dia sendirian. Rumah sudah diberantakkan sama dia.”

“Berantakan bagaimana, Pak Samad?”

“Dia melempar barang-barang ke mana-mana. Nanti kamu lihat sendiri saja.”

Tiba di rumah itu. Pintu depan rumah tertutup.
Wiwin turun dari motor. Pak Samad memarkir motornya asal saja. Pak Samad berjalan cepat-cepat masuk.

Di dalam rumah. Kondisi rumah sudah seperti terkena gempa. Bukan cuma meja yang terjungkir balik, vas bunga pun jatuh di tanah.
Untung vas itu dari melamin tebal, sehingga tidak pecah. Beberapa foto yang dibingkai di ruang tamu sudah berserakan di lantai. Kaca-kaca bingkainya pecah berhamburan. Gorden terlepas dari lisirnya. Beberapa mata lisir gorden itu putus.

Bufet di sisi lain ruang tamu terjungkal.
Isinya tumpah. Piring, gelas, beberapa cenderamata. Wiwin tidak yakin ada yang selamat, semuanya seperti berkepingan. Ini jelas lebih buruk daripada dulu. Namun yang lebih aneh daripada yang lain adalah sebuah kursi bisa tersangkut di salah satu lubang angin.
Bagaimana mungkin sebuah kursi bisa dilempar sampai ke lubang angin di atas jendela, dan bisa-bisanya kakinya nyangsang di sana.

“Yang dulu tidak begini. Dia Cuma melempar beberapa barang, Win. Tapi yang ini luar biasa parah.”

“Ini Ninda yang melakukan semuanya, Pak Samad?”
Pria itu mengangguk.

“Bu Ida, Pak?”

“Belum pulang.”

Wiwin bisa melihat Pak Samad tidak ingin berbicara masalah itu. Pria berjalan berjinjit pelan-pelan menuju koridor ke ruang tengah.

“Ada apa, Pak?”

Tapi Pak Samad hanya menekankan satu jari di depan mulutnya, “Ssttt!”
Wiwin ikut berjalan berjinjit. Walaupun tak mengerti apa yang terjadi. Dan di ruang tengah itu, Wiwin terkejut luar biasa. Dia menyaksikan Ninda diikat dengan tambang di kedua tangan dan kakinya. Satu sisi tambang diikatkan ke kusen jendela Timur,
dan satu sisi diikatkan ke kaki-kaki dipan tempat tidur di kamar sebelah. Ninda nampak seperti hewan yang sedang hiatus. Berdiam diri karena kelelahan, atau tertidur sejenak sebelum kembali menyerang.

Begitu Wiwin masuk ke dalam ruang tengah itu. Ninda pelan-pelan terbangun.
Dengan mata yang membuka pelan-pelan dia mendengus-dengus ke segala arah. Hidungnya menuju persis kea rah Wiwin berdiri. Lalu dia tiba-tiba tertawa. Ninda melenggak-lenggokkan lehernya seperti sedang meregangkan tubuhnya.
Dalam ikatannya, dia berusaha melenggak-lenggokkan tangannya. Tak bisa lepas karena ikatan tambang itu begitu kuat.

“Aku berusaha menenangkan dia tapi tidak mau diam, Win! Dia terus melempari barang, sampai akhirnya kuikat begini.
Aku gak tahu dulu kamu bagaimana menenangkan dia, tapi tolong, Win.”

Mendengar ucapan Pak Samad itu, Wiwin pun ikut bingung. Dia pun tidak tahu bagaimana menenangkan orang kesurupan atau apalah itu. Tapi Wiwin ingat sesuatu. Dia memberanikan diri mendekat.
Ninda terus tertawa dengan suara yang jelas bukan suaranya. Suara itu lebih rendah dari suara Ninda. Tidak mungkin Ninda bisa bersuara serupa itu.

Wiwin menyentuh tubuh Ninda. Sahabatnya itu tiba-tiba menggerakkan kepalanya mendekat dan menggesekkannya ke kaki Wiwin.
Serupa hewan yang ingin dielus oleh majikannya. Wiwin melihat kepada Pak Samad. Pak Samad masih nampak tegang. Wiwin merendahkan tubuhnya hingga terduduk. Dia memeluk tubuh sahabatnya itu. Ninda yang dipeluk langsung menutup matanya. Membaringkan tubuhnya dengan nyaman.
Yang sungguh tidak dipercaya oleh Wiwin – dan agaknya juga oleh Pak Samad, karena Wiwin pun melihat pria itu terkejut luar biasa – adalah ketika Ninda menggerakkan tangannya. Tali-tali di tangannya tiba-tiba terlepas seperti tidak diikatkan.
Ninda melipat tangannya di dada, dalam pelukan Wiwin. Ninda melepaskan kakinya juga dengan sedemikian mudah. Dia seperti berpura-pura terikat. Ninda begitu saja menutup matanya lalu serupa terdur nyaman di pelukan Wiwin.

