Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.
Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…
Mereka hidup. Mereka menghakimi.
“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.
Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…
Brugghh!!
Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.
Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.
Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.
“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.
Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..
@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG
malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.
Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.
Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.
“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.
Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.
Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.
Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.
Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.
“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.
Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa
@IDN_Horor @bagihorror #bacahorror
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."
Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.
Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.
"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"
BRAKK!!
Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.
Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.
Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.
"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."
"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"
Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.
"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."
Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"
"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."
Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.
Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.
Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.
Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.
Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.
"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.
Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.
Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."
Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.
"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."
Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.
Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.
Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.
Ada yang dirayakan. Pementasan ini lebih dari sekedar pementasan gaib semata.
Niat awalku menaiki merapi sekali lagi bukan untuk hal ini. Aku tak menyangka bahwa niat kami menolong Galang dan yang lain mencari sukma Tiwi akan berujung pada tragedi ‘Padu Kolo’, pertengkaran bangsa lelembut.
Dan saat ini, dihadapanku tengah menghadang sosok makhluk-makhluk utusan dari keraton demit. Lebih dari sekedar menangani mereka, aku harus mencari tahu mengapa mereka mengincar Galang dan Wulan.
Pertarungan sengit sempat terjadi di antara kami. Aku mempercayakan Galang dan yang lain pada Cahyo sementara aku menghadang mereka.
“Kau tidak perlu mempertaruhkan nyawamu demi mereka. Takdir mereka sudah ditetapkan menjadi tumbal merapi…” Sosok penari setinggi tiga meter itu masih mencoba untuk mempengaruhiku.
“Merapi tidak pernah meminta tumbal. Kalian makhluk terkutuklah yang menghasut dengan mengatasnamakan Merapi!” Sosok roh yang menutupi wajahnya dengan topeng badut pun muncul dari kejauhan.
Badut Pak Suradirja. Firasatku mengatakan bahwa alasannya tetap memakai topeng itu adalah sesuatu yang penting.
“Nyai Lendheng. Percayalah kalian bukan lawan pemuda ini..” Pak Suradirja mencoba menggertak mereka.
“SOMBONG! Keris karatanmu itu tak ada artinya dibanding pusaka keraton demit!”
Srattt!!!
Saat itu juga keris Ragasukmaku melayang melesat ke lehernya. Sosok bernama Nyai Lendheng itu menghindar, namun kerisku sempat melukainya.
“Aku tak suka banyak bicara!” Balasku kesal sekaligus menggenapi gertakan Pak Suradirja.
Kali ini Nyai Lendheng terlihat cemas. Luka di lehernya tak bisa menutup.
“Cih! Mengurus kalian hanya akan membuang waktuku. Sebentar lagi pementasan selesai! Bersiaplah, kali ini serangan dari keraton demit tak mengenal ampun!” Ucap Nyai Lendheng yang mundur bersama dayang-dayangnya.
Jelas itu adalah ancaman. Bukan ancaman kosong. Sebuah tragedi akan terjadi di gunung ini.
“Pak? Bagaimana roh bapak bisa sampai di sini?” Aku segera menghampiri sosok roh yang jasadnya telah mati di kota itu.
Semua perlahan terasa masuk akal. Mimpi-mimpi yang selama ini menghantuiku kini terajut menjadi satu kenyataan yang utuh. Tak heran jika aku selalu merasa terikat dengan Merapi. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tertanam dalam diriku.
"Pantas saja kamu begitu terobsesi sama Merapi, Lang. Ternyata ada bagian dari dirimu yang memang berada di sini," ujar Farel dengan nada tak percaya. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.
Tanganku tak bisa lepas dari genggaman Wulan. Adikku. Namun, ia kini bukan lagi manusia seutuhnya. Sukmanya saja yang tersisa, sementara tubuh ragawinya telah lama tiada
. Aku merasakan getir yang menusuk dada, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam kesedihan.
"Akhirnya, tumbal yang hilang telah kembali..." Suara parau itu datang dari makhluk mengerikan di hadapan kami. Setan penari setinggi tiga meter itu menyeringai puas, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, Mas Danan tidak tinggal diam.
"Pergi! Kalian pergi dengan Cahyo! Cari sukma Tiwi dan tinggalkan gunung ini!" seru Mas Danan dengan tegas.
"Ngawur kowe, Nan!" Mas Cahyo membentak, jelas tak terima meninggalkan sahabatnya seorang diri menghadapi makhluk-makhluk mengerikan itu.
"Tenang, Jul. Aku nggak sendiri." Mas Danan memberikan isyarat. Tatapannya mengarah ke sudut gelap di belakang kami.
Dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat bulu kudukku meremang. Sosok badut dengan senyum mengerikan di wajahnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berkilat tajam.
"Badut itu... Pak Suradirja?" suaraku bergetar saat menyebut nama yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. "Rohnya sampai ke sini?"
Mas Danan mengangguk singkat. "Mungkin dia memang berasal dari tempat ini. Akan kuceritakan jika aku menemukan sesuatu. Sekarang pergi!"
Tanpa banyak pilihan, Mas Cahyo menarik lenganku, memaksa kami untuk segera berlari. Sekilas, aku melihat keris pusaka melayang-layang di udara, membentuk penghalang yang menjaga agar setan-setan itu tidak mengejar kami.
"Mas Cahyo! Apa yakin kita tinggalin Mas Danan?" Raka berteriak, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.