Terkadang, alam bawah sadar merasakan hal yang semestinya gak kita rasa,
Semu hampa sisi lain selalu membuat nurani terpana, walau mata jelas terbuka, sampai akhirnya “takut” menghentikan laju nyali.
Mari simak kisah seram sekali lagi, hanya di sini, di Briistory..
***
Sekali lagi aku melirik kaca spion, bapak itu masih ada, duduk diam paling belakang sambil menatap ke luar, senyum terus mengembang di wajahnya yang terlihat bersih, terpancar rona bahagia.
Di sebelah Bapak itu ada seorang ibu dan anak lelakinya, si Ibu terus-terusan menangis, sementara anaknya terus menenangkan ibunya.
Drama hidup yang sudah sering aku saksikan ini belum juga membuat jadi terbiasa, melihat dan mendengar orang yang sedang dalam kesedihan karena salah satu anggota keluarga terbaring kritis, tetap membuat hati dan perasaanku bergetar juga. Aku jadi ikut sedih, selalu begitu.
Sementara Doni, perawat yang ikut dalam penjemputan, terdengar masih terus memberi perawatan kepada pasien yang tengah terbaring.
Jalanan Jakarta tergolong sepi, tentu saja karena masih jam dua pagi.
Sebentar lagi sampai, rumah sakit hanya tinggal beberapa ratus meter jaraknya. Ingin cepat-cepat sampai saja rasanya.
Suara serine terus memekak telinga, mengiringi ambulan yang sedang aku kemudikan melaju dengan kecepatan tinggi.
Perempuan muda, usia 20an tahun, parasnya cantik, rambut panjangnya tergerai sampai bahu, dia duduk depan, di sebelahku, sejak dari rumahnya tadi tempat aku menjemput.
Dia sepertinya adalah adik dari laki-laki yang duduk di belakang. Sama seperti ibunya, air mata perempuan ini terus mengalir sepanjang perjalanan, walau sama sekali aku gak mendengar suaranya.
Akhirnya, gerbang rumah sakit sudah kelihatan, aku lalu mengurangi kecepatan.
Ambulan aku bawa masuk gerbang, ketika kami sudah benar-benar sampai, gedung UGD menjadi tujuan.
Aku menghentikan kendaraan di depan pintu UGD, lalu dengan sigap beberapa perawat membuka pintu belakang untuk mengeluarkan pasien. Aku terus memperhatikan semuanya.
Tapi, ada yang aneh, kenapa aku gak melihat bapak yang duduk paling belakang tadi?, bapak yang selalu memperhatikan ke luar, Bapak yang ketika aku lihat selalu sedang tersenyum. Bapak itu gak kelihatan. Kemana dia?
Sama, perempuan yang duduk di kursi depan juga gak kelihatan lagi, padahal aku gak melihatnya turun kendaraan. “Ah, mungkin sudah turun tapi aku gak lihat.” begitu pikirku dalam hati.
Ya sudah, gak berpikir lebih jauh lagi, setrelah pasien dan keluarganya sudah turun kendaraan, ketika sudah selesai semua, aku lalu membawa mobil ambulan ini ke tempat parkirnya, di sebelah UGD.
Di saat-saat seperti inilah waktunya buat aku untuk beristirahat, setelah cukup lelah berkendara dengan kecepatan tinggi. Tugasku sudah selesai, hanya bisa berharap kalau pasien yang tadi aku antar bisa diselamatkan dan sembuh.
Aku menunggu di satu ruangan yang biasanya dijadikan tempat untuk beristirahat pekerja rumah sakit, entah itu perawat, dokter, atau yang lainnya. Mereka juga sama seperti aku, butuh sekadar menghela nafas ketika baru saja selesai bertugas.
Dan benar, sekitar satu jam kemudian Doni masuk ke ruangan, perawat yang menjemput pasien denganku tadi.
“Gak tertolong Mas, pasien yang tadi meninggal.” Doni bilang begitu ketika baru masuk.
“Innalillahi,”
Sedih aku mendengarnya.
“Tadi saya ngobrol sama anak-laki-lakinya, sepeninggal almarhum ayahnya sekarang hanya tinggal dia dan ibunya aja.” lanjut Doni.
