1. “Apakah umat Kristen dan Muslim Menyembah Tuhan Yang Sama”
Setelah diskusikan kerangka teoritis dan pandangan ttg keragaman agama dalam Kristen dan Islam, minggu ini kita mulai bicara topik tertentu, yakni menjawab pertanyaan” Apakah Kristen dan Muslim menyembah satu Tuhan?”
2. Kita sudah di bagian akhir silabus, yakni hendak membicarakan tema-tema tertentu, misalnya, minggu depan tentang konsepsi wahyu dalam Kristen dan Islam, dan berikutnya tentang “Qur’an”, “Bible”, “Yesus”, “Muhammad”, “Agama Ibrahim”, “Pindah Agama,” dan seterusnya.
3. Pertanyaan “Apakah Kristen dan Muslim menyembah Tuhan satu yang sama?” tidak mudah dijawab. Beberapa buku telah ditulis. Sebagai pengantar diskusi, saya memilih buku “Allah: A Christian Response” karya Miroslav Volf, profesor di Yale University.
4. Secara teoritis, umat Kristen lebih sulit menjawab pertanyaan tersebut secara afirmatif ketimbang kaum Muslim. Al-Qur’an cukup eksplisit menegaskan “Tuhan kaum Muslim” dan “Tuhan ahlul kitab” adalah satu Tuhan yang sama, seperti disebutkan dalam surat al-Ankabut ayat 46.
5. Penegasan Qur’an itu menarik, karena kitab suci kaum Muslim mengkritik doktrin Kristen tentang ketuhanan Yesus dan doktrin Trinitas. Kendati demikian, Qur’an memerintahkan kaum Muslim utk mengakui Tuhan umat Kristen sebagai Tuhan yang sama yang diimani kaum Muslim juga.
6. Kesulitan yang dihadapi umat Kristen ialah karena tidak adanya penegasan dalam Alkitab, sesuatu yang wajar karena Islam muncul setelah Alkitab menjadi teks Kanon yang tak mungkin ditambah. Apa dasar umat Kristen mengakui Tuhannya kaum Muslim?
7. Kesulitan kedua ialah karena keyakinan bahwa Yesus ialah inkarnasi Tuhan, yang ditolak oleh kaum Muslim. Jika Yesus adalah Tuhan yang ditolak kaum Muslim, bagaimana mungkin Kristen dapat mengakui Tuhannya kaum Muslim? Kesulitan lain ialah karena deskripsi Tuhan yang berbeda.
8. Volf mendiskusikan dua kesulitan terakhir. Yang pertama memang harus diterima apa adanya. Untuk mengantisipasi argumennya: Bagi Volf, jawaban pertanyaan di atas bersifat afirmatif. Ya, umat Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama.
9. Dia mengajukan dua argument utama. Pertama, sebenarnya umat Kristen membenarkan kritik Qur’an, sebab yang dikirik kitab suci kaum Muslim adalah keyakinan yang juga ditolak oleh umat Kristen sendiri. Mereka yg sudah baca buku saya “Polemik Kitab Suci” akan paham kata Volf itu.
10. Argumen kedua cukup menarik. Baginya, tak ada alasan umat Kristen mengingkari Tuhan kaum Muslim hanya karena yg terakhir menolak ketuhanan Yesus. Sebab, Yahudi juga menolak ketuhanan Yesus tapi mereka dianggap menyembah Tuhan yang sama yg disembah umat Kristen.
11. Ini argumen menarik. Sebab, Yahudi bukan hanya menalak ketuhanan Yesus. Bahkan, mereka menolak bahwa Yesus adalah al-Masih, yang diakui kaum Muslim. Lebih dari itu, Yahudi lah yang menyalib Yesus. Walaupun demikian, Tuhannya Perjanjian Lama adalah juga Tuhan Perjanjian Baru.
12. Volf menegaskan, memang Tuhan umat Kristen dan Muslim kerap dideskripsikan berbeda. Misalnya, kasih Tuhan dalam Kristen dianggap tak bersyarat. Tuhan bukan hanya mengasihi tanpa syarat, Dia juga digambarkan sebagai “kasih” itu sendiri.
13. Dalam Qur’an, kasih Tuhan itu bersyarat. Tuhan tidak mengasihi orang-orang yang berbuat jahat, misalnya. Volf mengajukan dua jawaban. Pertama, persamaan sifat-sifat Tuhan dalam Kristen dan Muslim lebih dominan dibanding perbedaannya.
14. Sifat-sifat yang utama, seperti “Tuhan adalah satu”, “Tuhan adalah pencipta”, “Tuhan adalah maha pengasih dan penyayang”, semua itu diakui oleh kedua agama. Kedua, apakah kasih Tuhan bersifat bersyarat atau tidak, bergantung pada titik tekan.
15. Misalnya, kasih Tuhan dalam Kristen memang tidak bersyarat, bersifat universal. Sementara Qur’an menekankan pada rahmat. Dalam surat al-A’raf ayat 56, “rahmat Tuhan” juga digambarkan tidak bersyarat, bersifat universal. Apakah kasih Tuhan berbeda dengan rahmat-Nya?
16. Pertanyaan yg bisa ditujukan pada Volf ialah: setelah menegaskan Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yg sama, lalu apa yg hendak dicapai? Apakah itu berimplikasi umat Kristen dan Muslim akan hidup berdampingan scr damai? Do we need to believe in a common God to achieve peace?
