Gak perlu prolog, mari kita mulai cerita prekuel #rhdpk.
Simak cerita seram mencekam di perkebunan karet, hanya di sini, di Briistory..
***
Nyaris semua doa yang kuhapal sudah terucap pelan, namun ketakutan tetap di kepala gak mau menghilang.
Tarikan nafas hanya sebatas leher, gak ada kekuatan untuk menghirup udara dalam-dalam.
Keringat dingin mulai mengucur pelan, membasahi kulit kepala turun ke dahi dan wajah.
Aku tenggelam dalam suasana mencekam..
Sendirian..
Di rumah, di tengah perkebunan karet.
Desir udara yang tadinya bertiup bergerak, seketika menghilang, mati. Suara pepohonan yang bergoyang karena angin, tiba-tiba hening, sepi tanpa aba-aba.
Tuhan.. lindungi dan selamatkan aku, berikan kekuatan untuk dapat melalui malam mencekam ini, sekali lagi.
Sekali lagi, aku mendengar suara langkah-langkah kaki yang berjalan di atas semak dan rerumputan. Awalnya terdengar jauh, namun semakin lama semakin mendekat, dan akhirnya seperti berhenti tepat di depan rumah
Jam 1 lewat tengah malam, aku yang terkurung sendirian di dalam rumah akhirnya memberanikan diri untuk berdiri dan mendekat ke jendela, ingin tahu ada apa sebenarnya di luar, suara langkah kaki siapa yang ada di halaman.
Tirai lusuh yang menggantung menutupi jendela secara perlahan ku geser sedikit-demi sedikit, membuat celah ruang untuk mengintip.
Setelah sudah ada cukup celah, barulah terlihat keadaan di luar, walaupun masih dengan sudut pandang sempit.
Lampu templok yang kami pasang di luar berbahan bakar minyak tanah yang ukurannya cukup besar, bisa menerangi rumah sampai belasan meter ke depan.
Sepi, di bagian kiri halaman gak ada siapa-siapa, remang cahaya menunjukkan seperti itu.
Di kejauhan aku masih bisa melihat pohon-pohon karet yang berdiri berbaris walau hanya berbentuk siluet, kokoh tegak dalam hening dan diam.
Kemudian aku menggeser sudut pandang ke bagian tengah halaman. Ternyata sama saja, hanya lahan kosong sepi di tengah remang cahaya.
Rasa takut yang kurasakan beberapa detik ke belakang dan sudah sedikit mereda, tiba-tiba kembali mencuat memenuhi isi kepala, ketika pandangan mulai bergeser ke sebelah kanan, persis di depan rumah.
Di situ aku melihat pemandangan yang sangat menyeramkan, pemandangan samar tapi masih bisa terpampang dengan bantuan sedikit cahaya.
Memicingkan mata, menguceknya sekali lagi, berusaha memperjelas penglihatan supaya bisa menembus gelap.
Beberapa belas detik kemudian, barulah aku bisa menangkap semuanya, melihat dengan mata kepala sendiri, objek yang sejak tadi membuat penasaran.
Seketika detak jantung seperti berhenti, desir aliran darah mengalir pelan, bulu kuduk berdiri. Aku kembali tercekat ketakutan, ketika melihat ada beberapa sosok sedang berdiri di dalam gelap.
Benar, di antara pepohonan karet aku melihat beberapa sosok yang bentuknya seperti manusia.
Entahlah, mungkin enam atau delapan orang, aku belum bisa memastikan. Jangankan jumlahnya, untuk bentuk pastinya pun aku masih belum bisa memastikan, karena masih kelihatan berbentuk siluet, bayangan hitam.
Aku yang sangat ketakutan masih terus terpaku melihat mereka, coba mencerna dan lebih jelas lagi menangkap bentuk sosok-sosok itu.
Tenganku masih tetap menahan tirai, menjaga supaya bisa terus ada celah untuk melihat ke luar. Setelah (mungkin) satu menit kemudian, barulah pandangan bisa menangkap semuanya..
Beberapa sosok ini berdiri dua baris ke belakang, entah berapa jumlahnya, karena yang di belakang tertutup gelap pekat, aku hanya bisa melihat cukup jelas hanya tiga atau empat baris di depan.
Tapi yang pasti, aku bisa sangat jelas melihat sosok-sosok yang berada paling depan, karena jaraknya paling dekat dengan aku yang sedang mengintip.
Ternyata, sosok-sosok paling depan sedang menggotong sesuatu,
Setelah aku pertegas dan pastikan lagi ternyata mereka sedang membopong keranda mayat..
Mereka berdiri diam menghadap ke rumah, rumah tempat aku sedang terjebak sendirian. Iya, hanya itu yang mereka lakukan, berdiri diam sambil membopong keranda jenazah.
