Diosetta Profile picture
Aug 19, 2021 90 tweets 11 min read Read on X
SENANDUNG SEDU LEMBAYUNG SENJA Vol 2

Di Radio tengah malam pernah disinggung kalo Nandar melakukan ritual di Gunung Lawu..

Sesuai Schedule kita update malam ini...
@bacahorror
@bagihorror
@ceritaht
@RamaAtmaja_HCR
@IDN_Horor
@qwertyping
#ceritahoror #diosetta Image
Habis dari merapi, kita jalan-jalan ke Gunung Lawu.
Kisah ini berdasarkan mitos hal ghaib yang beredar di sana...

Stay tune ya!
Senandung Sedu Lembayung Senja Vol.2

Selangkah demi selangkah aku tertatih menuju ke rumah. Sungguh sakit… seluruh tubuhku terasa sakit oleh luka-luka yang dihasilkan oleh teman-teman Reza ,
tapi itu tidak lebih sakit dari apa yang kurasakan setelah melihat perlakuan Reza pada Rani..
“Heh Nandar! Dari mana kamu pulang selarut ini! Pake babak belur lagi?! Berantem kamu??”
Teriakan ibu menyambutku dari dalam rumah ,
dibelakangnya terlihat seorang pria yg tidak kukenal setengah telanjang di sofa rumah kami dengan tumpukan botol-botol minuman keras.
Aku hanya menoleh dan masuk kamar dengan membanting pintu.
“Dasar Bocah ga tau diuntung! Awas aja sampai kamu bawa masalah kesini…!” Ucap ibu sambil memukul pintu kamarku sekencang-kencangnya.
“Sudah-sudah… itu anak sial yang kamu ceritain itu kan? cuekin aja , mending kita senang-senang lagi… nih minum “
dari dalam kamar terdengar suara laki-laki itu sedang berusaha menarik ibuku untuk meneruskan kesenanganya.
Hal ini sudah sering terjadi. Sudah sering ibu membawa laki-laki yang berbeda ke rumah dan ia akan selalu mengamuk jika aku tanya siapa mereka.
Ayah? Tidak.. aku tidak punya ayah. Ayahku adalah salah satu diantara laki-laki itu yang berhasil menghamilinya.
Aku bisa hidup sampai seumur ini berkat belas kasihan dari Almarhum kakeku yang selalu merawat dan melindungiku dari tingkah laku seseorang yang harusnya tidak pantas kusebut ibu.
Di dalam kamar aku mengenakan headphoneku dan menyetel keras-keras suaranya untuk menghindarkanku dari suara di luar kamar yang selalu membuatku merasa jijik.
…..
.....