“Tinggal berdua? Kan masih ada Bapak dan adiknya yang ikut kita tadi, Don,” Ucapku sedikit protes.
“Mas Anto ini gimana sih, yang meninggal itu Bapaknya. Sedangkan adiknya sudah meninggal juga dua tahun yang lalu, sakit katanya.”
“Kan tadi ada bapak-bapak di belakang bereng kamu Don, bareng pemuda laki-laki, Ibunya, dan adik perempuannya yang duduk di depan.”
“Mas, tadi itu, saya di belakang cuma bareng anak laki-laki pasien dan Ibunya aja, gak ada Bapak-Bapak.” Doni mulai agak tinggi nada bicaranya.
“Trus Bapak yang duduk di paling belakang itu siapa? Berkumis, agak gemuk, rambut sedikit ikal.”
“Ah, Mas Anto halu nih, hehe. Yang digambarin itu kok mirip dengan pasien yang meninggal tadi. Beneran, Mas, saya tadi cuma bertiga di belakang mendampingi pasien.”
“Trus, yang duduk di depan, sebelah saya siapa? Perempuan muda cantik.” tanyaku lagi.
“Sepanjang jalan tadi, gak ada orang yang duduk di depan. Mas Anto duduk sendirian, kami semua di belakang, gak ada yang duduk di depan selain Mas Anto.”
Begitu Doni bilang, dan dia sama sekali gak bercanda.
***
Aku Anto, bekerja sebagai supir ambulan di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Profesi ini sudah aku geluti sejak tahun 2009 lalu, sudah cukup lama. Awalnya, ini memang bukan jadi pekerjaan yang aku inginkan dan cita-citakan,
sama seperti kebanyakan orang aku juga ingin bekerja kantoran, tetapi nasib menggariskan demikian, aku harus mengabdikan hidup sebagai supir ambulan.
Rumah sakit tempatku bekerja juga bukan rumah sakit kecil, termasuk cukup besar malah, bangunannya menjulang tinggi di jalan besar yang terletak di selatan Jakarta.
Yayasan yang menaungi juga sangat menghargai pekerjanya, termasuk supir sepertiku. Makanya, sudah 10 tahun lebih aku bertahan, karena memang betah.
Dalam perjalanannya banyak pengalaman yang aku rasakan, pahit getirnya sudah aku alami, termasuk cukup banyak pengalaman menjurus seram, beberapa di antaranya sangat jauh di luar logika, gak masuk akal tapi kejadian
Satu pengalaman janggal menjurus seram sudah aku ceritakan di awal tadi, ketika ambulan yang aku kemudikan membawa penumpang “gelap”, dua penumpang ternyata sudah meninggal.
Seperti aku bilang tadi, banyak peristiwa yang sama sekali gak bisa diterima akal, susah untuk dipercaya, aku sendiri yang mengalaminya pun masih gak habis pikir, kok bisa semuanya terjadi
Salah satu contohnya lagi, kejadian yang aku alami ketika baru beberapa minggu pekerja, satu peristiwa yang aku sangat ingat detailnya sampai sekarang.
Waktu pertama kali masuk dulu, sebenarnya sudah ada satu supir ambulan, tetapi karena ambulan yang dimiliki oleh rumah sakit lebih dari satu, maka supir yang dibutuhkan juga harus lebih dari satu. Akhirnya, garis hidup menuntunku untuk masuk dan bekerja di rumah sakit ini.
Ada satu ambulan yang berbeda, kalau ambulan lain adalah kendaraan baru dan modern, yang ini ukurannya lebih kecil dan usianya sudah cukup uzur, bisa dibilang merupakan ambulan tua yang sebentar lagi akan dipensiunkan, namun masih layak pakai.
Bisa ditebak, akhirnya akulah yang ditugaskan untuk mengemudikan ambulan tua ini.
Kisah yang akan aku ceritakan adalah kejadian seram yang aku alami ketika mengendarainya, ambulan yang pasti sudah banyak cerita di belakangnya, saksi bisu banyak kisah sedih dan seram.
***
Pertengahan 2009, beberapa minggu aku baru mulai bekerja.
