Ketika anda petani, dan anda tahu bahwa 5 bulan lagi kopi di kebun seluas 11 hektar milik anda siap panen, adakah persiapan khusus harus dilakukan?
Yang jelas, Itu panenan besar. Itu bisa dan sebaiknya harus dilihat dari sisi pandang sebagai pintu masuk bagi langkah lebih besar ingin kita capai. Itu juga moment strategis bagi masa depan harus mendapat pijakan.
Sama sekali tak boleh kita lewatkan dan maka segala persiapan, perhitungan hingga hal-hal detil terkait masa panen itu menjadi concern kita. Itu hal logis atas pandangan kaum yang peduli dengan masa depan.
Adakah hal pantas harus pemerintah lakukan sejak dari sekarang bila pada tahun 2030 nanti bonus demografi kita meningkat 2 kali lipat?
Ingat, itu juga tentang panen kita atas jumlah usia produktif yang seharusnya menjadi keuntungan. Data berbicara dan itu bukan reka-reka.
Usia produktif seperti apa yang kita butuhkan pasti terkait dengan bagaimana masa depan meminta. Selalu ada korelasi, dan benang merah atas hal tersebut harus negara temukan agar keuntungan dituai bukan beban justru didapat.
Bila langkah fakta harus kita tuju dan di depan sana ada tempat perhentian bernama industri 4.0, dan itu juga baru dapat kita lewati dengan syarat dan ketentuan berlaku, tak ada kata lain selain HARUS BISA. Untuk itulah negara harus hadir demi mempersiapkannya.
"Indonesia sendiri telah menyiapkan roadmap implementasi Making Indonesia 4.0.
Terdapat tiga hal utama dalam road map itu," demikian pernyataan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada agenda pameran dagang tingkat dunia, Hannover Messe, secara virtual pada Senin 12 April 2021.
"Tantangannya adalah menyiapkan SDM yang mampu menghadapi tantangan masa depan, yakni tantangan big data, tantangan kecerdasan artifisial, tantangan internet of things," ujarnya.
Presiden sangat memahami apa tuntutan atas bagaimana kita dipaksa harus berjalan menuju.
Industri 4.0 pun hanya satu fase sebagai langkah harus. Itu bukan pilihan, itu lebih pada penekanan HARUS.
"Apakah ini terkait dengan ramai berita bukit algoritma di Sukabumi itu?"
Perlahan dan pasti tirai tipis penutup jarak pandang clear kita atas "tiba-tiba bukit algoritma" diurai.
Bukan salah kita tak mampu melihat dengan jelas bukit itu sebagai fenomena dan kita terkejut, bahkan seorang Fahri Hamzah hingga Ridwan Kamil pun masih bertanya dengan nada terdengar sama dengan kita.
Bukan rencana kita ingin membuat tiruan Silicon Valley seperti di AS sebagai cara gagah-gagahan membuat kita kagum, ada realisasi dana sebesar 1 miliar Euro atau setara 18 triliun rupiah sudah dipastikan turun.
Itu terbukti dari penandatanganan kontrak antara BUMN AMKA dan PT Bintang Raya Lokalestari. Kontrak itu berbicara tentang pemberian perintah pada BUMN Amarta Karya untuk segera bekerja membangun infrastruktur. Ini valid.
Bila hal agak janggal yakni sekelas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan politisi senior sekelas Fahri Hamzah pun tampak terkejut, ini wajar karena investasi sebesar 18 triliun adalah investasi kakap dan terdengar agak mustahil didapat pada situasi seperti saat ini.
Apalagi ketika nama Budiman Sudjatmiko sebagai Ketua pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO dianggap sebagai inisiator atas proyek tersebut. Ini memancing tamya daripada jawab.
"Niatnya saya respons, saya dukung, tapi hati-hati kepada semua orang yang sedikit-sedikit bilang mau bilang bikin Silicon Valley," ujar Ridwan.
Sementara, melalui tuiter Fahri Hamzah bercuit, " Om @budimandjatmiko punya proyek 1 miliar Euro gak ngajak2 ih…😂 (becanda sih)"
Namun ketika Presiden memberi sambutan pada agenda pameran dagang tingkat dunia, Hannover Messe, secara virtual pada Senin 12 April 2021 dan berbicara tentang bagaimana seharusnya kita bersiap menghadapi era industri 4.0, kita dibuat mengerti.
Sepertinya Presiden berada di balik semua ini. Presiden memajukan seorang Budiman sebagai inovator 4.0 untuk membantunya mempersiapkan panen atau bonus demografi 2030 nanti.
Bukit Algoritma yang pada tahap awal akan menelan dana sebesar 18 triliun rupiah untuk lahan dengan luas 354 hektar dan akan diperluas menjadi 888 hektar pada proyek berikutnya adalah adalah jawaban Presiden.
Di sana, tantangan big data, tantangan kecerdasan artifisial, tantangan internet of things, hingga teknologi masa depan akan menjadi tema pembicaraan sehari hari dan maka kita tak asing dengan itu semua.
Di sana, anak-anak pintar kita mendapat ruang bersaing dan berkompetisi demi mengejar makna pencapaian hebat masa depan negara besar ini. Industri 4.0 hanya satu langkah kecil namun di sana pula langkah besar menuju langkah selanjutnya adalah keniscayaan itu sendiri.
Pantaskah melalui Budiman Presiden ingin bonus demografi itu dikelola dengan baik sehingga panen tenaga kerja dengan skill pantas bagi kita menuju era industri 4.0 dapat terwujud?
Bukit Algoritma menyimpan cerita itu...
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.