My Authors
Read all threads
Dulu, televisi dianggap jd penyebab buruknya mutu tulisan. Sekarang medsos dituding jd penyebabnya. Besok2, entah apa lagi yg dituding.

Bagiku, penyebabnya satu: kita berlama-lama merenungi kertas kosong ketimbang menuangkan pikiran dan perasaan di atas kertas itu.
Menulislah. Bahwa tulisan pertama jelek, alurnya jungkir balik, tata bahasanya babak belur, gpp. Semua penulis profesional juga sama seperti itu. Tak ada yang abrakadabra sekali nulis langsung jadi.

Ingat menulis itu membaca berulang-ulang, bukan memelototi kertas kosong 24 jam.
Tak ubahnya atlet professional, sebelum mengalungi medali, dia harus latihan berulang-ulang, dan butuh sparring partner dan juga pelatih. Begitu pula menulis.

Menulislah, cari teman yang mau membaca dan mengkritisinya, cari guru: bisa manusia, bisa bahan bacaan.
Tak ubahnya seorang komika. Sepanjang pengamatan, mereka yg rajin ikut open mic — menguji materi dan mental di hadapan orang banyak — kelak kemudian menjadi komika hebat dan ternama.

Tapi ada yang open mic terus-menerus, tetap nggak lucu-lucu dan nggak terkenal2 juga?
Krn dia sdh puas dg sambutan penuh tawa & tepukan dari teman2 sendiri. Maka, carilah kumpulan penonton yg mayoritas bukan teman sendiri, kritis, siap tidak ditepuki bahkan diejek “Nggak ada lucu2nya.”

Begitu juga penulis. Jgn minta org yg lg pedekate ke kamu utk nilai tulisanmu.
Berani uji nyali dan mau sabar. Novel RE: yang saya tulis, baru diterima penerbit setelah 12 tahun menawarkannya ke mana-mana. Baru setelah buku itu cetak ulang berulang-ulang, penerbit2 lain datang: “Kapan menerbitkan buku di tempat kami?”
Itu pun bukan jaminan langsung diterbitkan. Ada proses dialog, sakit hati, dikurasi hingga betul2 mental dan keringat terkuras, baru terbit.

Pasti laris terjual? Tidak ada jaminan itu!

Yg saya kira bakal laris paling cetak 1-2 kali, yg biasa2 saja, eh berulang-ulang.
Tapi sy percaya, buku punya jodoh pembacanya masing-masing. Juga rejekinya masing-masing. Ada yg rejekinya dari cetak berulang-ulang, ada yg rejekinya “off air” diundang ke mana-mana, buku tsb jd semacam perahu yg berlayar di samudera luas dan berhenti di banyak pelabuhan...
Ada jg tulisan yg tdk jd buku tp tetap mendatangkan rejeki. Karena jadi acara televisi, bahkan “diperas” jd materi iklan atau PSA alias iklan layanan masyarakat.

Selama di Avicom, sekitar 50 judul acara tv dg ribuan episode & puluhan iklan bs kami produksi & tak 1 pun jd buku
Intinya satu: kalau cuma memelototi kertas kosong, ya kosong hasilnya.

Mulailah menulis, baca kembali, tulis ulang, baca kembali, tulis ulang, uang, uang, ulang, uang, uang, ulang, tulis dengan tulus...
Dan...
Kamu tdk akan bs menulis dg baik, kl kamu tidak suka membaca.

Makin banyak membaca, makin membuatmu terdorong menulis, menyelami kedalaman samudera kata, merambah hutan ide tak bertepi, terbang di angkasa aksara tak beratap.

Dr 26 huruf, lahir kata & kalimat tak berbatas
Jd kl ada yang nanya, apa yang membuatmu suka bahkan produktif menulis. Jawabanku selalu sama:
Mabuk ngeBIR:

Baca
Iqra'
Read

Apakah kamu tidak menggunakan akalmu
Apakah kamu tidak menelaah
Akah kamu tidak berpikir

Afala...
Afala...
Afala...

