Di satu malam, seluruh warga desa tertidur dengan nyenyak dalam balutan gelapnya malam. Seorang kakek memasuki desa dengan menarik sebuah gerobak berbau busuk tanpa disadari oleh satupun warga di sana.
Kakek itu berjalan dengan percaya diri seolah yakin bahwa lelapnya warga desa takkan terusik olehnya.
Srakk! Srakk!!
Dengan susah payah, ia melintasi hutan sambil menarik gerobak aneh itu. Ia membabat hutan sedikit demi sedikit agar gerobaknya dapat melintas. Bau busuk yang seharusnya membuat manusia manapun tak nyaman, ternyata telah dinanti oleh hutan itu.
Suara tawa cekikikan menyambut kedatangan kakek itu di pemakaman. Namun ia tidak berhenti, ia terus berjalan hingga menemukan sebuah gua yang tertutupi tanaman-tanaman menjalar. Di gua itulah perjalananya berakhir.
Duonggggg!!!!
Menjelang subuh warga desa terbangun dengan suara gong yang menggema dari dalam hutan. Mereka mempertanyakan suara itu namun tak begitu peduli, mereka lebih bingung dengan bau aneh yang tiba-tiba tercium di desa mereka.
Setelah beberapa saat, warga desa menganggap hal itu sebagai kejadian biasa dan mengacuhkanya ketika bau itu tak lagi tercium. Mereka lebih memilih untuk sibuk mengurus ladang dan ternak mereka masing-masing.
Part 4 - Pementasan Mayat
(Sudut pandang Danan...)
“Kalau tujuanmu untuk menjaga hutan ini, aku tidak keberatan.
Tapi kalau tujuanmu hanya untuk mati disana, lebih baik kupatahkan kakimu disini, Mamang Gondrong!” Ucap Cahyo yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Minggir!” Ancam Budi tetap dengan keras kepalanya.
Berbeda dengan reaksiku kemarin, Cahyo justru berbaring di tanah mengacuhkan ancaman Budi. Ia memangkukan kepalanya dengan tanganya. Saat itu Kliwon melimpat ke arahnya dan ikut bersandar di tubuh Cahyo.
“Hoahmm! Kliwon sudah cerita, apa yang ada di dalam sana nggak bisa kamu lawan seorang diri, Mang..
Ijinkan kami ikut masuk, atau kamu juga nggak boleh masuk,” Ucap Cahyo.
“Leuweung Sasar bukan tempat yang bisa kalian masuk dan keluar dengan sembarangan!” Budi memperingatkan. Namun Cahyo tidak peduli. Ia Malah menguap sambil bercanda dengan kliwon.
Budi mencoba untuk mengacuhkan Cahyo dan berlari menuju hutan, namun baru melangkah beberapa langkah melewati Cahyo, Budi sudah tertangkap lagi oleh Cahyo dan terlempar kembali ketempatnya.
“Sudah aku bilang. Masuk semua, atau nggak usah semua,” Ucap Cahyo.
Aku sedikit menahan tawa melihat cara Cahyo menangani Budi. Gama pun mungkin tak menyangka ada yang memperlakukan Budi seperti itu. Namun sepertinya, Budi belum menyerah. Ia mengambil belati andalanya, dan memutuskan untuk menghadapi Cahyo.
Leuweung Sasar menjadi latar pagelaran yang dikutuk. Berbagai kejadian mistis menjadi pertanda bencana di hutan itu.
@bacahorror @bagihorror @IDN_Horor
#bacahorror
PENJAGA LEUWEUNG SASAR
(Sudut pandang Danan…)
Hutan yang begitu luas dan menyimpan kisah kelam kini berada di hadapanku. Sebuah hutan yang pernah menjadi saksi keganasan Gandara Baruwa dan tempat bagi makhluk-makhluk mengerikan bersembunyi.
Leuweung Sasar Taneuh Bereum. Siapapun yang mencoba memasukinya harus siap untuk tak menemukan jalan keluar. Namun aku tak punya pilihan, sebuah bencana besar akan di mulai dari hutan keramat ini. Aku harus menghentikannya sebelum semua terlambat.
Aku tak bisa melibatkan Arsa untuk mengambil resiko masuk ke hutan ini. Lagipula, aku membutuhkan dia untuk mencari informasi bersama abah mengenai ‘Pagelaran’ yang membawa bencana itu.
Srakkk!!
