Disclaimer : Nama desa dan tokoh bukan nama sebenarnya
Kejadian ini terjadi di suatu desa perbatasan jawa tengah dan jawa timur , tepatnya di era 80an ketika pembangunan belum menyeluruh hingga ke kepelosok pelosok desa.
Sebuah desa , sebut saja namanya desa Jatialas merupakan sebuah desa yang dikenal dengan hasil kerajinan tangan yang menjadi komoditas desa.
Perkenalkan , aku Rani .. salah satu warga desa Jatialas yang hidup sangat berkecukupan di desa ini.
Mungkin dengan segala sesuatu yang kami punya, keluarga kami dianggap sebagai salah satu keluarga yang terpandang.
“ Rani.. belum ke sumur? “ tanya salah seorang warga yang lewat di depan rumahku.
“ini sebentar lagi bu… nanti saya nyusul “ jawabku.
Untuk memenuhi kebutuhan air di desa ini , kami harus menimba air dari sumur yang terdapat di ujung perbatasan desa , sebenarnya tidak jauh hanya saja untuk keperluan air di rumah , kami harus setidaknya 2 kali bolak balik sumur.
“ Eh.. Rani, katanya Bapakmu nambah karyawan lagi ya? “ Tanya seorang ibu yang sedang ikut mengantri menimba sumur.
“Iya bu… pesenan dari kota tambah banyak biar bisa diambil semua” Jawabku menjelaskan kepada mereka.
“Wah… makin kaya ya keluarga kamu , harusnya kamu ga usah nimba ke sumur ini lagi.. kan bisa nyuruh anak buah Bapakmu” lanjut ibu itu.
“ hihi… jangan bu, nanti aku jadi males… Bapak yang nyuruh, harus aku yang ke sumur” jawabku.
Giliranku datang, aku memenuhi jerigen dengan air , segera kembali ke rumah , dan kembali lagi ke sumur hingga bak di rumah terisi penuh. Rutinitas inilah yang terjadi di setiap pagi, Siangnya aku membantu untuk membuat kerajinan.
Semua berjalan seperti rutinitas desa lainya , namun malam ini terjadi hal yang tidak biasa… suara kentongan berbunyi , jumlah kentongan itu menandakan ada orang yang meninggal.. wargapun keluar dari rumah dan berkumpul..
“ mas… siapa yang meninggal? Kejadianya dimana?” tanyaku kepada mas anto yang lewat depan rumahku.
“ Itu , Pak Tardi… katanya jasadnya ditemukan di dalam sumur , ini saya mau ke sana” jawabnya dengan buru-buru.
Aku mengenakan sandalku dan menyusul ke sana.
Benar yang diceritakan mas anto , jasad Pak Tardi terlihat tebaring di sisi sumur dengan wajah yang sudah ditutup selembar kain, terlihat perangkat desa sedang sibuk memeriksa kondisi jasad dan lokasi.
Aku pulang dan menceritakan ke Bapak dan ibu , namun sepertinya mereka tidak terlalu pedulli. Padahal dulunya Pak Tardi pernah bekerja pada Bapak sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Setelah kematian Pak Tardi warga takut menggunakan sumur tersebut mungkin karena merasa kurang bersih juga. Dengan kondisi itu , warga mendesak perangkat desa untuk membuat aliran air dari PDAM .
akhirnya dalam waktu sebulan semua itu terealisasi dan sumur itu jarang digunakan lagi.
Seluruh warga sudah bisa menikmati air bersih dari pam, namun entah mengapa Bapak masih menyuruhku untuk menimba dari sumur tersebut. Sebenarnya aku tidak masalah,
hanya saja terkadang aku merasa ada sesuatu mengawasiku dari suatu tempat.
Malam ini suara kentongan kembali terdengar, seorang anak kecil hilang seharian dan ternyata ditemukan lagi di dalam sumur.
Warga kembali heboh dan menuntut untuk menutup sumur itu , namun yang mengherankan.. Bapak tidak setuju , dengan alasan sumur sebagai cadangan air saat pdam bermasalah.
Karena Bapak adalah orang berpengaruh , warga dan perangkat desa tidak dapat berbuat apa-apa ,
namun warga sudah sama sekali tidak ada yang menggunakan sumur itu.
…
..
Sudah sebulan bisnis Bapak tidak berjalan dengan baik, akhrinya Bapak memutuskan untuk memberhentikan beberapa karyawan.
Hal ini terus berlanjut , sesekali aku mendengar perbincangan Bapak dan ibu di kamar..
“ Jangan pak.. udah cukup apa yang kita punya” ucap ibu sayup-sayup dari dalam kamar.