Semuanya berawal ketika aku ditugaskan untuk mengantar pasien menuju rumahnya di daerah Purwakarta, Jawa Barat.
Entah apa alasannya waktu itu, gak banyak tanya aku langsung menjalankan tugas yang diberikan.
Masih lekat dalam ingatan, waktu itu hari kamis, aku harus menuju purwakarta pada sore menjelang malam, berbarengan dengan padat kendaraan karena jam pulang kantor.
Benar saja, selepas maghrib aku terjebak dalam kemacetan jalan tol Jakarta Cikampek, volume kendaraan sangat tinggi gak mampu ditembus walaupun terang-terangan yang aku kemudikan adalah ambulan, kami tetap saja tersendat karena kendaraan lain seperti enggan untuk memberi jalan.
Untung saja pasien yang aku antar pulang ini kondisinya gak kritis, jadinya agak berkurang bebanku berkendara.
Singkat cerita, setelah menerobos padatnya jalan Jakarta Cikampek, sekitar jam 9 malam, kami sudah keluar tol dan mulai memasuki jalan biasa.
Tadinya aku pikir setelah keluar tol gak akan lama lagi akan sampai tujuan, tapi salah. Ternyata kami masih harus menempuh sekitar satu jam lagi perjalanan ke arah Subang, cukup jauh.
Tapi akhirnya perjalanan sampai di ujung juga, sekitar jam setengah sebelas kami sampai di rumah pasien.
Aku yang ditemani oleh satu orang perawat, Irawan, membantu pasien untuk turun dari ambulan bersama keluarganya.
Lega rasanya ketika tugas sudah selesai ditunaikan.
Setelah kami diajak untuk makan dan minum terlebih dahulu, jam sebelas aku dan Irawan kembali pulang menuju Jakarta.
“Mas Anto, saya nanti turun di terminal Purwakarta ya. Sudah dekat ke Bandung Mas, saya besok off dua hari, jadinya mau mudik aja sekalian, hehe.”
Irawan bilang begitu ketika kami baru saja meninggalkan rumah pasien. Dia memang orang Bandung, orang tuanya tinggal di kota kembang, makanya memutuskan untuk sekalian pulang karena sudah sampai di Purwakarta yang lebih dekat ke Bandung.
“Oh gitu, ya udah Mas. Sekalian mudik ya, tanggung udah di sini kan, Hehe.” Aku jawab begitu.
Begitulah, setelah Irawan turun nanti selebihnya aku akan berkendara sendirian menuju Jakarta.
Benar adanya, setelah sampai di lampu merah perempatan Purwakarta Subang Bandung, Irawan turun, kami berpamitan.
Setelahnya aku terus melaju, masuk jalan tol menuju Jakarta.
***
Jalan tol, jam 12 tengah malam, sudah sangat lengang walau masih cukup banyak kendaraan yang melintas.
Ambulan aku pacu dengan kecepatan sedang, melihat situasi jalan yang gak terlalu ramai dan gak ada yang perlu aku kejar, jadinya kecepatan tinggi gak terlalu diperlukan.
Ditambah, sadar kalau yang aku kendarai ini adalah kendaraan yang umurnya sudah gak muda lagi, dari pada nantinya terjadi kerusakan lebih baik aku menjalankannya dengan kecepatan normal, aman.
Benar, awalnya aman, tapi ketika mulai memasuki sepertiga perjalanan sesuatu mulai terjadi.
Sesekali aku merasakan kalau mobil seperti kehilangan tenaga, pedal gas yang aku injak tidak memberikan efek untuk melaju, tapi sebentar kemudian mesin kembali normal.
Hal ini berlangsung beberapa kali, aku jadi mulai was-was.
“Kenapa sih nih mobil.” Bergumam aku sendirian.
Kemudian mulai berdoa, semoga mobil dapat terus melaju sampai nanti di tujuan.
Terus aku berdoa sepanjang jalan.
Tapi ternyata takdir berkehendak lain, di kilometer 40 akhirnya mesin berhenti total. Untunglah aku masih sempat mengarahkan mobil ke bahu jalan sebelum mesin benar-benar mati.