Aku tercekat cekam, gak mampu menelan ludah sendiri, ketakutan.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk melangkah mundur menjauh dari jendela, ketika tiba-tiba melihat mereka mulai bergerak.
Beberapa sosok bergerak maju, melangkah terlihat seperti melayang pelan mendekat ke pintu rumah.
Ya Tuhan..
Aku kemudian berdiri di sudut ruang tengah, dalam remang cahaya petromak yang mulai kehabisan bahan bakar. Keringat dingin mengucur, tubuh mulai gemetaran.
Sambil terus memandang ke arah pintu, berharap semoga gak ada yang membukanya dari luar..
Tapi, harapan hanya tinggal harapan, karena aku melihat gagang pintu mulai bergerak-gerak dengan sendirinya, seperti ada yang sedang coba membukanya dari luar.
Diam terpaku, hanya itu yang bisa aku lakukan.
Beberapa belas detik kemudian, hal yang paling aku takutkan akhirnya terjadi, pintu rumah mulai terbuka perlahan, benar ada yang membukanya dari luar..
***
Hai, break sebentar ya, hehe, balik ke gw dulu, Brii.
Sepertinya gw harus memperkenalkan lagi, apa sih sebenarnya cerita #rhdpk ini?,
walau mungkin sebagian besar teman-teman yang sudah follow lama sudah tahu apa itu #rhdpk, tapi karena banyak juga yang baru gabung maka gw harus menceritakan lagi dari awal, secara singkat tentunya. :)
#rhdpk ini singkatan dari “Rumah Hantu Di Perkebunan Karet”, satu kisah yang sudah gw tulis di twitter dan IG, sudah tertuang juga dalam bentuk buku, diterbitkan oleh Panas Dalam, underbow dari Mizan.
Bukunya masih bisa dibeli di toko buku konvensional dan Market Place. Terima kasih buat teman-teman yang sudah beli atau pun belum, karena kalian semualah buku #rhdpk jadi masuk ke jajaran best seller, terima kasih yaaaa.
Nah, #rhdpk ini menceritakan tentang satu rumah yang letaknya di tengah perkebunan karet, perkebunan karet yang terletak di pedalaman Sumatera.
~Perkebunan karetnya seram?, Sangat. Untuk detailnya silakan baca lagi postingan Briistory, atau supaya lebih jelas bisa beli bukunya, hehe.
#rhdpk ini merupakan kisah nyata, bukan rekaan atau karangan, pelakunya masih ada, rumahnya (mungkin) masih ada, perkebunan karetnya jelas masih ada.
~Pelakunya masih ada Brii?, Masih ada, karena si pelaku adalah Om gw sendiri, yaitu Om Heri dan temannya yang bernama Wahyu.
Makanya gw berani bilang ini kisah nyata, karena ya itu tadi, om gw sendiri yang mengalami, ditambah gw juga pernah datang mengunjungi rumah perkebunan karet ini ketika masih kecil dulu, jadi kurang lebih masih ingat detil bentuk rumah dan keadaan situasi perkebunan karetnya.
Nah, sebenarnya walaupun sudah banyak gw tulis, tapi cerita #rhdpk ini belum selesai, masih banyak kisah yang tersimpan, masih banyak cerita yang belum terungkap.
Makanya, dengan pertimbangan matang, dan dengan banyak riset yang sudah gue dan team lakukan, maka sepertinya sudah waktunya untuk mengeluarkan cerita #rhdpk ini lagi, tapiiiiii…
Iya, ada tapinya. Tapi kami membungkusnya dengan judul “Prekuel #rhdpk”, kenapa prekuel? Karena lingkup ceritanya akan membahas kisah dan waktu sebelum datangnya Om Heri dan Om Wahyu ke tempat kejadian.
Jadi pelakunya akan beda, tapi rumah dan perkebunannya tetap sama, cuma agak lebih mundur lagi ke belakang, tepatnya di akhir tahun 1980-an.
Kali ini pelakunya adalah Aldo, Sandi, dam Pak Rahman.
Aldo dan Sandi adalah pemuda berumur 27 dan 29, kerja di Jakarta pada perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan. Sedangkan Pak Rahman, umurnya 40 tahun, penduduk setempat yang nantinya jadi seperti guide bagi Aldo dan Sandi.
Sampai sini paham ya?
Kalau sudah paham, mati kita lanjut cerita yang sudah banyak ditunggu-tunggu kelanjutannya, kisah nyata yang cekamnya keterlaluan, seramnya menembus ketakutan sampai sisi terdalam.
Yuk, bersama-sama kita menembus rindangnya perkebunan karet, di #rhdpk.
***
~Awal tahun 1988~
“Ah, akhirnya berangkat juga ya kita, Do, hehehe.”
“Ini semua gara-gara lo, kenapa juga mau sih ditugasin di tengah hutan Sumatera.”
