1). Tak ada yg salah dgn ospek sejauh substansinya tdk bergeser dr rangkaian materi yg membantu maba berakselerasi utk adaptasi dgn kehidupan kampus.
Maba butuh dirangkul, ditemani, dikuatkan secara afektif-kognitif-konatif shg mampu berenang mandiri.
2). Selama mengawal bidang kemahasiswaan plus diskusi dgn teman2 dr kampus lain saat sama2 mengawal adek2 mhsw, sy mendapati ada byk variabel berpengaruh pd "ospek" (dgn istilah khas sesuai PT masing2). Jika di level Univ ospek masih umum & normatif, maka di tk Fak/prodi bs beda.
3). Setidaknya ada 3 hal yg saya amati turut menentukan kualitas ospek Fak/prodi : atmosfer akademik Fak/prodi, pengaturan sejauh mana otonomi organisasi mahasiswa (ormawa) dlm ospek, & bgmn fungsi manajemen kampus (& dosen pembimbing kegiatan) dlm mengawal ospek.
4). Ospek adlh tugas & tgjw kampus. Pejabat struktural & para dosen lah yg bertugas melaksanakan.
Dlm praktek tentu sulit, mk ditempuh kebijakan: ormawa diperbantukan.
Ingat, membantu lho, bukan ambil alih komando. Pejabat struktural kampus tdk bisa & tdk boleh lepas tangan.
5). Realitas sering kita dapati di lapangan, maba diserahkan pd ormawa. Saya bersyukur cukup banyak ormawa yg mulai matang, mampu mengelola sebuah ospek nir kekerasan. Orientasinya akademik.
Namun di beberapa tempat tetap ada yg berbau kekerasan.
6). Kekerasan sendiri wujudnya biasanya bukan lagi kkrsn fisik (krn pasti langsung dihujat), tapi mengarah ke bentuk yg lebih "soft" (dlm tanda petik!), yakni kkrsn verbal&emosional (dibentak2, tugas mencari benda2 yg sulit, tugas membuat sesuatu dgn spec yg ketat, dll).
7). Dlm struktur kepanitiaan, peluang terbukanya kesempatan utk melakukan kkrsn biasanya pd sie tatib/ketertiban/keamanan (bisa beda2 namanya).
Dgn job desc mendisiplin maba, ada semacam legitimasi utk mencari celah "pelanggaran" & memberi sanksi hukuman. Bagian ini titik rawan.
8). Pd bbrp contoh yg baik, sinergi amat penting. Pejabat kampus (atau tim dosen yg ditunjuk) intens mengawal sjk awal kegiatan didesain, melalui proses transfer nilai yg tentu tdk sebentar dgn panitia mhsw, & biasanya sukses membangun model ospek yg cocok dgn kbutuhan maba.
9). Ini bukan hal sepele. Butuh passion & energi kuat dr tim dosen. Memimpin, menemani, mengawal panitia mhsw secara mental-pikiran & hadir secara fisik (ini pra covid). Panitia mhsw idealnya dipimpin sesama mrk yg matang scr emosional & punya misi sejalan dgn institusi.
10). Kadang ada semacam "tradisi" turun temurun yg terus dihidupi & diklaim sbg kebanggaan khas prodi/Fak. Sebenarnya tdk terlalu jd soal jk masih relevan dgn kebutuhan maba & tdk kontraproduktif. Namun mjd problem ketika diakomodasi dgn pertimbangan dipaksakan : melatih mental.
11). Kadang ada yg ber-api2 ngasih argumentasi ttg melatih mental tadi. Pengen rasanya ngobrol santai dgn adek2 tadi ttg apa itu mental, proses pembentukannya, bisakah dibentuk dlm bbrp hari aja lewat ospek. Ngobrol 3 sks. Plus 3 sks lagi utk mengenal apa itu trauma & efeknya 😁
12). Mungkin ada "tradisi" yg baik/netral. Tp sebagian lagi cuma menguras energi maba, nggak nyambung dgn "melatih mental" & kontraproduktif. Sifatnya lbh utk kebutuhan psikonostalgis para senior, kebutuhan utk mendapat pengakuan dr maba, utk dipatuhi, dipuja. Kebutuhan ego.
13). Bisa saja sebenarnya desain ospek sudah baik2 saja. Namun di hari H (atau malah semenjak dari proses awal) kadang para mhs panitia dibayang2i oleh eksistensi "aktivis abadi" yg masih nongkrongin adek2nya, yg titahnya adalah sabda bagi juniornya yg berstatus panitia.
14). Pihak kampus hrs punya cara cerdik namun bijak utk antisipasi. Kampus mesti bs merangkul para aktivis mhsw sepuh yg haus kegiatan agar mrk tetap merasa berarti dgn duduk manis sambil tersenyum legowo memberi ruang pd adek2 aktivis berikutnya. Bantu mrk fokus pd tugas akhir.
15). Biarlah maba mendapat haknya utk bebas dr rasa takut. Biarlah maba masuk mjd bagian dr keluarga kampus dgn perasaan terhormat. Biarlah mrk nyaman dgn kehangatan dunianya yg baru.
Hidup sdh terlalu keras utk ditambah lbh byk lagi kekerasan artifisial.
Semangat utk semua💪⚘
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
1). Byk ortu menimbuni anak dgn fasilitas krn aneka alasan : menyenangkan anak, overprotektif, tak bs bilang "tidak" pd anak, alasan praktis, gengsi ortu, substitusi waktu ortu yg hilang, membayar obsesi ms silam, dll.