Lewat tengah malam itu, aku terjebak di tengah jalan tol, dengan mobil mogok.
Untungnya, aku masih termasuk orang yang mengerti tentang mesin kendaraan, jadinya masih percaya diri untuk memeriksa kerusakan kenapa sampai mesin mati.
Di pinggir jalan itu, aku coba mencari tahu sumber kerusakannya.
Tapi aneh, entah sudah berapa kali aku memeriksa dan memperhatikan mesin mobil tapi gak melihat ada kerusakan, semuanya normal.
Sampai akhirnya menyerah, di titik ini aku coba menghubungi Pak Ruslan, beliau adalah supir seniorku, dia juga yang sebelumnya mengendarai mobil ini.
“Halo, Pak Ruslan, maaf mengganggu Pak, saya mau minta tolong.” Aku bilang begitu ketika percakapan sudah dimulai.”
“Iya, ada apa Nto?” Pak Ruslan menjawab di ujung telpon.
Kemudian aku menceritakan semua yang sedang aku alami. Tapi, di tengah percakapan, Pak Ruslan mengeluarkan pertanyaan yang menurutku agak aneh.
“Nto, ini sampeyan lagi di mana?” Tanya Pak Ruslan dengan logat jawa kentalnya.
“Saya lagi di pinggir jalan tol, Pak. emang knapa?” Aku menjawab dengan pertanyaan.
“Kok saya dengan ada orang yang sedang berdoa ya, banyak orang. Atau kamu sedang dekat tempat ibadah?”
“Gak ada, Pak. ini saya benar sedang di pinggir jalan tol, gak ada orang berdoa.”
Seperti itu percakapanku.
“Oh, gitu. Maaf, saya gak bisa bantu apa-apa. Lebih baik kamu tunggu mobil derek aja kalau memang mobil mogok total.” Begitu katanya.
Ada orang berdoa? kok aneh? tapi ya sudahlah, aku mengabaikan omongan Pak Ruslan itu.
Beliau juga gak bisa membantu. Gak ada jalan lain, aku akan menghubungi nomor darurat jalan tol.
Tapi sebelum menelpon, iseng aku mencoba memutar kunci mobil sekali lagi, mencoba menghidupkan mesin.
Sambil berdoa aku melakukannya..
Ternyata mesih hidup! Menyala dengan normal, seperti gak pernah ada kerusakan sebelumnya.
Gak buang-buang waktu, aku langsung tancap gas.
Ah leganya..
***
Aku terus memacu mobil menuju rumah sakit, aku pacu dengan kecepatan cukup tinggi supaya cepat sampai.
Tapi ketika persis sebelum aku masuk ke tol JORR lingkar luar Jakarta, ponselku berdering. Ternyata istriku yang menelpon.
“Halo, Papa di mana? Kok belum pulang juga?” Begitu istriku bilang.
“Masih di jalan, Ma. Tapi sebentar lagi sampe kok, ini udah di tol Jorr.”
“Papa sama siap di mobil? Kok ada suara orang berdoa? Ada pasienkah?”
Aku kaget mendengarnya, karena istriku menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan Pak Ruslan tadi.
“Orang berdoa? Gak ada Ma ah, ini papa sendirian. Ya sudah, udah dulu ya, nanti papa langsung pulang begitu sampe rumah sakit.”
Orang berdoa? Kok istriku dan Pak Ruslan bilang kalau mereka mendengar ada orang berdoa di dekatku, padahal aku benar sedang sendirian.
Ah, ya sudahlah, mungkin ada gangguan pada ponselku. Gak berpikir macam-macam, aku terus meluncur menembus lengangnya jalan tol.
Hal aneh berikutnya terjadi ketika aku sedang melintas di depan terminal kampung rambutan, kira-kira setengah jam menuju rumah sakit.
Tiba-tiba, sayup aku mendengar ada orang yang sedang berdoa..
Bukan satu, tapi beberapa orang. Awalnya aku pikir suaranya dari luar, tapi ternyata aku salah.
Suara orang berdoa itu asalnya dari dalam kendaraan, di bagian belakang mobil.