Itu parcakapanku dengan Sandi, ketika kami sudah duduk di dalam bis luar kota yang akan mengantar kami ke satu wilayah di satu kota kecil di perbatasan Sumatera Selatan.
===Aku Aldo, bersama Sandi rekan kerjaku, kami ditugaskan oleh kantor untuk survey kelayakan dari satu wilayah perkebunan.
Jadi rencananya perusahaan tempat kami bekerja ini akan membeli satu wilayah yang dulunya dipergunakan sebagai perkebunan karet,
namun katanya sudah kira-kira belasan tahun lamanya terbengkalai.
Maka dari itulah, aku dan Sandi ditugaskan untuk datang mengunjungi untuk melihat-lihat keadaannya.
Rencananya kami akan tinggal di sana selama satu minggu, ada beberapa penelitian dan tes juga yang akan dilakukan, kami ingin tahu tingkat kesuburan tanah dan info lainnya.
Awalnya, aku keberatan dengan tugas ini, dengan bermacam alasan. Salah satunya jauh dari keluarga, dan tempat yang akan kami kunjungi ini jauh di pedalaman Sumatera, mendengarnya saja sudah cukup seram.
Tapi akhirnya Sandi bisa membujukku dengan berbagai cara dan alasan, hingga akhirnya aku luluh dan mau menemaninya menjalankan pekerjaan ini. ===
Singkat cerita, setelah belasan jam perjalanan akhirnya bis yang mengantar kami tiba di satu kota kecil.
Jam sebelas siang kami turun dari bis lalu berdiri di pinggir jalan depan pertokoan, matahari nyaris berada tepat di atas kepala, panasnya menyengat mencairkan keringat.
Kami, dengan penampilan yang agak berbeda dengan warga setempat, sedikit menarik perhatian, beberapa mata terlihat memandang dengan penasaran.
“Kemana dulu nih kita, San? Lo pegang alamatnya kan?” Tanyaku ke Sandi yang masih berdiri dengan wajah sedikit mengantuk.
“Iya, gue juga bingung baca alamatnya nih. Kotanya sih bener kota ini.” Jawab Sandi.
Mungkin raut wajah kami memang kelihatan kebingungan, jadi tambah menarik perhatian banyak orang.
“Mau ke mana, Bang?”
Tiba-tiba ada orang yang sudah berdiri di dekat kami.
“Kami mau ke alamat ini, tau gak Bang?” Jawab Sandi sambil menunjukkan secarik kertas di tangannya.
Orang itu membacanya sebentar, lalu dia bilang “Oh, ini sih Pak Rahman, Bos tanah. Ayo, saya antar ke rumahnya, gak jauh kok dari sini.”
Kebetulan yang menyenangkan, tentu saja kami senang mendengarnya dan ikut ajakan dari pemuda ini.
Kami mengikuti langkahnya, menuju ke arah belakang kota kecil ini, menyusuri jalan tanah lebar menembus celah pertokoan yang berbaris berjajar.
Memang kota kecil, keramaian hanya ada di sepanjang jalan besar tadi, yang kebetulan merupakan jalan lintas Sumatera.
Gak terlalu lama, hanya kira-kira 30 menit perjalanan, diselingi dengan obrolan santai jadinya gak terlalu terasa. Tibalah kami di depan satu rumah kecil dengan halaman luas, rumah sederhana namun kelihatan sangat nyaman sebagai tempat tinggal.
“Ayo, bang. Kita masuk. Ini tumah Pak Rahman.” Ajak pemuda baik hati ini, yang belakangan kami tahu kalau namanya Kuswan.
Ada yang menarik perhatian ketika kami sudah berada di halaman rumah, tepat di depan teras ada tiga motor berjajar, aku bertanya-tanya dalam hati kok banyak sekali motor yang dimiliki Pak Rahman.
Setelah sudah berada di depan pintu, Kuswan mengetuknya. “Assalamualaikum..”
Agak lama kami menunggu, sampai akhirnya pintu terbuka lalu muncul lelaki setengah baya dari dalam rumah.
“Pak Rahman, ada tamunya nih,”Ucap Kuswan sambil tersenyum.
“Oh, Mas Sandi dan Mas Aldo ya? hehe, Saya Rahman.” Ucap beliau dengan senyum ramah.
Kemudian beliau mempersilakan kami duduk di kursi teras, di situlah kami mulai berbincang.
Setelah itu Kuswan yang sudah berbaik hati mengantarkan, pergi setelah kami sudah mengucap banyak terima kasih.
Jadi, singkatnya, Pak Rahman ini adalah orang yang ditunjuk oleh perusahaan untuk jadi semacam guide yang akan memandu kami dalam rangka survey ini. Pak Rahman juga merupakan orang kepercayaan dari pemilik lahan.