“Kembali lagi di Radio Tengah Malam , sesuai janji.. kita akan membahas tentang mitos pencarian ilmu di Gunung Lawu..
Konon gunung lawu ini mempunyai berbagai mitos mengenai bermacam macam misteri.
Salah satunya adalah Pasar Setan yang mirip dengan Pasar Bubrah di Merapi. Saat seorang manusia biasa tersesat di pasar setan ini itu akan menjadi petaka..
konon saat terdengar suara ramai di suatu tempat di gunung lawu , kita harus membuang salah satu barang yang kita bawa dan mengambil sesuatu dari sana seperti ranting, daun, atau sejenisnya.
Lain halnya bila yang sampai ke pasar setan adalah mereka yang memang sedang mencari ilmu. Tempat itu merupakan salah satu tempat terbaik untuk bertransaksi dengan makhluk ghaib untuk mendapatkan Ilmu, pusaka, Khodam, hingga penawar ilmu hitam.
Bahkan ilmu pembalik untuk Santet ataupun pelet bisa didapatkan di tempat ini...
Tentunya itu semua tergantung bayaran apa yang kalian tawarkan “
….
Gunung Lawu… mungkin itu bisa menjadi cara untuk membebaskan Rani dari pelet yang diberikan oleh Reza.
Kalau Reza saja bisa mendapatkan ilmu pelet itu, harusnya aku juga mampu mendapatkan ilmu yang bisa menghentikanya.
Tanpa berpikir panjang aku segera membereskan barang-barang ke dalam tas , seluruh perlengkapan yang kurasa dibutuhkan untuk mendaki kupersiapkan dengan benar.
Berbekal uang tabungan yang kumiliki aku segera pergi meninggalkan rumah dan tidak pernah peduli apa aku akan kembali ke rumah ini atau tidak.
Sudah lewat tengah mala, aku berjalan kaki menuju terminal, kurang lebih satu jam lamanya.
Bis jurusan karanganyar yang kucari sudah terparkir di sana, namun aku harus menunggu hingga pagi sebelum bus itu berangkat.
Aku tertidur di salah satu kursi bus yang menuju ke Karanganyar,
menjelang pagi kernet bus membangunkanku untuk memastikan tujuan sekaligus menarik biaya tiket.
“Masnya ga papa? itu lukanya banyak.. diobatin dulu nih” ucap kernet itu yang kembali lagi dengan membawa perlengkapan P3K.
“Dikeroyok preman ya mas?” Tanyanya.
Aku hanya mengangguk , tidak mungkin juga aku menceritakan kejadian semalam. Segera kubersihkan luka-lukaku dan mengembalikan kotak P3K kepada kernet tadi.
Sungguh lucu , bahkan Kernet bus yang tidak kukenal bisa lebih memperhatikanku dibanding dengan ibuku sendiri.
Sepanjang jalan kuhabiskan dengan mendengar lagu dari walkman peninggalan kakeku ini. Sampai ada seorang kakek tua yang naik dari Indramayu duduk di sampingku dan mulai mengajaku berbicara.
“Mas.. tujuan ke mana?” Tanya kakek itu.
“Karanganyar mbah.. “ Aku menjawab dengan seperlunya saja, namun kakek itu menatapku dengan senyuman yang cukup aneh.
“Ke.. Gunung Lawu kan?” ucap kakek itu.
Tunggu… bagaimana kakek itu bisa tau tujuanku.
Tidak, tidak mungkin aku bilang soal tujuan dan maksudku kepada orang asing.
“Bu.. bukan mbah, saya mau ke tawangmangu” jawabku dengan berbohong.
Kakek itu mengerutkan dahinya seolah tidak percaya dengan jawabanku.
“Ya sudah kalau tidak mau jujur, percuma kalau kamu ke gunung lawu kalau tidak tahu bayaran atas apa yang mau kamu cari” Balasnya lagi sambil menutup mata dan bersiap untuk tidur.
Aku kaget dengan perkataanya , dia benar.. aku tidak mempersiapkan apapun atas bayaran ilmu yang kucari. Aku berfikir berkali-kali hingga memutuskan berkata jujur pada kakek itu.
“Maaf mbah.. bener saya mau ke gunung lawu, ada hal penting yang harus saya dapatkan disana.”
Mbah itu tersenyum dengan posisinya yang tertidur dalam posisi duduk.
