MENGAPA ‘NAK’ HINDU BALI MENCAKUPKAN TANGAN BILA SEMBAHYANG
Saya masih muda belia ketika beberapkali melakukan perjalanan ke India. Teman-teman saya saat itu, hampir semuanya penulis, setengah berbisik ketika memasuki sebuah kuil bertanya mengapa cara sembahyang mereka
(orang-orang di kuil itu berbeda dengan kamu?). Dlm pikiran teman² saya, India adalah ‘ibu’ dari ajaran Hindu, mestinya cara sembahyangnya sama dgn yg ada di Bali, namun dlm kenyataannya, cara sembahyang saya berbeda.
Begitu juga ketika saya pergi ke Malaysia,dan beberapa negara
lain, bila tidak bertemu dgn komunitas orang bali Hindu, maka yg saya temukan cara sembahyang yg berbeda.
Tahun berganti, ketika transportasi begitu cepat, internet membuat informasi melaju mendekat.
Beberapa teman saya tiba-tiba berbisik, bahwa kini ia sembahyang meniru ‘gaya’ india. Kecuali di pura, dihadapan keluarga, tentunya ia tdk bisa bergaya ‘india’. Maka teman-teman saya itu, membuat kamar suci, menghiasi dinding dan meja dengan perlengkapan ‘ala hindu’ india.
Saya tdk menyebutkan sekte. Sebab seingat saya, terlalu banyak ‘kelompok pencari spiritual’ di india dan dunia, semuanya menemukan caranya sendiri. Hindu memang puspa ragam, yg memang tdk seragam.
Semula saya diam, apapun pilihan sikap sembahyang orang,
itu pilihan atas dasar keyakinan. Namun suatu kali, akibat saya sering menulis tentang ‘game bali’ seorang teman datang kpd saya, bicara banyak hal, dan diujung kisah dia berkeluh kesah; walau santun dan saya tahu dia sangat religius; mempertanyakan soal mengapa sembahyang kita
itu mencakupkan tangan, dgn kata lain, bukankah kini dgn kemajuan transportasi, internet dan lain-lain telah dpt refrensi yg jelas; kasat mata, bahwa ada rujukan cara sembahyang ‘maksudnya’ ala india.
Entah rujukannya film ataukah dia memang sering ke berbagai kuil di India.
Membuat saya harus juga bersikap santun, menjelaskan perbedaan meditasi, samadhi dan tapa maupun beryoga (bukan dalam pengertian olah tubuh yoga). Tapi yg ia pertanyakan, seolah meminta, agar saya menjelaskan, mengapa mencakupkan tangan (?)
Mencakupkan tangan disebut muspa; ini kata peristiwa sebenarnya. Dan jujur saya sedikit jengah oleh pertanyaan itu, perlahan saya menjawab; bahwa dalam ajaran Hindu Bali, atau megame bali; mencakupkan tangan itu adalah mempertemukan sepuluh aksara suci.
Jemari kiri adalah Panca Brahma; dgn agak hati-hati saya menjelaskan, bahwa penjelasan saya dari pendekatan tantris. Bahwa di kelingking itu ada huruf Sang, Bang di jari manis, Tang di jari tengah, ANg di jari telunjuk, Ing di Ibu jari. Sedang di tangan kanan itu disebut
Panca Aksara; Nang di jari kelingking, Mang di jari manis, Sing di jari tengah, Wang di jari telunjuk, Yang di ibu jari tangan. Itulah dasaksara di jari tangan, perhatikan bertemu jari jemari itu; Lalu angkat di depan dahi. Atau di depan hidung.
Bila benar memahami
pengaturan nafasnya. Maka tubuh sebagai bhuwana alit akan menyapa bhuwana agung itu. Itu penjelasan yg paling sederhana yang sanggup saya jelaskan, sebab betapa sulit menjelaskan mengenai ‘inti’ sikap sembahyang dalam “game bali” ini.
