Suatu waktu Umak (ibu saya), pergi berkunjung ke rumah kakak keluarga dari kakak Iparnya. Waktu itu usianya sekitar 17 tahun. Kisah ini baru diceritakan beliau saat saya pulang akhir tahun kemarin.
Untuk menceritakan ulang cerita ini saya seperti mengumpulkan puzle. Beruntung saya sempat pulang ke kapuas hulu dan mendapat cerita lainnya yang melengkapi cerita ini.
Itu adalah petang pada suatu hari sekitar tahun 1987. Umak baru saja sampai di rumah kakak iparnya setelah berjalan kaki turun naik bukit sekitar tiga jam.
Agar tidak ada kerancuan, cerita utamanya terjadi di 1970an. Di tahun 1987 itu Umak pertamakali memgetahui peristiwa ini.
Sesampai di rumah kakak iparnya, Umak minta izin untuk mandi. Namun kakak iparnya melarang, sudah malam katanya.
Tapi kian malam badan umak terasa kian lengket dan gatal. Maklum, sepanjang perjalanan ia tak jarang harus melalui jalan sempit dengan ilalang di kiri dan kanan.
"Udah ndak tahan aku, aku harus mandi sekarang" kata Umak pada kakak iparnya.
"Kalau mau mandi harus ke ujung kampung, di sana ada mata air. Berani kamu malam-malam begini?" Tanya kakak iparnya.
"Ya mau ndak mau" kata umak. Kakak iparnya menatap abang umak.
"Ya sudah, aku antar" kata abangnya.
Umak sempat melihat abangnya dan kakak iparnya seperti bertatapan seperti saling melempar kode. Tapi badannya gatal, ia tak terlalu memikirkannya.
Dengan penerangan obor dari bambu, Umak dan abangnya berjalan ke ujung kampung. Suasana kampung sangat sepi. Hanya ada sekitar 20 rumah di kampung itu.
"Sepi sekali kampung ini bang"
"Namanya juga kampung, kalau ramai namanya pasar. Lagipula orang-orang sedang takut keluar".
Umak termenung, tak berani ia bertanya lebih jauh. Ia mencoba menerka-nerka. Ah nanti saja bertanyanya, kalau sudah pulang.
Lokasi pemandian itu agak menurun, ada sumber mata air kecil di sana yang ditampung dalam sebuah kolam kecil. Umak turun ke bawah sementara abangnya menunggu di atas sambil merokok.
Walau demikian, api dari obor itu masih bisa membuat Umak melihat sekitarnya mesti sedikit remang.
Umak duduk di papan kayu yang diletakkan disisi kolam. Ada tempurung di sana yang memang biasa digunakan untuk mandi. Maka Umak mulai menyiram dirinya dengan air. Tak berani ia terjun karena takut terlalu dingin.
Namun saat memejam ia seperti mendengar langkah orang di sisi lain kolam. Umak membuka mata, tak ada siapa-siapa. Abangnya juga masih jongkok dan merokok di atas. Ah paling perasaannya saja,pikirnya.
Namun saat ia melihat ke atas, suara langkah kaki itu terdengar. Ia menoleh ke seberang kolam, sesosok pria tampak berdiri menghadapnya. Sontak umak pun panik dan menyambar handuknya, ia menaiki tangga dan lari tunggang langgang.
"Wei ada apa?" Seru Abangnya sambil berusaja mengejar umak.
"Ada antu bangket (hantu bangkit)" seru umak tanpa memperhatikan langkah kakinya. Ia hanya ingin cepat sampai ke rumah.
Umak sampai ke rumah dengan terengah-engah.
"Ada apa ni?"tanya kakak iparnya.
"Aku liat antu bangket di pemandian" kata Umak.
"Itulah mengapa tadi tak kusuruh kau mandi"
"Kenapa tidak cerita?"
"Kami khawatir kau jadi takut menginap di sini" kata kakak iparnya.
"Dimana abangmu?" Tanya kakak iparnya. Umak baru ingat tadi abangnya itu menyusulnya di belakang.