Beliau sudah lama tinggal di kota kecil ini, dan juga kurang lebih sudah sangat tahu keadaan dan situasi lahan perkebunan karet yang akan kami tuju.
“Kira-kira saya sudah 15 tahun tinggal di sini, dan sudah lima tahun bekerja untuk pemilik lahan yang Mas-mas ini mau datangi.” Begitu katanya.
Menurut cerita Pak Rahman, dia sebenarnya sangat jarang datang ke perkebunan karet ini, hanya sesekali saja kalau ada orang yang datang untuk melihat-lihat dengan tujuan untuk membeli, seperti kami inilah kira-kira.
“Yang pasti, perkebunan karet itu sudah lama terbengkalai. Karetnya sudah lama gak disadap, semak belukar dan rumput ilalang tumbuh subur hampir di setiap sudut lahan. Pokoknya lihat saja sendiri nanti, hehe.” Ucap Pak Rahman, lagi-lagi dengan senyuman.
“Berapa lama perjalanan dari sini Pak?” tanyaku.
“Kira-kira satu jam perjalanan menggunakan motor. Nah, itu motornya sudah saya siapkan, hehe.”
Pak Rahman menunjuk tiga motor terparkir di halaman, yang tadi sempat menarik perhatian. Ternyata motor itu disiapkan untuk kami.
“Nanti Mas Aldo dan Mas Sandi bisa pakai dua motor itu untuk transportasi, hehe.”
Ah sukurlah, kami gak harus berjalan kaki ke perkebunan karet, pikirku dalam hati.
Tapi, satu jam lebih perjalanan bermotor juga cukup melelahkan sih.
“Rumah tempat menginap juga sudah disiapkan dan dibersihkan, tinggal mengisi saja. Malam ini saya bisa menemani menginap di sana, sampai besok sore, lusa saya ada keperluan jadi gak bisa menemani, hehe.” Lanjut Pak Rahman.
“Rumah tempat kami tinggal dekat-dekat sini Pak?” Tanya Sandi penasaran.
“Loh, memang kalian gak dikasih tahu? Rumahnya bukan di sini, tapi di perkebunan karet itu. Tapi tenang saja, aman banget kok di sana.”
Hmmm, ini informasi baru. Kami pikir rumah tempat kami akan tinggal letaknya di kota kecil ini, ternyata salah, tapi di tengah-tengah perkebunan karet.
Ya, sudah, gak ada lagi yang bisa kami lakukan selain menuju perkebunan karet itu, lalu menyelesaikan pekerjaan supaya lekas kembali ke Jakarta.
“Kalau sudah siap, nanti setelah makan siang kita langsung berangkat saja ke perkebunan ya.” Ucap Pak Rahman,
Aku dan Sandi mengangguk setuju.
Setelah itu kami melanjutkan perbincangan, lebih banyak berisi mengenai perkebunan karet walau sesekali membincangkan hal lainnya.
Pak Rahman yang sangat ramah dan suka bercanda, menjadikan kami betah berlama-lama berbincang dengannya.
***
Nyaris jam setengah dua siang, kami memulai perjalanan.
Matahari mulai sedikit condong ke barat, tapi panasnya masih terasa membakar kulit. Mengendarai motor masing-masing, Pak rahman berada paling depan, aku dan Sandi mengikuti dari belakang.
Kami menuju ke luar kota kecil yang gak terlalu ramai ini. Awalnya menyusuri jalan aspal yang di kanan kirinya berdiri bangunan pertokoan kecil berjajar berbaris memenuhi sisi jalan, tapi lama kelamaan barisan toko itu berkurang dan akhirnya menghilang,
karena kami mulai berbelok keluar dari jalan besar beraspal berganti jalan tanah yang gak terlalu lebar.
Di sini mulai memasuki wilayah hutan, yang Pak Rahman bilang kami memang harus melalui hutan belantara dulu sebelum masuk wilayah perkebunan karet.
Dan benar, hutan yang kami telusuri kurang lebih bisa disebut belantara, pepohonan berdiri lebat dan rindang, sinar matahari gak bisa menembus sepenuhnya, hanya garis-garis cahayanya saja yang mampu menerobos kerindangan.
Jalanannya juga agak menantang, beberapa kali kami melewati tanjakan curam dan kelokan berliku. Untung saja cuaca cerah, entahlah apa jadinya kalau diguyur hujan.
Raungan mesin motor yang kami tunggangi seperti memecah kesunyian belantara ini, semakin jauh ke dalam keadaannya semakin rimbun dan sepi.
Di awal perjalanan, sesekali kami masih berpapasan dengan penduduk yang lalu lalang menggunakan motor, tapi lama kelamaan sepertinya hanya tinggal kami bertiga yang berada di jalanan yang semakin lama semakin mengecil ini, hanya kami yang sedang berada di hutan ini.