“Nanti saat kamu turun di terminal , berjalanlah ke arah timur… disana ada seseorang yang menjual seekor ayam cemani berwarna hitam pekat di seluruh tubuhnya.
Itulah bayaran atas ilmu yang kamu cari” Ucap kakek itu tanpa terbangun dari posisi tidurnya.
“Rokok! Air minum! Tahu!”
Suara pedagang asongan mengalihkanku dari ucapan kakek itu,
sama sekali tidak lama namun ketika aku menoleh kembali ke arah kakek itu, ia sudah tidak ada di tempat.
Sepertinya aku mengerti , sejak tadi aku sudah memulai perjalanan ghaib .
Tinggal satu cara untuk membuktikanya, apakah aku benar akan bertemu penjual ayam cemani seperti yang diucapkan kakek itu atau tidak.
Menjelang sore bis sudah terparkir di terminal.
Sesuai ucapan kakek itu aku mencoba berjalan ke arah utara mencoba mencari orang yang di maksud kakek tadi . cukup lama aku berjalan hingga terhenti di sebuah warung tua.
Warung itu terletak di pinggir jalan, namun seperti tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaan tempat itu. Seorang pria yang menjaga warung terlihat menatap kearahku. Seolah aku mendapat kepastian bahwa itu tempat yang kucari.
Segera aku menghampiri warung yang terlihat lusuh itu , namun belum sempat aku memberi salam , orang itu sudah lebih dulu berkata kepadaku..
“Itu.. ayamnya sudah saya siapin, tinggal bayar “ Ucap pria itu.
Aku terheran, namun semenjak sadar bahwa ini adalah perjalanan ghaib, sudah sewajarnya hal seperti ini terjadi.
“Be.. berapa harganya pak?” Tanyaku.
“Semua uang yang kamu punya!” ucapnya tanpa ragu.
Tidak mungkin aku menggunakan semua uang yang kumiliki, aku masih harus kembali ke jakarta nanti. Tapi aku berfikir pasti ada tujuan atas semua bayaran itu.
“Ini pak.. “ Aku memberikan seluruh uang yang kupunya yang jumlahnya cukup banyak tanpa menyisakan sepeserpun.
“Bagus.. saat melalui perjalanan ini kamu harus meninggalkan semua hal duniawi, itu bawa ayamnya.. dan ini , dimakan sebelum kamu melanjutkan perjalanan” Ucap pria itu.
Sepiring nasi dengan lauk pecel yang diisi dengan berbagai dedaunan yang tidak kukenal diberikan kepadaku ,
segelas air juga sudah tersedia disampingnya.
Aku baru ingat, sejak semalam aku sama sekali belum makan. Segera saja aku berterima kasih dan menghabiskan makanan itu.
“Setelah ini kamu tidak akan merasa lapar , lanjutkan perjalananmu… “
Benar juga, makanan yang hanya sedikit itu membuatku sangat kenyang. Aku segera berterima kasih dan meninggalkan warung itu dengan membawa keranjang dengan berisi ayam yang berwarna hitam pekat tanpa noda sedikitpun.
Tanpa adanya uang, aku mencari tumpangan dari kendaraan-kendaraan yang lewat dan dilanjutkan berjalan kaki untuk tiba di gerbang pendakian gunung lawu di sebuah komplek candi yang cukup luas.
“Mas.. ke gunung lawu benar lewat sini kan?” Ucapku pada seorang pemuda yang sedang berjaga di sana.
Orang itu melihatku membawa seekor ayam seolah mengerti sesuatu.
“Bener mas… tapi masnya yakin mau ke sana?” Pemuda itu memastikan kepadaku.
Aku hanya mengangguk , tak ada pilihan bagiku untuk mundur.. semakin lama aku menunda, semakin aku tidak yakin dengan kondisi Rani.
“Mas coba dipikir-pikir dulu ya , lebih baik masnya… “ Belum sempat selesai berbicara . suara seorang kakek memotong ucapanya.
“Hei.. kamu!, Kemari!”
Itu adalah kakek yang tadi berada di sampingku saat di bus.
Aku meninggalkan pria itu dan menghampirinya.
“Jalan yang kamu tuju ke arah sana, setelah kamu melewati percabangan pohon cemara kamu akan menemukan sebuah padang yang dipenuhi ilalang…
Ingat , yang kamu cari adalah sosok Harimau!”
