How to get URL link on X (Twitter) App
“Cepat Mas, kereta sebentar lagi jalan,” ucap Wenda lagi,
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
“Satu batang lagi, ah”
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
~Pada suatu malam, di pertengahan tahun 1995~
Hilir mudik beberapa pekerja kantoran di depan gedung ini seenggaknya bisa membuatku tenang sedikit, setelah baru saja mengalami kejadian yang sungguh membuat shock.
“Gludug, gludug, gludug..”
Bali, salah satu destinasi wisata dunia, gak bisa diperdebatkan lagi kalau ini adalah tempat yang sangat indah dan menyenangkan.
Sementara itu, Wahyu masih terus berusaha memperbaiki motor, semampunya, bekerja dalam gelap.
Kali ini, akhirnya gw memaksa diri untuk mulai menceritakan semuanya satu persatu, dengan segala resikonya.
Perias pengantin, satu profesi yang cukup banyak orang kenal, profesi yang mungkin sudah ada sejak ratusan tahun lalu, profesi yang banyak digeluti oleh kaum wanita.
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
~Lampung, Circa 1998~
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Suara itu lagi, walaupun sudah pernah mendengar sebelumnya, tetap saja aku terkejut, tetap menoleh ke pintu walau tahu masih dalam keadaan tertutup.
“Ada, Mas. Gak jauh lagi, kok.”