17. Monggo renungkan pertanyaan itu. Selamat berakhir pekan, wan-kawan!
1. "Iman dan Ilmu"
Beberapa orang menganggap iman dan ilmu itu bertolak belakang atau, setidaknya, memiliki dunianya sendiri yang tak saling mendukung. Iman adalah soal kepercayaan, dan ilmu berpusat pada pertanyaan. Ilmu berhenti ketika menyentuh wilayah iman.
2. Bagi sebagian kalangan, gambaran itu mungkin benar adanya. Iman semacam itu tidak mendorong pada pengetahuan, bahkan bisa menghalanginya. Tapi bagi sebagian yg lain, termasuk saya sendiri, iman tidak sestatis yang dibayangkan itu.
3. Saya bergaul dengan komunitas Katolik yang menjunjung tinggi postulat “faith seeking understanding” atau (dalam bahasa Latin) “Fides quaerens intellectum.”
Saya menghadiri banyak diskusi dan seminar di kampus di Amerika dan Eropa, tapi sedikit di Indonesia. Dari pengalaman yang sedikit itu saya melihat, biasanya, moderator di Indonesia banyak bicara.
2. Memberi kata pengantar panjang; setelah pembicara selesai bicara, dia merangkum pembicaraan, dan di akhir diskusi membuat kesimpulan. Jika dihitung, waktu yang digunakan moderator tidak lebih sedikit dari pembicara.
3. Artinya, dia menjadi pembicara tambahan. Dulu, saya mengira apa yang saya lihat itu hanya kebetulan saja. Ternyata, hal yang sama terjadi ketika saya sendiri jadi pembicara juga. Dari dulu hingga sekarang ya itu yang terjadi.
Salah satu yang ingin saya tunjukkan dalam bab 4 “Konteks Historis Al-Qur’an dan Narasi Alkitab”, dan bahkan keseluruhan buku “Rekontruksi Islam Historis”, ialah perkembangan kesarjanaan mutakhir yang luar biasa.
2. Jika di zaman pertengahan, Qur’an dilihat dengan kaca mata kebencian, dari abad ke-19 hingga sekarang kesarjanaan tentang hubungan al-Qur’an dan Alkitab mengalami pergeseran yang dapat diringkas sebagai berikut:
3. Abad ke-19 hingga awal 20-an, Qur’an dilihat bersifat derivatif. Yakni, Qur’an meminjam konsep dan ide keagamaan dari Yahudi atau Kristen. Sarjana-sarjana Yahudi dan Kristen seolah berlomba mengklaim Qur’an sebagai bagian dari tradisi agama mereka.
1. Menulis Artikel Jurnal
Saya menerima dua pertanyaan mengenai tulisan jurnal: Soal "standar akademis" dan status penulis. Saya akan menceritakan kebijakan dalam jurnal yang saya ikut mengelola, dan ini sudah saya sampaikan dlm bbrp pelatihan penulisan artikel jurnal.
2. Soal "standar akademis," bisa dilihat contoh artikel yang sudah dimuat. Setiap jurnal punya kebijakan dan penekanan berbeda. Misalnya, penulisan footnotes atau in-text citation. Itu sudah ada standarnya. Umumnya, jurnal akademis mengikuti cara Chicago.
3. Di ICMR, kami menginginkan tulisan yang mendiskusikan masalah secara jelas dan scholarly. "Jelas" maksudnya, tulisan mempunyai tesis yang hendak didiskusikan. Bukan artikel panjang-lebar, tapi tdk jelas apa masalahnya.
Di kalangan sejarawan, sumber-sumber pra-Islam kerap digunakan untuk melihat apakah kata “Arab” merujuk pada kelompok etnik tertentu di awal kemunculan Islam. Berikut penjelasan tambahan buku “Rekonstruksi Islam Historis.”
2. Penelitian seputar tema ini sudah cukup luas. Sumber-sumber itu meliputi Suriah kuno (Assyria: 800-600 sebelum masehi), Yunani klasik (600 SM – 100 M), dan sumber2 pra-Islam (abad 1-7 M). Riset mutakhir oleh Webb persoalkan bhw etnik grup Arab bisa diidentifikasi sebelum Islam
3. Kata derivatif yang mirip “Arab” mmng ditemukan dalam sumber2 itu, tapi tidak merujuk pada ethnonym atau grup etnik. Dari sumber Assyria, misalnnya, disebutkan pada thn 853 SM, Raja Syalmaneser III berperang melawan orang "Arba-a" dari gurun selatan Damaskus dipimpin Jindibu.
1. Orang Arab pra-Islam?
Salah satu bab favorit saya dalam "Rekonstruksi Islam Historis" ialah bab 10. Di situ saya mendiskusikan bahwa identitas etnik Arab merupakan produk Islam. Tidak ada bukti bahwa kata etnik Arab sudah digunakan sebelum Islam.
2. Penyebutan "Arab" bagi orang-orang yang sekarang disebut Arab itu tidak terkonfirmasi dalam bukti-bukti yang tersedia, baik inskripsi, syair-syair jahiliyah, ataupun sumber non-Muslim.
3. Ini temuan yang cukup "seru". Karya besar Jawad Ali yang berjudul "Al-Mufassal fi tarikh al-Arab qabl al-Islam" (Penjelasan sejarah Arab sebelum Islam) perlu disorot lebih kritis.