Sesekali dia masih tertawa. Dan kali itulah Wiwin sadar,
bahwa tawa Ninda yang ini berbeda dengan tawanya yang tadi. Seperti datang dari orang yang sama sekali berbeda. Tapi tawa itu pelan-pelan hilang. Brrganti dengkuran halus, serupa kucing yang merelung dalam dekapan ibunya.

Wiwin memandang Pak Samad.
Pak Samad berjalan pelan-pelan ke belakang, “Win, kamu tahan sebentar, aku carikan daun pisang.” Pernyataan Pak Samad jelas membuatnya tergoncang. Dia tidak siap jika Ninda atau apalah yang dalam dekapannya itu tiba-tiba mengamuk. Tapi tak ada pilihan lain. Pak Samad keluar.
Dan begitu pria itu keluar, benar saja. Wiwin membuka matanya dengan tajam. Dia mengerang-erang seperti hewan yang marah. Wiwin memeluknya lebih dekap. Ninda kembali tenang walaupun matanya masih menatap Wiwin dengan nyalang. Pelan-pelan Ninda seperti mengendus-endus tubuh Wiwin.
Lalu tangan kirinya naik memegang pipi Wiwin dan kembali tertawa.

“Siapa kamu?” Tanya Wiwin dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.

Dan sekali lagi dia mendapatkan jawaban itu, “Pahing… Pon… Wage… Kliwon… Legi…” Begitu terus berulang-ulang.
Sampai Wiwin sadar, bahwa setiap nama disebutkan dengan cara yang berbeda. Setiap nama disebutkan dengan suara yang tidak serupa. Seperti ada lima orang yang bergantian mengucapkannya.
(sampai di sini malam ini teman-teman, selanjutnya akan ada 5 update lagi, 2 update pendek 50an tweet, dan 3 update terakhir panjang 100-200an tweet, terima kasih untuk berkenan membaca)
Wiwin mendorong Ninda. Sahabatnya itu terjengkang. Wiwin berlari ke depan. Pak Samad tidak juga muncul.

Lalu suara itu terdengar lagi, "Pahing... Pon... Wage ... Kliwon... Legi..."

Wiwin berlari ke arah pintu. Tidak dia sangka, pintu ruang tamu terkunci.
Wiwin berusaha menggedor-gedor pintu, tanpa berani menoleh ke belakang. Wiwin menarik pegangan pintu. Mustahil dibuka. Mengapa pintu itu dikunci?

Namun, Wiwin mendengarkan suara lain. Ada suara pria yang menangis di balik pintu. Wiwin kenal suara itu. Suara Pak Samad.
"Pak Samad!" Wiwin menggedor pintu berteriak sekeras-kerasnya.

Pak Samad tidak menjawab. Masih terdengar isak tangis pria itu di luar pintu.

"Pak Samad!"

Tetap tidak ada jawaban. Yang terdengar justru suara-suara di belakangnya. Wiwin berteriak, "Ninda!" sambil ...
membalikkan badan. Wiwin terkejut tidak keruan. Yang dilihatnyabukan Ninda. Tetapi lima makhluk mendekat kepadanya. Tiga makhluk yang dilihatnya dalam mimpinya semalam. Dua lainnya lebih besar, satu seukuran manusia dewasa. Seluruh wajahnya adalah mulut. Tanpa mata. Dia memegang
tangan yang payudaranya menggelambir sampai di lantai.

Satunya lagi jauh lebih tinggi, lebih tinggi dari langit-langit rumah itu. Hingga makhluk itu harus menunduk karena kepalanya menyundul langit-langit di atasnya.

Mulut mereka bergantian menyebutkan nama-nama itu...
satu per satu. Satu orang satu pasaran.

"Pahing..."

"Pon..."

"Wage..."

"Kliwon..."

"Legi..."

Menari-nari mereka mendekati Wiwin. Wiwin kini bisa melihat lebih jelas. Makhluk-makhluk itu tidak benar-benar berjalan. Lebih seperti menyeret kaki-kaki mereka. Namun tak ada ...
satu pun yang seretan kakinya mengeluarkan suara.

Jalan mereka tidak cepat. Seperti ada yang menarik mereka di belakang.

"Maaf, Win! Maaf!" Suara Pak Samad di luar.

