Pagi! Kita sudah berada pada penghujung bulan Juli. Sebelum UTBK diubah menjadi dua gelombang, mungkin banyak di antara kalian yang hari ini sudah bernapas lega karena sudah diterima SBMPTN.
Sayangnya, gara-gara pandemi, UTBK diubah menjadi dua gelombang (dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta kehebohannya) dan kini kalian mesti bersabar menanti pengumuman. Rasanya mungkin seperti “terombang-ambing” dalam lautan ketidakpastian.
Sementara itu, banyak PTN yang akhirnya harus menyesuaikan seleksi mandirinya. Ada yang melaksanakan ujian secara daring, ada juga yang menggabungkan antara nilai UTBK dan rapor. Enggak ada yang menduga tahun ini akan “sangat menantang” terutama bagi calon maba angkatan 2020.
Meski begitu, saya pikir enggak ada yang lebih baik selain menjalani ini semua bersama-sama. Selama beberapa bulan terakhir ini, kalian semua kenal satu sama lain di dunia maya melalui akun-akun yang disebut “akun ambis” di Twitter.
Sampai akhirnya, kita semua mengenal apa yang disebut Ambisverse, suatu kata yang mungkin sedikit-banyak menyatukan sebagian besar angkatan 2020 di sini, di Twitter.
Akhir-akhir ini, saya juga mengikuti omongan-omongan, seperti “Ambisverse udah enggak sama, Ambisverse berubah, dsb.”
Saya cuma bisa bilang begini, pada akhirnya, menurut saya, kita enggak bisa berharap semua orang akan terus “ambis”, katakanlah, membahas soal terus tiap hari, berbagi catatan, dsb. “Puncaknya” memang telah lewat. Saya pikir itu terjadi pada tiga hari pertama pelaksanaan UTBK.
Setelah itu? Ya, masing-masing mulai membentuk “kelompok-kelompok” kecil. Ini sesuatu yang enggak terelakkan. Kenapa? Ya, karena yang sudah UTBK, “bebannya” sudah berkurang dan berusaha menjaga supaya tidak membahas soal apa pun.
Sementara, yang belum UTBK masih “deg-degan” dan berusah cari teman lain yang juga belum ujian dan mau belajar bersama.
Pada akhirnya, ini yang akan terjadi di kampus nantinya. Pertemanan di kampus berbeda dengan pertemanan semasa SMA.
Kamu mungkin bisa bergaul dengan seangkatan yang jumlahnya antara 200 hingga 300 orang. Namun nanti di perkuliahan, mungkin yang kamu “anggap” teman sungguhan enggak lebih dari 20 orang atau bahkan kurang.
Selebihnya? Ya … teman saja atau mungkin “kenal” saja. Di kuliah pun sebagian besar orang akan membentuk kerja kelompok dengan yang “itu-itu” saja (khususnya kalau dosen membebaskan memilih teman sekelompok).
Ini bukan sesuatu yang salah. Jadi, ketika pada akhirnya Ambisverse ini (dianggap) “berubah”, itu karena, pertama, puncak ujian telah lewat. Setelah ini, tiap orang akan mengambil jalan masing-masing, ada yang ambil ujian mandiri kampus A, B, C, dst.
Namun, saya pikir, ini semua adalah sesuatu yang patut dikenang. Apa pun yang terjadi, kalian semua adalah bagian dari seluruh perjuangan massal se-Indonesia ini. Apa pun pandangan kalian tentang “perubahan” ini, ini memang sesuatu yang enggak bisa dihindari.
Meski begitu, saya sendiri senang dan sangat bersyukur bisa dapat banyak teman baru dari jagat maya ini.
Ya, kita semua kan berteman (kecuali kalau sudah ada yang main “kapal-kapalan”, ini lain cerita #ehem ), dan kecuali kalau nanti ada yang “enggak sengaja” jadi mahasiswa Humas Vokasi UI, ya … kamu jadi mahasiswa saya, hahaha!
Teman-teman semua, Ambisverse, apa pun yang terjadi, kalian tetap satu, kalian semua orang-orang hebat yang berjuang sampai akhir. Namun, pada akhirnya, semua akan menempuh jalannya masing-masing, dan itu enggak masalah.
Yang jelas, jagalah pertemanan ini (dan “perkapalan” yang mungkin sedang diusahakan sebagian orang) karena dalam sebulan ke depan, kalian mungkin sama-sama mendaftar ulang di kampus dan jurusan yang sama, mungkin akan ada yang sekelas juga!
Saya selalu doakan yang terbaik untuk kalian semua. Saya percaya, Indonesia punya masa depan yang cerah ketika nanti, pada waktunya, kalian yang memimpin negeri ini. Saya yakin akan ada di antara kalian yang jadi petinggi-petinggi negara ini kelak.
Ketika itu terjadi, semoga nanti kalian teringat dan menoleh sejenak ke belakang, dan mengingat momen-momen ini, ketika ketidakpastian bertemu dengan persahabatan di dunia maya, dan itu karena kalian satu Ambisverse.