Aku cukup takjub dengan pemandangan yang terpampang, pemandangan yang belum pernah aku melihat dan merasakan sebelumnya, pemandangan yang mustahil ada di kota Jakarta.
Tapi sekitar sudah 45 menit perjalanan, Pak Rahman menghentikan laju motor, kemudian aku dan Sandi berhenti juga di sampingnya.
“Nah, ini batas paling luar perkebunan karetnya, berbatasan langsung dengan hutan yang kita lewati tadi,” Begitu kata Pak Rahman.
Memang benar, beberapa meter di depan pemandangan sudah berubah, yang tadinya hutan belantara berganti jadi banyak pepohonan karet berdiri memanjang, berbaris rapih berjarak sama satu dengan lain.
“Yuk, kita lanjut jalan, rumahnya sekitar setengah jam dari sini.” Pak Rahman bilang begitu, lalu kami mengikuti di belakangnya.
Lagi-lagi benar apa yang pak Rahman bilang, perkebunan karet ini sangat gak terawat, rumput ilalang dan semak belukar nyaris memenuhi permukaan, berdesakan di antara pohon-pohon karet.
Aku memandanginya sambil terus melaju, memperhatikan kanan kiri pepohonan karet yang terlihat jadi seperti terowongan panjang.
Sepi, gak ada orang sama sekali, sepertinya benar hanya kami orang yang ada di wilayah luas di pedalaman Sumatera ini.
Tapi ada yang sedikit aneh, mungkin hanya perasaan saja atau bagaimana, tapi aku merasa kalau ada yang sedang memperhatikan kami, entah siapa. Yang lebih aneh lagi, aku merasa kalau perkebunan karet ini hidup, dan seperti sedang memperhatikan kami juga.
Sungguh perasaan yang aneh, kan.
Tapi ya sudahlah, aku coba mengabaikan, lalu mengalihkan dengan lagi-lagi memperhatikan sekeliling, perkebunan karet yang sepertinya sudah sangat lama terbengkalai gak terurus. Melihat ini semua, aku jadi ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dan kembali ke Jakarta.
***
“Nah, itu rumahnya. Bagus, kan? Hehe.”
Begitu Pak Rahman bilang ketika kami lagi-lagi berhenti, kali ini di atas kontur tanah yang agak tinggi.
Dari tempat ini kami bisa melihat rumah yang ditunjuk oleh Pak Rahman, jaraknya sekitar 50 meter dari tempat kami berada.
Rumah yang gak terlalu besar, gak berpagar, rerumputan hijau tergelar nyaris menutupi seluruh halamannya.
“Yuk, kita ke sana.”
Lalu kami menuju ke rumah itu.
Beberpa saat kemudian sampai, persis di depan rumah kami memarkirkan motor.
“Jadi, rumah ini letaknya memang di ujung perkebunan. Di belakangnya sudah bukan pepohonan karet lagi, nanti Mas-Mas bisa melihatnya sendiri, hehe.”
Aku dan Sandi memperhatikan sekitar, masih jam tiga sore, tetapi suasananya sudah sangat sepi, hanya suara obrolan kami saja yang terdengar, selebihnya sunyi.
“Di sini belum ada listrik, tapi lampu minyak tanah dan petromak sudah saya siapkan semuanya. Termasuk kompor dan peralatan makan sudah ada, hehe. Kira-kira berapa lama di sini ya?” Kalimat Pak Rahman diakhiri dengan pertanyaan.
“Paling lama satu minggu Pak, tapi kalau memang pekerjaan sudah selesai kurang dari seminggu ya kami akan pulang.” Jawab Sandi.
Gak lama, setelah berbincang di luar lalu kami masuk ke dalam rumah.
Rumah dengan dua kamar besar di depan dan satu kamar lebih kecil di belakang. Di depan dua kamar besar, ada ruang tamu atau ruang tengah cukup besar, di dalamnya ada sofa panjang, meja kayu, dan dua kursi.
Yang menarik, kamar mandi di rumah ini masih menggunakan sumur sebagai sumber air.
“Tenang saja, air yang ada di sumur ini sangat bersih, bisa digunakan sebagai air minum setelah dimasak.”
Pak Rahman bilang begitu, ketika kami sedang melihat isi kamar mandi dengan sedikit keheranan.
Di depan kamar mandi ada dapur kecil dengan perlengkapan memasak seadanya.
Oh iya, di belakang rumah ternyata pepohonan bambu, sungguh banyak pohon bambu yang berdiri di situ.
Setelah selesai berkeliling, kami lalu membereskan barang-barang bawaan, meletakkannya di kamar depan.
Aku dan Sandi memutuskan untuk tidur di kamar yang sama nantinya, sementara kamar tengah akan diisi oleh Pak Rahman yang malam ini rencananya akan menginap di sini juga.
Hari pun terus bergulir manjadi sore, mendekati malam.
