Brii Profile picture
Nov 12, 2020 124 tweets 14 min read Read on X
Terkadang, ada manusia yang seperti kehabisan akal, sampai harus menempuh jalan pintas penuh darah dan dosa. Bekerja sama dengan sesuatu yang seharusnya gak jadi tumpuan harap.

Malam ini teman kita Refty akan berbagi pengalaman seramnya.

Simak di sini, di BriiStory..

*** Image
Aku Refty, umurku 27 tahun. Aku akan bercerita tentang peristiwa seram yang aku alami 7 tahun yang lalu, ketika itu umurku masih 20 tahun.

Begini ceritanya..
Waktu itu tahun 2013.

Ketika itu aku tinggal di Malang, di rumah Tante May. Tante May adalah adik Bapakku yang nomor empat dari tujuh bersaudara, beliau tinggal di Malang karena memang bersama suaminya punya usaha di kota apel itu.
Suami Tante May, Om Roy, lebih sering ke luar kota dalam rangka mengurus bisnis yang digelutinya. Jadi, praktis hanya ada aku, Tante May, Rifka (anak laki-laki Tante May), dan tiga orang asisten yang membantu mengurus rumah dan segala keperluannya.
Iya, hanya kami berenam yang tinggal di rumah besar nan mewah ini.
Rumah mewah dan besar?

Benar, Tante May dan keluarga menempati rumah yang menurutku sangat besar dan mewah. Rumah dua lantai, memiliki 8 kamar besar, perabotan mahal mengisi setiap sudut ruangan.
Rumah ini juga berdiri di atas tanah yang sangat luas, nyaris satu hektar, karena itulah halaman dan pekarangan yang dimiliki jadi sangat luas juga.
Kolam renang besar mengiasi halaman belakang, panas matahari gak gampang menembus sampai permukaan air karena beberapa pohon besar dan rindang berdiri di sekelilingnya.
Jadinya, aku yang hanya seorang putri dari pemilik warung kelontongan di Jogja, jadi seperti tinggal di istana raja.

Lalu, kenapa aku bisa tinggal di rumah itu? Kenapa bisa tinggal di rumah Keluarga Tante May?

Begini,
Setelah lulus SMA di Jogja, aku sempat menganggur hampir selama satu tahun. Kenapa gak Kuliah? Bapak belum cukup punya uang untuk biayanya, aku bisa mengerti tentang hal itu.
“Ya sudah, tinggal di Malang saja, biar Tante dan Om yang membiayai kuliah kamu. Hitung-hitung sambil menemani Tante di rumah, supaya jadi agak ramai kan kalau ada kamu.”

Begitu ucapan Tante May ketika datang berkunjung dan mengetahui kalau aku menganggur setelah lulus sekolah.
Aku sungguh senang mendengarnya, kebaikan Tante May bisa jadi merupakan jalan keluar dari keinginanku untuk kuliah.
Ya sudah, singkat kata, Bapak dan Ibu setuju untuk aku berangkat ke Malang dan tinggal di rumah Tante May.
Hingga akhirnya, sekitar awal tahun 2013 aku memulai hidup di kota Malang, kota besar yang sama sekali belum pernah aku kunjungi sebelumnya.

***
Aku akan bercerita sedikit tentang keluarga Tante May.

Yang aku ingat, Tante May dan Om Roy menikah pada pertengahan tahun 90an, sebelumnya mereka adalah teman sekolah. Pernikahan mereka dikaruniai dua orang anak, Mala dan Rifka, Mala adalah anak pertama perempuan.
Lalu kenapa di awal cerita tadi aku hanya menyebutkan Rifka? Mala ke mana?

Mala sudah meninggal tahun 2008, meninggal tragis karena kecelakaan motor. Jadi, anak mereka hanya tinggal Rifka seorang.
Nah, Tante May dan Om Roy ini (aku tahu ceritanya dari Bapak dan Ibu) sebelum Mala meninggal hidup sangat pas-pasan, tinggal di Malang berpindah-pindah rumah kontrakan karena belum memiliki rumah sendiri.
Sering kali aku mendengar kalau mereka meminjam atau meminta uang dari kakak-kakaknya untuk sekadar menyambung hidup.
Begitulah, hidup mereka sangat pas-pasan.