Bahwa memang yg memandu itu adalah pendeta
ataukah pemangku, bahwa memang bila sendiri banyak yg tdk tahu, otomatis mencakupkan tangan dan menenangkan dirinya. Namun dalam ‘game bali’. Ketidaktahuan akan ‘maknanya’ bukanlah penghalang bagi bekerjanya ‘sang doa’ dari hati. Sebab keteleteg itu yg disalurkan dengan nafas,
itu akan mendatangkan bayu dan prana; menenangkan diri dan hati. Jelas akan ada dupa menyala, jelas akan ada tirta dan wangsuhpada, keduanya juga bekerja saat tangan tercakup. Utk bagian ini, saya tdk menjelaskan pd teman saya, sebab itu kategori aje wera.
Hanya yg telah mendwijati dan eka jati yang akan melakukan putaran pembakaran mala dana memadamkannya dgn dasaksara ini.
Teman saya tercenung. Saya pun tercenung. Sebab saya tahu, dia tengah mencoba menemukan argumen membantah dan berusaha untuk meyakinkan saya bahwa
yang kini ia pelajari jauh lebih benar. Saya tersenyum, tidak balik bertanya, ada bedanya japa dan mantra, ada bedanya doa dalam hati dengan mengucapkan mantra. Juga kalau boleh, andai saya ngotot, saya dapat balik bertanya; apa makna cara sembahyangmu kini, entah itu meniru gaya
film india ataukah karena kamu sering piknik ke india (?). Saya tentu tak setengik itu. Namun yg pasti, saya jadi jengah; bahwa sepatutnya, para orang tua, pendeta, pandita, pemimpin agama di Bali, meluangkan waktu menjelaskan, sekalipun sebenarnya tak perlu dijelaskan.
Namun perubahan zaman kadang sulit membendung cara berpikir matematik ini; semua hal dicari alasannya, padahal ini serius soal keyakinan.
Dikutip dari "kakak" yg peduli "Gama Bali" meski tinggal nun jauh disana di benua Biru 🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
🕉️ Om Swastiastu, Rahajeng semeng semeton sami, dumogi setate kenak lan ngemangguhang kerahayuan sareng sami 🙏
Nabe ( Sang Guru )
Dalam tradisi hindu di Bali ada yg disebut Sang Sulinggih (Ida Pedande), mereka (dia) yg telah melewati upacara madwijati (masuci,madiksa,mabersih,
mapeningan, atau juga ada yg menyebut dgn mapodgala). Mereka itu yg berkeinginan menjadi Sang Sulinggih telah menyiapkan dirinya secara sekala dan niskala. Sang sisia, setelah memantapkan dirinya bersiap untuk berkosentrasi mempelajari ajaran suci.
Di Bali dlm tradisinya, bagi
laki-laki biasanya menyiapkan diri setelah melewati masa produktif kerja dan menikah (grhasta); memasuki yg dlm idealnya disebut wanaprasta, di Bali wanaprasta bagi sang sisia ini justru dimulai pula masa brahmacari, tahap proses belajar kerohanian. Bandingkan dengan pengertian
AGNI (API)
Agni ini memang tak sederhana; bahwa api juga dilambang sebagai nafsu yang berkobar², tak kenal siapapun disaat murka; akan menghancurkan apapun tanpa kenal ampun. Agni juga mendapat gelaran sarwa baksa; pemakan segalanya. Namun jika api dipahami,
maka seperti api takep, yg dibuat dari dua belah serabut kelapa, dasarnya ada tapak dara; lambang harmoni inilah juga oleh para cendekiawan disebut Yoga Jiwatman; yg menolak dari segala godaan. Dikenali pula prakpak dan obor; keduanya adalah penenang bhuta kala,
penunjuk arah kemana bhuta kala itu harus menuju, kemudian dikenal pula api tetimpug, dibuat dari tiga potong bambu, jika bambu itu dibakar akan menimbulkan ledakan; namun syaratnya di ujung bambu itu dibuatkan sampian; symbol bahwa bambu itu telah dihidupkan.