“Nggak buk.. kita ga bisa jatuh miskin lagi , dari awal kita sudah siap akan resikonya” ucap Bapak dari dalam kamar.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan , namun setelahnyapun mereka masih berdebat.
Esoknya aku membantu membuat kerajinan bersama pekerja yang lain.
Terlihat dari jauh Bapak menghampiriku dengan membawa sebuah kendi.
“ Nduk… nanti malam kamu mampir ke sumur ya.. bawa kendi ini dan isi sampai penuh” ucap Bapak dengan menyerahkan sebuah kendi tua.
“u.. untuk apa pak?” tanyaku bingung.
“sudah , ga usah tanya-tanya… “ ucapnya dengan raut wajat yang serius.
Aku menuruti perintah Bapak , setelah langit mulai gelap , sebuah kendi tua kubawa menuju sumur. Walaupun sudah terbiasa tapi aku merasa ada yang aneh dari semua ini.
Sebuah sumur tua terlihat di hadapanku , tidak ada penerangan yang selain lampu minyak yang kubawa. Sedikit demi sedikit aku menimba sumur dan mengisi kendi tua pemberian Bapak, namun sebelum sempat penuh tali dan emberku tersangkut , sebuah benda ikut terbawa..
Aku menariknya sekuat tenaga hingga benda itu terangkat ke atas dan terjatuh di samping sumur. Lampu minyak kudekatkan ke benda itu dan yang terlihat sungguh mengerikan.
Jasad bayi yang sudah membusuk dengan bau menyengat tergeletak di pinggir sumur..
Aku menutup mulut dan hidung menahan bau busuk yang muncul dari jasad itu , segera kuangkat lampu minyak dan bersiap berlari meninggalkan sumur.
Belum sempat berdiri , badanku tertahan dengan sesosok makhluk yang muncul dari belakangku.
Makhluk perempuan dengan wajah yang membusuk dengan rambut putih yang disanggul berantakan berdiri tepat di depan wajahku.
“ mau kemana nduk… sekarang di sini tempatmu” ucap makhluk itu kepadaku.
“to.. tolong!!!” aku mencoba berteriak , namun sepertinya tidak ada yang mendengar.
“ Bapakmu sudah menyerahkanmu pada kami untuk ditukar dengan kekayaanya… sekarang kamu milik kami” ucap makhluk itu.
Beberapa makhluk lain mulai muncul dari semak-semak di sekitar sumur dan bersiap menghampiriku.
“nggak.. gak mungkin, Bapak ga mungkin ngelakuin itu! “ bantahku dengan air mata yang mulai menetes.
“ hihihi… disebelahmu itu adalah jasad adikmu , dan jasad ibumu sudah lenyap terlebih dulu” makhluk itu semakin mendekat dan mencengkramkan tanganya ke tubuhku.
Aku menghindarinya dengan kaki yang lemas.
“Ibu ada di rumah… ga mungkin aku percaya sama demit laknat seperti kamu” teriaku kepada makhluk itu.
“ Ibumu, adikmu, dan kamu adalah tumbal yang dijanjikan ayahmu untuk bisa menjadi kaya dan hidup bersama wanita sundal yang mengaku sebagai ibumu… khikhihi..” ucap demit itu.
Tanpa terasa , setan dari balik semak sudah mencapai tubuhku dan mencengkram dengan erat.
“Ba.. pak! Gak mungkin.. Bapak.. tolong Rani pak!” aku berteriak sambil meronta. Namun tenaga setan itu terlalu kuat.
Rasa sakit yang tak tertahankan mulai muncul , selama semalaman setan-setan itu mencabik-cabik tubuhku dan menjilati semua darah yang menetes dari lukaku. Setan-setan baru bermunculan melakukan hal yang sama hingga mereka puas dan mengangkatku.
Suara gemericik air terdengar, itu adalah darahku yang menetes ke dalam air di lubang sumur . suara itu terdengar beberapa kali hingga tubuhku menyusul tetesan darahku kedalam lubang itu sebagai tumbal perjanjian Bapak dengan setan-setan ini..
Di sisi lain langit, ratusan tiang cahaya yang membentuk anak panah menggantung, menanti satu komando. Mereka berpendar dalam warna merah darah, berkedip-kedip seperti detak jantung para makhluk di bumi yang mulai merasakan ancaman maut.
"Tempat ini... akan musnah," desah Arumbraja, hampir putus asa. Ia menatap langit dengan wajah pucat, rambut panjangnya tersapu angin badai yang mulai menggila.
Namun di sebelahnya, Jaya Wira berdiri tegak, menggenggam sebilah pedang sakti yang berdenyut dengan aura panas. "Walau tempat ini hancur, itu bukan alasan untuk berhenti melawan."
Dari kejauhan, terdengar teriakan yang memecah keheningan..
