Sebulan terakhir, kami mencatat pelbagai stori pengalaman masyarakat adat menghadapi pandemi. Kearifan mereka tampak kontras dengan sikap dan kebijakan para pejabat modern di pusat-pusat pemerintahan.
Para pemuka adat gerak lekas. Terapkan karantina wilayah. Pertimbangan utamanya: kesehatan.
Sebaliknya, dari Istana, kebijakan PPKM Mikro diambil dengan pertimbangan kondisi "ekonomi, sosial, politik, dan pengalaman negara lain". Sama sekali tak menyebut soal kesehatan.
Dari tepian Nusantara, masyarakat adat juga mengajarkan solidaritas.
Sedulur Sikep di Kendeng, misal, menyuplai beras yang dijual dengan harga bersahabat untuk warga miskin kota di Jakarta.
Sedangkan di pusat negara seorang menteri korupsi bantuan sosial.
Di pelosok Sumatra, Orang Rimba berdisiplin menerapkan besesandingon dengan masuk ke hutan. Mereka ambil jarak dengan dunia luar kala pandemi.
Kontrasnya, di kota-kota besar, ada pejabat abai yang malah bikin acara ulang tahun atau menghadiri pernikahan YouTuber.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Tidak perlu dibantu, negara tidak perlu pusing dengan desa Boti," kata Kepala Desa Boti, Balsasar O.I Benu.
Masyarakat adat Boti di Timor Tengah Selatan, NTT, gerak cepat saat Covid-19 mengancam. Alam dan adat jadi pelindung. Simak liputan dari Boti di projectmultatuli.org/boti-covid-19-…
Warga Boti setengah geram lantaran kecenderungan pemerintah melihat mereka dari kacamata urban: Mereka dianggap miskin, dan perlu bantuan.
Padahal mereka berkecukupan saat berdampingan dengan alam. Pun ihwal pandemi, mereka sudah bikin kebijakan menutup desa sejak April 2020.
Raja Boti, Namah Benu, langsung menerapkan penutupan akses masuk desa begitu dengar kabar pandemi.
Praktik ala masyarakat adat itu, kontras dengan gaya pemerintah yang buka pintu bagi warga yang pulang dari luar negeri. Imbasnya varian baru Covid-19 gentayangan di Indonesia.