LIMA CARA MENGUKUR DIRI AGAR BERSIKAP TAWADHU/RENDAH HATI
Sikap sombong sangat dilarang agama karena sombong merupakan salah satu sifat setan
Karena itu, perlu latihan mengukur kemampuan diri sendiri agar tidak terjebak dalam kesombongan
Lima cara untuk mengukur diri agar bersikap tawadhu seperti yang tertuang dalam kitab Bidayatul Hidayah, karangan Imam al-Ghazali
Berikut lima resep agar bisa tawadhu
1. Apabila engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimu, 'Orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku.
2. Apabila engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu, “Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku”
3. Apabila engkau melihat org alim (berilmu) katakan dalam hatimu “Org ini sudah diberi kelebihan yg tdk diberikan kepadaku
Dia menyampaikan suatu kebaikan kpd org lain sedangkan aku tdk menyampaikan apa2
Dia tahu hukum2 yg tdk aku tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama denganya?”
4. Apabila engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu, 'Orang ini durhaka kepada Allah kerana ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku.
Maka hukuman Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini.
5. Apabila engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu, “Aku tidak tahu, boleh jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut dari timbunan tepung.
Sedangkan aku, boleh jadi tersesat dari Allah (karena ujub memuja diri dan memandang rendah org lain) dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini boleh jadi besok menjadi orang yg dekat dgn Allah dan aku menjadi orang yg jauh dari Allah”
Firman Allah SWT dalam Alquran :
Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci (dibanding orang lain) Dia (Allah) lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa
(Surah an-Najm ayat 32)
Semoga bermanfaat 🙏🏿🌹
Kitab Bidayatul Hidayah, karangan Imam Al-Ghazali Rahimahullah
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab An Najdi mengkafirkan Ulama Terdahulu, bahkan menganggap dirinya sendiri Kafir sebelum mengaku menerima anugrah/wahyu dari Allah tanpa perantara Guru
“Aku pada waktu itu tidak mengerti makna La ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut.
Barang siapa yang berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna La ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta mereka-reka (kebohongan),
أقوال علماء المذاهب الأربعة في الحركة الوهّابية (أدعياء السلفية زورا)
Wahabi Menurut Empat Madzhab.
Pendapat para ulama dari empat mazhab terhadap gerakan Wahabi (yang mengaku-ngaku sebagai Salafi secara dusta):
1- المذهب الحنفي:
مفتي الحنفية الشيخ الفقيه ابن
عابدين الحنفي، فقد سمى الوهابية (خوارج هذا الزمن) كما في كتابه (حاشية رد المحتار على الدر المختار شرح تنوير الأبصار في مذهب الإمام أبي حنيفة النعمان) في باب البغاة.
1. Mazhab Hanafi:
Mufti Hanafiyah, Syaikh al-Faqih Ibn ‘Abidin al-Hanafi, menyebut gerakan Wahhabi sebagai “Khawarij pada zaman ini”.
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sepakat (ijma’) menghukumi kafir terhadap orang-orang yang meyakini bahwa Allah menempati suatu arah, dan orang-orang yang meyakini bahwa Allah adalah jism/benda yang tersusun dari bagian-bagian.
📚 Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Minhaj al-Qawim, juz 1, hal 144, as-suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nazha-ir, hal 488, Mulla Ali al-Qari dalam Mirqatul Mafatih, juz 3, hal 924, Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’, juz 4, hal 648
Imam asy-Syafi’i mengkafirkan seseorang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy.
📚Ibn ar-Rif’ah dalam Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih, juz 4, hal 24, Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi, hal 551
Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa dekat dan jauh yang disifatkan kepada Allah tidak boleh difahami dengan makna jarak pendek atau panjang. Imam Abu Hanifah berkata :
وَلَيْسَ قرب الله تَعَالَى وَلَا بعده من طَرِيق طول الْمسَافَة وقصرها وَلَكِن على معنى الْكَرَامَة والهوان والمطيع قريب مِنْهُ بِلَا كَيفَ والعاصي بعيد مِنْهُ بِلَا كَيفَ
Dekatnya Allah dan jauhnya bukan dari makna jarak panjang dan pendek, akan tetapi berdasarkan makna kemuliaan dan kehinaan.