Bapakku sudah beberapa kali menyarankan agar mereka tinggal dan memulai hidup lagi di Jogja saja dari pada sengsara di Malang, tapi mereka gak mau, tetap bersikukuh ingin hidup di Malang.
Sampai akhirnya kabar duka itu datang.

Mereka mengabarkan kalau Mala meninggal kecelakaan.
Keluarga besar kami sangat sedih dan kehilangan, Mala anak yang pintar dan menyenangkan, akrab dengan keluarga.

Kamu saat itu cukup terguncang.
Tetapi, sepeninggal Mala, aku dengar kalau Tante May dan Om Roy hidupnya secara perlahan mulai membaik, kata Bapak usaha yang mereka rintis mulai banyak membuahkan hasil.
Pelan-pelan mereka bisa melunasi hutang-hutang dari keluarga maupun orang lain. Yang sebelumnya selalu meminta atau meminjam uang, mereka mulai bisa memberi dan membantu keluarga lainnya.
Sampai akhirnya, pada tahun 2010, mereka akhirnya mampu memiliki rumah sendiri. Waktu itu rumahnya bukanlah rumah mewah yang aku ceritakan di awal tadi, masih rumah gak terlalu besar, tapi kata Bapak sudah termasuk rumah mahal.
Sukurlah, kami sekeluarga besar ikut senang dengan keberhasilan Tante May dan Om Roy dalam hal ekonomi keluarga.

***
Bapakku anak pertama dari tujuh bersaudara, mereka semua lahir dan besar di Jogja, termasuk Tante May.

Pada tahun 2011, adik Bapak yang paling bungsu, Om Seno, terkena PHK di perusahaan tempat dia bekerja, sejak itu dia menganggur.
“Ya sudah, Seno ikut aku ke Malang saja, bantu usaha kami, bantu pekerjaan Mas Roy. Dari pada nganggur di Jogja.”

Begitu kata Tante may setelah mengetahui kalau Om Seno sudah gak bekerja lagi.
Begitulah, akhirnya Om Seno berangkat dan tinggal di Malang, membantu usaha yang dijalani Om Roy.
Aku yang cukup dekat dengan Om Roy, sedikit merasa kehilangan ketika dia akhirnya pindah kota, umur yang gak terpaut jauh membuat kami layaknya teman dan sahabat, beliau adalah tempatku bercerita.

Tetapi, sekitar enam bulan kemudian, kabar duka kembali datang..
Om Seno berpulang ke pangkuan Illahi, dia meninggal mendadak karena kecelakaan kerja, terjatuh dari atap salah satu pabrik milik Om Roy.
Saat itu adalah momen terburuk dalam hidupku, kehilangan om tersayang secara mendadak.

Aku kehilangan sahabat dekat, kehilangan tempat bercerita, kehilangan tempat berkeluh kesah..

Lagi-lagi kami sekeluarga berduka cukup dalam.

***
Lalu, sekitar satu tahun sepeninggal Om Seno, aku mendengar kabar kalau tante May dan Om Roy sudah pindah ke rumah baru. Menurut cerita dari Bapak dan adik-adiknya, keluarga mereka pindah ke rumah yang jauh lebih besar, lebih mewah, berdiri di atas tanah yang sangat luas pula.
Yang sebelumnya hanya memiliki satu asisten rumah tangga, kini mereka sudah dibantu oleh tiga asisten.

Senang? Tentu saja kami semua senang mendengar kalau ada anggota keluarga besar yang sudah sangat sukses keuangan, kaya raya.
Ya itu tadi, sampai akhirnya setelah lulus sekolah aku ditawari untuk tinggal di rumah tante May, ditambah akan dibiayai kuliah. Aku pun tinggal di Malang.

***
“Kamu jangan pernah masuk ke kamar itu ya, isinya perlengkapan kerja Om Roy. Nanti dia marah kalau ada yang masuk ke ruangan itu.”

Begitu kata Tante May pada suatu waktu pada hari pertama aku tinggal di rumahnya.
Sebelumnya, aku sudah diajak berkeliling, dikenalkan dengan tiga asisten, dijelaskan tentang seluruh kamar dan ruangan yang ada di dalam rumah sangat besar ini.
Kamar yang dimaksud oleh Tante May tadi, yang gak boleh aku masuki, adalah kamar yang ada di lantai atas, letaknya di depan sebelah kanan dari kamar yang akan aku tempati nantinya.
Pintu kamar itu tertutup rapat dan sepertinya terkunci, karena aku sempat hendak membukanya namun gak bisa.

