Yanuar Nugroho Profile picture
Sep 21, 2020 33 tweets 10 min read Read on X
Hari ini, Senin 21 September 2021, saya diundang menjadi penanggap @benjaminbland dalam Webinar @iseas "Understanding @jokowi's Leadership Amidst COVID19 Crisis". Sesuai janji, saya akan twitkan tanggapan saya. Khususnya bagi yg tadi tidak bisa ikut 😁

Sebuah utas
.@benbland menyampaikan paparannya, bagaimana pak @jokowi memimpin Indonesia, menggunakan lensa yang dipakainya saat menulis buku Jokowi: Man of Contradictions. Paparan yg amat menarik. Intinya, tidak gampang memahami kepemimpinan pak Jokowi yang kontradiktif.
Menurut @benjaminbland, pak @Jokowi memimpin 'through personality, not processes; focuses on the people, not the process'. Maka bagi pak JKW, proses, birokrasi relatif lebih tidak penting ketimbang orang, rakyat. Ben benar. Pak JKW selalu mengutamakan rakyatnya.
Yang dipersoalkan @benjaminbland adalah bahwa gaya kepemimpinan pak @jokowi yang sebenarnya sederhana, berangkat dari perspektif seorang pengusaha mebel, ternyata kontradiktif dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dan ini bisa berakibat fatal, seperti saat Covid ini.
Saya mencoba menanggapi paparan dengan pernyataan jelas, "I started and I remain a scholar". Saya punya pengalaman ada di pemerintahan dgn keahlian saya. Per definisi, saya terlibat dalam dinamika politik. Dan nyata sekali bedanya paradigma politis dan akademis.
Seluruh logika ilmu modern didorong oleh upaya mencari konsistensi -bahkan akurasi- untuk menuju yang ideal. Begitulah paradigma ilmu. Maka, jika realitas tidak konsisten, maka menurut ilmu, ia tidak ideal. Ia cacat.
Sementara itu, kita tahu bahwa politik beroperasi dalam logika realitas, bukan ideal. Proses politik tidak berjalan mengikuti logika ideal. Politik selalu berada dalam situasi. Maka, logika proses politik juga selalu situasional.
Itulah mengapa realitas, khususnya realitas politik tmsk pembuatan kebijakan, selalu situasional, bukan ideal. Bahkan tidak selalu konsisten menurut ilmu. Tapi ya itulah kenyataan realitas. Mengapa? Karena ada kehendak bebas (free will) dlm politik.
Di mana ada kehendak bebas, di situ ada keragaman. Di mana ada keragaman, di situ ada konflik kepentingan. Di mana ada konflik kepentingan, ada ambiguitas. Dan di mana ada ambiguitas, ada kontradiksi.
Begitulah cara saya memahami pak @jokowi. JKW adalah pelaku nyata dalam dunia politik. Jadi tidak mengherankan bagi saya kalau para ilmuwan melihat JKW --atau semua orang di dunia politik-- kontradiktif.
Itulah mengapa saya paham mengapa @benjaminbland memilih judul 'Man of contradictions' dan menggunakan lensa ini melihat Indonesia di bawah pak @jokowi. Buku ini karya ilmiah, ditulis seorang scholar, dari dunia akademik.
Yang ditulis @benjaminbland dari dunia ideal, adalah realitas politik yang dihidupi pak @jokowi. Barangkali yg dituntut Ben adalah konsistensi dalam realitas politik JKW - yg tentu saja tidak mungkin terjadi.
Mengapa? Karena realitas selalu penuh ambiguitas. Tidak pernah konsisten. Satu2nya cara memaksakan konsistensi dalam realitas adalah lewat kekuasaan absolut. Menghilangkan kehendak bebas, menghilangkan keragaman. Yakin mau itu?
Itulah mengapa dalam politik, yg dicari adalah 'settlement' (penyelesaian), bukan solusi (jawaban). Solusi sifatnya permanen, hanya ada di dunia ideal. Di dunia real, yg ada adalah penyelesaian, yg bersifat sementara.
Jadi apa gunanya pengetahuan? Ilmu dan pengetahuan digunakan untuk menjernihkan banyak perkara dlm dunia real. Karena realitas begitu bergelimang lumpur, dan ruwet. Itulah mengapa kebijakan mesti terinformasi ilmu dan pengetahuan.