Sontak bulu kudukku berdiri, aku merinding, suara doa itu semakin lama semakin jelas terdengar.
Tadinya aku gak berani untuk melirik kaca spion, aku takut kalau-kalau ada pemandangan seram terlihat di belakang.
Sementara itu suara orang-orang itu semakin jelas terdengar..
Entah apa yang ada di pikiranku, akhirnya rasa penasaran memaksaku untuk melihat kaca spion, saat itulah aku melihat semuanya.
Di belakang, aku melihat ada beberapa orang sedang duduk di kursi yang memanjang kanan kiri. Mereka semua berpakaian gelap, masing masing memegang buku yang bentuknya seperti kitab suci,
mereka seperti sedang berdoa sambil membaca “kitab suci” di tangannya.
Sementara di antara mereka, di tengah ada terbaring jenazah berbalut kain putih, menyerupai pocong..
Walaupun hanya beberapa belas detik melihatnya, tapi tubuhku langsung lemas, shock, jantung berdegup kencang, aku ketakutan.
Sepanjang sisa perjalanan, kaca spion aku arahkan ke atas, supaya gak bisa melihat lagi ke belakang.
Tapi tetap saja suara-suara bait doa masih terus terdengar, terus terdengar sampai aku tiba di rumah sakit.
Sesampainya di lingkungan rumah sakit, aku langsung parkir, lalu turun dari kendaraan, lari menjauh.
Setelah cukup jauh, aku langsung terduduk lemas di depan pintu masuk UGD.
Selesai? Belum..
Dari kejauhan aku tetap bisa melihat ambulan terparkir dalam gelap. Setelah aku perhatikan benar-benar, ternyata ada pemandangan aneh.
Aku melihat ada bayangan hitam turun satu persatu dari pintu belakang ambulan, kemudian mereka menghilang masuk ke salah satu gedung besar rumah sakit.
***
Hai, balik ke gw lagi ya, Brii.
Cukup sekian cerita malam ini, semoga bisa jadi penghibur sepi.
Sampai jumpa dengan cerita-cerita lainnya minggu depan.
Tetap sehat,supaya bisa terus merinding bareng.
Mimpi indah..
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seperti suara, ada tapi gak terlihat. Susuran ruang dan waktu sering kali gak sesuai capaian akal, atau mungkin kita belum sampai ke tahapan itu.
Raka akan bercerita tentang perjalanannya ke Jogja yang berbelok entah ke mana.
Simak semuanya di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Di luar gerimis, jendela kereta basah tapi gak terlalu. Atap rumah-rumah yang terlewati kelihatan basah, begitu juga jalanan. Lampu kota gak seterang malam awal, apa lagi ini bukan Jakarta, penerangan seadanya, rumah-rumah hanya menyalakan lampu kecil, banyak juga yang malah nggak ada penerangan, tapi semuanya akan sedikit berubah ketika kereta mulai memasuki Jogjakarta.
(Katanya) Ada banyak lapisan dimensi di alam ini, tapi gak banyak orang yang bisa masuk dan merasakan berada di dalam dimensi lain.
Menurut kamu, apakah Niko sedang menembus antar dimensi ketika tersesat di kaki Gunung Kerinci seperti ceritanya di bawah ini?
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
Jarak pandang jadi sangat pendek karena tertutup kabut tebal, jalan setapak yang tidak rata serta licin jadi medan berat yang harus dilalui. Tas ransel besar di punggung makin terasa berat. Udara sangat dingin.
Aku tidak tahu harus melangkah ke mana..
Jalan setapak ini kadang menanjak, kadang menurun, tapi sepertinya lebih banyak menurun jadi sepertinya ini sudah ke arah yang benar, yaitu ke kaki gunung. Syukur-syukur kalau bisa menemui sungai, aku bisa menyusuri arusnya menuju hilir yang sudah pasti ada pemukiman di sana. Tapi, entah sudah berapa jam berjalan tanpa arah seperti ini, aku belum juga menemukan aliran sungai, suara air mengalir pun tidak terdengar, apa lagi pemukiman penduduk, tidak ada sama sekali.
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.
Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.
Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.
Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.
Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Satu batang lagi, ah”
Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.
Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.