***
Jam delapan malam, setelah makan kami berbincang di ruang tengah. Lampu petromak jadi sumber penerangan, dalam jangka beberapa waktu kami harus memompanya agar bisa terus menyala terang.
“Mas-mas bisa tenang bekerja di sini. Kalo boleh tahu survey apa saja sih yang akan dilakukan?” Tanya Pak Rahman sambil menghisap rokoknya.
“Gak banyak kok Pak, hanya mengukur luas lahan, menghitung banyaknya pohon karet, kesuburan tanah, dan sebagainya. Kira-kira seperti itu Pak.” Jawab Sandi.
“Harapannya sih gak sampai seminggu tugas kami sudah selesai.” Sambungku.
Perbincangan cukup seru dan menarik, ditambah Pak Rahman memang sepertinya orang yang sangat senang bercerita tentang apa saja,
tapi pikiranku sesekali teralihkan, memperhatikan situasi dan keadaan rumah ini dan perkebunan karet di luar.
Heningnya sungguh benar adanya, gak ada suara sama sekali selain suara dedaunan yang bergoyang tertiup angin.
“Kenapa Mas? Sepi sekali ya? hehe, yah namanya juga di tengah hutan kan.”
Pak Rahman membuyarkan lamunanku.
“Hehe, iya Pak, saya sama sekali belum pernah merasakan tinggal di tempat seperti ini.” Jawabku.
***
Masing-masing gelas kopi yangada di meja sudah habis, hanya menyisakan bubuknya saja. Entah sudah berapa batang rokok yang sudah kami habiskan untuk menemani percakapan.
Gak terasa sudah nyaris jam 11 malam.
Angin dingin mulai menyeruak masuk ke dalam rumah dari pintu depan yang memang sengaja kami biarkan terbuka sejak tadi.
Sementara di luar gelapnya sudah gak karuan, yang terlihat hanya batang-batang besar pepohonan karet yang kelihatan dari kejauhan.
Obrolan pun sudah mulai lebih banyak jeda, sepertinya sudah hampir habis bahan perbincangan, ditambah aku dan Sandi memang sudah sangat kelelahan.
Tapi, sekali lagi aku membakar rokok, lalu berdiri dari duduk dan berjalan menuju pintu. Aku ingin melihat pemandangan di luar.
Hmmm, pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya, gelap pekat perkebunan karet, nyaris gak ada objek yang bisa tertangkap indera penglihatan.
Nah, ketika sudah beberapa menit berdiri di pintu, tiba-tiba aku mendengar sesuatu. Ada suara yang cukup aneh, aku sama sekali gak pernah mendengar suara ini sebelumnya.
“Creek, creek, creeekk.”
Kira-kira seperti itu.
Aneh, suara apa sih?
Aku menajamkan pendengaran, coba menangkap lagi suara yang awalnya tadi terdengar di kejauhan.
“Creek, creek, creeekk.”
Kedengaran lagi..
Kali ini jaraknya seperti sudah lebih dekat.
“Creek, creek, creeekk.” Terdengar lagi beberapa kali.
“Pak, itu suara apa ya? Pak Rahman dengar kan?” Tanyaku kepada Pak Rahman, yang aku perhatikan dari wajahnya juga seperti keheranan.
“Oh, itu suara binatang malam, sejenis jangkriklah.” Jawabnya.
Ah, masa sih jangkrik suaranya seperti itu? Sepertinya gak begitu. Kalau jangkrik aku sudah sering mendengar suaranya.
Bergumam aku dalam hati.
“Creek, creek, creeekk.” Suara itu muncul lagi, kali ini kedengaran sangat jelas, dan sepertinya sumber suara berada dekat rumah.
“Sudah malam, yuk kita tidur aja, istirahat. Mas Aldo, tutup pintunya dan jangan lupa dikunci ya.”
Tiba-tiba Pak Rahman bilang begitu, entah kenapa.
Ya sudah, aku dan Sandi menurut.
Kami langsung membereskan semuanya, menutup pintu dan menguncinya, lalu masuk kamar depan, sementara Pak Rahman tidur di kamar tengah.
Di dalam kamar, aku dan Sandi meneruskan berbincang.
“Gila lo ya, harusnya gue gak mau ikut sama lo ke tempat ini, serem San,” Aku bersungut di atas tempat tidur dengan suara pelan.
“Gue juga kan gak tau kalo bakal tinggal di rumah kayak gini. Kalo tau begini gue juga gak bakalan mau. Ya udahlah, besok kita cepet beresin kerjaan, dua tiga hari kalo udah beres ya kita balik ke Jakarta. Ngapain lama-lama di sini.” Jawab Sandi.
“Trus, lo denger gak suara creek creek tadi di luar?”
“Iya, gue denger juga.”
“Kok gue gak yakin sama jawaban Pak rahman ya, kayaknya itu bukan jangkrik deh.”