Sementara itu ternyata Abangnya menemui penduduk kampung yang lain. Tadi, saat Umak lari tunggang langgang ia sempat melihat ke bawah. Dari cahaya obornya ia dapat melihat sosok yang lari itu. Ia tahu, itu bukan hantu.
Supaya saya lebih mudah bercerita saya akan menyebut abangnya umak ini dengan "Pak Wa Emat"
Pak Wa Emat dan empat warga kampung lain kemudian mendatangi rumah Pak Ngah Nurdin. Pak Ngah Nurdin bisa dibilang orang paling pertama di kampung itu. Usianya sekitar 45 tahun. Ia punya pertambangan emas dan warga kampung itu berkerja untuknya.
Rumah Ngah Nurdin tampak sepi. Sejak kematian istrinya tahun lalu rumahnya memang sering begitu. Gelap, hanya ada satu kamar yang sepertinya diterangi cahaya dari pelita. Padahal sebelumnya, rumah itu selalu terang benderang dengan listrik dari mesin diesel miliknya.
Setahun terakhir sejak kepergian istri Ngah Nurdin, memang banyak kejadian aneh di kampung itu. Beberapa hewan peliharaan warga seringkali ditemukan mati kehabisan darah. Seolah-olah ada yang menghisapnya sampai habis.
Beberapa warga juga ada yang melihat sosok hitam yang memakan peliharaan mereka, namun sosok itu sangat cepat menghilangnya. Itu membuat warga kampung takut beraktivitas di malam hari.
Selain itu, usaha pertambangan emas Ngah Nurdin juga sedang kacau. Sejak istrinya meninggal, Ngah nurdin menutup tambangnya. Anak buahnya yang sudah terlanjur membangun rumah dan membangun kampung bersama ini tak bisa kemana-mana.
Mereka berusaha beralih menjadi petani dan peternak. Dan kematian hewan2 ternak ini menjadi masalah besar buat mereka.
Wa Emat mengetuk pintu rumah Ngah Nurdin. Tak ada sahutan dari dalam.
"Kau yakin yang kau lihat itu Ngah Nurdin?" Kata Uju Mahrul.
"Palingan Ngah Nurdin ke pemandian buat mengambil air" kata Borson.
"Ya itu, kita ke sini untuk mengkomfirmasi" sahut Wa Emat
"Ya terus kenapa kita harus ramai-ramai begini? Bukannya malah kesannya menuduh?" Uju mahrul sejak tadi sebenarnya tak mau ikut. Ia tak enak dengan Ngah Nurdin, orang yang pernah jadi bosnya itu.
Setengah jam menunggu mereka hampir menyerah dan pulang. Namun suara langkah orang di balik semak membuat mereka kaget dan memeriksa sumber suara tersebut. Dan di situlah mereka melihat Ngah Nurdin sedang berjalan pelan dengan tatapan kosong. Mulutnya penuh darah.
Ngah Nurdin berusaha kabur dari warga yang mengerubunginya. Namun Wa Emat dan teman-temannya tak kalah tangkas meringkus Ngah Nurdin.
"Kita bawa ke rumahnya saja" kata Wa Emat. Mereka menyadari sesuatu, Ngah Nurdin dalam kondisi tidak sadar.
Warga berkumpul di rumah Ngah Nurdin. Semua penasaran dengan apa yang terjadi. Umak bersama kaka Iparnya ada di sana. Melihat Ngah Nurdin dengan tatapan kosong meronta-ronta. Kata Umak persis zombie di film-film sekarang.
Sampai tengah malam, Ngah Nurdin tak juga sadar. Warga tak dapat melakukan apa-apa. Beberapa warga pulang untuk istirahat. Hanya Wa Emat dan dua temannya yang berjaga di sana.
"Lepaskan saya!" Sebuah suara membangunkan Wa Emat dan teman-temannya. Mereka sepertinya kelelahan dan tertidur. Ngah Nurdin menatap mereka dengan marah.
"Sabar Ngah, kami tak bermaksud jahat ke Ngah. Kami cuma butuh penjelasan. Ada apa sebenarnya Ngah?" Wa Emat berusaha menenangkan Ngah Nurdin.
