Perbanyak empati, pengertian, kontribusi, berteman dan bicara tatap muka bertemu mata.
Sosial media bukan dunia nyata ❤️
krn kita pasti akan lebih sering baca dan mencari argumen yang sependirian dengan kita,
daripada membaca argumen sebrang,
yang walaupun kita follow tapi bukan untuk mengerti tapi untuk kita serang balik 🙂
Ini karena internet. Dulu orang suka ga suka sesuatu terbangun karena kongkow dgn org2 yg dekat fisik. Tingkat jadi ekstrimnya pelan.
Polarisasi. Di seluruh dunia ya, bukan di Indonesia aja.
Argumen yg ga sepaham, dikesampingkan jadi catatan kaki. Argumen yg sepaham, ditumpuk trs sehingga jadi kebenaran.
It's okay. Berdamailah dgn fakta kita itu demikian 🙂
Karena pendirian orang bukan karena fakta, tapi sudah kokoh jadi sebelumnya.
Perdalam empati.
Perbanyak berteman, bertemu muka+fisik dgn yg berbeda
Sll menyiram dan menjaga rasa kemanusiaan.
Pasti masih bnyk gagal dan munafik dan menangin diri sendiri, tapi lebih baik dari ketika saya cuma di sosmed.
"Sosial media bukan dunia nyata."
Dia memang bisa jadi sebagian perwakilan, tapi bukan keseluruhan isi dunia.
Keluar pagar, berteman dan bicara dengan manusia beneran, ketika mata bisa melihat mata dan bahasa tubuh dan nada bahasa. ❤️
Pernah kah mencoba paham penuh jadi ibu2 ga tau apa2 yg belanja di tanah abang?
Atau jadi dokter yg tinggal terpisah dari keluarganya krn takut nularin?
Atau jadi pemerintah yg melihat rakyatnya banyak yg kesusahan?
Atau ibu yg takut anaknya ketularan?
Yg kita nilai adalah orang itu dari sudut pandang kita, dgn pengetahuan dan pemahaman terbatas, seringkali terpantik ngeliat foto sepotong dan headline click-bait.
Semua org punya argumen yg kita ga liat/ga bisa pahami penuh.
Kurangi ngegas, pertebal empati, tambahin kontribusi.