My Authors
Read all threads
Ini utas tentang kebiasaan jurnalis masa kini dan masa depan bisnis media, pelajaran dari keluhan seorang pemain band terhadap artikel tentang dirinya di halaman hiburan sebuah media. Silakan menyimak.
Kasus dimulai dari twit sang pemain band yang mengeluh kelakuan seorang wartawan asal comot konten IG tanpa konfirmasi kepada yang bersangkutan. Jurnalisnya bahkan disebut tak bisa membedakan akun IG dia dan akun istrinya.
Sounds familiar? Iyalah. Praktik mengutip isi konten akun seorang pesohor tanpa konfirmasi yang sudah jamak dilakukan oleh jurnalis, terutama media daring (online). Dalam kasus ini, ada dua aspek yang menonjol: soal akurasi dan dugaan pelanggaran etika jurnalistik.
Bagaimana keluhan ini diselesaikan? Jika memang media salah, ada mekanisme hak jawab. Media minta maaf dan memberi kesempatan narasumber mengoreksi. Media kemudian memuat koreksi itu. Narsum yang merasa dirugikan dan belum puas atas mekanisme itu, bisa mengadu ke Dewan Pers.
Dewan Perslah yang akan mengeluarkan rekomendasi atas semua aduan tentang media. Apa pun rekomendasinya, media wajib menaati. Selesai?
Belum. Kasus ini hanyalah riak-riak permukaan dari samudera masalah yang menantang media dan jurnalis masa kini. Saya belum menyebutnya sebagai puncak dari gunung es. Ada banyak tantangan mendasar yang harus diselesaikan media dan awaknya.
Kita mulai dengan menelisik lanskap media di Indonesia masa kini. Kalau Anda melakukan free dive ke lautan informasi di Google, Anda akan menemukan perkiraan jumlah total semua jenis media di Indonesia. Berapa banyak?
Pada Februari 2019, terungkap data jumlah media massa di Indonesia seperti ini. Detailnya bisa dibaca di

m.mediaindonesia.com/read/detail/21…. Dari data ini terlihat ketatnya bisnis media dan persaingan merebut pembaca. Data jumlah media massa Indonesia.
Ketatnya persaingan bisnis membuat media harus kuat secara modal dan kreatif merebut perhatian pembaca. Yang tak kuat modalnya terpaksa gulung tikar dan menjadi alternatif bacaan peringkat bawah.
Media yang bertahan pun harus terus putar otak agar dapur ngebul dan mendongkrak jumlah pembaca, atau minimal jangan sampai drop drastis. Itu yang membuat media cetak lempar handuk, karena ongkos produksi lebih tinggi daripada media online, dan jumlah pembacanya merosot terus.
Bisnis media cetak itu mengandalkan pada dua hal: sirkulasi dan jumlah pembaca. Kalau dua hal ini jeblok, selesai sudah.
Semula pengelola media cetak mengira kemunculan internet membuat mereka harus melakukan konvergensi untuk menyelamatkan bisnis. Belakangan kita tahu, media sosial dan influencer membuat konsep konvergensi dipertanyakan kesuksesannya dan mengubah peta persaingan media.
Proses kerja jurnalis, terutama media online, pun terpengaruh oleh kemunculan media sosial dan produsen konten. Media sosial menjadikan konsumen menjadi prosumen, produsen dan konsumen konten. Jenis konten mereka bervariasi, termasuk informasi.
Apa pengaruh media dan para kreator konten terhadap media online? Media daring semula masuk ke gelanggang pertarungan bisnis media dengan organisasi kecil untuk menghemat ongkos dan mengutamakan kecepatan menyampailan berita agar menjadi pilihan utama pembaca.
Belakangan kita melihat, media online pun cenderung makin gemuk organisasinya agar mampu membuat sebanyak mungkin berita dan secepat mungkin menyampaikannya ke pembaca. Apa konsekuensinya?
Tentu saja pengeluaran media online makin menggelembung. Untuk menyiasati, sebisa mungkin mengurangi liputan lapangan. Jurnalis cari berita dengan telepon saja atau cari berita dari media sosial. Nah ini....😀
Sekarang mari kita lihat dahulu bagaimana media sosial dan para konten kreator memengaruhi bisnis media dan proses kerja jurnalis, utamanya media online. Harap bersabar, ini bakal panjang 😂
Kita mulai dari ketatnya persaingan media online merebut pembaca akibat dari banyaknya jumlah media, apa pun jenis. Agar mampu bersaing, media online mengandalkan tingginya jumlah produksi konten dan kecepatan menyampaikan berita.
Tingginya produksi konten membuat halaman yang dapat disisipi iklan makin banyak, sehingga peluang mendapat iklan makin tinggi. Apalagi kalau satu konten dipecah menjadi beberapa halaman. Ini berpengaruh terhadap page views. Apa konsekuensinya bagi awak media?
Produktivitas jurnalis atau awak media dituntut tinggi. Artinya harus membuat semakin banyak berita dalam tempo sesingkat-singkatnya. Setiap hari jurnalis dibebani kuota setoran berita. Dari sini bisa dibayangkan apa yang terjadi, bukan?
