Sangat menyenangkan kalau liburan diisi dengan pergi ke pantai bersama sahabat.
Tapi akan jadi trauma mendalam kalau akhirnya malah terjebak di tempat dan waktu yang salah.
Alena akan bercerita pengalaman seramnya ketika berlibur di Pangandaran, di sini, di Briistory..
***
“Lo denger gak?” Bisik Della pelan, sambil menatapku yang duduk di sampingnya.
“Denger apaan?” Jawabku.
“Kecilin tv-nya coba bentar.” Kata Della lagi.
Aku turuti kemauannya, lalu mengecilkan volume suara tv.
Kemudian hening, karena villa sebesar ini hanya berisi kami berdua,
“Ah, gak ada suara apa-apa Dellaaaaaa. Udah ah, lagi seru nih acaranya.” Begitu aku bilang ketika sudah mengecilkan volume tv tapi tetap gak mendengar suara apa-apa.
“Tadi ada suara, gw denger, sekarang hilang.” Jawab Della..
Sudah jam 11 malam, Devin dan Bayu belum juga kembali, tadi jam sembilan sebelum pergi mereka bilang mau ke luar sebentar cari minuman.
Wajah Della masih terlihat penasaran, sepertinya dia yakin kalau tadi sempat mendengar suara dari lantai dua, tapi belum jelas itu suara apa.
Aku coba untuk berpura-pura mengabaikan sikapnya itu, sampai akhirnya dia ikut larut juga menyaksikan acara tv yang aku tonton.
Ada apa di Lantai dua? Apa yang Della dengar?
***
Aku Alena. Della, Devin, dan Bayu adalah sahabat dekatku, kami sudah berteman sejak kecil, karena kebetulan tinggal dalam satu komplek perumahan di Jakarta.
Bukan kebetulan juga kalau kami jadi lebih akrab dibanding dengan teman-teman yang lain di perumahan tempat tinggal, banyak persamaan yang kami miliki, salah satunya adalah senang jalan-jalan, berpertualang ke tempat baru.
Sudah banyak pengalaman yang kami lalui bersama hingga sampai sampai duduk di bangku kuliah saat ini. Dari banyaknya pengalaman yang kami miliki, ada pengalaman seram yang masih membekas di dalam ingatan sampai saat ini.
Yaitu pengalaman seram ketika menginap di satu villa di Pangandaran, Jawa Barat.
Pertengahan tahun 2016, bertepatan dengan masa libur perkuliahan, Devin punya ide untuk menghabiskan beberapa hari di daerah pantai.
Setelah ide dilempar dan berembuk, kami sepakat untuk menjadikan Pangandaran sebagai tujuannya.
Pangandaran terkenal sebagai tempat wisata di ujung timur bagian selatan Jawa Barat.
Gak perlu diragukan lagi keindahannya, pantai landai tanpa karang, pasir putihnya membentang, sungguh tempat yang sempurna untuk melepas penat melarikan diri dari pengapnya udara metropolitan.
“Naaahh, gw udah brosing-brosing nih, ada villa besar dan asri, gak mahal juga. Gak di pinggir pantai banget sih, harus jalan kaki sebentar kalo mau ke pantai, tapi depannya sungai besar, bolak balik ada perahu suka lewat,” Begitu Devin bilang, panjang lebar dia menjelaskan.
Gak butuh diskusi panjang dan lama, akhirnya kami sepakat memutuskan untuk berlibur di Pangandaran selama beberapa hari, akan menginap di villa pilihan Devin.
***
Di satu rabu pagi kami berangkat dari Jakarta.
Pagi cerah dan indah, kendaraan yang kami tumpangi menyusuri jalan mengarah ke sisi selatan pulau Jawa.
Ini adalah pertama kalinya wisata ke Pangandaran, jadi benar-benar tempat baru buat kami kunjungi, makanya kami sangat excited.
Senda gurau dan tawa lepas mewarnai perjalanan, rentang waktu delapan jam jadi gak terasa, sekitar jam tiga sore akhirnya kami sampai di tujuan.
Sesampainya di lokasi, kami baru tahu kalau ternyata letak villa agak jauh dari pantai Pangandaran, kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam lagi.
Jadi, letak villa-nya lebih dekat ke pantai Batu Karas, dan juga benar kata Devin, villa berada persis di sisi sungai yang cukup besar, benar-benar menghadap ke sungai itu.
