Sebesar apakah Bukit Algoritma akan menjadi hingga majalah Tempo edisi terbaru, BAHKAN PADA EDISI 50 TAHUN USIANYA, sengaja dan secara khusus memampang bukit itu pada cover depan pada terbitan terbarunya?
Atau, nama Budiman Sudjatmiko Kah menjadi bidikannya?
Hmmm…. pasti bukan perkara kecil apalagi sepele bila sekelas Tempo harus mengungkitnya. Apalagi dijadikan sampul. Ini terlihat seperti ada unsur sengaja dibuat belok ke arah politik.
Padahal sampai detik ini peristiwa tersebut masih terasa lebih kuat gaung investasinya dibanding unsur politis. Masih terkait dgn kita mencari tau siapa dibalik investor yg nekad nyeburin duit 18 triliunnya pada proyek yg juga masih lebih banyak menyimpan tanya dibanding jawab.
"Ada apa ini?"
Sebagai investasi, patut itu kita apresiasi. Itu terkait seorang warga negara yang mencoba turut terlibat langsung dalam membantu negara dan pemda sekaligus masyarakat.
Itu dapat dilihat dari jumlah dana yang dapat ditarik dari investor dan kabarnya porsi keterlibatan asing adalah yang paling besar.
Investasi sebesar 18 triliun rupiah jelas bukan angka yang kecil. Konon itu baru untuk 3 tahun tahap pertamanya saja dan baru teraplikasi pada +/- 350 hektar dari total rencana seluas 888 hektar.
Konon teknologi pertanian dan peternakan sebagai tulang punggung pedesaan akan menjadi titik penting tempat itu dibangun dan dipakai untuk penelitian sekaligus komunitas bagi para praktisi berdiskusi dan maka menara BUMDES menjadi icon atas rencana itu.
Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sebagai badan usaha terinspirasi BUMN digagas oleh Budiman sebagai cara mengentaskan desa dari ketertinggalan.
Di sana Desa sebagai ujung tombak ekonomi berbasis agrikultur ingin dibuat berdampingan dengan teknologi terkini sedang dituju. Petani sebagai agen kekinian bukan hal mustahil sedang ingin dibuat hadir.
Bukan pada Sillicon Valley di AS Budiman terpengaruh, pada Sillicon Fen atau Cambridge University dimana biotechnology menjadi hal sangat penting menjadi kiblatnya. Dia kuliah sekaligus mendapat inspirasi itu di sana.
Memahami bahwa desa selalu terkait dengan kemiskinan sekaligus ketertinggalan, mencoba membuatnya bangun adalah dengan cara mengaplikasikan idenya pada desa-desa tersebut.
Menjadi masalah adalah dari mana dana didapat sementara fakta berkata bahwa desa adalah tempat kemiskinan itu sendiri berasal.
.
.
Undang-undang Desa dia perjuangkan selama dia menjadi anggota DPR RI berhasil. Atas disahkannya UU Desa, bantuan negara pun hadir.
Lebih dari 70 triliun rupiah per tahun, melalui APBN, negara mengalokasikannya.
.
.
Tiba-tiba desa memiliki dana siap pakai sebesar 1 atau 1.5 miliar rupiah per tahun per desa.
Melulu memperbaiki jalan atau pembangunan fisik yang lain, tentu bukan satu-satunya maksud dana desa digelontorkan oleh negara. Terlibat dalam komunitas pintar ala menara Bumdes yang akan dibangun di Bukit Algoritma
adalah salah satu cara merubah image desa tak lagi harus identik dengan keterbelakangan dimaksud. Itu salah satu maksud Bukit Algoritma hadir.
.
.
"Trus kenapa Tempo nyolot?"
Siapa di belakang Tempo tentu terkait politik karena majalah itu kini memang lebih tampak sebagai corong atau pengeras suara bagi kepentingan ketimbang fungsi MEDIA yang seharusnya memberitakan.
Fungsinya disinyalir sudah berubah. Bukan hal aneh karena jaman juga sudah berubah. Media online dan aplikasi media sosial sebagai agen perubahan itu tak punya wajah pemaaf. Siapa tak siap pasti dilindas dan ditinggal. Dalam sekaratnya, salahkah Tempo berpihak?
Menempatkan Budiman berikut dengan Bukit Algoritmanya dari sisi politik, ada tampak bahwa seseorang atau sekelompok orang di luar sana sedang merasa terancam. Paling tidak, ada yang merasa tersaingi.
Salah satu kebiasaan kita adalah terlalu mudah kagum. Sementara, kekaguman itu seringkali tiba-tiba juga kita kaitkan dengan ekspektasi kita.
Dia cocok menjadi penerus pak Jokowi. Itu narasi yang paling cepat muncul sebagai jawaban atas ekspektasi kita.
Sangat mungkin, itu pula kalimat sebagai bentuk rasa khawatir yang ada dalam benak mereka yang ada di belakang Tempo dan maka majalah itu perlu harus memberitakannya dengan narasi seperti itu.
.
.
Implisit Tempo berbicara pada kita bahwa Budiman Sudjatmiko adalah pesaing bernilai kakap bagi siapa dibelakang berita itu. Clear dan benderang posisi Budiman dapat kita lihat tanpa harus dengan panduan teks saat kita "meminjam pakai".kacamata milik majalah Tempo.
Artinya, di mata siapa yang ada di belakang Tempo, Budiman terlihat memang sedang digadang menjadi capres 2024 dan itu diuji cobakan pada target terbangun dan berfungsinya Bukit Algoritma di Sukabumi Jawa Barat.
Bukit itu terbangun dan berfungsi seperti apa yang dikampanyekannya adalah syarat bagi nama itu menyandang capres 2024 dan maka Tempo harus hadir dan menjegalnya. Lebih bagus lagi bila bisa membuat runtuh jauh sebelum itu terbangun.
.
.
. @SierraDiscenda
Kabar terbaru, pembangunan fisik sudah harus dimulai setelah lebaran bulan depan. Kabar itu pasti bukan kabar baik bagi Tempo. Juga tak baik bagi siapa di belakang majalah tersebut.
"Apakah itu juga kabar baik bagi pendukung pak Jokowi?"
Saya lebih senang melihat Bukit Algoritma sebagai pijakan bagi langkah kita selanjutnya demi bangsa ini maju ke depan. Penelitian dan aplikasi teknologi yang dihasilkannya kelak, akan membuat bangsa ini naik kelas.
@PakarINTELek
Bukan lagi sebagai bangsa pengunduh, tapi pengunggah. Bukan lagi sebagai bangsa penikmat, tapi pencipta teknologi.
.
.
Itu adalah martabat kita sebagai bangsa harus tersemat. Itulah Indonesia seharusnya.
"Layakkah Budiman Sudjatmiko menjadi capres 2024 seperti alasan tersembunyi majalah itu tampak khawatir?"
Di atas bukit nan jauh...Teletubbies bermain-main... Tinky, Winky, Dipsy, Lala dan... (Tem)Poo...berpelukan.
.
.
. @1ND1RA69
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.