"Benar Ngah. Pasti ada orang yang membuat Ngah jadi begini" kata Borson.
"Lepaskan saya!" Seru Ngah Nurdin. Uju Mahrul pun sigap membuka ikatan Ngah Nurdin.
"Saya bukakan Ngah" kata Uju Mahrul.
Ngah Nurdin bangkit dari kursi. Ia beranjak ke dapur lalu datang dengan segelas air. Darah di mulutnya sudah hilang. Ia membasuhnya di belakang.
"Kalian terlanjur tahu, saya akan menceritakan sesuatu pada kalian" kata Ngah Nurdin sambil berkumur dan membuang airnya melalui jendela rumahnya.
Lanjut ba'da Maghrib ya. Di sinilah inti ceritanya, hal yang membuat Ngah Nurdin jadi seperti mayat hidup itu.
Teman-temanku yang menyimak boleh bantu retweet juga ya.
Usia Ngah Nurdin 35 tahunan waktu itu. Kekasihnya Limah baru menginjak usia 20. Hubungannya Ngah Nurdin dan Limah ini tidak ada yang tahu. Limah anak keluarga berada di kampung, sedang Nurdin anak yatim yang tumbuh dengan kerja kerasnya sendiri.
Dan sebagaimana roman-roman picisan. Urusan ekonomi ini ternyata menjadi masalah untuk hubungan mereka.
Di usia yang 20 itu, Limah hendak dinikahkan dengan salah satu teman usaha bapaknya. Limah menolak, bapaknya berang.
Limah ditampar habis-habisan oleh bapaknya kabur dari rumah. Bersamaan dengan hilangnya Limah, warga kampung juga dihebohkan dengan hilangnya Ngah Nurdin. Kasak kusuk di kampung itu ternyata benar, Nurdin dan Limah menjalin hubungan. Orang Tua Limah marah besar.
Bapak Limah yang pengusaha angkutan sungai itu mengerahkan anak buahnya mencari Nurdin. Tak ikhlas dia putrinya dibawa kabur oleh orang susah seperti Nurdin.
Sementara Itu, Nurdin dan Limah sudah jauh bersembunyi di hutan rimba.
"Tak ada yang mengira kita lari ke sini Limah" kata Nurdin pada Limah. Bagi Limah kemanapun Nurdin mengajaknya kesitupun ia akan pergi.
"Dulu waktu masih kecil. Ke sinilah aku mencari rotan untuk dijual" kata Ngah Nurdin. Ia hafal betul area hutan itu. Walau orang-orang tak berani ke sana karena konon di daerah itu ada penjaganya.
"Kenapa kau seberani itu bang?" Tanya Limah.
"Tak ada yang lebih menakutkan daripada kelaparan Limah" jawab Nurdin.
Nurdin membangun pondok kecil untuk mereka berdua. Di pondok itu mereka hidup seadanya sambil memikirkan rencana ke depan. Nurdin mencari bahan makanan, sedangkan Limah yang bertugas mengolahnya.
Namun sesayang-sayangnya Limah ke Nurdin, tak kuat juga ia hidup susah seperti itu. Hidupnya selama ini terlampau mudah.
Suatu pagi, Nurdin terbangun dan menyadari Limah telah hilang dari pondoknya. Dicarinya ke sungai kecil tempat mereka mandi, Limah tak ada di sana. Ketika kembali ke pondoknya, Nurdin menyadari bahwa Limah telah pergi membawa pakaiannya. Limah kembali ke kampung.
Hancur hati Nurdin. Kekasihnya pergi, dia tak punya siapa-siapa lagi. Malam-malam berlalu dengan kesepian dan kesedihan yang mendalam. Hingga suatu malam seseorang datang ke pondok kecilnya. Sidat namanya.
"Siapakah kau datang malam-malam ke sini. Ada perlu apa?" Tanya Nurdin.
"Aku Sidat. Kukira kau penjaga tempat ini. Aku ke sini untuk sebuah urusan"
"Urusan apakah itu?"