Betapa malu kaum suku Sakya, mendengar junjungannya meminta², duduk ditepi jalan, mengancungkan batok kelapa. Rasanya, ambruk seluruh hati suku Sakya. Kasak-kusuk di pasar mulai mendengung," barangkali putra raja Sakya, sdh gila. Menghilang begitu saja,
muncul-muncul jadi pengemis..." Belum lagi tuduhan lain, mendengung di seluruh negeri-negeri. Tak kuasa rasanya suku Sakya menahan sakit hati dan panas isi kepala, lelah menjelaskan,"itulah ada bagian laku spiritual, itu untuk memahami, menyelamai derita, bagaimana sakitnya
menanti pemberian...bagaimana rasanya merasa tak memiliki apa², selain diri yg hanya bergantung pd isi perut!"
Gautama, tertegun lama, utusan dari kerajaannya berdatangan, menyembahnya dgn penuh duka, airmata mengalir deras memenuhi seluruh wajah utusan itu, suaranya mengisak,
Jika di Bali sabung ayam disebut sebagai Tajen yg berasal dari kata Taji alias pisau kecil yg diikatkan pd kaki ayam, di Lombok sabung ayam memiliki sebutan berbeda, yaitu Gocekan.Tentu agak mengherankan jika di kedua tempat yg memiliki
akar budaya yg sama ini, sabung ayam yg berasal dari ritual Tabuh Rah memiliki sebutan berbeda. Jika Tajen berasal dari Taji, lantas dari mana asal Gocekan? Pd zaman kerajaan Karangasem Lombok, tersebutlah seorang warga keturunan saudagar Cina bernama Goh Tjek Ang.
Orang Tionghoa ini gemar berjudi, terutama sabungan ayam. Di mana ada perjudian, di sanalah Goh Tjek Ang berada. Suatu kali, Goh Tjek Ang masuk ke dalam puri. Di dlm puri ini kebetulan sedang berlangsung sabungan ayam. Setelah sabungan ayam berakhir, di hadapan para pesabung yg
Ibu saya sudah berumur 90-an kini, sudah pikun dan senang main ceki. Dia ibu yang asyik dalam soal mengajarkan anak-anaknya megame alah nak Bali. Ibu saya tidak pernah menakuti-nakuti soal apapun jika berkaitan dengan betare, kawitan,
soal membanten; ibu saya termasuk ibu yang sangat relaks. Bahkan kadang membuat saya tersenyum jika mengingat; hal-hal kecil yg membuat logika, nalar saya tersentak, suatu hari, ibu menata canang dan segehan, sejumlah yg akan dihaturkan di seluruh rumah. Ibu saya memercikan air,
kemudian pelukatan, kemudian tirta. Lalu memasang dupa diantara apitan canang-canang. Lalu segehan itu ditaburi garam, diperciki arak berem; Ibu saya kemudian berucap pelahan; "Tiang leleh pisan, ten nyidayang keliling, niki titiang ngayat sareng sami sane nuwenang jagat, sane
Setelah usai pembakaran sang sawa dengan segala kelengkapanya. Dilakukan kemudian nuduk galih. nuduk (memunguti), galih (tulang). tulang² itu kemudian direka ulang mengikuti bentuk tubuh. Dan setiap organnya kemudian disusuni dgn bunga-bunga tertentu serta kwangen.
Maka tubuh itu sejatinya taman bunga. Lalu dibungkus dgn kain putih. Dan dinaikan ke pengiriman. Atau ngareka dpt langsung dilakukan di pengiriman. Sedangkan di atas tempat pembakaran ditanamkan beberapa batang pohon kayu sakti.
Sejenak dalam keyakinan orang bali saat berteduh di bawah kayu dapdap itulah roh roh yang baru terjaga akan ketiadaan tubuhnya dan beberapa pengawal alam kematian mulai datang melihat lihat. Karena itu dilakukan adegan ngangonang. Dua orang berakting sebagai pengembala dan sapi.