“Baik mbah… “ ucapku tanpa membantah kata-katanya, Keanehan yang terjadi selama perjalanan ini membuatku merasa tidak perlu meragukan perkataan kakek itu sama sekali.
“Jangan bertransaksi dengan siapapun kecuali sosok harimau… ingat itu!” Sekali lagi kakek itu memperingatkanku.
Langit mulai memerah , perbatasan siang dan malampun kembali terlihat.
Senja yang muncul di kaki gunung ini membuka Ingatanku akan Rani dan semakin membulatkan tekadku untuk meraih tujuanku di gunung ini.
Walaupun aku belum pernah ke sini , entah mengapa aku merasa sudah ada yang menuntunku untuk menemukan apa yang kucari.
Dengan perasaan itu aku merasa yakin untuk berjalan sendiri ,terpisah dengan pendaki lainya.
Selangkah demi selangkah aku melalui jalur pendakian yang cukup terjal , ketika malam semakin pekat, aku merasakan banyak sosok yang memperhatikanku dari balik pepohonan.
Aku berusaha untuk tidak mempedulikanya hingga satu saat cahaya bulan tertutup oleh awan.
Suasana hutan menjadi semakin kelam , aku menahan rasa takutku hingga satu-satunya jalur yang kulewati dihadang oleh
sesosok makhluk terbungkus kain kafan lusuh dengan sisa noda darah di tubuhnya.
“P.. Pocongg…” Aku terjatuh dan memaksa diriku menjauh dari makhluk itu. Namun ketika menoleh ke belakang , makhluk serupa sudah mendekatkan wajahnya yang penuh belatung ke arahku.
Satu-persatu makhluk serupa bermunculan mengelilingiku di tengah gelapnya malam , terlihat satu diantaranya yang paling berbeda dengan kain kafan yang berwarna hitam menoleh kearahku.
“Dengan bayaran yang kamu bawa, kamu bisa mendapatkan kekayaan dan kesetiaan seluruh pasukanku..” Ucap makhluk itu melalui pikiranku.
Semula aku merasa takut, namun ucapan Pocong hitam itu mengingatkanku akan perkataan kakek tua tadi bahwa aku hanya boleh bertransaksi dengan sesosok harimau.
Tubuhku masih gemetar, namun aku tetap memaksakan diri untuk berlari menerobos melewati sosok makhluk –makhluk itu .
Beberapa pos pendakian kulewati , hingga tiba di sebuah sabana.. di tempat ini indraku semakin sensitif, kali ini makhluk halus berwujud prajurit mengelilingiku… terdengar sayup-sayup di sekitarku seolah suara peperangan yang berlangsung terus menerus.
Terlihat selama di tempati itu makhluk halus itu terus berlutut seolah menawarkan kesetiaanya.Namun aku tetap pada pendirianku dan meninggalkan mereka.
Setelahnya aku sampai di Pos lima tempat beberapa kemah telah didirikan karena memang tidak ada shelter disini.
Banyak pendaki telah beristirahat, namun aku mulai merasa aneh.. rasa lapar , haus, dan lelah sama sekali tidak kurasakan hingga aku memutuskan untuk terus berjalan.
Kali ini sebuah percabangan terlihat di hadapanku, sebuah pohon cemara yang tinggi membelah jalur hingga terbagi menjadi dua. Aku merasa bahwa jalur tergelaplah yang harus aku lewati. Namun seekor burung jalak mencoba menghalangiku melewati jalur itu..
berkali kali aku menghindarinya, tapi burung itu terus menghadang didepanku hingga akhir akhirnya aku terus memaksa untuk maju.
Diujung percabangan sebuah padang ilalang yang luas terbentang di depan. Namun tidak ada apa-apa disini.
Tidak seperti kejadian saat pocong dan prajurit tadi menghampiriku.
Ternyata keheningan yang kurasakan ini tidak bertahan lama, Ayam cemani yang kubawa tersadar dari tidurnya, spontan ia berkokok dan menggema ke seluruh tempat itu.
Seperti sebuah tabir kabut yang menghilang, perlahan terlihat makhluk halus dengan berbagai wujud memperhatikanku. Samar-sama terasa di kakiku seekor ular yang melilit mencoba menaiki tubuhku.