“Ini kamar apa Tante?” Tanyaku ketika Tante May muncul dari belakang.
Ya itu tadi jawaban Tante May, katanya itu ruang tempat perlengkapan kerja Om Roy, lalu beberapa kali seperti menegaskan kalau aku sama sekali gak boleh memasukinya. Ya sudah, aku pasti menurut, gak akan berani untuk menentang omongan Tante May.
Kamar yang misterius, begitu aku menyebutnya.
Di rumah Tante May, aku disediakan kamar di lantai dua, kemar besar yang letaknya gak jauh dari tangga, persis bersebelahan dengan kamar mandi.
Di dalam kamar sudah tersedia perabot mahal, tempat tidur empuk dan nyaman, lemari besar, tapi tanpa tv.

Kamar yang sangat mewah menurutku.
“Oh iya, kunci pintu kamar kamu kayaknya masih rusak deh, Tante belum sempat untuk menghubungi tukang untuk memperbaikinya, selalu lupa.” Begitu kata Tante May ketika kami sedang di meja makan.
Benar adanya, pintu kamarku kuncinya rusak, bisa tertutup tapi gak bisa dikunci. Ya sudah, gak apalah, toh di rumah ini terbilang aman, lagi pula aku terkesan gak sopan kalau selalu mengunci pintu kamar.
Hari pertama dihabiskan dengan berkenalan dengan lingkungan rumah serta penghuni lainnya, hingga gak terasa akhirnya malam pun tiba.
Aku bersama Tente May dan Rifka bersantap makan malam di meja makan. Bermacam makanan lezat tersaji di atas meja marmer besar yang aku yakin pasti harganya sangat mahal, persis di tengah ruangan bergantung lampu kristal besar menerangi seisi ruang makan.
Sampai pada saat itu, aku belum juga berhenti terkagum-kagum dengan segala harta di rumah yang dimiliki oleh Tante May dan Om Roy, benar-benar seperti istana dengan perabotan layaknya untuk raja dan ratu. Sungguh kaya raya mereka.
“ Ya sudah, kamu istirahat dulu sana, pasti capek kan seharian ini.”

Tante May menutup percakapan kami malam itu, setelah itu kami masuk ke kamar masing-masing.
Oh iya, di lantai dua aku sendiran, gak ada lagi yang menempatinya selain aku.

Tante May dan Rifka masing-masing kamarnya di lantai satu. Para asisten rumah tangga kamarnya di belakang, terpisah dari bangunan utama.
Jam sembilan malam, aku sudah berada di kamar.

Isi kepala masih terus saja berkutat pada kekaguman akan kekayaan dan kehidupan mewah yang dimiliki oleh Tante May dan Om Roy. Mereka pasti sudah sangat bekerja keras untuk mendapatkan ini semua, itu yang ada di dalam pikiranku.
Mungkin sekitar jam sebelas malam akhirnya aku bisa tidur, tidurku cukup nyenyak, tapi gak lama.

Iya, tidur nyenyakku gak lama, sekitar jam dua aku kembali terjaga.
Sejak masuk kamar tadi, sengaja aku gak matikan semua lampu, aku hanya nyalakan lampu kecil di meja belajar untuk sekadar menerangi, supaya gak terlalu gelap.
Sepertinya, aku terbangun karena semilir angin dingin yang mengelus tubuh, anginnya berhembus masuk melalui pintu kamar yang dalam keadaan terbuka.
Pintu kamar terbuka? Iya, aku juga heran, kok pintu kamar terbuka? Walaupun gak terbuka penuh, hanya setengah. Padahal aku sangat yakin kalau sebelum tidur tadi pintu sudah dalam keadaan tertutup. Ah mungkin karena tertiup angin, jadinya terbuka, begitu pikirku.
Karena pintu terbuka itulah aku jadi bisa melihat ke luar, celahnya cukup bagiku untuk memperhatikan gelapnya suasana luar kamar.

Sangat gelap, ruang tengah lantai dua sangat gelap, gak ada lampu menyala barang satu pun juga.
Beberapa saat lamanya aku diam memperhatikan gelap di luar, belum 100% sadar setelah terjaga, aku juga masih berusaha mengumpulkan niat dan tenaga untuk bangun dari tidur lalu menutup pintu.
Seiring bergulirnya waktu dan mulai terbiasanya mata melihat dalam remang, aku merasa kalau ada yang mengganggu pandangan, walau gak begitu jelas tapi sepertinya aku melihat ada sosok di ruang tengah, sosok itu berdiri diam memperhatikan aku yang masih terbaring di tempat tidur.
Masih berbentuk siluet hitam, tapi aku jelas melihatnya, siapa itu?