Cukup indah, walaupun bukan bangunan baru tapi villa bertingkat dua ini sangat bersih dan terawat. Pagar tinggi mengelilingi wilayah luasnya, beberapa pohon besar berdiri kokoh di halaman depan dan belakang.
Kanan kiri villa hanya ada tanah kosong yang dipenuhi oleh pepohonan liar, jauh dari bangunan lain.
Bapak penjaga villa mendampingi kami berkeliling sambil menjelaskan semuanya, Pak Ilham namanya.
Pak Ilham ini gak tinggal di villa, tapi tinggal di rumahnya yang gak jauh dari lokasi villa. Beliau ditugaskan untuk merawat dan membersihkan villa oleh sang pemilik.
“Pak Ilham kenapa gak tinggal di sini aja?” Tanya Bayu penasaran.
“Kalo lagi gak ada tamu, kadang menginap di sini, tapi jarang banget, soalnya rumah saya kan dekat.” Begitu jawab pak Ilham.
“Trus kalo malam, villa ini lebih sering kosong?” Aku ikut menimpali.
“Iya neng, kosong terus, tapi tenang aja, semuanya bersih dan terawat kok, hehe. Kalo ada apa-apa tinggal telpon hp saya, 24 jam siap, hehe.” Jawab Pak Ilham lagi.
Benar kata beliau, villa ini beserta lingkungannya memang bersih dan terawat, hampir-hampir gak ada debu yang kelihatan.
Di lantai satu ada satu kamar, dan satu kamar mandi. Ruang tengahnya besar, memanjang jadi satu dengan meja makan dan dapur.
Di lantai atas ada dua kamar dan satu kamar mandi, ada ruang tengah juga tapi hanya berisi beberapa kursi mengelilingi meja rotan.
Oh iya, di lantai atas ada teras depan, sangat nyaman terasnya, menghadap langsung ke halaman rumah dan sungai besar di depan.
Sungai yang sepertinya termasuk jalur wisata, sesekali terlihat ada perahu bermesin kecil berisi wisatawan.
“Oh itu perahu yang nganter ke grand canyon di sebelah sana, bagus tempatnya.” Begitu kata Pak Ilham menjelaskan ketika kami menanyakan perihal perahu yang melintas depan villa.
Begitulah gambaran villa yang kami tempati, rencananya kami akan menginap sampai hari minggu.
Itu rencananya.
***
Aliran sungai yang tenang, dengan latar langit biru berbintang tanpa awan. Kami menikmati betul suasana malam pertama di teras atas.
Perbincangan seru sesekali diselingi gelak tawa memecah keheningan malam di tempat agak terpencil ini.
Nyanyian merdu suara Della yang memang seorang penyanyi serta diiringi permainan gitar Bayu, jadi latar menambah ceria suasana.
Sungguh saat-saat yang menyengangkan.
“Ayok Bay, cabut ah, udah jam sembilan nih.” Tiba-tiba Devin bilang begitu.
“Mau pada ke mana sih?” Tanyaku.
“Beli minum di depan sebentar.” Kata Bayu menimpali.
“Jangan lama-lama ya lo pada. Gak mau gw sama Alena sendirian di sini, sepinya gila” Della ikutan sedikit ngomel.
“Iyaaaa, bentaran aja kok, manja banget.” Sungut Devin.
Singkatnya, Mereka berdua akhirnya benar-benar pergi, meninggalkan aku dan Della sendirian di teras atas.
Malam itu, sama sekali gak ada perahu yang melintas di sungai, gak seperti sore hari tadi, sama sekali sepi dan tentu saja gelap.
Untungnya cahaya dari langit membantu sedikit penerangan, tapi tetap saja kami gak bisa melihat sekitaran sungai secara detail.
Sepeninggal Devin dan Bayu, aku dan Della melanjutkan obrolan, sukurlah gak jadi membosankan karena kami malah lebih banyak topik yang bisa dibahas.
Sampai akhirnya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Walaupun masih termasuk daerah pesisir, tapi udara di villa ini termasuk sejuk, mungkin karena jarak ke pantai masih cukup jauh ditambah banyaknya pepohonan di sekeliling.
Di saat ketika kami sudah banyak jeda obrolan, alias saling diam larut dalam lamunan, tiba-tiba aku melihat ada bayangan yang muncul dari arah sungai.