Aku berusaha mengusirnya, namun ternyata itu adalah ekor dari setan berbentuk wanita berkulit hitam pekat yang menghampiriku.
“Apa yang kamu cari? Aku bisa memberikan?” suara berbisik terdengar dari mulut makhluk yang mendekat ke telingaku .
Perlahan sebuah penglihatan muncul, di situ terlihat Rani dan beberapa wanita lain sedang melayaniku di sebuah ruangan.
“ Tidak.. tidak.. bukan itu” Tolakku pada makhluk itu.
“ Ini ilmu yang lebih hebat dari yang dilakukan manusia musuhmu itu.. “ sekali lagi makhluk itu berusaha menarik perhatianku, Namun aku tetap pada pendirianku.
Aku berjalan meninggalkanya, dan kali ini makhluk tinggi kurus dengan tangan dan kaki yang panjang menunduk ke arahku.
Sebuah penglihatan kembali muncul. Kali ini terlihat tubuh lelaki yang bersama ibuku, tubuh Reza dan teman-temanya mati dengan mengenaskan. Sebenarnya aku cukup puas melihatnya namun bukan itu tujuanku ke sini.
Hingga akhirnya di ujung tempat yang dipenuhi keramaian makhlus halus ini terlihat seekor harimau berdiri dengan gagah. Aku segera menuju ke sana, namun terhenti dengan sebuah suara.
“Bayaranmu cukup menggiurkan anak muda… apa yang kamu cari” kali ini bukan makhluk halus, melainkan sesosok pria tua berbaju hitam seperti dukun dengan janggut panjang menghiasi wajahnya.
“Saya mencari ilmu yang bisa menghapus pelet mbah…” jawabku yang mulai merasa sedikit tenang setelah tahu ada manusia lain di sini.
“Harimau itu bisa memberimu kekayan, kekuatan, pengasihan… tapi itu tidak mampu menolong temanmu.. apa kamu yakin?” jelas dukun itu.
“Ta.. tapi kakek tua yang mengarahkanku kemari bilang agar saya bertransaksi dengan harimau itu” ucapku.
“Harimau itu adalah ilmu tertinggi di gunung lawu ini.. semua “juru arah” akan menunjukan kepada mereka yang melakukan perjalanan ghaib untuk menemui Harimau itu, bila kalian tidak tergoda seyogyanya kalian akan mendapatkan ilmu tertinggi itu..”
Sekali lagi dukun itu menjelaskan kepadaku.
“Lantas kenapa mbah?” Tanyaku sekali lagi.
“Seperti kataku tadi… dengan ilmu setinggi itu, kamu akan menjadi kaya, daya tarik, dan kekuatan.. tapi itu tidak akan menyelamatkan temanmu.” Cerita dukun itu.
Aku menangkap yang dimaksud olehnya , sama sekali tidak ada gunanya semua itu apabila aku tidak bisa menyelamatkan Rani.
“Terus mbah.. apa tidak ada ilmu yang bisa menyelamatkan teman saya?” aku mulai merasa gelisah mendengar penjelasan dukun tadi.
“Itu Setan lawu.. dia yang bisa nolongin kamu” Ucapnya sambil menunjuk makhluk tinggi dan kurus yang tadi sempat menghadangku.
“Mbah.. dia tadi menujukan kematian orang yang kubenci, itu tidak ada hubunganya dengan Rani!” aku merasa tidak setuju dengan dukun itu.
“pasukan demit itu bisa menggantikan tubuh temanmu yang terkena ilmu hitam sehingga temanmu bisa selamat meski diserang berkali-kali dengatn pelet, tapi hanya itu… kamu tidak akan mendapatkan kekayaan dan lainya seperti yang bisa diberikan harimau itu”
sebuah penjelasan panjang disampaikan oleh dukun itu.
Itu masuk akal, aku langsung menyetujui cerita dukun itu dan segera menghampiri makhluk yang disebut “Setan Lawu “ oleh dukun itu.
Sebuah perjanjian hitam kulakukan , Ayam cemani yang kubawa kuletakan dan segera disambar oleh lengan panjangnya . Makhluk hitam itu menggigit leher ayam itu dan memakanya hidup-hidup.Terlihat darah yang menetes dari mulutnya juga berwarna hitam.
Aku bertanya-tanya sebenarnya ayam apa itu? Sepertinya lebih dari sekedar ayam cemani biasa.
Perlahan rasa sakit yang amat sangat menyerang tubuhku, rasa sakit itu semakin bertambah setiap setan itu menggigit ayam yang ia pegang.
