My Authors
Read all threads
A Thread
Kisah Tragis Cinta Cut Meutia dan Rencong Maut untuk Belanda
#romanmelaks #melaksbercerita
Sumber: CNN Indonesia
Versi lengkap dan podcastnya:
Cut Nyak Meutia adalah satu dari sedikit perempuan peracik strategi ulung dalam perlawanan menghadapi penjajah Belanda. Jiwa petarungnya menuntun dia pada tiga kisah cinta yang tragis.
Perempuan yang lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870 ini lahir dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah seorang Uleebalang (kepala pemerintahan daerah), Teuku Ben Daud Pirak.
Meutia adalah satu-satunya puteri dari lima bersaudara. Sejak kecil ia dibesarkan dengan ajaran agama Islam yang kuat, berprinsip amar ma'ruf nahi munkar, tak menyukai kemungkaran dan penindasan.
Penulis asal Belanda, HC. Zentgraaff, mendeskripsikannya sebagai wantia berparas rupawan sehingga "namanya bersesuaian dgn penampilannya yang seperti mutiara".
Meutia menikah tiga kali. Pernikahan pertama Cut Meutia terjadi dengan Teuku Syamsarif yang bergelar Teuku Chik Bintara.
Pernikahan atas perjodohan orang tuanya itu tidak berlangsung lama karena Meutia merasa tak ada kecocokan.

Syamsarif dianggapnya punya watak lemah dan cenderung bersahabat dengan Belanda. Padahal, Meutia berjiwa sebaliknya.
"Sebenarnya tiga suaminya adalah teman seperjuangan. Dengan [suami] yang pertama [berpisah] karena dia (suami) menyerah kepada Belanda, sedangkan Cut Meutia ingin berjuang melawan Belanda," kata Sejarawan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan
Jatuh Hati

Pasca perpisahan dengan Syamsarif, Meutia menikah dengan adik Syamsarif, yaitu Teuku Chik Muhammad atau dikenal dengan Teuku Chik Tunong. Kali ini, Meutia benar-benar jatuh hati pada Tunong yang memiliki prinsip hidup serupa dengannya.
"Awal perlawanan Cut Meutia sekitar 1901 ketika Sultan Aceh, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah melawan Belanda hingga pedalaman Aceh. Dia berjuang bersama suaminya Teuku Tunong dan berjuang di daerah Meunasah Meurandeh paya," kata Gunawan.
Tunong saat itu menjadi komandan di Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang). Sementara Meutia membantu suaminya untuk membuat taktik-taktik perang gerilya yang membuat Belanda kocar-kacir.
Duet Tunong dan Meutia membuat kompeni gerah karena keduanya sanggup mencegat patroli pasukan Belanda dan bahkan menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie meski tanpa senjata mumpuni. Pasukan tradisional itu hanya bermodalkan nyali dan rencong.
Rencong atau dalam Bahasa Aceh Rintjong adalah senjata tradisional rakyat Aceh. Tak cuma senjata, Rencong juga merupakan simbol identitas diri, keberanian, dan ketangguhan warga Aceh.
Agustus 1902, dengan hanya bermodal rencong, pasukan Teuku Tunong mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie dan melumpuhkannya serta merampas 42 pucuk senapan.
Setahun kemudian pada 26 Januari 1905, Belanda mengamuk karena salah satu prajuritnya kembali gugur saat berpatroli. Kemarahan itu akhirnya membuat Belanda lebih intensif memburu Tunong dan pasukannya.
Merelakan Istri