"Mas Arumbraja! Mas Jaya!"
Guntur berlari menembus kabut, bersama Nyai Jambrong yang masih kuat meski usianya telah menua. Debu dan tanah beterbangan saat keduanya tiba.
"Tempat ini terlalu berbahaya!" seru Jaya Wira, mencoba memperingatkan.
Namun Nyai Jambrong hanya terkekeh sinis. “Kekekeke... Memangnya ada tempat yang aman di hari kiamat seperti ini?”
Tanpa banyak bicara, Guntur mendorong sebuah busur besar ke dada Arumbraja. Busur itu bersinar saat menyentuh kulit pendekar itu.
"Ini! Gunakan ini!” seru Guntur.
Arumbraja terdiam, kedua tangannya bergetar saat memegang Busur Pasupati. Aura sakti menyelimuti tubuhnya.
"Tak ada waktu menjelaskan! Busur itu takkan bertahan lama! Ki Arsa mempercayakan kalian untuk menggunakannya sebaik mungkin!” seru Nyai Jambrong, lalu menyerahkan Cakra Sudharsana pada Jaya Wira.
Begitu tangannya menyentuh cakra itu, mata Jaya Wira memancarkan harapan yang sebelumnya telah padam. "Dengan ini... kita bisa menandingi Cakram Bayulodra. Terima kasih...”
Namun kegembiraan mereka tak berlangsung lama.
"Masalahnya... di mana pemilik Cakram Bayulodra itu?” tanya Guntur, waspada.
Seketika terdengar suara dari dalam benak mereka. Suara Mbok Sar yang terdengar seperti angin yang menyusup ke celah jiwa.
"Setan-setan itu telah menyerang desa-desa di kaki gunung. Mereka menjadikan warga sebagai tumbal dan membawa wabah ular. Kita terkecoh....”
Guntur panik. "Terns kita harus bagaimana, Mbok Sar?!”
"Jagad telah pergi mendahului kalian. la menghadapi panglima dari Naga Antadurga— pemilik Cakram Bayulodra. Tapi ia membutuhkan bantuan Nyai Runtak untuk menenangkan warga yang kerasukan dan keracunan di sana...”
"Aing siap!!” seru Kang Jawir dari belakang, menyanggupi tanpa ragu.
"Gerbang gaib Jagad masih terbuka! Pergilah sekarang!”
“Berangkat!!” Kang Jawir menggendong Nyai Runtak dan melesat menembus kabut bersama kekuatan gaib yang membuka celah langit.
Guntur menatap kepergian mereka, hatinya semakin cemas.
“Mas Jagad pergi... Kang Jawir dan Nyai Runtak juga... Lalu bagaimana kita menghadapi makhluk-makhluk itu, Eyang?!”
Nyai Jambrong menjawab ringan, “Pukul saja. Kalau nggak mempan, lempar batu. Kalau masih nggak mempan, pakai senjata. Kalau masih juga. ya pakai semua. Gitu aja kok repot. Kekekeke...”
“Eyang! Ini serius!!”
Wajah Nyai Jambrong berubah dingin, tak ada lagi senyum.
"Memang serius,” katanya datar. la menatap ke langit. Anak panah Nararingga kini mulai bergetar, siap melesat seperti hujan maut.
"Prabu Krana!” seru Arumbraja. "Kali ini aku tak akan kalah... tanpa perlawanan!”
Ia memusatkan seluruh kekuatannya ke Busur Pasupati. Tiba-tiba, dari pusaka itu, terbit cahaya yang membentuk ratusan anak panah cahaya. Jumlahnya sama dengan yang tergantung di langit.
"Sekarang!!”
Wuuuuuuuussssshhh!!!
Panah-panah cahaya melesat ke langit dan saling bertumbukan dengan panah-panah Nararingga.
Trang! Trang! Trang!
Suara logam bertabrakan membelah udara. Kilatan cahaya menyambar-nyambar seperti petir. Langit menjadi ladang pertempuran, tempat dua kekuatan adikodrati saling menghabisi.
Guntur ternganga, tubuhnya bergetar menyaksikan keajaiban di atas sana. Panah-panah dari Busur Pasupati berhasil menahan setiap anak panah Nararingga. Tak satu pun menyentuh tanah.
Langit tetap gelap. Tapi harapan kini mulai bersinar.
Ledakan cahaya dari benturan panah-panah sakti di langit mengguncang langit dan bumi. Di balik lapisan dimensi lain, sepasang mata menyala dalam kegelapan.
Sosok tinggi besar, tersembunyi di antara batas realitas, mengamati semua dengan dingin.
