Cerita ini benar-benar membuat saya tersiksa, akibat tragedi naas yang dialami oleh pemilik cerita. Semoga bisa tersampaikan dengan baik.
Harap membaca Part 1 terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Malam itu aku membawa Manda berjalan-jalan ke mall. Wajah Manda telah kembali ceria, kami bernyanyi riang sepanjang jalan. Sampai tiba di lampu merah. Aku memberhentikan mobil di urutan ke tiga dari zebracross.
Tak sengaja ku lihat kaca spion tengah mobil yang mengarah langsung ke jok paling belakang. Beberapa detik sebelum aku menyadari bahwa kami tidak berdua di mobil ini. Ada seseorang yang tengah meringkuk di pojok kanan belakang.
Aku berusaha bersikap setenang mungkin agar Manda tidak turut gelisah. Lalu "tiin..tiin..tiin" Tanpa sadar lampu lalu lintas telah berubah hijau, aku terlalu lama tenggelam dalam lamunan. Aku menancap gas dan kembali melihat spion. Sosok itu masih disana.
Jika boleh jujur aku benar-benar tidak ingin lagi melihat sosok seperti itu lagi dalam hidupku. Kulit wajahnya yang melepuh dan bernanah, mata yang hampir keluar dari tempatnya, melotot menatapku nanar seolah ingin segera menghabisiku saat itu juga.
Seketika itu mood ku langsung berubah drastis dan aku bilang kepada Manda bahwa tiba-tiba aku merasa tidak enak badan dan ingin berobat ke seseorang.
"Nduk..ayah tiba-tiba kok ngrasa gak enak badan ya? Boleh nggak kalo ke mallnya besok aja? Hari ini ayah pengen berobat.."
Beruntung Manda anak yang sangat pengertian. Ia tidak mempermasalahkan hal itu. Aku segera mencari putaran balik untuk melajukan mobilku ke arah rumah Ki Kemuning. Sejujurnya aku sangat ingin bertemu dengan Kyai itu lagi, akan tetapi kemana aku harus mencarinya,
namanya saja aku tidak tahu.
1 jam setengah harus kutempuh untuk bisa menemukan rumah tua di tengah hutan itu, melewati rimbunnya pohon-pohon yang menjulang tinggi dan jalanan yang tidak rata.
Aku baru tau, ternyata rumah itu hanya memiliki penerangan dari beberapa lampu minyak yang menempel di pagar-pagar rumah. Kondisinya sangat redup menambah kesan mencekam di keadaan tersebut.
"Yah..kok berobat di tengah hutan?"
Aku menggandeng tangan Manda erat dan menempelkan tubuh kecilnya ke samping tubuhku.
"Tok..tok..tok.."
Tiba-tiba ada yang mengetuk bahuku dari belakang, dan ternyata itu Ki Kemuning.
"Piye Le? Sek durung tuntas?" (Gimana Nak? Masih belum selesai?)
"Menungso urip kui selalu ngroso kurang sandhang pangane, oratau ngroso puas karo sing di duweni."
(Manusia hidup itu selalu merasa kurang dengan kebutuhannya, tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki) ucap Ki Kemuning sembari menyodorkan teh untukku.
"Maksud e pripun Ki? Kula mboten paham.." (Maksudnya gimana Ki? Saya tidak paham)
"Ibran? Awakmu ora kelingan karo sing mok lakokno biyen kae? Aku wes berusaha ngekei dalan sing paling apik, nanging kowe atos." (Ibran? Kamu ga ingat dengan apa yang kamu perbuat dulu?
Aku sudah berusaha kasih jalan yang terbaik, tapi kamu keras kepala)
Ucapan Ki Kemuning semakin tidak ku pahami. Aku mengernyitkan dahi dan berfikir keras. Sementara Manda masih ada dalam pangkuanku, ia mulai terlihat cemas.
Aku bergegas menancap pedal mobilku, ada satu tempat yang harus aku tuju sebelum pagi menjelang.
Di perjalanan aku kian teringat kata-kata Ki Kemuning sebelum akhirnya aku pamit undur diri dan bergegas pergi.
"Manusia itu akan mendapat apa yang dia tanam. Jangan berharap memetik buah yang manis, jika tidak merawat dan menghidupi. Ingat-ingat lagi siapa yang menyebabkan semua ini bisa terjadi? Ibran. Wektumu ora akeh. Anakmu sing dadi taruhan. Awakmu kudu nompo karmane."
Seluruh tubuhku telah basah oleh keringat padahal ac mobil menyala. Manda ku baringkan di jok tengah agar ia bisa tidur dengan nyaman. Berkali-kali aku hampir saja menabrak sesuatu entah itu orang ataupun binatang akibat aku kehilangan fokus.
Hujan mengguyur deras, rumah yang aku tuju masih jauh. Terlampau jauh. Aku melihat papan penunjuk jalan di persimpangan. Tertulis daerah B ke arah kiri 89 kilometer lagi. Daerah tempat aku lahir. Rumah mendiang mbah buyut yang kini ditempati oleh Bulek (adik ibu).
