Akhirnya kutemui tempat berteduh di dalam hutan, sebuah gua yang hampir seperti luweng, lubangnya menjorok ke bawah.
Walaupun saat itu air merangsek ke dalam gua, setidaknya aku masih bisa berteduh. Aku naik pada bebatuan yang permukaannya tidak digenangi air hujan yang kian lama membanjiri gua.
Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata walau badan ini sudah tidak mampu lagi menumpu rasa lelah. Namun rasa cemas selalu membayangi, silih berganti dengan was-was yang datang tiap kali.
Dan di dalam gua yang sangat gelap, tentu aku tak berani melangkahkan sedikit jarak ke dalam. Aku hanya memberanikan diri duduk di bibir gua, yang samar-samar diterangi bias rembulan.
Rasa takut akan sirna ketika pagi menyingsing. Kantung mata yang semakin menarikku untuk meminta istirahat dari kerja dua puluh empat jamnya ini sepertinya harus ku akhiri.
Selang beberapa menit aku sudah tidak ingat apa yang terjadi. Baru aku bangun ketika malam hampir menjemput di penghujung senja. Dan aku langsung terperanjak oleh suara langkah yang mendekat.
Aku semakin cemas ketika suara itu semakin mendekat dari dalam gua. Ia membawa bau yang amis, langkahnya pelan dan semakin mendekat. Ketika ku amati betul, terlihat dua bola mata yang memancar ke arahku dan seketika berlari melintasiku.
Ternyata itu seekor kucing hutan dengan ukuran sebesar anjing kampung. Bau amis itu dari daging yang digigit dimulutnya yang masih meneteskan darah. Namun makin lama bau itu makin menyeruak dan menempel di dinding gua.
Bau itu jadi menghantuiku, baunya bukan main busuknya. Aku beranikan diri menilik ke sumber bau itu, karena cahaya masih menembus gua. Semakin aku berjalan ke dalam gua, bau itu semakin menyengat.
Langkah terakhir ku hentikan mungkin berjarak beberapa meter dari tumpukan karung di depan mataku, aku melihat tangan menjulur. Aku mendapati tumpukan mayat yang sengaja dibuang di gua ini. Dan tak lama berselang perasaan takut semakin memuncak.
Ketika ku dengar derap langkah kaki mendekat, suaranya seperti langkah satu regu pasukan. Perasaan ini tak karuan, aku langsung menyelinap di antara tumpukan mayat tersebut. Bau bangkai yang menyengat sudah tidak aku hiraukan.
Aku lebih baik bersembunyi, menyelamatkan diri. Di tumpukan itu, nafasku berpacu dengan derap jantungku yang semakin mengacau. Sebisa mungkin aku menenangkan diri, benar-benar aku tidak memiliki ruang mana lagi untuk bersembunyi.
Beberapa langkah kaki itu bisa ku dengar dan rasakan kini sudah berada di depan tumpukan mayat, tempatku bersembunyi. Aku tidak bisa melihat mereka. Namun bisa ku rasakan dan ku dengar mereka kembali membuang mayat dan membaringkannya ke tumpukan itu.
Kemudian mereka beralih keluar gua. Sampai dua harmal aku ditumpukan ini, tak berani bergerak karena mereka berjaga di mulut gua.
Entah sampai kapan entah. Malam-malam seperti setiap waktu, tak lagi ku lihat matari. Mungkin kegelapan akan menjadi kekekalan untukku.
Kontributor: Banisrael
Ilustrator: Kakak Day
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kenapa kepala negara (presiden) TAKUT untuk berkunjung ke Kediri?
Padahal Kediri kotanya nyaman, makanannya enak-enak, dan sarat nilai historis yang identik dengan kerajaan di Nusantara.
Ada apa ya?
Kita bahas perlahan ya.
Ini berdasarkan dari yang kami dapatkan waktu bertahun lalu berkunjung Kediri. Tentu kami terima ada masukan untuk melengkapi informasi ini.
Kediri itu berasal dari kata "Ke" dan "Diri" yang secara awam bisa deterjemahkan sebagai Diri Sendiri, atau Jati Diri.
Jati Diri, berarti sebenar-benarnya diri. Jadi mau pake topeng sebanyak apapun pasti akan terungkap juga aslinya. Jadi tidak ada kepura-puraan sama sekali.
Kalau diibaratin kaya botol tapi transparan gitu, packagingnya ga ngaruh, isinya langsung keliatan.😂
Kita bahas sedikit. Sebelumnya, tetap jaga kiri kanan kalian untuk teman-teman yang turun di jalan. Sifatnya sekadar himbauan, boleh percaya boleh tidak. Utamakan keselamatan dan tetap waspada. #kawaldemokrasi
Jangankan yang elit, yang pejabat kecil aja suka kok cari “bekingan.” Ini pejabat kecil skala perangkat desa ya bahkan. Kami sebut orang yang punya kuasa itu bukan semata masalah uang. Banyak yang dipertaruhkan. Banyak kita tahu calon pejabat yang gagal nyalon jadi gila kan?
Kisah tentang bisikan untuk bunuh diri yang berdengung di jiwa-jiwa yang putus asa.
Thread Kisah Tanah Jawa
“Nah…Mulyanah…”
Untuk kesekian kalinya aku mendengar suamiku mengucapkan nama perempuan itu dalam tidurnya. Dulu, awal nama itu terucap dalam lelapnya, aku cemburu dan marah.
Kupikir suami yang sudah kunikahi 25 tahun lamanya ini berselingkuh. Kini, tiap nama itu kudengar-rasa cemas dan takut mengerumuniku.
Di keramaian kudengar suara Herman berteriak. Aku menoleh ke kanan saat motor yang Herman kendarai mendekat. Herman, dengan raut paniknya kembali berteriak:
“Rum, woi! Jangan ngelamun. Ada kunti di pundak lo!”
Thread Kisah Tanah Jawa
“Hah?”, ucapku berbarengan dengan Ucup yang memboncengkanku. Kami keheranan karena sepanjang jalan kami berbincang tanpa jeda untuk membunuh waktu. Lalu apa maksud perkataan Herman itu?
Sontak aku menoleh ke pundak kiriku yang sedari tadi terasa berat. Tak kulihat apapun selain helai rambutku yang terbang disapu angin. Rambut yang seingatku sudah kupotong sepanjang tengkuk dua minggu lalu.
Sebelum bercerita, perkenalkan nama aku Adi dari kota plat AG. Aku punya pengalaman horor tentang satu keluarga yang terkena santet dari salah satu keluarganya sendri! Saat itu aku dengan kakak sepupuku ikut membantu menyembuhkan satu keluarga tersebut. Banyak hal-hal di luar nalar terjadi saat itu, dan cerita itu bermula seperti ini….
𝐒𝐀𝐍𝐓𝐄𝐓 𝐒𝐀𝐓𝐔 𝐊𝐄𝐋𝐔𝐀𝐑𝐆𝐀
Thread Kisah Tanah Jawa
Saat itu aku masih kelas 12 dan aku punya teman sekelas bernama Tio. Tio inilah yang akhirnya menyeretku masuk dalam permasalahan santet ini. Sebetulnya dia sudah sering mendapatkan gangguan semenjak kelas 10. Ia sering bercerita tentang hal yang dialaminya ke aku dan temanku satunya, namanya Tama.
Aku dan Tama memang bukan orang pintar atau sejenisnya, hanya saja Tio adalah teman dekat kami. Jadi tentunya kami punya rasa peduli yang lebih padanya. Lagipula sepertinya belakangan gangguan itu semakin hebat. Sampai aku dan Tama diundang untuk berkunjung ke rumahnya.