Bukan karena pengetahuan mau mendikte realitas lewat kebijakan, tapi karena pengetahuan mesti menerangi proses pembuatan kebijakan. Dan pembuatan kebijakan itu pasti berantakan, situasional, tidak ideal.
Saya tidak asal membela kebijakan pak @jokowi. Banyak kebijakan JKW di awal pandemi mmg tidak memadai. Mungkin krn p JKW terlalu berhati2 dan tdk ingin ada kepanikan. Kebijakan ttg keterbukaan informasi seputar pandemi jg sy pertanyakan. Juga opsi2 kebijakan yg lain.
Namun sy lihat seiring waktu kebijakan p @jokowi berubah. Makin jelas arahnya menangani pandemi. Mulai dari realokasi APBN hingga memprioritaskan kesehatan saat total konfirmasi kasus menyentuh 200k dan 68 negara melarang masuk ke RI. Bahkan evaluasi pilkada lanjut atau tidak.
Jadi, kalau kita pakai lensa @benjaminbland ttg kontradiksi, situasinya akan segera kelihatan sempurna. Bandingkan saja kebijakan di awal pandemi dgn sekarang, atau kebijakan dan implementasinya. Segera ketemu kontradiksi itu.
Yg kita lupakan di sini adalah asumsi kita bhw pak @jokowi seorang diri lah wujud kekuasaan itu. Yaitu apa yg dia minta, dia perintahkan, pasti akan segera terjadi. Tidak. Gak seperti itu. Jangan remehkan birokrasi.
Presiden, Wapres, para Menteri sejatinya 'new kids on the block'. Yg lebih berakar adlh birokrasi. Meski tdk bisa dilihat sbg entitas tunggal, birokrasi & birokratisme amat berpengaruh. Ambil saja kebijakan mana saja yg dianggap gak jalan. Pasti ada soalan birokrasi di sana.
Juga jika kita lihat org2 di sekitar @jokowi. Menteri dan para penasihatnya. Meski diminta ikut perintah, mereka punya kepentingan, kepercayaan dan pendekatan berbeda2. Mereka ikut mempengaruhi jalan-tidaknya kebijakan JKW.
Nah, sekarang tambahkan juga faktor desentralisasi, konservatisme, dst. Maka dapatlah kita realitas politik Indonesia. Realitas yang semrawut. Realitas di mana politik bekerja. Termasuk dlm penanganan COVID. Di sinilah @jokowi beroperasi.
Jadi jika menurut @benjaminbland p @jokowi mementingkan orang bukan proses, itulah cara JKW mencari 'settlement' - ia ingin rakyatnya tetap hidup.
Itu mengapa p @jokowi membuat satgas dan gugus tugas. Secara teknis, untuk memby-pass rantai birokrasi. Dalam kacamata settlement, ini cara JKW mengutamakan orang. Barangkali yg kelupaan, harusnya JKW sendiri yg memimpin penanganan COVID ini.
Di banyak negara, pemimpin tertinggi yg memimpin penanganan COVID. Jika saja p @jokowi melakukannya, barangkali penanganan COVID akan lebih efisien dan efektif, dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Yg sy lihat dalam cara p @jokowi merespon pandami, adalah caranya menghidupi realitas: antara kesehatan dan ekonomi. JKW benar, bahwa tidak bisa dipilih satu dari yg lain. Namun yg sharusnya JKW bisa lebih tegas lagi: prioritas kesehatan musti lebih tinggi.
Tapi dari kacamata kebijakan, jelas apa yg dicari p @jokowi tentang settlement ini: agar rakyatnya survive. Itu mengapa JKW tetap populer dan mendapat trust, mungkin di luar perkiraan para pengamat akademik.
Saya tdk mengatakan kita jangan mengkritik p @jokowi. Tidak. Kita malah mesti dan harus terus memberikan kritik ke JKW. Kita mesti mendorong kebijakan2 JKW berbasis pengetahuan dan ilmu. Bukan agar ilmu mendikte realitas, tapi agar kebijakan diterangi ilmu.
Jadi sy ingatkan sekali lagi: politik itu tentang situasi. Maka ia situasional, tidak ideal. Yg ideal ya hanya gagasan. Itulah mengapa dlm politik yg dicari bukanlah jawaban (solusi) permanen, tapi penyelesaian (settlement) meski hanya sementara.
Begitulah saya memahami p @jokowi dan kepemimpinannya. Tidak hanya saat saya masih di KSP, atau saat ini semasa pandemi. Tetapi mungkin juga nanti dan seterusnya. Dan ini berlaku bagi semua yg hidup di dunia politik.
Demikian tanggapan saya atas paparan @benjaminbland di webinar @iseas hari ini. Semoga berguna.

