Diosetta Profile picture
Sep 16, 2021 64 tweets 9 min read Read on X
IMAH LEUWEUNG
Part Epilog - Asrama Di bawah Pohon Beringin

Kita tutup rangkaian cerita ini dengan part epilog #imahleuweung ini ya.. apabila endingnya membekas tolong tinggalin kesan kalian dengan #diosetta supaya nanti saya gampang search komen2 kalian Image
IMAH LEUWEUNG
Asrama di bawah pohon beringin
Seorang anak berlari dengan tergesa-gesa menuju rumah Bu Ranti.

“Bu!! Itu bu!!! Di asrama” teriak anak kecil bernama Gio yang tinggal di rumah Bu Ranti.

“Apa lagi Gio…? Bocah-bocah itu lagi? “ Tanya Bu Ranti.
“I iya… “ Jawabnya yang terengah-engah.

“Ya udah.. sana masuk beres – beres dulu, terus cerita ke Mas Danan” Ucap Bu Ranti.

“Mas Danan sudah sampe? “ Tanya dio yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Bu Ranti.
Ya… sesuai rencana , hari ini aku kembali ke Desa Sukmaraya sebuah desa di daerah pegunungan dengan sebuah pohon beringin raksasa yang selalu dapat dilihat dari sisi manapun desa ini.

“Mas Danan! Sudah lama? ” Ucap Gio yang sepertinya sudah menunggu kedatanganku.
“lumayan.. udah sempet istirahat kok” Jawabku pada seorang bocah yang dulu kukenal sedikit pemalu.

“Mas Cahyo ga ikut?” Tanyanya sekali lagi yang membuatku segikit bingung untuk menjawab.

“Nanti Mas Cahyo nyusul kok” Jawabku seadanya.
“Gio mau cerita, di asrama ada penampakan.. temen-temenku ga ada yang percaya” Ucapnya tergesa-gesa.

“Udah.. ceritanya sambil jalan aja yuk” Aku langsung mengajak dio menuju asrama di belakang sekolahnya sekaligus mendengarkan ceritanya di perjalanan.
Sepanjang perjalanan Gio menceritakan cerita-cerita yang belum kudengar darinya, mulai dari saat ia bertemu hantu mirah, dikejar makhluk bernama lelepah hingga mengembalikan kalung titipan Pak Kuswara kepada hantu Mirah di pohon beringin.
Yang terakhir cukup membuatku cemas. Baru-baru ini ia melihat beberapa anak bermain di sekitar asrama, padahal anak-anak asrama tersebut masih sekolah.
Seorang temanya pernah ikut bermain bersama anak-anak itu dan akhirnya hilang , dan baru ditemukan setelah tiga hari di kolong kasur gudang asrama dengan kondisi lemas.
“Ini Asramanya Mas Danan… “ cerita Gio dengan menunjukan sekompleks bangunan tua di belakang sekolahnya.

Ternyata pohon beringin raksasa yang terlihat dari seluruh penjuru desa terletak tepat di sebelah komplek asrama ini.
Aku memperhatikan sekeliling, namun sama sekali tidak ada keanehan. Mungkin karena ini masih siang dan anak-anak asrama sudah kembali menempati kamarnya masing-masing.

“Gio , kamu nanti pulang duluan ya… Mas Danan mau nunggu di sini” Ucapku pada Gio.
“Mas Danan mau nunggu sampai malam ya? Ga papa, aku ikut…” bantah Gio yang terlihat semakin berani dibanding sebelumnya.

“Yakin… tapi kalau ada bahaya kamu nurut sama Mas Danan ya!” Peringatku pada Gio.

“Ok… “ Gio segera sepakat tanpa membantah.
Kami menunggu di sebuah bangunan tua, katanya di sini dulu Gio bertemu mirah dan setelahnya sempat melihat roh anak-anak asrama itu.
Ketika hari semakin malam, Lampu-lampu asrama mulai dinyalakan. Namun ternyata tidak seterang yang kubayangkan.


“main yuk… “
….
Mendadak terdengar suara anak kecil dari luar bangunan.
….
….
“Aku hitung sampe sepuluh ya… kamu ngumpet”

Suara anak lain terdengar lagi.
Aku keluar bangunan dan mencari suara itu, namun sama sekali tidak ditemukan sumber suara itu.
Gio mencoba melihatku dari jendela bangunan tua tempat kami menunggu, namun ia terjatuh ketika melihat sesosok wajah anak kecil pucat yang muncul dari jendela.

“hihihi… kok kamu ga ngumpet?” …

Suara itu muncul dari kepala yang menakuti Gio.
Gio yang ketakutan segera berlari dan menghampiriku..
“Tenang.. jangan jauh jauh dari Mas Danan ya” Ucapku.
Aku menajamkan pendengaranku , samar-samar terdengar suara bocah-bocah tanpa wujud yang bermain di seluruh tempat ini.
Aku mengikuti suara itu hingga sampai di gudang tempat anak hilang itu ditemukan.