Bayangan itu bergerak masuk ke pekarangan villa, berbentuk seperti anak kecil, perempuan.
“Eh eh eh. Lo liat gak barusan Del?” Tanyaku sambil menegakkan posisi duduk.
“Liat apaan?” Jawab Della dengan tanya.
“Kayak ada bayangan anak kecil masuk ke villa”
“Ah lo jangan macem-macem deh, udah malem nih, mana anak dua itu lagi pergi lagi.”
“Asli, gw liat bayangan.”
“Alena! Gak ada aaahh.”
“Hahaha, iya iya, mungkin gw salah liat.” Tutupku menenangkan Della.
Mungkinkah aku salah lihat? Saat itu gak tahu.
Lalu kami kembali diam, tenggelam dalam lamunan, menikmati malam yang semakin larut.
“Alena, masuk aja yuk, nonton tv aja, sambil nunggu anak dua itu pulang.” Tiba-tiba Della melontarkan ide.
“Ya udah yuk masuk, anginnya juga mulai kenceng nih.” Aku setuju.
Lalu kami masuk, menuju ruang tengah lantai satu.
Di dalam, kami duduk di depan tv, di ruang tengah lantai bawah.
Lampu terang benderang kami biarkan semuanya menyala. Udara di dalam lebih hangat, mungkin karena agak tertutup, angin malam sedikit terhambat untuk masuk.
Sampai akhirnya, gak terasa sudah setengah jam kami menonton tv, kebetulan waktu itu acaranya cukup membuataku tertarik, sampai-sampai pikiranku teralihkan dari gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Della.
Iya, bukannya gak sadar itu, tapi aku memperhatikan kalau Della kelihatan sedikit resah, seperti ada yang mengusik pikirannya, tapi aku terus memaksa diri untuk gak peduli, coba untuk fokus menonton tv.
Della beberapa kali melihat tangga, lalu memperhatikan ke atas, ke lantai dua.
Hingga akhirnya Della gak tahan lagi, dia bicara juga.
“Lo denger gak?” Bisik Della pelan, sambil menatapku.
“Denger apaan?” Jawabku.
“Kecilin tv-nya coba bentar.” Kata Della lagi.
Aku turuti kemauannya, lalu mengecilkan volume suara tv.
Kemudian hening, sangat sepi.
“Ah, gak ada suara apa-apa Dellaaaaaa. Udah ah, lagi seru nih acaranya.”
Begitu aku bilang ketika sudah mengecilkan volume tv tapi tetap gak mendengar suara apa-apa.
“Tadi ada suara, gw denger, sekarang hilang.” Jawab Della.
Wajah Della masih terlihat penasaran, dia kelihatan masih yakin kalau tadi sempat mendengar suara dari lantai dua, tapi jelas itu suara apa. Aku coba untuk berpura-pura mengabaikan sikapnya lagi, sampai akhirnya dia ikut larut juga menyaksikan acara tv yang aku tonton. Sukurlah.
Aku bukannya gak mendengar apa yang mungkin Della tadi maksudkan, aku dengar juga.
Terdengar ada langkah kaki di lantai atas, langkah-langkah kecil seperti sedang berlarian, bolak balik dari belakang sampai ke teras depan.
Aku dengar semuanya, tapi berusaha untuk terus mengabaikan sampai akhirnya melihat gelagat Della.
Aku bohong dengan tujuan agar Della gak jadi parno, karena dia penakutnya keterlaluan.
Sudah jam 11 lewat, Devin dan Bayu belum balik juga, entah nyangkut di mana mereka berdua.
Lalu kami terus menonton tv, sambil berusaha menahan kantuk yang mulai datang.
Della masih kelihatan penasaran, di balik gelak tawanya masih terlihat kalau dia merasakan ada yang aneh, sesekali masih saja memperhatikan tangga.
Berikutnya, tiba-tiba Della merebut remot tv, lalu mengecilkan suaranya lagi..
Lalu..
Duk, duk, duk, duk..
Terdengar suara seperti itu,
Aku gak bisa bohong lagi, karena kami mendengarnya bersama-sama.
“Tuh, lo denger gak.” Tanya Della nyaris berbisik.
Aku mengangguk.
“Ada yang lari-larian di atas, Alena.” Suara Della mulai gemetar, dia ketakutan.