"Ah jangan berpura-pura. Kau tinggal di sini. Kau pasti tahu kalau di sini kita bisa meminta sesuatu"
"Meminta apa?" Tanya Nurdin heran.
"Apa saja" sahut Sidat.
"Yang aku dengar di sini ada penjaganya. Tapi aku juga tak pernah ketemu"
"Itu dia, dialah yang bisa memberikam apapun" kata Sidat.
Maka Sidat bercerita soal penjaga hutan itu yang konon adalah seoranh dewi yang cantik. Ia tahu dari gurunya, seorang kepala desa di kampungnya. Mendengar cerita Sidat ini, Nurdin pun tergoda. Diceritakanlah keluh kesahnya pada Sidat.
"Itu persoalan yang mudah. Kau ikut saja ritual bersamaku. Barangkali sang dewi akan menemui kita" kata Sidat.
Maka di Pondok Nurdin yang kecil itu Sidat menggelar ritual. Nurdin duduk di sampingnya berusaha mengosongkan pikiran sesuai instruksi Sidat. Suasana hutan yang riuh mendadak hening. Udar di sekitar mulai terasa lebih hangat.
"Nurdin, bukalah matamu Nurdin" kata Sidat. Nurdin membuka mata. Ia melihat sekitarnya kini telah berubah. Mereka berdua duduk di sebuah lingkaran putih. Di sekitar mereka pohon2 menjulang tinggi. Ada jalan setapak di hadapan mereka yang kanan dan kirinya dipenuhi cahaya.
"Dimana kita?" Tanya Nurdin.
"Dewi menyambut kita" kata Sidat tersenyum senang. Ia lalu berdiri disusul Nurdin. Ia dapat mencium aroma yang harum sekali.
Mereka berjalan ke sebuah gerbang dari kayu. Tumbuhan merambat di gerbang tersebut menjuntai-juntai. Sidat berjalan di depan diikuti Nurdin. Mereka tiba di sebuah lingkaran yang lebih besar. Di sana duduk seorang wanita muda yang rupawan.
"Sidat dan Nurdin, duduklah" sambutnya.
"Aku tahu alasan kalian kemari" kata wanita itu.
"Tapi kalian tahu bahwa akan ada sarat yang harus kalian penuhi?" Tanyanya.
Nurdin memandangi Sidat.
"Tahu" kata Sidat.
Nurdin bingung, Sidat sama sekali tidak menjelaskan tentang persaratan itu.
"Karena kalian sudah datang kemari, aku akan membuat jamuan untuk kalian".
"Tidak perlu, kemurahan hati dewi untuk menolong kami sudah cukup" kata Sidat.
"Tak sopan rasanya bila tidak menjamu tamu. Jamuan ini tidaklah merepotkan".
Sidat sudah mendengar cerita ini dari gurunya.
Jantung Sidat berdesir ketika tiba-tiba udara di atas mereka berputar bergulung-gulung. Lalu dari udara itu turunlah dua piring berisi makanan yang lezat.
"Makanlah" kata wanita itu.
Nurdin yang memang berhari-hari hanya makan apa saja yang ada di hutan langsung tergiur dengan makanan tersebut. Sementara Sidat tidak berani menyentuh makanan tersebut walau perutnya berbunyi nyaring.
"Kau tidak makan Sidat?" Tanya Nurdin.
"Tidak, kau saja" kata Sidat.
Nurdin pun kemudian memakan piring kedua yang merupakan jatah Nurdin. Tak lama, piring kedua pun kandas.
Nurdin pun minum dari gelas yang terbuat dari tembaga. Namun air yang awalnya segar tiba-tiba tercium amis.
"Nurdin, nurdin" kata Sidat dengan jijik menunjuk air di gelas Nurdin. Darah kental masih tersisa setengah di dalamnya. Nurdin panik dan melempar gelasnya.