Belum sempat masuk ke dalam, dari atas pintu sesosok kepala anak kecil menggantung terbalik dengan darah yang mengucur di hidung menuju dahinya.
“ini persembunyianku…. Jangan di sini”
..Ucap anak itu.

Aku melompat mundur dan menghindarinya, belum sempat membacakan doa ataupun mantra , roh anak kecil itu sudah menghilang dari pandanganku.
Tangan Gio menggengamku gemetar, sepertinya kejadian tadi membuat nyalinya cukup ciut.
“Sabar ya… ternyata susah juga mencari mereka” Ucapku pada Gio.
“I iya… tapi ada satu yang ga pernah pindah-pindah” Balas Gio.
“Maksud kamu..?” Tanyaku yang penasaran dengan ucapnya.
“Itu di belakang sekolah ada anak perempuan rambut panjang yang selalu menunggu di sana” Jawabnya.
Aku segera mengajak Gio ke tempat itu, setidaknya aku bisa mencari petunjuk dari makhluk yang Gio Bilang.
Benar seperti ucapanya, Ada hantu anak perempuan berambut panjang menunggu di belakang sekolah hanya menatap hantu lain yang bermain.
“Gio , kamu bisa liat hantu itu?” Tanyaku.
“sekarang samar-samar bisa mas… tapi sering ga keliatan juga” Jawab Gio.
Rasanya aku mulai mengerti mengapa Gio sering berurusan dengan makhluk halus, sepertinya ia mempunya kelebihan yang tidak dimiliki anak lain.
“Kamu kenapa di sini? Ga diajak main?” Tanyaku yang mencoba ramah pada hantu anak wanita itu.
Hantu itu hanya menggelengkan kepalanya.
Gio? Gio hanya bersembunyi ketakutan di belakangku. Sungguh berbeda dengan nyalinya tadi. Namun setidaknya ia sudah berani mencoba.

“Terus kenapa kamu di sini terus?” Tanyaku penasaran.
“kalu aku pergi dari sini , mereka bisa main di tempat lain” Ucap makhluk itu.

Rupanya hantu ini adalah yang tertua diantara mereka, sepertinya memang semasa hidup ia ditugaskan untuk menjaga teman-temanya itu.
“Kenapa kalian main terus? Ga mau selesai aja… nanti mas bantu biar ketemu temen-temen yang lain?” tanyaku yang berusaha menenangkan mereka tanpa menggunakan kekerasan.
Sayangnya makhluk itu hanya menggeleng.
Mungkin di mata manusia biasa, hantu-hantu ini sangat menyeramkan dan mengganggu. Namun saat ini aku melihat mereka sebagai roh anak yang masih polos yang tidak tahu apa yang mereka lakukan.
“Memang kenapa ga mau selesai?” Tanyaku lagi.
..
Anak wanita itu menengoku dengan wajah pucatnya.

“ada satu yang belum ketemu…. “jawabnya dengan lirih.

Aku mengerti, rupanya hantu anak-anak ini merasa bertanggung jawab atas satu makhluk lain yang tidak ada di antara mereka.
“Si… siapa yang belum ketemu?” Tiba-diba Gio memberanikan diri untuk bertanya.
Hantu itu kembali menoleh ke arah Gio yang membuatnya ketakutan.
“Ibu…” Jawab hantu anak kecil itu.
Sekarang aku mengerti, rupanya mereka tidak bisa tenang karena kehilangan ibu mereka yang menghilang saat mereka bermain di tempat ini.

Aku mencoba menanyai makhluk itu, namun tidak ada jawaban lain yang kutemukan.
“Susah Gio.. tidak ada petunjuk untuk menemukan ibu mereka, mungkin Mas Danan harus memakai cara yang lebih keras untuk menenangkan mereka” Ucapku pada Gio.

Gio menggeleng seolah tidak setuju.

“Jangan Mas Danan… kasihan mereka” balas anak itu.
“Lah.. tapi katanya kamu takut? “
Aku heran sama anak ini, ia terlihat ketakutan.. namun ia tidak tega apabila hantu ini kutenangkan dengan ilmu tenaga dalamku.
“Dulu hantu di pohon beringin ini pernah cerita kalau pak kuswara dan dia pernah ditolong sesosok hantu perempuan di rumah kebun karet… apa mungkin hantu itu ibu mereka?” Tanya Gio padaku.
Sebuah cerita yang tidak kusangka terdengar dari seorang anak kecil yang berurusan dengan hantu.

“Kebun karet? Maksudnya di Imah leuweung?” tanyaku pada Gio.