Ada suara yang mendekat tepat saat aku hendak memasuki satu-satunya jalan untuk menembus hutan ini. Aku mencoba mengabaikannya untuk saat ini, namun baru saja aku hendak melangkah sebuah pisau melesat dan menancap di tanah.
Sratt!!
Aku melompat mundur, dalam sekejap saja aku bisa mengenali pisau itu.
“Budi! Aku harus masuk ke dalam! Sesuatu yang mengerikan akan terjadi lagi!” Teriakku.
Jauh dari balik pepohonan sosok yang cukup kukenal itu menampakan wujudnya padaku.
“Leuweung sasar tidak lagi menerima keberadaan manusia. Tak ada satupun yang diijinkan untuk masuk. Kita sudah menyepakati itu,” Ucap Budi.
“Tapi ini keadaan genting! Kita harus menuntaskanya sebelum semua semakin parah!”
Budi hanya berdiri terdiam tanpa menghiraukan perkataanku. Ia bersikeras untuk menghalangi siapapun untuk masuk.
“Kalau kau memang tidak ingin membantuku, aku sendiri pun tak masalah,” balasku yang bergegas masuk dan melewatinya, Budi menahan pundakku dan melemparkanku kembali menjauh.
“Budi!” Ucapku kesal dengan sikap keras kepalanya.
Sekali lagi ia tidak menjawab, namun aku tahu ia tetap tidak bersedia membiarkanku untuk masuk.
Dengan langkah yang lebih cepat aku berlari berusaha melewati dirinya, namun yang terjadi justru ia menghadangku dan menendangku hingga terpental.
“Kau sudah tidak waras?” Teriakku.
“Sudah kukatakan, kalau ada yang ingin memasuki leuweung sasar lagi. Mereka harus melangkahi mayatku!”
Aku mulai mengerti, inilah yang dimaksud oleh Paklek. Ki Duduy sempat mengatakan bahwa Leuweung Sasar dijaga dengan ketat. Aku sudah menduga bahwa itu adalah Budi, tapi aku tidak menyangka bahwa sekarang ia sekeras kepala ini.
Saat mendatangi tempat keramat, atau tempat yang terpencil. Seringkali ada perasaan aneh, berat, atau lemas secara tiba-tiba untuk orang-orang tertentu.
Konon mereka adalah orang-orang yang disebut dengan ‘getih anget’ atau sejenisnya. Orang-orang yang disukai oleh makhluk halus.
Sebelum memulai pembahasan ini, saya mau share cerita singkat tentang kasus getih anget ini.
- Karanganyar, 2012 -
Kala itu, Riana dan kedua temanya Andri dan Putra tengah mengikuti acara LDK atau latihan dasar kepemimpinan dari kampus yang dilaksanakan di sekitar wilayah Kemuning.
Mereka tak lolos dari acara jurit malam dimana mereka harus melalui jalur perkampungan dan hutan kecil di pinggir kebun teh.
Saat melewati pos kedua kebun teh dan mulai masuk ke hutan, Riana terhenti.
“Jalurnya bener ke hutan ini?” Tanya Riana.
Andri mengangkat lilin yang menjadi satu-satunya penerangan dan menunjukkan tanda panah di pohon yang menjadi petunjuk arah mereka. “Bener, nih.”
Melihat tanda itu, mereka bertiga pun cukup tenang dan melanjutkan perjalanannya. Namun beberapa saat setelah memasuki hutan Riana mulai menunjukkan tingkah aneh. Ia memegangi tubuhnya seperti seseorang yang tengah menggigil kedinginan.
“Ri? Nggak enak badan?” Tanya Putra.
“Nggak, udah nggak papa. Bentar lagi kan?” Balas Riana.
Saat itu Putra dan Andri mulai khawatir dan saling menjaga Riana. Tapi saat Andri mulai melihat pos ketiga, tiba-tiba Riana menahan mereka.
“Ada pementasan, ke sana aja yuk?” Ucap Riana sambil menepuk mereka berdua.
Mendengar ucapan itu, Andri dan Putra menoleh ke arah Riana.
“Jangan ngomong ngawur kamu, Ri..”
Saat itu Riana terlihat bingung. “Ngomong ngawur apa?”
Andri dan Putra bertatapan sepakat merasakan ada yang aneh. Riana terlihat bingung dan dia masih menggigil memegangi bahunya. Saat itu mereka yakin, yang menepuk dan berkata barusan bukanlah Riana.