“Udah biarin aja, nonton tv lagi aja. Gedein lagi suaranya coba.” Aku merebut lagi remot tv, lalu membesarkan volumenya.
Iya, benar, ada suara langkah kaki kecil berlarian di lantai dua, sangat jelas kami mendengarnya.
Della kelihatan ketakutan, aku juga sama, tapi mau gimana lagi. Kami jauh dari mana-mana, di luar gelap, kendaraan gak ada.
Della terus saja memperhatikan tangga, sementara langkah kaki kasih kedengaran sesekali walaupun samar tertutup suara tv.
Sampai akhirnya, kami mendengar suara pagar depan terbuka, aku lari ke jendela untuk melihatnya. Ternyata itu Devin dan Bayu, akhirnya mereka pulang.
***
Iklan sebentar ya, ada yang baru di youtube gw. 🤭
Bantu subscribe and share kalau berkenan. Trimakasi ❤️
Lanjut ya, balik ke Alena lagi..
Kamis pagi, aku menyiapkan sarapan untuk kami semua, nasi goreng andalanku jadi sajiannya.
Suasana pagi hari yang cukup indah, sesekali suara mesin perahu terdengar dari arah sungai, juga banyak penduduk setempat sedang berjalan kaki menuju pantai lewat jalan yang ada persis di depan villa.
“Ah makan lo lama, ayok buruan ngapa, biar cepetan jalan ke pantai.” Devin mulai menggerutu, dia ingin cepat-cepat ke pantai.
“Iya, sabar, ini bentar lagi beres,” Jawabku.
Singkatnya, setelah selesai sarapan lalu kami berangkat ke pantai, untuk menikmati suasana pagi di pinggir laut selatan.
Jarak pantai dari villa sekitar 10 menit berjalan kaki, kurang lebih.
Benar dugaan kami, suasana pagi di pantai sangat indah. Menikmati tenangnya air laut yang nyaris tanpa gelombang, gak ada angin sama sekali.
Terlihat beberapa rombongan nelayan menarik jala panjang dari tengah laut, kami memperhatikan semuanya.
Beneran, suasana pagi hari di pantai memang gak ada duanya, aku sangat menyukainya.
Tapi, sekitar jam delapan, ada sesuatu yang mengharuskanku untuk kembali ke villa.
“Aduh, gw mules, pingin pup, gimana ini.” Aku sakit perut.
“Aaaaah, kebiasaan, merusak suasana, udah tuh numpang di warung itu aja.” Bayu agak emosi bilang begitu sambil tangannya menunjuk ke arah warung pinggir pantai.
“Ah gak bisa Baaayy, gw harus balik ke villa, ayo ah anterin.” Aku memelas.
“Gak mau ah, Vin lo aja gih yang anter Alena.” Bayu bilang begitu ke Devin.
“Ya udah ayok buruan, gw juga agak mules sih.” Begitu Devin bilang sambil cengar cengir.
Ya sudah, akhirnya aku dan Devin jalan pulang lagi ke Villa.
Singkat cerita lagi, gak lama kemudian kami sampai.
“Gw ke warung dulu ya, beli rokok. Gak jauh kok warungnya, tuh di sana.” Begitu Devin bilang ketika kami sudah berada di depan pagar.
“Ya udah buruan, jangan lama-lama, gw pingin ke pantai lagi.” Jawabku.
Setelah itu aku masuk ke dalam villa, sementara Devin lanjut berjalan ke arah jalan raya, menuju toko untuk membeli rokok.
Karena sudah gak tahan lagi, aku langsung lari menuju kamar mandi lantai bawah, yang letaknya di belakang.
Aaahh, lega rasanya, setelah sudah berada di toilet dan melepas hajat.
Sudah selesai, aku masih duduk di atas toilet, melamun sebentar sebelum bersih-bersih.
Tapi, kemudian lamunanku buyar, ketika tiba-tiba mendengar suara langkah-langkah kaki, langkah kaki yang sepertinya sama persis dengan yang aku dan Della dengar malam sebelumnya.
Suaranya seperti suara langkah anak kecil berlarian, kali ini di lantai bawah. Terdengar jelas, karena memang dekat, di ruang tengah.
Aku memperhatikan langkah-langkah kaki itu, terus menajamkan pendengaran dari dalam kamar mandi.