Beberapa detik aku terus memperhatikan, sampai kemudian timbul niat mendekati pintu untuk memastikan.
Bangun dari tempat tidur, lalu aku berjalan ke pintu,
Tapi setelah sampai, tiba-tiba bayangan hitam itu gak ada lagi, sudah gak di tempatnya lagi, kemana perginya?

Ah mungkin salah lihat, begitu pikirku, lalu menutup pintu rapat-rapat.

Aku kembali tidur.

***
Hari berikutnya aku jalani dengan kegiatan yang sedikit banyak menjadi kesibukan baru, entah itu membantu pekerjaan rumah, antar jemput Rifka sekolah, membantu usaha Tante May, apa saja aku lakukan untuk mengisi kekosongan.
Belum ada kegiatan perkuliahan, karena waktu itu pendaftaran masuk universitas memang belum dibuka.
Seiring berjalanya waktu juga, aku juga jadi lebih akrab dengan penghuni rumah, termasuk dengan para asisten rumah tangga.
“Mba, memang kamar atas depan kamarku itu isinya apa sih? Kok sepertinya misterius sekali, gak ada orang yang boleh masuk.” Tanyaku kepada Mba Ning pada suatu ketika, Mba Ning adalah salah satu ART.
“Ooh, kamar itu ya Mba. Saya juga gak tau pastinya, lah wong saya juga ndak pernah boleh masuk walaupun hanya untuk membersihkan. Pintunya kan selalu terkunci.” Begitu jawab Mba Ning.
Hmmm, aneh. Tapi ya sudahlah, aku gak bertanya lebih jauh, mungkin karena isi kamar itu sangat pribadi bagi Tante May dan suami.
Jujur, selama tinggal di kamar atas, beberapa kali aku mendengar suara-suara aneh. Contohnya, beberapa kali terdengar langkah kaki naik atau turun tangga, pernah juga ada suara pintu terbuka, entah pintu yang mana.
Yang cukup membuat merinding, beberapa kali aku melihat ada bayangan hitam tinggi besar melintas lewat depan pintu kamar, pintu kamar yang tengah malam dalam keadaan terbuka, padahal aku yakin sudah menutupnya sebelum tidur.
Mungkin rumah ini terlalu besar bagi penghuni yang hanya segelintir saja, jadinya cukup menyeramkan, begitu pikirku.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku berusaha untuk melupakan dan mengabaikan setiap keanehan yang kurasa, coba untuk sibuk dengan kegiatanku saja.

***
Tetapi ketika sudah hampir tiga bulan tinggal di rumah Tante May, walaupun gak begitu jelas pada akhirnya aku bisa melihat isi kamar misterius itu.

Kok bisa? begini ceritanya..
Seperti biasa, sekitar jam sembilan malam aku sudah berada di dalam kamar. Hiburan satu-satunya adalah ponsel kesayangan sambil menunggu kantuk datang. Dapat dipastikan, lampu luar kamar sudah dalam keadaan mati semua, hanya kamarku saja yang masih terang.
Di tengah asiknya berponsel ria, selepas jam 10 aku mendengar sesuatu, ada suara yang sumbernya dari luar.

Aku mendengar derit suara pintu terbuka perlahan..
Saat itu aku belum tahu pintu manakah itu, karena ada empat kamar di lantai atas.

“Ah mungkin terbuka tertiup angin,” Begitu pikirku dalam hati.

Tapi tiba-tiba terdengar suara lagi, kali ini sepertinya suara pintu tertutup.

Siapa yang keluar masuk salah satu kamar? entahlah.
Setelah itu aku memutuskan untuk mematikan lampu besar dan membiarkan lampu kecil tetap menyala seperti biasanya. Kamar jadi temaram.