Jadi Pak Samad tahu? Pak Samad yang mengunci Wiwin di dalam kamar itu bersama lima makhluk tak beraturan itu.
"Pak Samad!" Wiwin berteriak, mendorong pintu dengan tubuhnya. Menggebrak-gebrakkan diri ke pintu. Namun, usaha itu tak berhasil, karena pintu terkunci rapat dari luar.

Ucapan maaf Pak Samad masih terdengar.

Tapi lalu terdengar suara lain. Suara dari balik lima makhluk itu.
Suara tawa terkekeh. Dan tahulah Wiwin, asal suara itu tidak lain dari seorang gadis yang sekarang sedang merayap di tanah. Ninda.

Sahabatnya itu mengosek tanah dengan tubuhnya. Telanjang bulat. Beberapa bagian kulitnya terbeset oleh gerusan kulit dengan lantai. Posisi tubuh...
Ninda benar-benar di luar kewajaran. Tubuhnya menelangkup ke tanah. Tetapi kepalanya terpuntir ke belakang, lehernya serupa patah. Dia melihat Wiwin sejurus dengan tajam, dengan mata membelalak dan bibir yang menyeringai lebar-lebar. Hanya kepalanya yang membalik, seluruh kujur..
tubuhnya yang lain menyeret ke tanah.

Lalu kembali tertawa. Terkekeh seperti sebelumnya.

Wiwin segera sadar. Kelima makhluk itu tidak mendekatinya hendak menyentuhnya, tetapi mereka hendak mendorong Wiwin ke depan, bersembunyi di balik tubuh Wiwin. Tubuh kelimanya dingin...
serupa mayat.

"Pak Sa..." Wiwin berusaha membuka mulutnya. Namun, Ninda yang terkekeh itu terus mendekat kepadanya. Meraihkan jari-jarinya yang kaku ke arah depan. Wiwin bisa merasakan kelima mahkluk itu perlahan-lahan menghilang.

Dan ketika itulah bibirnya seperti terbebas
"Pak Samad! Ninda, Pak!"

Terdengar suara Pak Samad lagi, meminta maaf dari luar.

"Ini bukan Ninda, Pak! Ini bukan Ninda yang biasanya."
Wiwin teringat nama itu, "Ini Wedara Gandhung."

Suara Pak Samad dari balik pintu, "Tidak ada Wedara Gandhung, Win! Maafkan aku, Win!"
Entahlah apakah kemarahan atau kebingungan yang lebih menguasai dirinya. Namun, Wiwin mendorong pintunya di belakangnya sekuat tenaga. Pintu tidak bergerak, sedangkan Ninda yang merayap masih terus mendekatinya.

"Pak Samad! Lihat Ninda, Pak! Dia merayap di lantai."
Agaknya perkataan itu menggugah pria di luar pintu. Terdengar gemerincing kunci. Lalu suara kunci yang dimasukkan ke lubangnya dan suara klik. Pintu di belakang Wiwin terbuka.

Dan entah bagaimana. Tubuh Ninda tiba-tiba melemas. Kepalanya kembali ke posisi biasa.

Pak Samad...
terkejut tak alang kepalang melihat yang di depannya.

Ketika itulah dengan sekuat tenaga Wiwin memukul wajah Pak Samad dengan tinjunya. Keras sekali hingga jari-jarinya terasa sakit. Pak Samad hingga menolehkan wajah karena pukulan di pipinya itu.

"Bajingan! Bapak macam apa..
kamu ini!"

Baru berhenti suara Wiwin, terdengar suara lain dari bibir Ninda, "Pahing... Pon... Wage... Kliwon... Legi..." Demikian terus. Berulang seperti sebelumnya. Tubuhnya menggelepar sebentar sebelum kemudian melemas.

Entahlah antara ngeri, marah, atau bingung, Wiwin tak
bisa lagi memilah perasaannya.

Pak Samad segera mendekati Ninda yang telanjang telungkup di lantai. Memegang anak perempuannya itu.

"Panas, Win! Harus ditutup daun pisang."

Wiwin masih berdiri tegak. Dia baru sadar tubuhnya gemetar luar biasa. Jemarinya bergetar tidak...
beraturan. Napasnya ngos-ngosan. Jelas paling kuat saat itu perasaan marahnya.

"Peduli setan! Bapak bajingan!"

Kali itulah Wiwin seperti bisa meledakkan dirinya. Dia bukan gadis yang biasa meledak. Namun, pengalaman barusan jelas di luar nalar. Posisi tubuh Ninda dan
ketelanjangannya jelas tidak masuk akal. Sikap Pak Samad yang mengurungnya di dalam rumah jelas sikap paling bangsat yang pernah dia jumpai. Pak Samad menjebak Wiwin di dalam rumah bersama Ninda yang entah kerasukan apa. Lalu kelima makhluk tadi, entah makhluk apa. Mengapa mereka
justru bersembunyi? Mengapa mereka seperti kembali ke tubuh Ninda.

