Posisi saya dari sejak awal tidak berubah: umat Islam memang diharuskan mengonsumsi makanan/minuman yg halal. Itu kewajiban moral-etis bagi setiap muslim.
Tp terlalu berlebihan mengorek2 kehalalan sesuatu yg mau kita konsumsi, itu sikap "ghuluw"/berlebihan dlm agama. Ndak baik.
Apalagi melekatkatkan status halal atau haram dlm hal2 di luar makanan/minuman, itu jelas tindakan berlebihan dlm agama. Misalnya, melabeli baju atau kulkas sebagai halal, ini jelas ndak tepat. Kalau baju, statusnya ya bersih atau kotor/najis, bukan halal-haram.
Over setifikasi halal ini, menurut saya, bukan sesuatu yg dikehendaki dlm Islam. Tajassus atau meneliti scr berlebihan halal tidaknya sesuatu yg mau kita makan, najis tidaknya sesuatu yg mau kita pakai, itu bukan ajaran agama.
وما جعل عليكم فى الدين من حرج.
Agama tidak menghendaki kesulitan bagi kalian, demikian ajaran yg termuat dlm Quran. Karena itu, jika pas di luar negeri, saya tidak pernah ngotot mau mencari restoran halal. Yg penting saya ndak pesan babi, titik.
Inilah yg dipraktekkan Gus Dur setiap ke luar negeri dulu.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
1/ Beberapa catatan ttg dinamik politik kita pasca-pemilu:
(1) Saya berangkat dari tesis dasar yg saya "percayai" hingga saat ini, yaitu bhw demokrasi di Indonesia sudah sampai pada "point of no return". Tidak ada lagi titik kembali dari demokrasi. Demokrasi akan jalan terus.
2/ Memang ada kemerosotan dlm praktek demokrasi kita, tetapi demokrasi sbg sistem tidak mati di negeri ini. Tesis saya: declining but not dead. Ini fakta dasar yg harus disadari oleh semua pihak, baik pemenang atau pengalah dlm pilpres kemaren.
3/ Bukti bhw demokrasi masih hidup dan "vibrant" adalah adanya ruang untuk mengkritik praktek2 yg dianggap penyelewengan. Media masih menikmati kebebasan untuk mengungkap segala fakta ttg pemilu. Suara2 kritis di kampus masih bisa disuarakan. Et cetera et cetera.
1/ Pagi ini saya mau "curhat" soal pentingnya publik mendukung media cetak yg hingga kini masih bertahan. Yaitu dg cara melanggani media2 ini, dan meninggalkan kebiasaan bergantung kepada "portal berita" yg bisa diakses gratis.
Kultur "berita gratisan" harus sedikit dikurangi.
2/ Bagi saya, media cetak, terutama media2 nasional yg sudah lahir sejak lama (Kompas, Tempo, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Gatra, dll.) adalah findasi penting Demokrasi kita, selain fondasi literasi publik.
Sayangnya, media2 ini terancam "punah" saat ini.
3/ Ancaman kepunahan ini datang dari media2 "baru" yg berbasis teknologi digital. Media2 baru ini, sebagian besar, membawa kultur jurnalisme yg, terus terang, buruk. Mereka umumnya mengejar apa yg disebut "click bait", yakni konten yg dibuat sekedar merenggut perhatian saja.
Saya mau “curhat” sedikit ttg debat mengenai teori evolusi di Amerika dg kemunculan apa yg disebut sbg teori “intelligent design”.
Ketika saya datang ke Univ Boston pada 2005 untuk kuliah, saat itu sedang marak debat teori evolusi vs “intelligent design”.
Tetapi saat itu saya belum “ngeh” soal teori evolusi maupun “intelligent design”. Saya betul2 awam. Tetapi saya tertarik mengetahui perdebatan ini. Saya cari infonya di internet. Saya baca sebisa saya.
Salah seorang tokoh yg banyak saya baca ketika itu adalah: Michael Behe.
Ketika di kampus diadakan debat terbuka antara pendukung “teori evolusi” vs “intelligent design”, saya semangat datang. Saya dudu palimg depan. Saya menikmati debat yg berlangsung selama 1,5 jam di hall besae kampus.
1/ Mau "curhat" sedikit soal doa. Saya memiliki pengalaman personal dg literatur kumpulan doa ini, sejak di pesantren tradisional hingga saat kulih di universitas Wahabi di Jakarta, yaitu LIPIA.
Curhat ini di-trigger oleh buku kumpulan doa karya Mas @Ayang_Utriza tadi.
2/ Di kalangan pesantren tradisional, kita jumpai tradisi yg kaya sekali berkenaan dg doa. Tak ada komunitas muslim yg paling peduli amalan doa dan wirid ini melebihi komunitas tradisional ini.
Baik doa yg ma'tsur (berasal dari Nabi), atau doa buatan para ulama pasca-Nabi.
3/ Salah satu buku kumpulan doa yg populer zaman saya di pesantren dulu adalah serial "Silahul Mu'min" (Senjata Seorang Beriman). Buku ini berisi kumpulan doa dan amalan mengenai apa saja, mulai dari bagaimana agar dapat jodoh hingga mudah mendapatkan rizki.
1/ Mau "curhat" sebentar soal khutbah Jum'at. Ini bukan tema yg amat penting, tetapi ada beberapa kilasan ide yg muncul di benak saya siang ini, saat mendengar khutbah Jum'at
Dalam sejarah Islam, masjid tempat diselenggarakannya salat Jum'at biasa disebut "Masjid Jamik".
2/ Masjid Jamik secara harafiah artinya adalah "masjid yg mempersatukan" (the uniting mosque). Dalam hukum fiqh, aturan Juma'atan yg standar adalah: satu desa, satu masjid jamik. Masjid bisa lebih dari satu dlm sebuah desa. Tetapi masjid jamik hanya boleh satu saja.
3/ Idenya adalah: masjid jamik itulah yg diasumsikan akan mempersatukan seluruh umat, lepas dari preferensi mazhab atau pilihan politiknya. Umat Islam diharapkan salat Jum'at di masjid yg satu di satu desa, yaitu masjid jamik.
Barusan memberi ceramah u/ sahabat2 PMII Komisariat UGM. Saya diminta bicara soal "Islam dan Teologi Pembebasan". Puas dg presentasi tadi, karena saya merasa "berhasil" merumuskan dua jenis teologi: teologi kebebasan (liberty) dan pembebasan (liberation).
Bagi saya, ada dua jenis teologi: teologi kebebasan, dan pembebasan. Saya tidak mau mempertentangkan dua model teologi ini. Apa beda antara dua jenis teologi ini?
Teologi kebebasan, fokusnya adalah membela "political rights", seperti kebebasan keyakinan, berpendapat, dll.
Tokoh teologi kebebasan dlm peta pemikiran Islam modern adalah sosok2 seperti Abdullahi Ahmed An Naim, Khaled Abou El Fadl, dan Mustafa Akyol.
Salah satu isu penting bagi teologi ini adalah kebebasan memeluk keyakinan/mazhab, tanpa paksaan oleh otoritas apapun.