Hahahahaha
Pekik wanita di hadapan Nurdin. Wajahnya berubah seperti nenek tua renta. Lidahnya panjang seperti ular. Aroma busuk menusuk hidung mereka. Sementara itu ulat-ulat kecil tampak bergerak di piring sisa makan Nurdin. Nurdin merasa mual lalu memuntahkan isi perutnya.
"Kau tak cerita soal ini Sidat" keluh Nurdin.
"Maafkan aku Nurdin, aku tak bermaksud mengerjaimu" kata Sidat berbisik. Sementara itu dari sekitar mereka keluar sosok-sosok berbadan besar, bertubuh tinggi dan berlidah menjuntai.
"Sudah selesai perjamuanku. Akan kupenuhi permintaan kalian. Tapi ingatlah, setiap bulan aku akan datang untuk meminta jamuan kalian" kata Wanita tua itu.
Mereka berdua pun bangkit dan berjalan ke arah mereka datang. Suasana mulai lebih dingin. Semua semakin gelap dan mereka tak bisa melihat jalan. Mereka lalu membuka mata saat mendengar suara dedaunan di kaki mereka. Ketika membuka mata, mereka berdiri di depan pondok Nurdin.
Di saat yang sama matahari telah terbit di timur sana.
"Apa yang barusaja terjadi?"
"Dewi hutan telah menolong kita" kata Sidat.
"Menolong apa? Aku masih begini saja. Padahal telah kuminta kekayaan padanya" kata Nurdin.
"Sudah kumakan pula ulat2 busuk itu" kata Nurdin menyesal.
Namun Nurdin merasa ada yang mengganjal di celananya. Ia merogoh sakunya menemukan sebuah kotak. Dibukanya kotak tersebut perlahan. Tampak berlian berkilauan di dalamnya.
"Dewi menepati janjinya" kata Nurdin.
"Kalau begitu aku harus segera pulang" kata Sidat.
"Kenapa?"
"Ibuku mungkin sudah sembuh di rumah" kata Sidat. Itulah permintaannya. Minta kesembuhan untuk ibunya yang sedang sakit. Sementara Nurdin ingin kekayaan agar bisa menikahi Limah kekasih hatinya.
Soal Jamuan itu, Sidat sudah tau dari gurunya kalau itu hanyalah sebuah tes semata. Dewi akan marah bila jamuannya tak habis. Beruntung Ia membawa Nurdin yang tidak tahu menahu. Jadi ia tak perlu menyamtap makanan laknat tersebut.
Nurdin mengemasi pakaiannya lalu kembali ke kampung. Kehadiran Nurdin di kampung mengagetkan banyak orang. Banyak yang mengira Nurdin telah meninggal. Limah berbohong dan bilang ia lari ke kota kecamatan dan tak bersama Nurdin.
Tak lama di kampung, Nurdin pergi ke kota kabupaten. Dua minggu kemudian ia pulang sebagai orang paling kaya di kampung. Orang-orang semakin kaget. Apalagi orang tua Limah.
Dengan harta Nurdin yang sekarang, tak ada lagi alasan orang tua Limah menolak Nurdin. Pesta besar digelar. Nurdin dan Limah akhirnya menikah.
ASTAGA dari tadi salah pakai nama samarannnnn. Kam tadinya mau pakai nama samaran Dara Ranti. Tapi malah pakai nama samaran Limahhh. Ah sudahlah sudah terlanjur.
Gara gara lama ga ngethread, sekalinya ngthread sepi ya.
Nah itulah awal mulanya Ngah Nurdin jadi pengusaha tambang emas. Setelah menikahi Limah ia kemudian menemukan lokasi tambang yang bagus. Maka mulailah usaha tambang emasnya. Di sinilah ia mulai merekrut anak buah dari kampung lain. Di pertambangan inilah Wa Emat bertemu istrinya.
Tanpa sepengetahuan Limah, Ngah Nurdin selalu menjamu seekor ular yang datang setiap bulan ke rumahnya. Nurdin tahu, itulah penjelmaan sang dewi. Maka untuk itu, Ngah Nurdin memelihara banyak ayam di rumahnya. Setiap bulan, satu ayamnya pasti diberikan pada ular yang datang.