"Tolong Ninda, Win! Tubuhnya panas. Butuh daun." Pria itu kini menangis. Bukan wajah sedih tetapi wajah ketakutan. Bukan wajah meminta tolong, tetapi wajah meratap tak berdaya. Entah apakah Wiwin bisa kasihan.
Perlakukan Pak Samad barusan jelas tidak mencerminkan seseorang yang buruh pertolongan. Justru seperti seseorang yang melimpahkan petaka.

"Kamu yang bisa menolong, Win. Kamu! Kamu yang kami cari selama ini. Kamu!"

Ucapan Pak Samad semakin membuat Wiwin muak.
Ketika dia bisa bergerak kembali. Tenaga balik ke dalam tubuhnya. Dia menyerapah.

"Mati saja kalian berdua!"

Wiwin beranjak pergi.

"Win...!"

Wiwin tak menghiraukan suara Pak Samad. Wiwin beranjak pergi. Keluarga macam apa yang dihadapinya? Kemarahannya mengalahkan rasa ...
kasihan dan ketakutan yang masih menjalarinya. Benar-benar tidak beres.

Ketika dia berada di ambang pintu, Wiwin membalikkan badannya, "Makan saja itu Kliwon dan kawan-kawannya! Makan saja itu Wedara Gandhung!"

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Gui Ernald

Gui Ernald Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @guiernald

Dec 6, 2019
TURUN SINTREN

Turun turun sintren, sintrene widadari
nemu kembang yun ayunan
nemu kembang yun ayunan
kembange Putri Mahendra
widadari temuruna manjing maring sing dadi

@bacahorror #ceritahorror Image
@bacahorror (Untuk kali ini saya tidak akan menggunakan inisial nama tempat daripada teman-teman menebak-nebak daerahnya, saya menyulih nama-nama orang dan tempat. Seluruh cerita saya rekonstruksi ulang dengan ijin para sumber. Pada bagian ke 3/4 menjelang akhir seluruh thread ini akan ada
@bacahorror bagian yang mungkin membuat tidak nyaman terkait dengan darah. Maka yang memiliki memori fotografis tinggi, gampang mengimajinasikan dengan kuat, bisa melewatkan thread ini)
Read 116 tweets
Nov 19, 2019
DI SUDUT

“Harus gelap sama sekali! Dalam beberapa saat matamu akan menyesuaikan. Terlentanglah di lantai. Tepukkan telapak tanganmu tiga kali ke bawah. Ke lantai. Tunggu sejenak, lalu berjongkoklah dan bungkukkan badanmu. Lihat di antara sesela kakimu.”

@bacahorror #bacahorror
@bacahorror Sebuah cangkir berisikan teh lemon diletakkan di meja. Berikutnya tabung V60 Aceh Gayo dan sebuah gelas kaca bening. Disusul sebuah gelas besar berisi air putih. Sebuah kertas tipis diletakkan di atas gelas air putih itu, supaya airnya tidak terkena debu.
@bacahorror “Ada lagi. Mbak?” Pria berseragam hitam berlogo kedai 5th coffe itu tersenyum tidak terpaksa. Gadis itu menggeleng dan mengucapkan terima kasih.

(OK sampai di sini aku lagi-lagi kudu bilang, bahwa semua tokoh dan tempat disamarkan. Yang bercerita kepadaku adalah gadis ini dan
Read 398 tweets
Nov 14, 2019
KAMPUNG KAKEK

Kisah ini bukan aku yang mengalami. Ini cerita seorang kawan yang kebetulan aku tahu lokasinya. Cerita ini aku rekonstruksi, supaya alurnya lebih runut.

#bacahorror @bacahorror
@bacahorror Sebut kawanku Bayu. Bayu lahir dan besar di kota S. Perjumpaannya dengan desa terbilang sangat jarang. Paling sering ketika dia diajak ayahnya mengunjungi desa kelahiran ayahnya di daerah K setiap lebaran. Tapi tentu acara seperti itu paling-paling hanya sehari dua hari.
@bacahorror Tapi ketika pergantian semester 1 ke 2 ketika dia kuliah, dia sempat mengalami sakit cukup parah terkait pernapasan. Mamanya tahu bahwa sakit itu diakibatkan karena Bayu yang sebenarnya diam-diam sudah merokok. Mama sering mencium bau rokok dan menemukan tembakau di baju-bajunya.
Read 748 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(