Vaknus berbasis sel dendritik bukan teknologi baru sebagaimana klaimnya, sudah marak di pakai TERAPI kanker sejak tahun 2010.
Terapi kanker butuh pendekatan personal, karena sel kanker setiap orang memiliki kombinasi UNIK perubahan genetik berbeda tiap orang. Makanya butuh vaksin PERSONAL.
Tujuan terapi kanker dengan vaksin dendritik adalah menginduksi sistem imun spesifik agar bisa mengenali & membunuh sel2 kanker yg oleh sistem imun awalnya tidak dianggap ancaman karena bagian dari sel2 dalam tubuh sendiri.
Sekarang bandingkan dengan jargon vaknus, apanya ang bersifat personal?
Yg dilawan adalah pathogen dari LUAR TUBUH (virus SARS-Cov2) yg antigennya mudah dikenali sistem imun cukup lewat suntik vaksin biasa (dalam tubuh), tanpa harus dikerjakan secara ex-vivo (di luar tubuh).
Lagipula apanya yang personal? Antigennya sama semua, dari virus SARS-Cov2? Kalaupun virus bermutasi juga tidak berbeda antar pasien dalam wilayah yg sama.
Vaknus ini idenya cacat untuk diteruskan ke uji klinis. Bahkan uji hewan yg seharusnya dikerjakan juga tidak ada. Banyak prosedur ilmiah yg dilanggar, karena dasar teorinya saja sudah keliru.
2. Dilakukan secara ex-vivo justru BAHAYA karena rawan kontaminasi.
Butuh sterilitas tinggi untuk darah diambil lalu disuntikkan kembali ke tubuh pasien.
Butuh tenaga ahli dan fasilitas mahal yg tidak tersedia merata di negeri kita untuk ex-vivo (beda dengan vaksin yang tinggal suntik bisa didistribusikan merata hingga pelosok).
Vaknus sangat tidak realistis untuk vaksinasi masal ratusan juta rakyat Indonesia.
Kalau sampai harganya murah, maka fasilitasnya pasti tidak memadai untuk menjamin keamanannya. Ya maklum bahkan bisa diracik kayak jamu di depan meja DPR.
3. Ngaku-ngaku mulai dipakai di LN, padahal vaksin dendritik yg dipakai di LN untuk terapi bukan vaksin pencegahan.
Penggunaan vaksin dendritik sangat tepat untuk terapi pasien, karena pembentukan kekebalan adaptif bisa DIPERCEPAT & MASIF secara ex-vivo dengan teknologi sel dendritik yg bisa dikerjakan di lab dalam beberapa hari saja.
Baik pasien kanker, maupun pasien covid semua BERBURU WAKTU.
Kalau sebagai vaksin PENCEGAHAN?
Tidak perlu vaknus yg dilakukan secara ex-vivo, tidak mendesak untuk memberantas pathogen karena dilakukan pada orang sehat. Disuntikkan vaksin biasa dalam sebulan untuk membentuk kekebalan juga tidak masalah.
Karena itu, vaknus benefit tidak sebanding dengan biaya dan risiko kontaminasinya.
***
KESALAHAN PROSEDUR ILMIAH
1. Tidak mengikuti tahapan penelitian, tidak melewati uji pra-klinis (uji pada hewan), tapi langsung loncat ke uji klinis
2. Tidak ada transparansi data & penelitian, tapi langsung overklaim (mirip charlatan/tukang obat)
3. Hasil uji klinis fase 1 di mana 71,4% mengalami kejadian tidak diinginkan KTD, bahkan sampai grade 3 tapi tidak dihentikan dan dianalisa.
Padahal grade 3 merupakan syarat penghentian uji klinis. Ini pelanggaran serius!
***
Dengan track record di atas, apakah Vaknus masih layak diteruskan?
Tambahan :
Lagian kenapa sih yg diramein Vaknus terus? Sampe ada tuduhan gak cinta karya anak bangsa pada yg mengkritisi Vaknus. Padahal kita ada Vaksin Merah Putih yg prosesnya lebih 'lurus' dibandingkan Vaknus
1. Vaksin lain lebih cepet krn udah ada teknologi sequencing, jadi in vitro in vivo yg butuh 10th an bs disingkat jd bbrp bulan, udah pernah saya tulis lengkap ttg ini setaun lalu
2. Vaknus ga lolos uji klinis fase 1, tapi lanjut fase 2 lolos ya tergantung siapa reviewernya, kalau mereka sendiri ya parameternya beda, KTD grade 3 diignore.
***
Baca juga wawancara dgn peneliti utama AZ yg jelaskan cara mrk mempercepat riset vaksin
Menkes Malaysia menyarankan booster vaksin Covid-19, terutama bagi mereka yg mendapat vaksin Sinovac, diprioritaskan mendapat suntikan booster lebih awal karena efektifitas perlindungannya paling pendek dibanding yg lain:
Khabar baik Pfizer mengembangkan antiviral yang mampu mengurangi 89% risiko kematian atau perawatan RS bagi pasien COVID-19 risiko tinggi
Setelah keberhasilan vaksin, Pfizer Inc. bulan ini mengumumkan kandidat antivirus oral COVID-19 terbaru: PAXLOVID™
Berdasarkan analisis sementara EPIC-HR Fase 2/3 (Evaluasi Penghambatan Protease untuk COVID-19 di Pasien Berisiko Tinggi), antivirus ini secara signifikan mengurangi rawat inap & kematian
Ar-Razi & Ibnu Haytham: Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Metode llmiah & Memerangi Mereka yg Berdasar Testimoni Semata
___
EBM (Evidence Based Medicine) atau pengobatan berbasis bukti adalah milik barat!
Begitu klaim para pengusung pengobatan alternatif yg seringnya membawa label ‘islam’ (atau kearifan lokal atau karya anak bangsa) utk mendukung jualannya.
Padahal EBM sbg metode ilmiah dipelopori oleh para ilmuwan Islam di era kegemilangannya, yaitu oleh Ar-Razi & Ibnu Haytham.
Ar-Razi yg dikenal oleh bangsa barat sebagai Averroes punya banyak jasa di bidang medis. Salah satunya sebagai Bapak pencetus memori imunitas cikal bakal vaksin, pernah saya bahas di FB.
(Mengapa testimonial itu bias & tidak pernah bisa diterima dalam dunia medis)
___
Lagi2 Vaksin Nusantara (Vaknus) yg digadang2 mantan Menkes dr. Terawan bikin heboh & pro-kontra.
Seperti yg sudah2, kehebohan berawal dari testimoni, pengakuan, atau endorse dari tokoh (baik pejabat publik, politikus, atau tokoh masyarakat lainnya).
Dan memang hal2 di atas itu bisa dibilang metode utama Vaknus utk mempromosikan & membantu pengembangan risetnya sendiri
Tapi kali ini saya gak akan bahas klaim2 Vaknus, sudah banyak yg bahas, termasuk saya sendiri