Tulis!
Selamat berakhir pekan
Semoga selalu dilimpahi kesehatan
Semoga selalu diberi kebaikan
Dan yang sakit diberi kesembuhan

Eh, tanpa terasa, semuanya "berakhiran" : an

Jadi ingat pantun dg akhiran a, a, a, a, atau a, b, a, b.

Tulis
Tulus
Laris
Mulus
Oh iya, tapi saya cuma bisa nulis pendek-pendek?
Tenang, bisa diasah-asih jd puisi. Buktinya:

"Bukan di atas kuburan"

Puisi hanya 4 kata tapi ikonik dari Sitor Situmorang yang berjudul "Malam Lebaran" (1955). Mengingat Sitor, bukan cm saya, banyak yg lgsg mengingat puisi itu.
Tulisan sy pendek. Asah-asih bisa diolah jd "tagline" iklan. Apa buktinya?

- "Buat anak, kok, coba-coba?"
Cuma beberapa kata, biro iklan tempat saya kerja dulu hidup belasan tahun dr produkCap Lang.

- "Aku dan kau suka Dancow"
- "Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro."
Tapi, ingat, sajak terpendek, tagline singkat tapi ikonik, bukan berarti prosesnya juga pendek. Ada hati yang bekerja dan terlibat di dalam prosesnya.
Sitor mengalami peristiwa tak diduga. Thn 1954, Sitor pergi ke rumah Pramoedya Ananta Toer untuk halal bihalal. "Apa lacur, rumah (gubuk)-nya di daerah Kober sepi orang dan hari sudah malam ketika saya sampai. Kecewa amat rasanya," Sitor bercerita.

Sitor lalu berjalan pulang...
Ia telusuri jalanan perkampungan Kober yang selokan-selokannya mampet dan berbau busuk. Tak sadar, ia tersasar ke suatu tempat yang dikelilingi rerimbunan pohon-pohon tua dan tembok.
Sitor mendongak ke atas. Menatap langit malam. Ada bulan di sana. Sitor oe asaran, ada apa gerangan di balik tembok. Di atas seonggok batu di kaki tembok, ia berdiri berjingkat dan melongok: pekuburan.
Ya, areal pekuburan tua dengan berbagai bentuk nisan berwarna putih dengan tanda salib. Sinar bukan menimpa pekuburan itu lewat sela-sela bayangan dedaunan pepohonan.

Ia mengaku terpesona, sejenak saja, hatinya tamasya, terpukau oleh pemandangan semesta malam.
Rasa kecewa tak bersua Oram, berubah jadi haru biru oleh kesan. Spontan terekam dalam ingatab kata-kata berbunyi:
Bulan di atas kuburan,

Terucap terus dalam hati, terngiang dalam ingatan. Sempat melemah saat Sitor tiba di tepi jalan yang terang.
Ia lalu menyetop oplet, 'nuju pulang ke rumahnya. Pulang? Tujuan rutin ke rumah sendiri, serasa hilang arti. Karena bulan malam itu, karena kuburan malam itu.
Peraih Hadiah Sastra Nasional berkat kumcernya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956)itu menulis, "Kematian sedang di atas dan di sekelilingnya: dunia, ya, jagat yang berjalan dan beredar terus, di hari baik, di bukan baik, orang percaya."
Mencerap & mengolah apa yg diperoleh mata & hati, lahirlah puisi singkat itu. Sekaligus bukti, penyair bukan membuat sesuatu dari yang tiada. "Sajak adalah jadi-jadian, lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang dicerap, dimiliki dan dibina oleh si penyair," tuturnya.
"Malam Lebaran" mengandung berbagai ide, yang lantas bermula pada peristiwa di pekuburan itu, bertumbuh menjadi ilham sajak pendek.

Begitulah karya tercipta, Sitor Situmorang memberi pelajaran indah ttg proses lahirnya:
"Bulan di atas kuburan"

Dan diberi judul "Malam Lebaran"
Sekali lagi, selamat berakhir pekan
Banyak typo mohon dimaafkan
Manusia tempatnya khilaf dan typo
Bukan tempatnya lucu dan kepo

Eh... kok akhirannya: a, a, b, b....

Pamit...
Unroll please @threadreaderapp . Thx mch
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with IG : kangmaman1965

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!