Pasti pada mikir,anjir enak banget nih Ritualnya cuma ngasih ayam doang. Iya enak, tapi masalahnya kedatangan ular ini tak bisa ditebak. Limah juga heran saat mengetahui Nurdin memberi seekor ayam tiap ada ular yang datang ke rumahnya.
"Ini cara kita berbagi dengan alam. Alam banyak memberi kita, tak ada salahnha kita membalas" kata Nurdin berbohong.
Namun celaka terjadi ketika Limah sakit keras. 3 bulan limah hanya terdiam di kasurnya. Tak dapat bangun. Nurdin sedih bukan kepalang. Hingga kemudian ia disarankan membawa istrinya ke Pontianak untuk berobat.
Tak ada yang mahal bagi Nurdin. Berangkatlah ia membawa istrinya ke Pontianak. Namun celaka terjadi, ular itu datang padanya saat ia sedang di rumah sakit.
Saat ia sedang menjaga istrinya yang sakit, tiba-tiba ia terbangun dan mihat seekor ular melingkar di ranjang istrinya.
"Nurdin, mana jamuanku"
"Maaf, saya tidak tahu dewi akan datang ke sini"
"Bukankah kau akan menjamuku setiap aku datang?"
"Iya, tapi..."
"Kau mengkhianati janjimu Nurdin!" Ular itupun menjelma nenek tua dan berdiri di hadapan Nurdin.
"Aku tidak bermaksud"
"Ini adalah hukuman pertamamu" kata Dewi itu seolah menarik sesuatu dari dada Limah. Ia lalu menghilang.
Nurdin panik melihat istrinya meronta kesakitan. Dipanggilnya suster namun Limah tak tertolong.
Nurdin pulang ke kampung dengan kesedihan luar biasa.
Perasaan kesal dan marah membuat ia mengabaikan kehadiran sang ular setelahnya. Tapi tak disangka itu membuat ia harus menanggung dampak lainnya. Setiap bulannya, akan ada masa ia berubah menjadi semacam mayat hidup. Seolah2 roh tak punya kuasa akan jasadnya.
Tubuh itu seolah-olah dikuasai sang dewi. Dan tubuh itu berjalan mencari sendiri jamuan untuknya. Itulah mengapa seringkali hewan-hewan ternak warga ditemukan dalam keadaan mengenaskan.
Wa Emat menyimak cerita Ngah Nurdin dengan saksama. Tak disangka mantan bosnya ini punya kisah hidup yang semengerikan itu.
"Tapi kalian jangan khawatir, biar aku tanggung kesalahanku di masa lalu ini. Aku akan segera pergi dari kampung ini" kata Ngah Nurdin.
"Tapi bukankah juga berbahaya kalau Ngah Nurdin jadi antu bangket di kampung lain?" Tanya Wa Emat.
"Aku tak akan pindah ke kampung. Aku akan tinggal di hutan sebagaimana dahulu" kaya Ngah nurdin.
"Tidak, Ngah Nurdin di sini saja. Kami akan menjaga Ngah. Kalau sosok itu masuk lagi, kami akan beri jamuannya. Lalu Ngah tak perlu kemana-mana semalaman sampai pagi tiba" kata Borson.
"Benar, Ngah Nurdin di sini saja. Kami juga berhutang budi pada Ngah Nurdin" kata Wa Emat.
"Maafkan saya, gara-gara saya kalian harus ikut menanggung kutukan ini."
"Tidak Ngah. Kekayaan Ngah juga membantu kami selama ini. Kami akan menganggur tanpa Ngah" kaya Wa Emat. Ada benarnya memang, barangkali ini cara mereka balas budi.
Lalu cerita itu mereka sembunyikan. Cerita yang beredar adalah Ngah Nurdin kesurupan setan. Pak Wa Emat menyimpan cerita ini sampai saya menanyakannya.
Ya cerita ini memang tidaklah seram. Namun semoga tetap menarik untuk disimak.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ulak Rohim pulang ke kampung halaman karena mertuanya mulai sakit-sakitan. Namun pengalaman di rumah mertua itu menjadi pengalaman yang sangat tak menyenangkan.