Tunong tertangkap dan dieksekusi tembak mati pada Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe. Tubuhnya dimakamkan di kompleks Masjid Mon Geudong, tidak jauh dari Lhokseumawe.
Ia ditembak mati hanya berselang beberapa waktu setelah Cut Meutia melahirkan dua anak kembar yang kemudian meninggal. Saat itu, Meutia lumpuh dan sakit parah.
Namun, kasih sayang dan perjuangan antara Tunong dan Meutia tak pernah mati. Sebelum meninggal, Tunong sempat meninggalkan wasiat pada seorang panglima yang menjadi teman seperjuangannya yaitu Pang Nanggroe.
Ismail Yakub, dalam bukunya 'Cut Meutia' menulis bahwa Tunong menginginkan Pang Nanggroe menikahi istrinya dan melanjutkan jihad fisabilillah mereka melawan penjajah Belanda.
"Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan," tulis Ismail.
Tak ada tanggal pasti pernikahan Cut Meutia&Pang Nanggroe. Namun, diperkirakan keduanya menikah pada 1907.
Eksekusi terhdp Tunong memicu gejolak di hati para pemimpin Aceh&juga rakyat Aceh karena Belanda dianggap menjatuhkan hukuman tanpa mendengar kesaksian yg meringankan Tunong
Cut Meutia bersama anaknya Teuku Raja Sabi dan Pang Nanggroe kembali masuk ke hutan untuk melanjutkan perjuangan bersama pasukan.

Penyerangan pertama keduanya langsung dilakukan di hulu Krueng Jambo Aye yang merupakan hutan liar.
Pasukan mereka menghadang pasukan Belanda yang mengawal para pekerja kereta api pada 6 Mei 1907. Serdadu-serdadu Belanda tewas dan mengalami luka-luka. Pasukan Aceh juga dapat merebut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi.
Pertempuran demi pertempuran dihadapi pasukan Nanggroe-Meutia pada 15 Juni 1907 di pos di Keude Bawang (Idi), pada 1910 di rawa-rawa Jambo Aye, pada 30 Juli 1910 di daerah Bukit Hague dan Paya Surien, hingga pada Agustus 1910 terjadi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya.
Dalam penyerbuan terakhir itu, banyak teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia gugur.
Pantang Mundur

Ajal akhirnya kembali memisahkan Cut Meutia dengan pasangannya, Pang Nanggroe. Pada 25 September 1910, Nanggroe tewas dalam pertempuran dahsyat di Buket Hague, daerah Rawa dekat Paya Cicem.
Sejumlah pejuang menyerahkan diri. Sementara, Cut Meutia dan anaknya melarikan diri. Ia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi, yang saat itu berusia sebelas tahun, di dalam hutan Pasai.
Pada tanggal 24 Oktober 1910, Belanda melakukan pengepungan. Tepat keesokan harinya, pertempuran besar terjadi. Serdadu Belanda yang memiliki persenjataan lengkap menyerang pasukan Cut Meutia yang masih hanya bermodalkan rencong di tangan.
Namun keterbatasan senjata itu tak menyurutkan nyali Cut Meutia. Sayangnya, di pertempuran itu Cut Meutia gugur karena ditembus tiga peluru sekaligus yang mengenai kepala dan dadanya.
Dia wafat bersama beberapa pejuang dan ulama lainnya seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh. Sebelum wafat, Cut Meutia sempat menitipkan puteranya kepada teuku Syech Buwah untuk diasuh dan dijaga.
Cut Meutia di kemudian hari diangkat Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964. Namanya tak hanya dijadikan jalan-jalan di perkotaan, tetapi juga menjadi nama salah satu masjid peninggalan Belanda di Menteng, Jakarta Pusat.
"Syarat menjadi pahlawan selain perjuangannya yang hebat, dia juga tidak pernah menyerah kepada Belanda. Dia mati dalam medan perang," kata Gunawan mengenai pengangkatan pahlawan Cut Meutia.
Pada 2016, Cut Meutia ditetapkan Bank Indonesia sebagai salah satu pahlawan nasional yang sosoknya ditampilkan dalam uang kertas rupiah. Kini, wajahnya pun menghiasi pecahan Rp1.000.
Versi podcast dan lengkapnya
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with melodius_aksara

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!