Ketika hendak merebahkan tubuh di tempat tidur, lagi-lagi terdengar suara pintu yang terbuka perlahan.
Saat itulah timbul rasa penasaran, aku berniat melihat ke luar, untuk mengetahui pintu kamar mana yang terbuka.
Setelah sudah membuka pintu dan melongok ke luar, Benar dugaanku, luar kamar sungguh gelap gulita, hanya sedikit garisan cahaya dari luar rumah masuk melalui sela-sela jendela yang jadi penerangan.
Untuk membantu penglihatan, aku menggunakan lampu dari ponsel yang ada di tangan sejak tadi

Cahaya terang ponsel menyapu setiap sudut ruangan lantai dua yang luas ini, aku jadi bisa melihat cukup jelas. Hening dan kosong, tentunya itulah pemandangan yang ada di hadapan.
Sampai akhirnya pandanganku terhenti di salah satu kamar yang pintunya dalam keadaan terbuka.

Iya, ternyata kamar yang pintunya terbuka adalah kamar misterius itu!
Takut dan penasaran, dua rasa berkecamuk di dalam kepala.

But in the end, penasaran mengalahkan segalanya, akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi kamar itu.
Langkahku pelan mendekat, tapi walau semakin dekat tetap hanya melihat pekat, sama sekali belum terlihat isi kamar.
Sampai akhirnya, aku sudah berdiri tepat di depan kamar misterius itu. Pintu gak terbuka penuh, hanya setengahnya saja, lalu perlahan aku mendorongnya sampai terbuka lebar.

Belum, ternyata aku belum bisa melihat dengan jelas isi kamar, masih pekat yang terlihat.
Kemudian aku mengarahkan cahaya ponsel ke dalam kamar.

Pada saat inilah aku melihat semuanya..

***
Yang pertama aku lihat adalah tempat tidur besar berkelambu di sisi kiri, rangka ranjangnya seperti terbuat dari besi kokoh, kelambunya yang bagian depan dalam keadaan terbuka sehingga aku dapat melihat kasur di dalamnya.
Di atas kasur bertebaran banyak kuncup bunga, gak tahu jenis bunga apa, tapi akhirnya aku tahu dari mana asal wangi bunga yang beberapa kali tercium di lantai atas.
Dinding ruangan tertutup seluruhnya dengan kain berwarna hitam, kain hitam itu menutupi sampai ke langit-langit.

Di sebelah ranjang ada meja besar yang di atasnya tergeletak banyak benda-benda aneh dan seram, beberapa diantaranya aku gak tahu benda apa.
“Tuhan, ruangan apa ini?” Aku bergumam dalam hati.

Walaupun belum sempat melihat semuanya, tetapi aku sudah berniat untuk kembali ke kamarku saja, aku takut.

Tapi belum juga kaki ini melangkah, tiba-tiba aku mendengar suara.
Ada suara seperti menggeram, pelan tapi terdengar jelas.

Reflek, aku arahkan cahaya ponsel ke sudut kanan kamar, karena menurutku suara itu berasal dari sana.

Detik berikutnya, jantungku seperti berhenti berdetak, aku kaget ketakutan..
Ya Tuhan, aku melihat ada mahluk hitam tinggi besar sedang berdiri di pojok kamar. Sebegitu tinggi hingga kepalanya nyaris menyentuh langit-langit. Sungguh sosok yang sangat menyeramkan.
Melihat itu semua, aku langsung lari menuju kamarku.

Setelah sudah di dalam kamar, aku lalu menutup dan berdiri bersandar pada pintu, karena aku sadar kalau pintu kamarku ini gak bisa dikunci.
Aku menangis pelan, ketakutan.

Tapi walaupun begitu, aku masih bisa mendengar suara di luar, suara pintu yang perlahan tertutup, aku yakin itu pintu kamar gelap.

Setelah itu, semalaman aku duduk bersandar di pintu hingga pagi menjelang.
Sejak itu, aku menyebut kamar misterius itu dengan sebutan kamar gelap.

***
Hari-hari berlalu, aku terus jalani hidup di rumah Tante May.

Tante May memenuhi janjinya untuk membiayai kuliahku, sekitar bulan Agustus aku sudah mulai berkuliah.

Tapi, semua kejadian seram di rumah tetap aku rasakan, terus saja kejadian, itu yang membuatku sangat gak betah.
Ditambah, entah sudah dua atau tiga kali, aku mengalami mimpi aneh menyeramkan. Di mimpi, aku didatangi mahluk tinggi besar yang sering aku lihat bergentayangan di dalam rumah dan kamar gelap.

Sosok mahluk itu sungguh sangat menyeramkan, aku gak mampu untuk menggambarkan.
Di dalam mimpi, ketika mahluk itu datang, tubuhku sama sekali gak bisa bergerak, aku hanya bisa menangis.