Aku hampir tidak bisa bertahan, namun darah segar mengguyur seluruh tubuhku , entah mengapa darah itu bisa menghilangkan rasa sakitku dan ketika darah itu membanjiri tubuh, bayangan ibu dan lelaki yang bersamanya muncul di pikiranku.
Cukup lama hal itu terjadi hingga aku kehilangan kesadaran, namun ketika terbangung terlihat setan-setan itu mengelilingiku dan tunduk dihadapanku setelahnya mereka menghilang ketika pagi datang.
Aku mencoba untuk bangun dan berdiri, terlihat tidak ada lagi sisa-sisa pasar setan yang berada di tempat ini. Semua terlihat sepi seolah tidak ada kejadian apapun semalam. Aku merasa urusanku sudah usai dan segera meninggalkan gunung yang dipenuhi banyak misteri ini.
……
“ Nandar!.. Nandar! Ibumu Nandar!” teriak salah satu tetangga yang melihat kedatanganku.
Mobil ambulance terlihat terpakir di depan rumahku, Aku segera berlari menuju rumah mencari tahu apa yang terjadi. Di pintu rumah aku dihentikan oleh seorang polisi,
mereka mencoba menenangkanku. Terlihat dari pintu dua jasad manusia , ibuku dan laki-laki yang bersamanya telah meninggal dengan mata yang terbuka.
“Mas, Mas anaknya ibu itu? “ Tanya polisi itu.
“i.. iya pak” Jawabku dengan singkat.
“Yang kuat ya mas ibu dan laki-laki yang bersamanya meninggal dan belum dapat kita simpulkan penyebabnya” Polisi itu mencoba menenangkan dan menjelaskan kepadaku.
Aku melangkah masuk dan melihat kondisi mereka, namun entah mengapa aku tidak merasa sedih seperti yang seharusnya.
Tidak sesedih saat Reza menyakiti Rani di hadapanku kemarin. Namun samar-samar aku melihat sosok anak buah setan lawu berada di dekat jasad mereka.
……
Hari berganti, aku masih belum mengetahui keberadaan Rani yang dibawa pergi oleh Reza. Sepeninggalan ibu, aku hidup sendiri.
Tapi sepertinya sisa-sisa peninggalan Almarhum kakeku masih cukup untuk aku hidup hingga lulus nanti.
Aku sudah biasa hidup sendiri, namun entah mengapa belum pernah sesepi ini.
………………..
“Radio tengah malam.. kembali lagi bersama saya Ardian, Gimana cerita kiriman Nandar tadi? Gila.. gua merinding dengernya.
Cerita tengang seorang pelacur dan lelaki hindung belang yang mati saling bunuh karena dirasuki arwah penasaran??
Gua ga tau dah pengirim cerita bernama Nandar ini bisa dapet cerita darimana, yang pasti ini bikin merinding…
Buat Nandar, kalau ada cerita lagi jangan segan-segan kirim ke kami lagi ya! Pasti gua bacain!
Mendengar ceritaku dibacakan di Radio tengah malam cukup membuatku terhibur, setidaknya kini banyak yang mau mendengar ceritaku.
Saat ini aku sudah sampai di sebuah Vila dari informasi yang diberikan oleh orang yang pernah menjadi pesuruh di keluarga Reza.
Vila yang cukup besar dengan banyak kamar yang memiliki jendela yang terlihat dari luar. Lokasinya cukup terpencil, tempat yang bagus untuk berbuat hal bejat, pikirku.
Aku mengelilingi vila ini dengan berhati-hati mencari keberadaan Rani dengan mengintip satu persatu jendela di Vila itu hingga akhirnya aku berhenti di sebuah kamar.
Kamar yang cukup bagus dengan kasur mewah yang cukup besar, namun lebih dari itu yang kulihat membuatku tak lagi bisa memaafkan Reza apapun alasanya..
Rani.. tergeletak di lantai kamar dengan kaki yang di rantai dengan tiang kasur,
Tubuhnya terlihat penuh luka tanpa pakaian menutupi sedikitpun bagian tubuhnya.
“Reza… aku pastikan kamu akan menyesali semua ini”
Ucapku Diikuti kemunculan puluhan setan berwujud makhluk kurus dengan tangan dan kaki yang panjang merangkak berkumpul di belakangku.

