Kisah Kesederhanaan Guru Besar Al Azhar Yang Masih Naik Angkot
"Sebagian lagi ingin membawakan sepatunya, tapi ia tolak, kalau ada yang memaksa ia akan marah, ia tak ingin anak muridnya memegang sepatunya. Sangat sederhana, sangat rendah hati."
Perkuliahan masih libur ketika itu. Seorang lelaki berusia 83 tahun merapikan baju-dasi-jasnya bersiap-siap pergi dari rumah sederhananya menuju Masjid Al-Azhar.
Setiap Selasa ia sudah terbiasa menuju stasiun kereta berjalan kaki dengan menenteng satu tas koper kecil berisi dua kitab: Al-Quran dan Dalailul I’jaz yang sudah terlihat sangat lusuh, hampir setiap ikatan lembarnya terlepas.
Dari stasiun Maadi Jadidah ia lanjut harus berjejal dengan ratusan orang yang menaiki kereta menuju Atabah, lalu lanjut lagi menaiki angkot menuju Masjid Al-azhar. Lebih dari satu jam ia habiskan dalam perjalanan.
Sangat sederhana u seorang guru besar bergelar professor, bergelar Syaikhul Balaghiyyin.
Sebelum zuhur ia sdh sampai ke Masjid Al-Azhar, ia tunaikan shalat 2 rakaat, lalu azan dikumandangkan, ia tegakkan lagi 4 rakaat qabliyah lalu selesai shalat, ia lanjutkan 4 rakaat bakdiyah.
Beberapa org datang untuk sungkem kepadanya, ingin mencium tangan berkahnya yg sudah menulis 30an lebih karya luar biasa itu, dengan sigap ia menarik tanggannya enggan untuk dicium. Sebagian yg lain ingin membawakan tas kecilnya, tapi ia tolak, kecuali ada yg benar-benar memaksa.
Lalu dalam majlis ia sampaikan, bahwa bakti sebenarnya seorang murid kepada guru bukanlah dengan mencium tangannya atau membawakan tasnya, tapi dengan memahami pelajaran yang disampaikan dengan baik, kemudian menyampaikannya dengan baik pula kepada orang lain.
Lalu lanjut beliau, tugas saya adalah untuk memahami ilmu dan memahami cara menyampaikan ilmu, karena ilmu yang dipahami tapi tak mampu disampaikan adalah ilmu yang tak ada nilainya.
Seorang guru harus semangat dalam menyampaikan ilmu sebagaimana (ia dahulu) semangat untuk mendapatkan ilmu. Saya akan sedih ketika diujung hidup melihat generasi setelahku tidak dekat dengan ilmu.
Kalau madrasah kita hari ini lebih baik dari hari kemarin, generasi hari ini lebih baik daripada generasi kemarin, generasi esok lebih baik dari hari ini berarti kita dalam trek yang benar.
Tapi kalau generasi hari ini sama dengan kemarin berarti kita menghadapi kemunduran, kalau lebih buruk berarti kita sedang bersiap menghadapi bencana.
Guru yang Dicintai
Seorang guru yang baik adalah guru yang mengajarkan muridnya ilmu dan mengajarkan cara mengolah ilmu, cara mengambilnya dari perut-perut kitab turast, cara mengeluarkannya dari gudang harta karun tulisan para ulama.
Kalau seorang guru hanya menyampaikan maklumat, sekadar pengetahuan, permasalahan-permasalahan, maka semua itu bisa didapatkan dengan mudah di internet.
Maka beliau sgt konsen untuk mengajari muridnya cara membaca yang benar, mengajari cara menikmati & merasakan keindahan tulisan para ulama, lalu memecahkan setiap rahasia² yg disembunyikan para ulama dlm taqdim, dlm ta’khir, dalam makrifah, dlm nakirah, dlm setiap pilihan kata.
Beliau sangat senang mengulang perkataan Imam Muzani, “saya telah membaca Kitab Ar-risalah (milik Imam Syafii) 500 kali, setiap pembacaan itu saya mendapati faedah dan ilmu yang belum saya temukan dalam pembacaan sebelumnya.”
Lalu beliau tekankan, siapa Imam Muzani yang mau membaca ar-Risalah sebanyak 500 kali? Padahal ia setara dengan imam Syafi’i, atau kalau mau disebut hanya sedikit levelnya di bawah Imam syafii.
Coba perhatikan sekali lagi angka 500 kali dan kata faidah, berarti ada pengetahuan yang tidak beliau dapatkan dalan 499 kali membaca ar-Risalah.
Hanya beliau dapatkan ketika pembacaan yang ke-500. Karena setiap kita membaca kalam para ulama, kita mendapatkan ilmu dalam tulisan mereka dan mendapat inspirasi melahirkan ilmu dari tulisan mereka.
Ada lagi cerita Abu Jakfar at-Thabary yang menceritakan kepada Muhammad bin yazid dengan rasa takjub dan tak percaya, “aku mendengar Abu Umar al-Jirmi mengatakan, bahwa ia berfatwa dalam fikih selama 30 tahun menggunakan kitab nahwunya Sibawaih.”
Muhammad bin Yazid menjawab, “Q jg mendengar dg telinga sendiri al-Jirmi mengatakan demikian” Lalu ia menjelaskan mksd dr al-Jirmi, “al-Jirmi sblmny adl ahli hadis, stlh bljr Kitab Sibawaih, ia bljr dlm kitab itu cara berfikir & meneliti. Lalu ia berfatwa dlm fikih dg kaidah itu”
Dari cerita ini kita tahu bahwa al-Jirmi tidak hanya mengambil materi nahwu dalam kitab Sibawaih, tapi mengambil cara berpikir penulisnya, lalu menggunakannya untuk beristinbat mengeluarkan hukum-hukum fikih.