Kalau saja tidak hujan badai, pasti bisa aku tempuh paling lama satu jam setengah perjalanan. Namun hujan petir disertai angin membuat jarak pandang begitu dekat. Sesekali aku meraba jok tengah menggunakan tangan kiriku untuk memastikan Manda baik-baik saja.
Dan berulang kali aku melihat spion tengah kalau-kalau makhluk itu muncul lagi di jok belakang.
Jalanan terasa sangat sunyi, mungkin karena hujan deras. Namun terhitung sudah lebih dari 8 tahun aku tidak mengunjungi daerah kelahiranku.
Alasannya tentu karena tidak diperbolehkan oleh kedua orangtuaku.
Pukul 02.00 dini hari. Seekor berang-berang mendadak menyeberang yang membuat aku sangat terkejut. Aku mengerem sampai membuat tubuh Manda tersentak dan jatuh ke alas mobil.
"Ayah?! (Menjerit)" Sesaat sebelum aku melihat tangan, kaki, sebagian wajah, dan bajunya berlumur bercak darah yang cukup banyak. Manda menangia histeris tak karuan. Aku buru-buru memindahkan Manda ke jok depan dan membersihkan tubuhnya menggunakan tissue.
Benar-benar aneh. Di alas mobil tidak ada setetespun bercak darah, bagaimana Manda bisa seperti itu. Aku tahu daerah ini. Tempat aku berhenti saat ini. Sekitar 15 menit lagi aku bisa sampai di rumah Bulek.
"Manda sabar dulu nduk. Kita sebentar lagi sampai."
Akhirnya gerbang desa sudah terlihat, Desa Sidaurip (bukan nama sebenarnya). Rumah-rumah disana telah banyak mengalami perubahan, banyak yang gedongan namun beberapa pun masih ada yang tak berubah sama sekali. Tetapi yang aneh di sini adalah penerangan jalan dan teras
rumah sangat minim bahkan beberapa ada rumah yang dibiarkan gelap.
"Desaku kok jek ngene to" (Desaku kok masih gini sih) gumamku lirih.
"Ayah kita mau kemana sih?" celetuk Manda.
Manda memang sama sekali belum pernah ku ajak pergi ke rumah Buleknya. Karena ibuku melarang.
Nolak Molo (Menolak Bala/Keburukan) katanya.
"Nduk kita mau ke rumah Bulekmu, ayah ada keperluan dengan Bulek..nanti Manda mandi disana ya, Bulek juga punya anak seumuranmu tapi cowok, nanti kamu bisa main-main sama dia.." jawabku sambil mengelus rambutnya.
Di depan ada persimpangan, aku melihat ke spion kanan dan spion kiri, yang membuat aku sontak kaget karena ada wajah yang terlihat disana. Wajah perempuan itu lagi. Ada di belakang kursi Manda. Tangannya ke depan seolah akan mencekik Manda. Namun saat aku melihat ke belakang,
tidak ada siapa-siapa disana. Tetapi di spion mobil sosok itu masih ada dan pelan-pelan hampir menyentuh leher Manda. Spontan aku menarik tubuh Manda ke pangkuanku. Barulah sosok itu tidak terlihat lagi di spion.
"Ayah kenapa?"
Aku tidak mampu menjawab apapun, yang ku bisa hanya menancap gas sekencang mungkin agar cepat sampai.
Akhirnya mobilku masuk ke sebuah rumah joglo dengan pelataran yang luas. Tidak berubah sama sekali. Masih sama persis seperti 8 tahun silam bahkan seperti saat aku masih bayi.
"Assalamualaikum.." teriakku sembari mengetuk pintu kayu nan besar itu.
Tidak ada sepatah jawabanpun ku dapat, aku maklumi karena memang waktu itu masih pagi buta. Bulek pun pasti belum bangun.
Hujan tersisa rintik-rintik, namun suara jangkrik terdengar sangat keras khas pedesaan
Aku memperhatikan sekeliling sambil tangan kiriku menggenggam tangan Manda, dan tangan kananku yg masih mengetuk pintu. Sampai tak berselang lama, seorang wanita paruh baya membuka pintu, dengan raut wajah yang sama sekali tak ramah.
Tanpa berkata apapun, wanita itu secara tersirat mempersilahkan aku untuk masuk, kemudian ia menutup kembali pintu rumahnya.
"Yo mung ngene-ngene ki wae. Awakmu jebul isih eling karo dulur yo. Ngopo dengaren rene? Wis oleh opo sing mbok karepne?"
(Ya gini-gini aja. Kamu ternyata masih ingat sama saudara ya. Kenapa tumben ke sini?
Sudah dapat apa yang kamu mau?)
"Maksude pripun Bulek? Kula ten mriki wonten sing badhe kula tangletke.."
(Maksudnya gimana Bulek? Saya ke sini karena ada yang mau saya tanyakan..)