-Bersambung ke Vol.3 Part terakhir di tgl 22/8/21
Yang ga sabar nunggu senin bisa ke sini.. ada bonus cerita episode spesial gending alas mayit 😉
karyakarsa.com/diosetta69/vol…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Mar 21
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 6 - Pusaka Merapi

Mereka terpisah sejak kecil, satu tinggal di alam manusia dan satu tinggal di sisi gaib hutan merapi..

#bacahorror @bacahorror Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.

Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.

Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.

Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.

Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.

Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”

Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.

Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”

Deg!

Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.

“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.

Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.

Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.

Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.


“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.

Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
Read 15 tweets
Mar 14
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 5 - Perburuan Sukma

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.

Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.

Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.

“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.

Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.

“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.

Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.

Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.

Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.

Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.

“PANJUL!!”

Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.

Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.

Sosok pocong.

Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.

“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)

Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.

Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.

“Nggak... nggak sudi aku!”

Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”

Tidak ada jawaban.

Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.

Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.

“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”

Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.

Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”

Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.

Keringatku semakin menetes.

“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”

Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Read 14 tweets
Mar 6
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 4 - PENARI DUNIA ARWAH

Galang dan Wulan bertemu lagi, dan perasaan mereka masih sama...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)

Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.

Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.

"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.

Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.

Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.

Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.

"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.

"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.

Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.

"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.

"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"

Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.

Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.

Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana kabarmu?"

Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."

Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.

Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.

"Ada yang datang..." bisikku.

Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.

"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.

Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.

Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."

Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.

"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."

Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."

"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.

Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.

"Lari!" teriaknya tiba-tiba.

Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.

"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.

"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Read 17 tweets
Feb 27
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 3 - Keraton Gaib

Di balik hutan-hutan yang lebat dan puncak yang gersang, tersembuyi entitas gaib yang saling berinteraksi dan memiliki kehidupannya sendiri..

Keraton Gaib Merapi, bersembunyi di balik kabut pekat di sana.

#bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Sudut Pandang Cahyo…)

Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.

Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.

Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.

“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.

Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.

Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.

“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.

“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”

Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.

“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.

Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.

Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.

Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.

Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.

Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.

Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Read 13 tweets
Feb 20
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata

Cahyo sudah menunggu Galang dan teman-temannya di jalur pendakian. Tak di sangka, kedatangan mereka sudah diawasi...

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang tertinggal
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.

Aku harus kembali ke Merapi.

Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.

"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."

Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.

Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.

Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.

Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.

Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.

***
Read 17 tweets
Feb 13
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal

Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.

Merapi memanggil kembali...

@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror Image
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :

2.910 Mdpl (Maut di Perbatasan Langit)
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 : x.com/diosetta/statu…
Part 5 : x.com/diosetta/statu…
Part 1 - Sukma yang Tertinggal

-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.

Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.

“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.

Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.

“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.

Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.

Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.

Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?

Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --
Read 22 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(