Al-jirmi membaca kitab sibawaih dan mampu mengeluarkan atau menghasilkan ilmu yang sebelumnya tidak ada, dan bahkan membangun dan menambahkannya dalam permasalahan fikih.
Begitulah seharusnya kita membaca tulisan para ulama, bukan hanya untuk mendapatkan pengetahuan, tapi juga untuk mengetahui cara berfikir mereka dan mengetahui cara mereka membangun ilmu pengetahuan.
Dari situlah lahir ide di bawah ide, lahir makna setelah makna. Ada kaidah yang dikandung oleh kaidah. Tahta kulli ma’nan ma’na. dalam perut setiap makna ada makna yang disembunyikan, yang hanya ditemukan oleh orang yang benar dalam membaca, teliti dalam melihat.
Dalam bidang akidah, mengapa Ahlus Sunnah diwakili oleh dua kelompok besar: Asy’ariyah dan Maturidiyyah?
A THREAD
1. Kedua mazhab akidah ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hanya perbedaan ringan yang mudah
ditakwil untuk dipertemukan.
2. Imam Abul Hasan al-Asy’ari giat membela akidah. Pengikutnya sangat banyak. Penerusnya secara bersambung meneruskan dan mengembangkan mazhab asy’ari, seperti Ibnu Mujahid.
“Pakaian perempuan apapun bentuknya,” tulis koran media cetak Al-Azhar itu, “tidak bisa menjadi justifikasi atau pembenaran dari pelecehan seksual.”
(((Utas)))
1. Mendukung kaum perempuan dalam menuntut hak-hak mereka terhadap pelaku yang mencederai kehormatan mereka, bukan justru menghakimi mereka atau menganggap ringan luka perasaan mereka.
2. Setiap individu hrs bersikap proaktif dg apa yg terjadi di lingkungannya. Bersikap diam & tutup mulut pd pelaku pelecehan seksual adl tindakan yg dimurkai. Yang wajib dilakukan adl mencegah pelaku berbuat & bahkan menyerahkannya ke pihak yg berwenang agar diproses sesuai hukum
Alasan Kenapa Berdiri Ketika Mahallul Qiyam Dianjurkan
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan bahwa ada beberapa aspek mengapa berdiri ketika pembacaan maulid sangatlah disukai dan dianjurkan oleh para ulama:
(((Utas)))
- Berdiri ketika maulid telah banyak dilakukan oleh khalayak dan disukai oleh para ulama timur dan barat. Apa yang disukai oleh muslimin maka di sisi Allah adalah baik dan apa yang dianggap buruk oleh muslimin maka di sisi Allah adalah buruk.
- Berdiri untuk orang yang memiliki keutamaan sangatlah disyariatkan dan telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang banyak. Seperti contohnya ialah kitab yang disusun oleh Imam Nawawi yang diberi nama Raf'ul Malam ‘anil Qoil bi Istihsanil Qiyam.
Nabi Nuh melewati seorang nenek yang sedang meratapi anaknya yang mati.
"Apa yang terjadi?," Nabi Nuh bertanya
"Anakku mati, dan umurnya belum 300 tahun," jawabnya sambil terisak
Nabi Nuh menghibur, "Tak usah menangis.
(((Utas))))
Aku sesungguhnya diberitahu, akan ada sekelompok kaum yang umurnya hanya sampai 60 atau 70 tahun. Bayangkan jika kamu dan anakmu di antara mereka. 300 tahun menjadi umur yang cukup panjang."
Si nenek kaget.
"Jika aku bagian dari mereka, maka aku akan habiskan hidupku untuk bersujud pada Allah."
Belajar Menghargai Waktu dari para Ulama Terdahulu
Para ulama terdahulu mengerti betul arti waktu & merasa rugi bila terlewat dalam amal & karya. Ada yg sampai tidak ikut menguburkan jenazah anaknya & ada pula yg sampai terjungkal menemui ajalnya.
Simak kisah menariknya di sini
Waktu merupakan satu dari sekian banyak nikmat agung yang diberikan Allah swt kepada manusia. Menurut Syekh Abdul Fattah Abu Ghudah, waktu atau zaman termasuk salah satu jenis nikmat pokok seperti halnya nikmat sehat dan nikmat ilmu.
Begitu istimewanya, Allah swt berulang kali menegaskan arti penting kedudukan waktu dalam Al-Quran. Tidak sedikit pula Allah swt mengambil sumpah dengan waktu. Hal ini tiada lain hanya untuk menjelaskan keagungan dan kedahsyatannya.
Di antara sifat-sifat khusus Kanjeng Nabi SAW yg disebutkan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani dlm Syarah Bidayatul Hidayah:
Kanjeng Nabi SAW sama sekali tidak pernah mimpi basah. Beliau juga tidak pernah menguap (angop, dlm bahasa jawa).
Hewan-hewan tidak pernah berlari jika didekati beliau, alias semuanya tunduk.
Tubuh beliau tidak pernah dihinggapi lalat. Semua yang ada di belakang beliau jelas terlihat layaknya yang ada di hadapan beliau.
Bekas air kencing beliau tidak pernah terlihat, alias langsung terserap ke dalam tanah. Hati beliau tidak pernah tertidur meskipun mata terpejam layaknya orang yang sedang tidur. Beliau tidak pernah terlihat bayangannya di bawah sinar matahari.