(Gbr cuma pemanis⚘)
2). Nah, ketika ini terjadi pd ortu yg mengabaikan pkembangan kpribadian anak, biasanya akan ada babak lanjutan.
Salah 1-nya adlh ortu "membeli" orang2 di sekeliling anak, utk menjagai & melanggengkan knyamanan anak. Pokoknya anak nyaman, urusan cpt klaar, gengsi ortu terjaga.
3). Sayangnya, sbagian ortu nggak mengimbangi over fasilitasi ini dgn transfer nilai2 yg dibutuhkan anak agar bertumbuh bijak. Mk saat anak tambah usia ia bs saja mewarisi cara ortunya yaitu "membeli" teman.
Jgn lupa, anak adlh peniru yg cerdas.
1). Dari kasus MDS yg viral sebenarnya kita bs belajar banyak ttg pengasuhan anak.
Di sekitar kita byk ortu dr sosek tinggi, kaya& terpandang, yg bgitu mudah memfasilitasi & memberi privilege utk anak2nya.
Salah?
Ngga juga sih.
Note: gambar cm pemanis
2). Kan itu duit2nya mereka juga. Ortu sering bilang kalo mereka bekerja keras cari nafkah buat siapa lagi kalo bukan utk anak. Ye kan?
Demi kebahagiaan keluarga, demi mendukung prestasi anak, demi harga diri anak (& harga diri ortu), semua itu hak ortu.
Tapi adakah risiko?
Ada.
3). Ketika privilege diberikan tanpa syarat, terus menerus, & tanpa diimbangi upaya mendorong anak utk berupaya keras sebelum dia dapet apa yg ia inginkan, ya tentu saja ini berisiko.
Dlm dialog ttg kriminalitas remaja via streaming di @katolikana td malem, ada sebuah pertanyaan yg terselip:
Di ms sekarang umumnya ortu sdh mengedepankan komunikasi 2 arah, tapi perilaku yg mengarah pd tindakan kriminal remaja koq ya tetap meningkat.
Why?
Gini ya,
Relasi dlm keluarga bukan satu2nya faktor penentu maraknya kejahatan remaja.
Selalu ada multi sebab : karakteristik remaja ybs, keluarga, sistem sekolah, pengaruh peers, situasi sosial, penegakan hukum, peran media, dll.
Nggak pernah ada sebab tunggal dr setiap kasus.
Tapi memang parenting dlm keluarga nggak bisa ditinggalkan. Tempat anak bertumbuh pertama kali itu bisa mjd salah 1 prediktor apkh seorang remaja bakalan mudah terseret ke perilaku kriminal atau sebaliknya teguh bertahan.
Sy mengenal 1 transpuan sederhana, tak tamat SD, usia senja. Pekerja keras yg telaten merawat bbrp sapi & 150 ekor bebek miliknya. Tiap 2 hari ia ngarit, memanggul rumput dua ikat besar.
Juli lalu saat wabah PMK tinggi, seminggu sblm Idul Adha, 2 dr 5 sapinya jd korban, mati.
Bebek & sapi itu nadi hidupnya. Bebek menopang kbutuhan harian. Sapi menopang kebutuhan lain. Saat sapinya tak tertolong, kerja keras & ketelatenan spanjang tahun hilang tiba2. Mimpi2nya tercerabut kasar, termasuk batal membelikan sepeda cucu keponakan & batal memperbaiki rumah.
Sminggu stlh Idul Kurban, sore pas gerimis, sy nggak sengaja ketemu dia pas dia belajar ngaji. Sy baru tahu kabar sapinya.
.
Sy bertanya dgn amat hati2 ttg kejadian itu, khawatir ia masih baper. Sambil selonjoran ia merespon santai,
"Ah nggih biasa mawon bu. Lha nggih musibah".
1). Nggodain bayi & anak kecil sampai marah apalagi sampai mewek emang asik. Ekspresinya nggemesin banget.
.
Tapi sebenernya itu bukan kebiasaan yg sehat lho.
.
2). Sering ada orang nggodain bocil, nyembunyiin mainannya lah, dot susunya nggak segera dikasih lah, meluk mama/papanya sambil bilang ma/pa diambil & direbut dari dia lah, dll. Lalu menanti ekspresi perubahan emosinya layaknya sebuah adegan hiburan.
3). Saat anak mulai menunjukkan ekspresi nggak suka, bukannya berhenti si penggoda malah lanjut, demi bisa menikmati kesenangan.
Ada pula yg mengatasnamakan ngelatih struggle anak utk hadapi tantangan & kegagalan. Eitts, tp nggak gitu juga caranya & konteksnya jg nggak pas.
1). Sebenernya saya males mencuit tentang Afghanistan. Prihatin tiap kali mendengar & melihat tayangannya di media.
Tapi baiklah sy bicara secentil upil saja, tentu dari sisi yg sy pahami, sisi perilaku manusia.
2). Di negara yg pemerintahannya udah stabil pun, peluang realisasi kebijakan pusat & daerah nggak selalu bisa sama persis. Lha ini Afghanistan cetho2 welo2 masih kacau. Bisa nggak ya bisa 5 janji para pucuk pimpinan itu diamini & dijalankan 100% di tingkat akar rumput?
3). Manusia itu misteri lho.
Ada ribuan variabel yg mesti dilihat utk bisa memprediksi apa yg sedang & akan terjadi pd level rakyat Afghan. Kultur patriarki, prejudice, sejarah traumatik, dll...belum lagi individual differences yg membedakan karakter tiap manusia, beraduk jd 1.