Kemudian, dia meraih tanganku, menyeretku, menarik tubuhku dengan kasar, lagi-lagi aku hanya bisa berteriak dalam diam, amat sangat ketakutan.
Lalu akhirnya kami seperti berada di tepi jurang, jurang yang sangat dalam, sampai aku gak bisa melihat dasarnya.
Tiba-tiba, mahluk menyeramkan itu mengangkat tubuhku, lalu melemparku ke dalam jurang!
Di saat inilah biasanya aku terbangun dari tidur, tersengal-sengal, berkeringat, lalu menangis sejadi-jadinya.
Beberapa kali juga aku bercerita kepada Bapak dan ibu tentang semua yang aku alami di rumah ini melalui sambungan telpon, aku ceritakan semua. Mereka hanya bisa menenangkan, meminta aku untuk kembali ke niat awal, yaitu berkuliah, jangan pedulikan hal-hal lainnya.
Untuk sementara, aku berusaha untuk turuti omongan mereka, berusaha untuk kuat menghadapi semuanya.

Hanya sementara..

***
Masih lekat dalam ingatan, waktu itu suatu hari di bulan November, hanya beberapa hari setelah hari ulang tahunku.

Sepulang kuliah sekitar jam lima sore, aku sampai di rumah. Ternyata Tante May dan Rifka sedang gak ada di rumah, hanya ada tiga ART.
“Pada ke mana Mba?” Tanyaku ke Mba Ning.

“Tadi jam tiga, berangkat ke Surabaya Mba, Rifka pingin jalan-jalan katanya, pulangnya besok sore.” Jawab Mba Ning.
Jalan-jalan? Kenapa mendadak? Kok gak bilang-bilang?

Ya sudahlah, mungkin mereka ada acara mendadak.

Yang pasti, aku harus bersiap sendirian di rumah ini, di rumah besar ini, semalaman.
Singkat kata, malam pun tiba.

Karena sendirian, setelah makan aku langsung masuk kamar walaupun masih jam setengah delapan.
Rumah semakin sepi dan hening, biasanya terdengar suara tv atau percakapan tante May dan Rifka, kali ini gak ada suara sama sekali.

Rumah besar ini sangat terasa kosong dan hampa.
Malam semakin larut, sekitar jam 10 rasa kantuk mulai datang menyerang, aku yang seharian sudah sangat lelah karena banyak berkegiatan akhirnya menyerah lalu tertidur lelap.
Tapi gak lama, jam satu tengah malam aku terjaga, lagi-lagi hembusan angin dingin menerpa tubuh membangunkanku.

Aku langsung memperhatikan pintu kamar, benar dugaanku, pintu dalam keadaan terbuka, lagi-lagi seperti itu.
Setelah sekian banyak peristiwa yang sudah aku alami di rumah ini, aku jadi gak berpikir panjang untuk langsung bangkit dari tidur, berniat untuk menutup pintu. Aku gak mau buang waktu, gak mau menunggu sampai ada sesuatu yang seram lagi terjadi.
Tapi, ketika aku sudah berada di dekat pintu dan hendak menutupnya..

“Dug, dug, dug, dug..”

Tiba-tiba aku mendengar suara seperti itu.
Terkaanku, itu adalah suarang pijakan kaki menyentuh ubin lantai, suara kaki yang sedang melangkah berjalan.

Aku terus diam berdiri menajamkan pendengaran, coba menebak dari mana suara itu berasal.

Dari lantai bawah, aku yakin kalau suara itu berasal dari bawah.
Entah apa yang ada di pikiran, aku berjalan pelan menuju teras dalam lantai dua, dari situ aku dapat melihat situasi di lantai satu.
“Dug, dug, dug, dug..”

Suara itu masih saja terdengar, sementara aku masih berdiri di pinggir pagar terasmemperhatikan ke bawah.
Awalnya aku belum melihat apa-apa, karena rumah dalam keadaan gelap gulita, hanya sedikit cahaya yang masuk dari luar. Tapi, setelah mata sudah terbiasa melihat dalam gelap, akhirnya aku melihat sesuatu.