Akhir utas.
waduh. baru nyadar salah tahun. 2020. saya bukan datang dari masa depan. kalau iya, saya sudah akan tahu akhir cerita covad-covid ini .. 😎😁

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Yanuar Nugroho

Yanuar Nugroho Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @yanuarnugroho

Aug 31, 2023
ini keputusan @Kemdikbud_RI yg saya dukung sepenuhnya. kewajiban publikasi di jurnal u/ S2-S3 mmg justru merusak kinerja akademik scr umum krn banjir tulisan 'sampah' di jurnal 'sampah'.

satu hal yg mesti dipikirkan lbh lanjut: menjaga kualitas lulusan.

tekno.tempo.co/read/1765957/a…
menjaga kualitas lulusan ini penting. khususnya S3. untuk negara berkembang, publikasi di jurnal mungkin bisa menjadi salah satu alat menjaga mutu. mungkin.

kekhawatiran saya, inflasi doktor. prodi S3 yg tidak mensyaratkan publikasi mungkin akan diserbu. karena gampang lulusnya.
apalagi sdh jadi rahasia umum bhw selain maraknya pemberian Dr HC (honoris causa: jadi doktor karena memberi honor #eh 😋) kepada para pejabat, banyak yang ingin jadi doktor dengan cara mudah untuk bisa segera naik pangkat di pekerjaannya. mengapa? karena mmg begitu sistemnya. 😥
Read 6 tweets
Aug 20, 2023
kemarin 4-in-1, lalu masker. sekarang WFH. besok modifikasi cuaca, lalu entah apa ...

gimana kalau mikir agak panjang dikit. ini soal baku mutu udara. itu yang mesti diperbaiki.

Menhub Ungkap Hasil Rapat di Kantor Luhut: Seluruh Kementerian Sepakat WFH
kumparan.com/kumparannews/2…
baku mutu udara yang jebol ini penyebabnya macam-macam. di antara yang gede: transportasi, industri-konstruksi, PLTU batu bara, juga pembakaran terbuka.

nah, gimana kalau solusinya diarahkan ke sana? bentuk satgas misalnya. bikin rencana kerja, target, dan peta jalan.
bolehlah maskeran dan WFH (kalau 4-in-1 coba pikirin lagi, kenapa dulu 3-in-1 dihapus) utk sementara sambil solusi mendasar menaikkan baku mutu udara dilakukan.

udah, itu aja.

simpel? gak juga, karena banyak kepentingan di belakang penyebab ambrolnya baku mutu udara ini kan?
Read 12 tweets
Feb 27, 2023
orang pamer karena identitas dan rasa keberadaannya 'lekat' pada apa yang dipamerkan. ada yang pamer harta, rumah, kendaraan, jabatan, gelar. bahkan pamer anggota keluarga --suami, istri, anak.