Selain menggenjot produktivitas jurnalis, media juga terus mencari model bisnis baru yang menghasilkan revenue stream. Ada media yang merangkap jadi EO acara. Ada yang menawarkan penggarapan media internal perusahaan/pemerintah, dan sebagainya.
Bahkan belakangan ada model media baru yang berperan sebagai platform konten. Ia menjadi penampung konten produksi internal dan khalayak. Terobosan ini membingungkan sebagian publik yang terbiasa dengan model bisnis media lama.
Model baru ini membuat publik tak mudah membedakan mana konten yang dibuat sesuai etika dan standar jurnalistik dan konten mana yang tidak. Komplikasi ini belum bisa dipahami dengan baik oleh sebagian pembaca.
Dibutuhkan waktu untuk membuktikan apakah model media baru ini akan diterima publik dan berhasil secara bisnis. Kenyataan menunjukkan bahwa bisnis media model lama dan baru masih sama-sama berjuang keras agar sukses secara bisnis.
Bisnis media makin menantang ketika khalayak berpaling kepada para konten kreator di media sosial. Kita bisa melihat para Youtuber dan Selebgram ternama yang punya audience besar, lebih besar dari mayoritas media online, dan penghasilannya mencengangkan.
Konten produksi para kreator ini terbukti menarik perhatian audience. Artinya, konten mereka memenuhi selera dan kebutuhan audience. Mereka jadi pesaing nyata media tradisional.
Bagaimana para pemain media lama bersiasat agar tetap kompetitif di pasar? Di sisi pengelola, mereka terus mencari model bisnis baru di era ketika selera dan kebutuhan publik berubah. Berbagai model dicoba. Dan belum ada yang terbukti berhasil.
Di sisi jurnalisnya, mereka juga harus kerja keras memenuhi tugas kantor yang kadang sampai melewati batas kemampuan fisik. Ada yang mampu meniti buih tanpa mengorbankan idealisme, banyak juga yang gagal dan terpaksa berkompromi dengan banyak kepentingan.
Salah satu ekses dari situasi yang penuh tantangan dan pekerjaan yang kian berat itu, proses kerja jurnalis juga berubah. Sering terjadi kasus pelanggaran garis panduan. Karena keseringan offiside, lama-lama jadi kebiasaan. Apa contohnya?
Jurnalis mestinya melakukan verifikasi, menerapkan check and recheck, dan kaidah lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa pedoman itu sering kali luput dikerjakan, seperti dalam kasus pemain band di awal kultwit ini.
Pelanggaran pedoman juga menimpa narasumber lain dari berbagai kalangan. Akibatnya terjadi perselisihan. Saling menyalahkan. Tapi semua merasa benar berdasarkan argumen dan dalih masing-masing. Dan pembaca mengambil kesimpulan sendiri berdasarkan pengetahuan masing-masing.
Perselisihan terjadi karena beberapa hal, di antaranya narsum belum terbiasa menghadapi jurnalis, melakukan komunikasi publik, dan tahu bagaimana menyampaikan informasi kepada publik lewat media.
Perselisihan juga bisa terjadi karena jurnalis lalai menerapkan prosedur standar jurnalistik atau ada faktor lain. Pembaca pun belum semua melek media dan mengerti cara memperlakukan semua informasi dari media.
Semua faktor itu berkelindan dan menimbulkan banyak ekses. Beberapa di antaranya: narsum dan media kehilangan kepercayaan dari publik. Publik pun akhirnya kebingungan.
Kita tahu jurnalis mengejar kecepatan karena tuntutan bisnis dan atasan. Tapi diharapkan agar jurnalis memegang prinsip ini: be the first. But first get the truth.
Jurnalis, utamanya media online, juga perlu memahami dan menerapkan konsep ini...
Media jangan membuat bingung pembaca, misalnya, membuat judul dengan kalimat tanya atau menulis berita spekulatif tanpa memberi penyangkalan, peringatan, juga konteks sebuah informasi.
Idealnya, media menjadi clearing house terhadap isu aktual yang menjadi kontroversi publik, bukan malah membuatnya makin kusut sehingga membingungkan masyarakat.
Jika keterangan narsum membingungkan dan si wartawan juga belum paham, ya dicari dulu kejelasannya supaya berita yang keluar sudah jelas. Tugas jurnalis bukan hanya mengutip sepotong-sepotong pernyataan narasumber.
Media dan jurnalis itu penting bagi publik. Mereka mendapat amanat dari undang-undang memberikan informasi selengkap mungkin agar publik mampu membuat keputusan. Sayang disayangkan jika media dan jurnalis mengabaikan amanat ini.
Jika media dan jurnalis tak melakukan introspeksi, baik dari sisi bisnis maupun kerja jurnalistiknya, bukan tak mungkin situasinya makin memburuk. Media bisa kehilangan reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan dari masyarakat. Kita tentu tak ingin hal ini terjadi, bukan?
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Wicaksono 🇮🇩

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!