Benar, sangat jelas kalau sepertinya ada anak kecil yang sedang berlarian di ruang tengah. Aku hanya bisa diam, ketakutan.
Semakin takut lagi ketika langkah kaki itu tiba-tiba berhenti, berhenti tepat di depan pintu kamar mandi!
Ya Tuhan, apa yang harus lakukan?
Diam, gak berani bergerak sedikit pun supaya gak menghasilkan suara. Aku sangat yakin si pemilik langkah kaki itu sedang berdiri di balik pintu.
Beberapa saat lamanya situasi seperti itu..
Aku merinding ketakutan, nyaris menangis.
Lalu langkah kaki terdengar lagi, kali ini menjauh dari pintu, menuju ruang tengah. Aku terus mengikuti pergerakannya.
Kemudian langkah kaki berhenti lagi, kali ini berhenti di ruang tengah. Lalu tiba-tiba terdengar keras suara tv..
Tv yang aku sangat yakin dalam keadaan mati ketika masuk tadi, tiba-tiba terdengar menyala dengan sendirinya, dengan suara yang benar-benar keras.
Aku menangis pelan, ketakutan, gak berani keluar..
Tapi..
“Alenaaaaa, lo nyalain tv kenceng banget sih? Biar kedengeran sampe kamar mandi maksudnya?”
Terima kasih Tuhan, akhirnya aku mendengar suara Devin, kemudian buru-buru keluar kamar mandi.
“Yuk ah ke pantai lagi.” Aku menarik tangan Devin, mengajaknya untuk buru-buru meninggalkan villa.
Peristiwa pagi itu sengaja gak aku ceritakan kepada teman-teman lainnya, aku gak mau merusak suasana liburan, walaupun kejadiannya cukup membuatku berpikir tentang siapakah pemilik langkah-langkah kaki itu?.
***
Hai balik lagi ke gw ya, Brii.
Mohon maaf, dengan terpaksa cerita malam ini harus selesai dan harus disambung minggu depan karena ada sedikit kendala teknis, sangat gak memungkinkan untuk dilanjut sekarang.
Padahal sungguh sangat seram, di malam berikutnya mereka tinggal di villa itu, gw janji minggu depan dilanjut lagi.
Tetap jaga kesehatan, jalankan protokol kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
Met bobok, semoga mimpi indah..
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seperti suara, ada tapi gak terlihat. Susuran ruang dan waktu sering kali gak sesuai capaian akal, atau mungkin kita belum sampai ke tahapan itu.
Raka akan bercerita tentang perjalanannya ke Jogja yang berbelok entah ke mana.
Simak semuanya di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Di luar gerimis, jendela kereta basah tapi gak terlalu. Atap rumah-rumah yang terlewati kelihatan basah, begitu juga jalanan. Lampu kota gak seterang malam awal, apa lagi ini bukan Jakarta, penerangan seadanya, rumah-rumah hanya menyalakan lampu kecil, banyak juga yang malah nggak ada penerangan, tapi semuanya akan sedikit berubah ketika kereta mulai memasuki Jogjakarta.
(Katanya) Ada banyak lapisan dimensi di alam ini, tapi gak banyak orang yang bisa masuk dan merasakan berada di dalam dimensi lain.
Menurut kamu, apakah Niko sedang menembus antar dimensi ketika tersesat di kaki Gunung Kerinci seperti ceritanya di bawah ini?
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
Jarak pandang jadi sangat pendek karena tertutup kabut tebal, jalan setapak yang tidak rata serta licin jadi medan berat yang harus dilalui. Tas ransel besar di punggung makin terasa berat. Udara sangat dingin.
Aku tidak tahu harus melangkah ke mana..
Jalan setapak ini kadang menanjak, kadang menurun, tapi sepertinya lebih banyak menurun jadi sepertinya ini sudah ke arah yang benar, yaitu ke kaki gunung. Syukur-syukur kalau bisa menemui sungai, aku bisa menyusuri arusnya menuju hilir yang sudah pasti ada pemukiman di sana. Tapi, entah sudah berapa jam berjalan tanpa arah seperti ini, aku belum juga menemukan aliran sungai, suara air mengalir pun tidak terdengar, apa lagi pemukiman penduduk, tidak ada sama sekali.
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.
Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.
Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.
Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.
Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Satu batang lagi, ah”
Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.
Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.