Aku melihat si empunya suara langkah kaki itu..
Sosok mahluk tinggi besar menyeramkan, dia berjalan menyusuri lantai satu, melangkah pelan menuju tangga, tangga besar menuju lantai atas, tempat di mana aku sedang berada.
Seketika itu juga tubuhku merinding, aku ketakutan. Tapi walaupun begitu aku masih saja diam terpaku memperhatikan semuanya, melihat mahluk menyereramkan itu yang akhirnya sampai juga di depan tangga, lalu menaikinya.
Dia menuju ke arahku..

Terus berjalan pelan melangkahkan kakinya di anak tangga satu persatu.
Seperti tersadar, lalu aku melangkah mundur, perlahan mendekat ke pintu kamar, lalu memasukinya.

Di dalam, aku langsung menutup pintu rapat-rapat, lalu berlari menuju tempat tidur, menaikinya, kemudian duduk meringkuk di tempat paling sudut.

Aku sangat, sangat ketakutan..
Berharap mahluk menyeramkan itu gak akan masuk.

Tapi harapan tinggal harapan, karena aku melihat gagang pintu bergerak-gerak sendiri, ada yang sedang berusaha untuk membukanya dari luar.

Benar, karena beberapa detik kemudian perlahan pintu mulai terbuka.
Di sini aku mulai menangis, tapi gak mampu berteriak.

Ketika pintu sudah terbuka lebar, akhirnya aku melihat sosok mahluk tinggi besar itu, dia berdiri diam memperhatikan. Aku terpaku, tubuhku kaku..
Kemudian dia melangkah masuk, pada saat inilah aku dapat melihat bentuknya dengan jelas, sangat sangat menyeramkan, gak mampu aku menggambarkan..

Lalu sosok itu terus mendekat dan semakin mendekat, seperti mimpi buruk yang jadi nyata, aku rasakan semuanya..
Akhirnya, dia sudah benar-benar berdiri di samping tempat tidur, aku hanya bisa menunduk sambil terus menangis.
Tapi, tiba-tiba ponselku berdering, ponsel yang aku letakkan di atas tempat tidur di samping bantal, jadi gak susah aku meraihnya.

Sambil menunduk aku menerima panggilan telpon itu.
“Nak, kamu belum tidur? Kok perasaan Ibu gak enak ya? dari tadi Ibu gak bisa tidur, apakah kamu baik-baik saja?.”

Aku mendengar suara Ibu di ujung sambungan telpon, semakin menjadi-jadilah aku menangis.
“Bu, aku takut, aku gak tahan, aku pingin pulang saja Bu, aku takut Buuu.” Sambil menangis aku bilang seperti itu sambil terus menundukkan wajah.

“Iya nak, kamu pulang saja ya, kamu pulang.” Begitu jawab Ibu.
Aku terus menangis, sambil menceritakan apa yang pernah aku alami dan apa yang sedang berusaha aku lewati malam itu.
Sukurlah, setelah itu aku akhirnya berani untuk mengangkat wajah dan melihat seisi kamar, ternyata mahluk seram itu sudah pergi, gak ada kamarku lagi. Aku langsung berdiri lalu menutup pintu.

Malam itu aku ditemani Ibu sampai benar-benar bisa tertidur.

***
Keesokannya, tiba-tiba Bapak datang pada sore hari. Aku sangat senang melihat beliau, langsung aku peluk erat-erat tubuhnya.
“Pak, aku sudah gak kuat lagi, aku mau pulang saja Pak, tolong bolehkan aku pulang ya Pak..” Ucapku sambil menangis sesegrukan.

“Iya nak, Bapak juga datang untuk menjemput kamu kok, Bapak dan Ibu sudah tahu semua. Ayok kita pulang.” Begitu kata Bapak.
Sore itu juga, aku pulang ke Jojga bersama Bapak. Meninggalkan rumah Malang dengan segala kengeriannya.

Terima kasih Tuhan, aku masih diberi kesempatan untuk hidup, terima kasih aku masih terselamatkan.

***
Hai, balik ke gw ya Brii..

Begitulah kisah seram yang dialami oleh Refty, semoga ada hikmah yang bisa diambil.

Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.

Met bobok, semoga mimpi indah,

Salam
~Brii~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Brii

Brii Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @BriiStory

Feb 22
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.

Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.

Simak di sini, hanya di Briistory..

*** Image
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.

Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.

Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Read 108 tweets
Feb 8
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.

Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.

Simak di sini, hanya di Briistory.

*** Image
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Read 97 tweets
Dec 7, 2023
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.

Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.