salah? mungkin tidak.
pantas? nah itu masalahnya.
kepantasan, dalam bahasa latin: 'decorum' -- merujuk pada gugus sikap, pemikiran, tindakan, perilaku yang 'baik dan sesuai pada tempatnya' (a particular requirement of good taste and propriety).

dari sini saja sudah bisa dinilai, pantaskah pamer?
jika 'sesuai pada tempatnya' ya boleh-boleh saja. misalnya memajang gelar Prof, atau PhD, atau Dr di lingkungan kampus, ya itu wajar, pantas. tapi di luar itu, apalagi sampai mencari-cari dan berusaha membeli gelar Prof (HC), Dr (HC) yang rame diberitakan, ya itu tidak pantas.
Read 15 tweets
Mar 14, 2022
betul kata p @jokowi wacana penundaan pemilu tak bisa dilarang.

jadi, ditandingi saja wacana itu dengan wacana penolakan penundaan pemilu. demokrasi yang baru seumur jagung di negeri ini jangan dibiarkan mati. jangan ulangi kelamnya sejarah orde baru.

nasional.kompas.com/read/2022/03/0…
mengapa pemilu mesti ditunda? apa alasannya? covid? menjaga perekonomian? memastikan legacy agar tidak mangkrak? perang rusia-ukraina? tidak ada pengganti pak jokowi yang lebih cakap?

itu semua alasan yang mengada-ada. pikirkan dengan jernih. dengarkan hati nurani.
tentu seperti kata p @jokowi di @kompascom itu, usulan penundaan pemilu yang juga disertai penolakan merupakan dinamika politik yang biasa muncul. tapi tentu kita bisa menelaah: mengapa soal dinamika penundaan pemilu ini jadi perkara besar?
Read 18 tweets
Feb 28, 2022
pemilu hanya bisa ditunda dalam situasi darurat. jangan cari2 alasan menunda pemilu krn itu hny akan merusak demokrasi dan mencederai seluruh alasan reformasi.

dari 270 juta orang indonesia, pasti ada yg bisa memimpin dgn baik, malah lebih baik. gak gampang, tapi harus dicari.
iya, sebagian dari kita khawatir belum ada pengganti pak @jokowi yg sebaik beliau.

tapi apakah kita tidak lebih khawatir kalau kita tidak bisa menemukan pemimpin masa depan yang sama baiknya, atau malah lebih baik?
jangan tunda pemilu. parpol dan ormas jgn bikin alasan mengada2. justru: perbaiki kinerja, siapkan diri, ajukan kandidat2 yg bermutu agar rakyat punya pilihan2 yg baik. kalau tak bisa, artinya selama ini parpol dan ormas gagal melakukan pembibitan calon2 pemimpin di negeri ini.
Read 4 tweets
Oct 30, 2021
Ini cerita ttg penanganan korona dari negeri tetangga.

Hari ini tiga minggu lebih saya di Singapura. Memenuhi undangan sbg Senior Fellow di Lee Kuan Yew School of Public Policy di NUS.

Setiap kali ngobrol sama teman di tanah air, ditanya: gimana korona di sana? segawat apa?
Wajar sih ya pertanyaan itu. Karena entah bagaimana berita yang masuk ke tanah air ttg situasi di Singapura ini memang membuat panik. Diberitakan angka penularan yang tinggi, rumah sakit kewalahan, bahkan sampai yang mati banyak sekali.

Saya juga sempat khawatir.
Nah, kita lihat dulu data. Bukan katanya. Datanya ini. Google saja "Singapore Covid Cases." Akan keluar data ini. Ini angka per 29 Oktober. Ingat populasinya 5,9 juta orang, di mana sekitar 3,5 juta warganegara, sisanya pemegang ijin tinggal dan kerja.
Read 26 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(