“Cepetan ke pos tiga! Ada yang nggak beres,” Riana mengambil kesimpulan dan mempercepat langkahnya ke pos yang hanya tinggal berjarak seratus meter itu. Tapi entah mengapa jarak yang singkat itu terasa begitu lama.
Dari belakang, Andri dan Putra melihat Putri menatap dengan takut ke beberapa arah dan kembali memalingkan wajahnya. Ia terlihat begitu cemas.
Saat akan sampai ke pos tiga, Riana semakin merasa ketakutan. Ia tak lagi mendengar suara langkah keduda temanya di belakang dan merasa merinding.
Akan lebih mudah jika desa ini diserang sekumpulan makhluk gaib, dan kami berjuang untuk mengusir setan-setan itu dari desa ini. Setelah itu masalah selesai. Tapi saat ini keadaan begitu rumit.
Setan-setan di desa ini ada karena mereka, warga desa sendiri. Mereka mengundang setan-setan itu, memberi makan, dan membiarkan mereka menjadi bagian dari hidup mereka. Lantas bagaimana cara kami untuk menghentikan kegilaan ini.
Ritual gila di pemakaman yang terus berjalan selama ratusan tahun seolah menjadikan desa ini sebagai tempat setan-setan itu mendapatkan makanannya. Pemujaan yang warga desa lakukan merupakan sumber kekuatan dari makhluk yang dikutuk itu.
Deru ombak yang besar menerjang menuju pantai. Bukan purnama, namun laut pasang tak terkendali. Dari kegelapan laut, ribuan lelembut mendekat memancing gelombang besar yang mungkin saja bisa menenggelamkan satu desa.
“Gimana ini, Ki? Apa sudah waktunya kami mati?” Ucap seorang nenek yang begitu cemas. Ia berada di sana mendampingi seorang dalang yang baru saja selesai menggelar pementasan.
“Nggak, Mbah. Nggak ada seorang pun yang akan mati malam ini..” Ucapnya sambil membawa tiga buah wayang kulit yang berbeda dari miliknya yang lain.
Aroma kemenyang tercium kian semerbak tercium oleh seluruh warga desa yang berkumpul di pantai meratapi nasibnya. Tanda kibasan wayang itu memberi isyarat suara gamelan yang mulai berbunyi mengiringi sang dalang.
“Gending Geni Pamungkas…”
Gamelan itu memainkan gending yang hampir tidak pernah dimainkan sebelumnya. Bersamaan dengan itu, Sang Dalang melakukan sebuah gerakan dengan memainkan wayangnya mengarah ke lautan di hadapanya.
Cerita dan mantra terucap dengan bahasa yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh sang dalang. Namun dari gerakanya, ia seolah sedang melakukan sebuah adegan peperangan hanya dengan sebuah wayang berwujud buto di tangannya.
“Kulo nyuwun pitulungan saking panjenengan.. (Saya meminta pertolongan darimu)
Setelah kalimat itu terucapkan, irama gending mengalun semakin cepat dan semakin cepat. Iringan itu mengikuti permainan Sang Dalang yang membuat suasana di sekitar pantai menjadi mencekam.
Sebagian warga tersadar, permainan itu memancing keberadaan setan-setan di sekitar pantai. Namun mereka hanya berdiam dan menonton. Mereka hanya ingin melihat bagaimana manusia-manusia di pinggir pantai itu musnah oleh serangan dedemit-dedemit itu.
Tapi serangan dedemit dari arah laut itu tidak pernah sampai ke pantai. Ombak pun pecah jauh sebelum sampai ke daratan. Sosok-sosok itu musnah oleh kemunculan sosok makhluk yang begitu besar, sang raksasa yang datang atas panggilan sang dalang.
Sosok itu berdiri di laut dalam, dan laut yang sering menghilangkan manusia itu hanya setinggi pinggang raksasa itu. Semua warga yang melihat kejadian itu tertegun tak percaya. Mereka takjub, namun juga takut. Mungkin sekarang sosok itu muncul untuk menolong desa, namun jika sosok itu berpindah pihak, desa mereka akan hancur dalam sekejap.
Saat desa mulai tenang, Dalang itu pun pergi diam-diam dari desa. Ia sadar, sebagian warga juga merasa was-was dengan keberadaan wayang pusaka miliknya.
Tak ada yang mengetahui kemana dalang itu pergi, tak ada yang mengetahui dimana wayang pusaka itu disimpan, namun sebagian orang percaya bahwa wayang itu akan muncul saat manusia membutuhkanya.