RUMAH MERTUA
Dikisahkan oleh putra beliau puluhan tahun kemudian.
#ThreadHorror
@bacahorror
thread akan saya mulai pukul 7. boleh dilike dan diretweet dulu ya kawan-kawan.
Ulak Rohim adalah seorang pedagang di perbatasan Kapuas Hulu dan Malaysia. Kerja kerasnya di masa muda membuat Ulak Rohim dapat dikatakan sukses. Namun suatu waktu ia mendengar bapak mertuanya, Ai Ratong jatuh sakit.
Kematian? Banyak Orang takut menghadapi sang Maut. Tapi tidak bagi Mak Cik Ramani. Ketika Kehidupan sudah begitu menyakitkan, ia ingin maut sehera menjemput. Tapi maut malah terasa semakin jauh. sesuatu dari masa lalu, menyiksanya hidup-hidup.
#bacahorror
@bacahorror
Kalau ada orang paling kaya di kampung kami tak lain dan tak bukan ialah Mak Cik Ramani. Janda tua tanpa anak. suaminya meninggal akibat kecelakaan di tambang emas liar. Tapi segala kekayaan itu, tak membuatnya bahagia. Sama sekali tidak.
Biar saya ceritakan terlebih dahulu kisah Bang Mahran. Suami Mak Cik Ramani yang tewas itu. Orangnya berbudi pekerti yang baik. Orang tak pernah menyangka ia akan tewas dengan begitu menyedihkan. Tangannya masuk ke mesin, lalu ia kehabisan darah.
Sekitar seminggu yang lalu saya berjumpa Wawan. Dia follower akun ini. Dia bilang dia ingin menyampaikan sebuah cerita. Setelah sempat batal bertemu karena PSBB kedua kemarin, akhirnya kami bertemu.
Wawan usianya sekitar 35 tahun. Kejadian ini menimpa kakaknya, MILA. Oh ya, Wawan mengajak saya bertemu karena dia juga dari Pontianak. Katanya dia sejang saat menemukan akun saya yang banyak bercerita dengan latar belakang Kal-Bar.
Hari minggu yang lalu saya berjumpa seorang teman dari Pontianak. Kami kenal di sebuah forum sekitar tahun 2012. Saya tunjukkan akun ini dan dia ternyata punya cerita untuk diceritakan. Sebuah peristiwa di Tahun 2007, saat dia SMA.
Kali ini dari pengalaman pribadi, tahun 2016 sempat mau beli rumah karena harganya yang murah. Rumah kayu di tepian kota Pontianak itu ternyata menyimpan banyak cerita.
Jadi saya pertama kali dapat kerja tahun 2015. Biasa masih muda, langsung ngerasa punya uang dan impiannya langsung tinggi aja. Nabung dikit terus niat buat beli rumah. Tapikan harga rumah sekarang kan gila-gila kan ya. Sampai saya dapat info soal rumah itu.
Saya tidak akan menyebutkan rumah ini dengan spesifik. Yang jelas lokasinya itu di perbatasan Kubu Raya dan Pontianak. Untuk sampai ke rumah itu dari jalan raya harus masuk kompleks dan masuk jauh ke dalam. Setelah belok sana sini nanti akan ketemu tuh rumah tua dari kayu.
Pramuka adalah ekskul yang dekat dengan alam. semakin dekat dengan alam, semakin dekat pula dengan misteri-misteri di baliknya. Tahun 1989, satu regu pramuka nyaris hilang untuk selama-lamanya dalam sebuah perkemahan yang diselenggarakan sebuah sekolah.
Ini kisah Jihad, Hindun, Rahimah, Dul, dan Firman. Terjadi tahun 1989 di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Jadi Jihad, Dul, dan Firman ada di satu regu bersama 4 anak cowok lain. Nama regu mereka Regu Macan. Sedangkan Rahimah dan Hindun bersama 3 cewek lain bergabung di Regu Anggrek. Mereka ini anak kelas 6 SD.