Wanita itu bergegas masuk meninggalkan aku dan Manda di ruang tamu.
Rumah itu masih terasa mencekam, terutama di bagian atap yang masih menggunakan bambu, tanpa plafon. Atapnya menjulang tinggi karena memang rumah joglo. Semakin melihat ke atas, semakin gelap. Aku melamunkan sesuatu dari masa lalu, sebelum dikagetkan oleh celetukan Manda,
"Ayah, itu tadi Bulek? Kok jutek banget sih..padahal kan kita saudara.."
Aku berusaha memberi pemahaman kepada Manda bahwa kemungkinan Bulek hanya sedikit kesal karena aku dan Manda datang tidak pada waktu yang tepat.
Tidak lama Bulek kembali dengan mendorong kursi roda, di sana duduk laki-laki yang aku kenal, Pak Lek, suami Bulek. Jujur, aku tidak tahu menahu bahwa Pak Lek sekarang kondisinya seperti itu. Sepertinya beliau terkena strooke. Terlihat dari separuh tubuhnya yang sudah tidak
sejajar dengan separuh tubuh yg lain.
Aku berusaha mendekat bermaksud untuk bersalaman, namun Bulek melarang keras.
"Ojo! Wes awakmu lungguh wae kono."
(Jangan! Sudah kamu duduk saja sana)
Aku yang canggung pun hanya bisa menuruti perkataan Bulek.
"Aku wes reti ngopo awakmu rene. Nanging aku raiso ngekei solusi opo-opo. Kabeh wes dadi tanggunganmu, 3 sasi kepungkur, aku reti kabar keluargamu seko bukmu.."
(Aku sudah tau kenapa kamu ke sini. Tapi aku gabisa kasih solusi apa-apa. Semua sudah jadi tanggunganmu, 3 bulan lalu,
aku tau kabar keluargamu dari ibumu..)
Ucap Bulek.
Aku hanya menduduk lesu. Sedangkan Manda hanya bisa terdiam bingung. Tangannya terus menggenggam tanganku.
"Iki Manda yo? Ngantuk yo nduk? Rene Bulek terke neng kamar, Manda bubuk sek wae, iki sek bengi.."
(Ini Manda ya? Ngantuk ya nak? Sini Bulek anter ke kamar, Manda tidur dulu, ini masih malam..)
Bulek mengulurkan tangan kepada Manda, Manda yg masih merasa asing sekejap memberi kode takut dengan sepasang matanya, namun aku mengelus rambutnya.
"Gapapa nduk.." Ucapku.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Naikin poster dulu, mulai nulisnya nanti, mau bikin nasgor dulu 😄
Sudah tujuh malam berturut-turut, aku melihat wanita itu dalam mimpi. Setiap kali aku melewati sebuah rumah joglo dengan pelataran yang luas. Wanita itu ada disana, sedang menggendong bayi sambil bersenandung. Wanita dengan paras yang ayu dan rambut sebahu.
Asti melangkah gontai di setapak tanah yang terletak di ujung desa dengan sepucuk surat ditangannya. Batinnya menggerutu berkali-kali, akibat kabar yang baru saja ia dapat, bahwa Damar, kekasihnya lagi-lagi bulan ini belum bisa pulang kampung.
Damar memang sudah 3 tahun bekerja di sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Biasanya Damar selalu pulang setiap 3 bulan sekali. Namun, sudah 6 bulan terakhir Damar tidak bisa mengambil cuti karena perusahaannya sedang mendapatkan proyek besar-besaran.
Kalau kalian lagi perjalanan malam hari di jalan gelap, dan tiba-tiba ban motor kalian berdecit atau berbunyi seperti suara burung "ciit..cit..citt.."
Segera baca ayat kursi atau doa apapun yang kalian bisa ya, minta perlindungan Allah.
Barusan terjadi sama saya, perjalanan dari Jogja menuju Jawa Tengah, kebetulan lewat jalur lintas selatan yang gelap banget dan sepi, di jalur tersebut ban belakang motor saya berdecit. Awalnya saya mengira itu karena kerusakan teknis saja.
Namun jika saya perhatikan kenapa suara decitannya tidak mengikuti interval kecepatan roda berputar. Sampai lama-kelamaan gas saya semakin terasa berat dan sangat berat, sampai-sampai membuat tangan saya kram karena terlalu kuat menarik gas.
Urban story yang bercerita tentang terkutuknya bersiul di malam hari.
•
• @bacahorror | #bacahorror
Hai, 🙂
Cerita kali ini agak berbeda dari cerita biasanya ya. Karena cerita ini akan mengandung banyak unsur kekerasan dan misteri didalamnya.
Akan banyak istilah-istilah yang mungkin kurang nyaman untuk dibaca dan dibayangkan.
Jadi, saran saya untuk yang tidak kuat terhadap segala bentuk kekerasan, darah, dan crime (kejahatan) bisa langsung tinggalkan cerita ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.