“Trus suara apaan dong?”
“Ya gue gak tau.”
Setelah itu kami diam tanpa perbincangan, mencoba beristirahat mengobati kelelahan setelah sudah menempuh perjalanan panjang sejak kemarin.
***
Sandi sudah terlelap sejak tadi, sementara aku masih susah untuk masuk ke alam mimpi. Walau beberapa kali terkesiap, tapi setelahnya kembali segar terjaga.
Rumah ini begitu senyap, heningnya mengundang cekam di kepala.
Hembusan suara angin yang menabrak pepohonan beberapa kali terdengar dari luar, udara cukup dingin juga terasa berhembus masuk dari sela-sela jendela.
Kalau aku perhatikan, ruang tengah juga gelap, sepertinya lampu petromak sudah mati, aku melihatnya dari celah di atas pintu.
Aku hanya melamun sambil terus memperhatikan langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu, cahaya lampu templok kamar memberikan penerangan cukup.
Sampai akhirnya, hal yang aku takutkan sejak tadi terjadi, aku ingin buang air kecil, pingin pipis.
Takut? Ya tentu saja, makanya aku perlahan membangunkan Sandi untuk menemaniku ke belakang. Tapi entah dia berpura-pura atau nggak, Sandi tetap gak bangun juga dari tidurnya.
Sudah gak tahan, akhirnya aku memberanikan diri untuk ke kamar mandi sendirian.
Melangkah ke luar kamar, yang pertama kali terlihat adalah ruang tengah yang benar memang sudah gelap, pencahayaan hanya dari kamarku dan kamar Pak Rahman.
Iya, ternyata pintu kamar Pak rahman dalam keadaan tarbuka, ketika aku melewati depan kamarnya dia terlihat tertidur lelap di atas ranjang.
Aku lalu terus melangkah menuju kamar mandi.
Dapur dalam keadaan gelap juga, kami memang membiarkannya seperti itu, tapi di depan pintu kamar mandi sudah disiapkan lampu templok kecil untuk dibawa ke dalam.
Di dalam kamar mandi, aku akhirnya bisa lega buang air kecil. Setelah itu gak lupa menyiramnya.
Nah, ketika sudah hampir selesai inilah, tiba-tiba aku mendengar suara itu lagi..
“Creek, creek, creeekk.”
Suara yang persis sama dengan yang kami dengar tadi di luar. Bedanya, kali ini terdengar sangat jelas, sepertinya sumber suara bukan berada di luar, tapi di dalam rumah!
“Creek, creek, creeekk.” Kedengaran lagi.
Saat itulah aku sangat yakin kalau itu bukan suara jangkrik seperti yang Pak Rahman bilang. Jangkrik gak seperti itu bunyinya..
Rasa takut mulai menyeruak isi kepala, tapi gak ada jalan lain kecuali harus membuka pintu dan keluar.
Ya sudah, dengan masih memegang lampu templok di tangan, perlahan aku mulai membuka pintu kamar mandi, menariknya pelan.
Setelah pintu sudah terbuka, yang pertama kali terlihat adalah dapur, yang masih terlihat sangat gelap, lalu aku mengarahkan cahayanya ke sana.
Dapur kosong, gak ada apa-apa, sukurlah, aku bisa bernapas sedikit lega.
Aku lalu buru-buru melangkah ke depan, menuju kamar.
Tapi..
“Creek, creek, creeekk.”
Suara itu kembali kedengaran, ketika aku sedang persis berada di depan pintu kamar Pak Rahman.
“Creek, creek, creeekk.”
Sepertinya berasal dari dalam kamar Pak Rahman.
Reflek, aku lalu menoleh, memandang ke dalam kamar Pak Rahman.
Aku memperhatikan dengan seksama, menajamkan penglihatan, karena ada yang beda, pemandangannya berbeda dengan ketika aku baru mau ke kamar mandi sebelumnya.
Di atas tempat tidur, aku melihat Pak rahman masih terlelap menghadap dinding. Tapi ada yang aneh, kali ini ada sesuatu di sebelahnya, ada sesuatu yang sedang terbaring juga di atas tempat tidur.
Awalnya, aku melihat itu seperti guling, tapi lama kelamaan aku tersadar kalau itu ternyata bukan guling, ukuran guling harusnya gak sampai sebesar itu, gak ada guling berukuran sebesar tubuh manusia dewasa.
Lalu itu apa yang ada di sebelah Pak Rahman?
Aku terhenyak, tubuhku tetiba lemas, setelah sadar dengan pemandangan yang ada di kamar Pak Rahman.
Ternyata, benda yang sedang aku perhatikan adalah pocong.
Ada pocong sedang terbaring di atas tempat tidur, tepat di sebelah Pak Rahman.
Pocong sebesar ukuran tubuh orang dewasa, berbalut kain putih kusam lengkap dengan ikatan di beberapa bagian.
