Dalam hal kerukunan sebagai sesama anak bangsa, harus kita akui bahwa kita tinggal kelas. Ga pernah naik kelas dan terus masih duduk dibangku yang sama sejak puluhan tahun lalu dan kita pun masih tampak tak malu.
Terlalu banyak perkara kita ungkit. Terlalu sibuk cara kita mencari sisi berbeda diantara kita dibanding dengan kesamaan kita dalam satu bangsa misalnya.
Ketika Presiden menggaungkan nikel sebagai unggulan bangsa ini, komunis sebagai cap PKI pd wajah negeri tirai bambu itu mereka sematkan.
Di sana, ingatan atas rasa marah dan was2 akan hadirnya kmbl ancaman paham komunis kita buat lebih penting dibanding dengan negara Tiongkok yang hadir sebagai investor.
Narasi bahwa TKA China akan merampas porsi pekerja kita hingga China sebagai negara akan menjajah kita dari sisi ekonomi lebih mendapat penekanan dibanding mereka hadir sebagai partner. Sebagai teman dalam bisnis dan kita mencari keuntungan bersama.
Investor yang kita undang dan kemudian datang bukan kita sambut, justru kita caci dengan narasi benci.
Tak berbeda dengan Morowali, kini pada Sukabumi pun kita berdebat. Morowali dengan nikelnya dan Sukabumi dengan Bukit Algoritmanya.
Bila pada Morowali mereka sibuk membenci China, pada Sukabumi mereka skeptis dan mentertawakan tuan rumah.
Bila pada Morowali mereka tak suka pada siapa yang datang (investor), pada Sukabumi mereka tak percaya pada siapa yang akan mengelolanya.
Budiman Sudjatmiko yang berhasil membawa investor masuk dengan investasi awal sebesar 18 triliun rupiah dipertanyakan kelayakannya dan maka itu dianggap sebagai gimmick politik belaka. Dia tak dianggap figur berprestasi justru ancaman. Atas apa, itu ada pada jawab mereka.
Dianggap justru akan membuat prestasi mangkrak hingga curiga adanya kepentingan lain seperti pemburu rente dan marketing real estate belaka, itu diungkap dalam ramai tanggapan para skeptis.
Bahkan majalah Tempo dgn sinisnya dalam halaman mukanya memasang gambar Bukit itu dengan berhias Teletubbies.. wow segitu bersemangatnya Tempo. 👏👏👏👏
Kabar Indonesia akan melangkah lebih baik selalu tampak mustahil di mata para skeptis dan maka tanggapan berniat menjatuhkan selalu kemudian kita dengar. Itulah fakta tentang kebersamaan kita.
Morowali yang tak dianggap dan cibir selalu hadir dalam setiap pembicaraannya telah membuktikan dirinya. Mereka semua salah..!! Morowali dari yang awalnya "tak tampak" pada google map kini menjelma menjadi pusat nikel dunia.
Dari Morowali, produk stainless steel tersemat pada nama Indonesia sebagai pengekspor terbesar nomor 4 di dunia setelah China, Uni Eropa dan India. Ingat, itu stainless steel, produk bergengsi sebuah peradaban.
Dari Morowali pula produk baterai mobil listrik dunia sudah pasti akan lahir. Panasonic dan LG sebagai pemain terbesar dalam dunia baterai sudah berinvestasi secara besar-besaran di sana.
Menjadi salah satu pusat produksi mobil listrik dunia, itu tak lagi menjadi jarak yang membuat kita gamang. Itu hanya terpisah oleh waktu sebagai jarak.
Dalam hal teknologi, harus kita jujur akui bahwa itu milik mereka. Itu nilai lebih mereka selain uang berlimpah dan maka kita undang sebagai investor. Kita belajar sekaligus menghasilkan nilai tambah atas SDA kita.
Pada Bukit Algoritma kesinambungan itu mendapatkan tempatnya.
Hadirnya Bukit Algoritma dalam perspektif kita sebagai negara yang ingin melompat masuk jajaran negara berproduksi iptek ingin dibuat menjadi lebih masuk akal.
Bukan sekedar transfer teknologi kita berharap dapat dari investor yang sudah datang, namun melakukan penelitian brsm dgn mereka sekaligus membuat inovasi sbg syarat kita melompat dapat kita lakukan secara paralel dan berkesinambungan pada Silicon Valley milik berharga kita itu.
Pada Bukit Algoritma kegiatan seperti Amati, Tiru dan Modifikasi dapat dimulai dengan melibatkan banyak pihak atas teknologi yang sedang dan akan terus dibuat di Morowali hingga ikut serta pada penerapan teknologi mobil listrik yang akan menjadi unggulan negara ini.
Di sana, bukan lagi kita sebagai bangsa pengunduh, kita memiliki potensi naik kelas menjadi pengunggah.
Itulah makna Bukit Algoritma dibuat hadir di mana komunitas ilmiah mendapat pijakan bagi cara mereka berdiskusi.
Di sana kesatuan antara penelitian hingga aplikasi dalam bentuk produk yang kita butuhkan dan bernilai strategis kita miliki.
Sama seperti Morowali pernah tak dianggap namun kini dari sana terbukti mampu lahir industri strategis bernilai teknologi terdepan, demikian pula pada Sukabumi dengan Bukit Algoritmanya.
Tak perlu kita habiskan tenaga dan pikiran hanya demi meng counternya.
Tak perlu kita harus merasa runtuh mental hanya karena cibiran itu. Seharusnya, itu menjadi cara kita semakin yakin bahwa langkah kita sudah benar.
Tak ada jaminan para skeptis itu akan hilang hanya karena kita berhasil membuktikannya dan sukses. Mereka akan selalu mampu menciptakan panggung baru dan itulah maksud mereka hadir. Demi panggung dan upah tepuk meriah.
Jalan terus Mas Bud, toh anjing menggonggong kafilah tetap berlalu
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.