Sebagai penutup dan penyemangat, apa perlu saya bikin giveaway ini untuk mendukung produksi “dalam negeri”? Hahaha! 😎
Pembahasan yang menarik, saya izin nimbrung, ya. Berdasarkan analisis linguistik, argumen Mas @jpclotaine benar jika kita melihat dari perspektif pragmatik dan semantik.
Dalam teori linguistik, sebuah simbol (kata atau bunyi) memang netral sebelum diberikan makna melalui konvensi sosial. Ferdinand de Saussure, seorang tokoh linguistik strukturalis, memperkenalkan konsep signifier (penanda) dan signified (yang ditandai).
Kata “anjing”, misalnya, secara fonetik hanya sekumpulan bunyi sampai kita menyepakati bahwa ia merujuk pada hewan tertentu. Namun, setelah makna itu dilekatkan, kata tersebut memiliki konotasi dan denotasi, yang sering kali menimbulkan pemahaman yang disepakati oleh masyarakat.
0️⃣1️⃣: Pemberantasan korupsi dari puncak. Secara historis, Indonesia didirikan oleh pribadi berintegritas. Kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi terus melemah, termasuk pada KPK. Kondisi ini harus dipulihkan.
0️⃣2️⃣: Korupsi merusak kehidupan bangsa dan negara, serta membahayakan keselamatan. SDA menjadi sektor yang dikorupsi. Pendekatan yang saat ini sudah benar dan harus ditingkatkan. Akan tetapi, korupsi harus dipandang dari segi sistemik dan realisme.
0️⃣3️⃣: Harus ada keteladanan dalam memimpin. Korupsi bisa terjadi karena disuruh atasan dan ditiru oleh yang lain. Ada komitmen tinggi atas pemberantasan korupsi, tapi yang ditunggu adalah bagaimana praktiknya berjalan.
PRIORITAS DAN REFERENSI
Bagaimana pasangan capres/cawapres memiliki prioritas dalam menuntaskan korupsi dan referensi dalam menanganinya?
0️⃣1️⃣:
• Sektor yang diprioritaskan adalah pendapatan negara, SDA (laut), pangan, layanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), dan bisnis ilegal (judi, narkoba).
• Komitmen pemberantasan korupsi sejak menjadi aktivis mahasiswa di era KKN merajalela.
• Pengalaman rektor dan akademisi: menetapkan mata kuliah antikorupsi sebagai mata kuliah wajib mahasiswa. Satu-satunya di Indonesia.
• Pengalaman Gubernur DKI Jakarta: membetuk Komisi Pencegahan Korupsi di Pemprov DKI Jakarta.
0️⃣2️⃣:
• Prioritas pada kehendak politik (political will). Harus memimpin dengan contoh. Harus menegakkan transparansi meskipun berat.
• Pengalaman di tentara: kalau pemimpin memberi contoh yang jelek, anak buahnya lebih jelek lagi.
• Referensi kondisi hakim di negara maju: jabatannya dijamin seumur hidup dan penghasilannya begitu besar sehingga tidak ada insentif untuk korupsi.
• Pengalaman sebagai Menteri Pertahanan: Pejabat yang mengendalikan anggaran besar diperlakukan sama dengan pejabat yang tidak punya tanggung jawab tersebut. Jabatan mereka diusulkan untuk naik. Kalau tidak bisa dari segi gaji, harus diberi penghormatan.
0️⃣3️⃣:
• Sinergi antarlembaga penting, termasuk pelibatan tentara untuk penegakan hukum. Contohnya, korupsi di sektor pertambangan karena pelakunya dilindungi oleh kekuatan luar biasa.
• Dialog dengan pengusaha. Ada aspirasi untuk kepastian hukum sehingga membentuk kenyamanan dalam berusaha (tanpa harus korupsi).
• LHKPN dilakukan dengan monitoring dan pendampingan antar instansi.
• Komitmen harus ditunjukkan dengan bukti.
- Mempertanyakan alutsista bekas, boleh — publik berhak tahu ✅
- Mempertanyakan Indonesia alami lebih dari 800 juta serangan siber, boleh — publik berhak tahu ✅
- Mempertanyakan kepemilikan tanah ratusan ribu hektare, sementara banyak prajurit TNI tak memiliki rumah dinas, boleh — publik berhak tahu ✅
- Mempertanyakan kenapa tidak punya istri, misalnya, ini baru TIDAK BOLEH karena ini namanya masalah personal
Bisa dibedakan dong mana yang masalah personal mana yang bukan?
Kita itu mau memilih calon presiden, ya memang sudah sepatutnya siapa pun orangnya, publik patut mencari tahu sebanyak mungkin informasi, apalagi soal kinerja yang bersangkutan.
Janganlah sedikit-sedikit baper. Masa debat enggak boleh saling serang? Presentasi kelompok di kelas bahkan kadang bisa lebih “sadis” — riil.
Mati berarti ‘sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi’. Siapa pun bisa disebut mati jika, dalam arti sempit, sudah tidak lagi bernyawa, termasuk hewan dan tumbuhan.
Meninggal, tutup usia, dan berpulang berarti ‘mati’, tetapi dalam konteks ragam hormat.
Meninggal dunia digunakan pada orang-orang besar ternama atau para pemimpin.