Aku sangat ketakutan.
Lalu tiba-tiba, “Creek, creek, creeekk.”
Suara itu kedengaran lagi.
Tapi aku masih juga belum bisa melangkah, kaki sangat berat untuk digerakkan. Desir aliran darah begitu cepat, mencekam.
Semakin ketakutan lagi, ketika aku melihat kalau pocong itu perlahan mulai bergerak. Yang tadinya berbaring, dia mulai bangkit, seperti hendak berposisi duduk.
Tuhan, pemandangan apa ini..
Nyaris menangis, ketika akhirnya aku melihat pocong sudah duduk di atas tempat tidur, menghadapku..
Entah dapat kekuatan dari mana, akhirnya aku dapat menggeser menyeret kaki untuk melangkah masuk ke dalam kamar depan.
Setelah sudah di dalam kamar, buru-buru menutup pintu lalu menguncinya dari dalam.
Nafas tersengal, keringat dingin mulai mengucur. Aku gemetar ketakutan..
Sementara Sandi masih lelap tertidur..
Gak mau ketakutan sendirian, aku lalu membangunkan Sandi, kali ini dengan lebih memaksa, Sandi harus bangun.
Beberapa belas detik kemudian akhirnya Sandi bangun juga.
“Ada apa sih, Do?” Tanya Sandi sambil mengucek-ngucek matanya.
“San, ada pocong di kamar Pak Rahman,” Nyaris berbisik aku bilang begitu.
“Hah? Serius? Lo tau dari mana?” Sandi langsung total terjaga.
“Gue liat sendiri tadi, waktu balik dari kamar mandi.” Masih gemetar aku berbicara.
Tiba-tiba..
“Creek, creek, creeekk.”
Suara itu kedengaran lagi, aku dan Sandi mendengarnya..
“Itu bukan suara jangkrik San.” Ucapku.
“Trus, itu suara apa?” tanya Sandi mulai ketakutan juga.
“Kayaknya itu suara pocong.”
“Ah, gila lo. Serem amat,”
“Coba liat aja sendiri kalo gak percaya.”
Entah apa yang ada di kepala Sandi, dia malah berdiri lalu berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya perlahan.
Sandi mengintip ke luar..
Gak lama, setelah mengintip, Sandi lalu memandangku dengan wajah pucatnya, terlihat sangat ketakutan..
***
Haii, balik lagi ke gue ya, Brii.
Kira-kira, apa yang dilihat oleh Sandi? Semoga penasaran..
Karena sudah malam dan ceritanya terlalu panjang, jadi gue akan lanjut minggu depan aja ya. Yang pasti minggu depan akan lebih seram mencekam.
Tetap sehat, tetap jalankan protokol kesehatan, jangan lengah.
Sampai jumpa minggu depan,
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seperti suara, ada tapi gak terlihat. Susuran ruang dan waktu sering kali gak sesuai capaian akal, atau mungkin kita belum sampai ke tahapan itu.
Raka akan bercerita tentang perjalanannya ke Jogja yang berbelok entah ke mana.
Simak semuanya di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Di luar gerimis, jendela kereta basah tapi gak terlalu. Atap rumah-rumah yang terlewati kelihatan basah, begitu juga jalanan. Lampu kota gak seterang malam awal, apa lagi ini bukan Jakarta, penerangan seadanya, rumah-rumah hanya menyalakan lampu kecil, banyak juga yang malah nggak ada penerangan, tapi semuanya akan sedikit berubah ketika kereta mulai memasuki Jogjakarta.
(Katanya) Ada banyak lapisan dimensi di alam ini, tapi gak banyak orang yang bisa masuk dan merasakan berada di dalam dimensi lain.
Menurut kamu, apakah Niko sedang menembus antar dimensi ketika tersesat di kaki Gunung Kerinci seperti ceritanya di bawah ini?
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
Jarak pandang jadi sangat pendek karena tertutup kabut tebal, jalan setapak yang tidak rata serta licin jadi medan berat yang harus dilalui. Tas ransel besar di punggung makin terasa berat. Udara sangat dingin.
Aku tidak tahu harus melangkah ke mana..
Jalan setapak ini kadang menanjak, kadang menurun, tapi sepertinya lebih banyak menurun jadi sepertinya ini sudah ke arah yang benar, yaitu ke kaki gunung. Syukur-syukur kalau bisa menemui sungai, aku bisa menyusuri arusnya menuju hilir yang sudah pasti ada pemukiman di sana. Tapi, entah sudah berapa jam berjalan tanpa arah seperti ini, aku belum juga menemukan aliran sungai, suara air mengalir pun tidak terdengar, apa lagi pemukiman penduduk, tidak ada sama sekali.
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.
Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.
Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.
Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.
Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Satu batang lagi, ah”
Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.
Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.