Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.
Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.
"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.
Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.
Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.
Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.
"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.
"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.
Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.
Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.
"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.
Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.
"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.
Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"
Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.
Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.
Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.
"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.
"Apa, Mas?"
"Bagaimana kabarmu?"
Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."
Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.
Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.
"Ada yang datang..." bisikku.
Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.
"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.
Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.
Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."
Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.
"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."
Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."
"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.
Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.
"Lari!" teriaknya tiba-tiba.
Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.
"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.
"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.
Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.
Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.
“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.
Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.
Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.
“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.
“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”
Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.
“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.
Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.
Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.
Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.
Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.
Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.
Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.
Aku harus kembali ke Merapi.
Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.
"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."
Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.
Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.
Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.
Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.
Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal
Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.
Merapi memanggil kembali...
@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :
-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.
Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.
“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.
Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.
“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.
Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.
Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.
Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?
Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --
Panas membakar hutan dengan kecepatan yang mengerikan, melahap setiap dedaunan dan pohon yang berdiri di jalannya. Di tengah kobaran api, sosok Jagatbara berdiri angkuh, tubuhnya memancarkan aura tak terkalahkan. Jika bukan karena perlindungan sang Roro Mayit, Danan dan Cahyo mungkin sudah menjadi abu.
“Aku? Mengapa ada diriku yang lain?” Danan bertanya dengan nada bingung, matanya terpaku pada sosok di hadapannya.
“Kau masih ingat Bara, kan?” Cahyo bertanya, matanya tajam.
“Tidak mungkin aku melupakannya.”
“Dia adalah dirimu, tetapi dari semesta Bara—semesta yang dikendalikan oleh pusaka Mayit.”
Sosok Danan dari semesta Bara melangkah maju, menyodorkan keris ragasukma dengan tatapan penuh keyakinan. Danan menerima keris itu tanpa ragu.
“Tunjukkan pada kami, Danan yang selalu dibanggakan Cahyo,” tantang sosok itu.
“Tenang saja. Aku hanya meminjamnya sebentar,” ucap Danan sambil duduk bersila. Ia memisahkan sukma dari raganya dengan tenang, lalu mengambil keris itu dalam bentuk sukmanya.
Cahyo dan Danan dari semesta Bara hanya bisa saling bertukar pandang, bingung dengan tindakan tersebut. Tapi ketika keris itu berpindah ke tangan Danan dalam wujud sukmanya, semuanya menjadi jelas.
“Fisik keris Ragasukma milikku tidak ada padaku, tetapi sukma kerisnya tetap menyatu denganku,” ujar Danan dingin. “Ayo, bersiap!”
Cahyo memberi isyarat kepada Danan dari semesta Bara untuk memperhatikan. Mereka mengangguk paham. Danan melayang ke udara, tinggi di atas mereka, dan mengarahkan ujung kerisnya ke arah Jagatbara.
Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..
#bacahorror
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.
"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."
"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.
Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.
"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.
"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."
Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.
"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.
"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."
Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.
"Mas Danan! Mas Cahyo!"
Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.
Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.
"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.
"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.
"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.
"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.
Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.
"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.
"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.
Dharrr! Dharrr!
Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.
"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.
Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.
"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."
Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.
Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.
“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.
Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.
“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”
“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”
Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.
“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”
“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.
Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.
Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.
Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.
"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.
"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."
Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.
Deg!
Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.
"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.
"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."
Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.