*** Image
“Satu batang lagi, ah”

Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.

Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Read 130 tweets
Sep 28, 2023
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.

Simak di sini, hanya di Briistory..

*** Image
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.
Read 57 tweets
Sep 21, 2023
Gambaran kehidupan penghuni Panti Asuhan di kota kecil di Banten, pergulatan dalam menjalani hidup yang harus juga berjuang menghadapi banyak keanehan dan kejanggalan menjurus seram yang terjadi di dalam Panti.

Series seram terbaru, Panti Asuhan, hanya di Briistory..

*** Image
~Pada suatu malam, di pertengahan tahun 1995~

Bu Bertha selalu paling awal duduk di meja makan, kursi paling ujung di deretan sebelah kanan. Malam itu juga sama, beliau sudah duduk dengan senyum khasnya. Perempuan berdarah Batak dengan kerut tegas di wajah, rambut panjang yang sudah beruban tergerai sampai bahu, seperti biasa dia berpakaian terusan panjang bermotif bunga.
“Ayoook anak-anak, sudah waktunya makan, sudah siap semua ini,” Bu Bertha berteriak begitu, tiba-tiba.

Sudah jam tujuh malam, tepat, tidak kurang tidak lebih, waktunya makan malam. Banyak kursi mengelilingi meja panjang berbentuk oval, kursi yang biasanya tidak terlalu lama untuk habis dipenuhi oleh para penghuni panti setelah ada aba-aba teriakan dari Ibu Bertha. Dan benar, setelah itu para penghuni langsung meninggalkan semua kegiatannya, yang rata-rata sedang belajar dan mengaji, bergegas menuju meja makan.
Read 55 tweets
Sep 14, 2023
Banyak dari kita yang secara sadar atau gak sadar pernah merasakan kengerian di tempat kerja dengan bermacam bentuk. Bisa jadi, besok atau lusa, kita akan merasakannya (lagi).

Salah satu teman menceritakan pengalaman seram di kantornya. Simak di sini, hanya di Briistory.

*** Image
Hilir mudik beberapa pekerja kantoran di depan gedung ini seenggaknya bisa membuatku tenang sedikit, setelah baru saja mengalami kejadian yang sungguh membuat shock.

Menyalakan rokok, lalu meghisapnya dalam-dalam, berikutnya kepulan asap tebal keluar dari mulutku, what a relieve, “Untung aja masih rame,” pikirku dalam hati.

Kantorku ini letaknya bukan yang di pusat perkantoran Jakarta seperti Sudirman Thamrin atau Kuningan, tapi masih tetap cukup ramai, yah namanya juga Jakarta. Gedung tempatku bekerja ini letaknya di bilangan Jalan Simatupang Jakarta Selatan, terhitungnya sih masih gedung baru kalau dibandingkan dengan gedung-gedung yang ada di sekitarnya, bentuk gedungnya juga cukup modern, bukan yang kaku seperti gedung lama pada umumnya, letaknya gak jauh dari Citoz lah.

Ini belum terlalu malam, masih jam setengah sepuluh, kenapa aku masih di kantor? Karena jobdesk-ku memang mengharuskan begitu. Aku sebagai Admin Marketing Support terpaksa kerja sampai malam kalau rekan-rekan marketing sedang ada event pameran di luar kantor, aku harus menunggu mereka untuk balik ke kantor dan melaporkan hasil penjualan hari itu. malah beberapa kali aku baru bisa pulang nyaris tengah malam.

Sama juga dengan malam ini, aku masih menunggu rekan marketing untuk pulang, katanya sih jam 10 mereka baru selesai pameran.

Iya, seperti yang aku bilang di awal tadi kalau aku keluar kantor ini ada alasannya, kurang lebih untuk menenangkan diri, menenangkan diri dari apa? Akan aku ceritakan semuanya dari awal.

***
~kira-kira satu jam sebelumnya~

“Ah, paling tertiup angin”, aku pikir begitu.

Beberapa detik sebelumnya aku terkejut kaget ketika tiba-tiba pintu gudang bergeser terbuka sendiri, gudang itu letaknya di belakang mejaku tapi gak benar-benar persis dekat di belakang, jaraknya agak jauh sekitar 20 atau 25 meter, tapi suara pergeseran itu jelas kedengaran karena hanya tinggal ada aku saja di ruangan besar ini, pergerakan pintu yang terbuka secara perlahan.
Read 45 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(