“Jadi... benar dugaanku,” gumam Prabu Krana dengan suara dalam, bergemuruh seperti gaung dari perut bumi. "Sebagian kekuatan Busur Nararingga telah dicuri. Kalau tidak, mustahil panah lemah itu mampu menandinginya.”
Tanpa peringatan, makhluk setinggi pepohonan itu melangkah keluar dari alam persembunyian. Tanah bergetar, udara terhisap masuk, dan kabut gelap merambat mengikuti langkahnya.
Wujudnya menyerupai raja agung dari zaman purba, mengenakan pakaian kerajaan yang berhiaskan simbol naga dan matahari hitam. Di tangannya tergenggam Busur Nararingga, pusaka emas berkilau yang menyimpan kekuatan penghancur zaman.
Tapi tubuhnya mengeluarkan aroma amis darah dan kematian—seperti jagal agung yang baru saja keluar dari medan pembantaian.
"Aku tahu pencuri kekuatan pusaka itu ada di zaman ini,” ucapnya dengan nada tenang namun mengancam. "Serahkan padaku, sebelum kuguncang gunung ini dan kuhapuskan tanah tempat kalian berpijak.”
Deg! Nyai Jambrong yang biasanya tak gentar kini terdiam sejenak. la tahu, ancaman makhluk itu bukan sekadar gertakan kosong.
Namun ia tertawa renyah, "Kekekeke... kami tidak sebodoh itu, Prabu Krana! Tanpa kekuatan utuh dari pusakamu, kau mungkin bisa meruntuhkan gunung ini. Tapi jika kekuatan itu kembali padamu, zaman ini yang akan binasa!"
PUSAKAYANA
Part Akhir - Tembang Pamungkas
(Bagian 1)
Ingatan Prabu Arya Darmawijaya membuka rahasia tentang wujud sebenarnya dari Tiga Pusaka Sukma..
#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
"Saat pusaka turun ke dunia, langit retak oleh takdir yang bergeser, bumi gemetar oleh beban warisan masa lalu, dan jagat pun berseteru seakan lupa makna harmoni. Tapi ingatlah..
Pusaka hanyalah saksi, bukan pembawa petaka. Ia tak berniat membawa kehancuran..
Kejahatan lahir dari tangan-tangan yang dipenuhi nafsu, dari jiwa-jiwa yang lupa bahwa kekuatan bukan untuk dikuasai, melainkan untuk dijaga. Maka bukan pusaka yang patut ditakuti, tapi mereka yang merasa paling layak memilikinya.”
"Pusaka sejati bukan yang disimpan dalam peti, tapi yang tertanam dalam hati.
Sebab kekuatan tertinggi bukan pada benda, melainkan pada nurani yang menjaganya”
"Digdaya sebuah pusaka bukan terletak pada bentuknya, tapi pada jiwa yang menggenggamnya. Sebilah pusaka bisa jadi cahaya yang menuntun, atau luka yang menghancurkan.
Semua tergantung pada siapa yang memegangnya.”
Tegar mengamati tanpa ekspresi. Perlahan ia berkata, “Sekte Pangiwa.”
“Pangiwa?” ulang Ujang, belum paham.
“Aliran kiri. Mereka mencari ‘kesempurnaan’ dengan membakar tubuh dan jiwa lewat hawa nafsu. Makin mabuk, makin hilang kendali, makin jauh dari dunia—mereka percaya, itu mendekatkan mereka pada kekuatan leluhur.”
Ujang menelan ludah. “Jadi ini ‘ibadah’ yang mereka omongin tadi…”
Tegar hanya mengangguk. Sementara itu, suara gamelan makin keras. Nada-nadanya tak wajar—seperti dimainkan tangan yang bukan manusia.
Mereka berdua berpindah posisi diam-diam, mengamati kerumunan itu dari balik gelap. Tiba-tiba, Ujang menunjuk ke panggung.
“Gar… itu Pak Baskoro, kan?”
Tegar menyipitkan mata. Di tengah keramaian, terlihat seorang pria tua dengan jubah gelap, berdiri tegak memantau dari belakang altar. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum. Tapi matanya kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya.
“Baskoro… tuan tanah itu?”
Ujang mengangguk. “Dia calon kepala desa. Anak buahnya sering ngirim hasil panen ke pasar. Tapi… aku nggak pernah tahu dia ikut-ikut ginian.”
Tegar tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sosok lain.
Di tengah panggung, berdiri seseorang dengan pakaian lengkap kesenian: rompi tua, celana pendek batik, dan… sebuah topeng kayu. Topeng itu tampak sangat tua, hitam, penuh retakan, dan bermata kosong. Meski wajahnya tertutup, entah kenapa aura sosok itu membuat udara di sekitar terasa lebih dingin.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
#bacahorror
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”