Ia mengangguk.
Aku berfikir sejenak sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat itu lagi. Sebenarnya aku berniat mengantarkan Gio kembali sebelum memeriksa Imah Leuweung namun ia tetap ngotot untuk ikut.
“Mas Danan.. Pokoknya aku ikut sampai selesai, saat besar nanti saya mau menjadi seperti Mas Danan dan Mas Cahyo yang bisa membantu orang lain”
Sekali lagi ucapan anak ini membuatku kagum.
Masa lalu yang kelam yang dialami olehku dan Cahyolah yang membuat kami membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu batin untuk menolong orang lain. Tapi tidak dengan anak ini, ia memiliki motivasinya sendiri.
Sebuah rumah tua yang terlihat semakin lapuk terlihat di tengah hutan karet. Warga menyebut tempat ini dengan nama Imah Leuweung atau yang berarti Rumah Hutan.

Terlihat beberapa perkakas sederhana ada di sekitar sini, sepertinya ini sisa-sisa peninggalan mbah wira.
“Kalau memang masih ada hantu di sini, dia pasti sudah diurusin sama mbah wira “ ucapku pada Gio.

“tapi cerita dari mirah begitu mas” Bantah Gio.

Aku mencoba mengingat-ngingat selama dulu memasuki bangunan ini, aku tidak menemukan hantu lain selain anak buah Brakaraswana.
Namun ucapan Gio juga patut dibuktikan.

Kami melangkah masuk ke sebuah rumah tua yang gelap dengan bantuan senter yang kubawa.

Selangkah demi selangkah kami memperhatikan ruangan-ruangan yang sudah banyak dirusak oleh rayap.
Tidak ada hal mencurigakan di tempat ini, namun Gio terlihat merinding saat menatap kearahku.
“Gio… kamu kenapa?” Tanyaku yang ke heranan.

Kali ini tubuhnya benar-benar terlihat ketakutan, ia menunjuk ke arahku seolah melihat sesuatu.
Aku menoleh ke belakang ke arah tangan Gio menunjuk.

Dan ternyata di belakangku sudah terdapat Sesosok makhluk dengan rambut panjang menutupi seluruh tubuh, darah yang hampir tak berhenti mengalir dari matanya…
Gio yang ketakutan berlari sekuat tenaga ke sebuat ruangan yang pernah kumasuki, ruang penumbalan.

Aku mengejarnya, khawatir dengan apa yang masih tersisa di sana. Namun hantu itu lebih cepat memasuki ruangan itu.
“Pergi….”
Suara makhluk itu terdengar mengarah ke Gio yang meringkuk di pojok ruangan.

Melihat hal itu aku membacakan doa-doa penenang dan ayat suci untuk hantu yang mengejar Gio itu. Perlahan darah dari matanya menghilang dan wujudnya berubah menjadi seorang wanita tua.
Sebuah penglihatan muncul di kepalaku mengenai seorang ibu yang menemani anak-anaknya bermain petak umpet di sore hari.

Keluarga ini merupakan pemilik tanah sebenarnya yang digunakan untuk kebun karet.
Sebelum sempat menyelesaikan permainanya orang suruhan juragan kebun karet membakar rumah dan halaman keluarga itu dan menculik ibu dari anak-anak itu.

Sama seperti mirah, ibu ini ditumbalkan dandi kuburkan tepat dibawah tempat ini.
Ternyata rumah yang disebut imah leuweung ini memang dibangun untuk menyembunyikan kuburan sang ibu.

“Jadi benar.. hantu ibu itu Cuma muncul kalau ada anak kecil yang main ke sini” Ucap Gio.
Aku menoleh pada Gio.

“Jadi kamu sudah tau soal ini?” Tanyaku.
“Semua anak kecil juga tau Mas Danan… orang tua sering nakutin anak-anak supaya ga kesini, katanya kalo anak kecil main malem-malem ke Imah leuweung bisa diculik sama hantu nenek-nenek” Jawab Gio yang menjadi sok tau.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Ibu.. ikut kami ya, anak-anak ibu udah nungguin “ Ucapku pada roh wanita itu.

Roh ibu itu hanya mengangguk dengan wajah yang tidak lagi menyeramkan.
“Berati ibu ini dan hantu anak-anak di asrama sudah bisa tenang ya Mas Danan” Tanya Gio yang terlihat cukup senang.
Aku hanya mengangguk.
Kami bersiap meninggalkan ruangan itu , namun tiba-tiba langkahku terhenti dengan suara benda yang terjatuh dari atas ruangan itu.
Senter kuarahkan ke tengah-tengah ruangan yang masih terdapat bekas coretan lingkaran ritual , di sana terlihat sebuah benda yang baru saja terjatuh.
Sebuah patahan kayu bertuliskan aksara jawa yang pecah menjadi dua. Aku mengenali dengan jelas benda ini dan mencari ke seluruh sudut ruangan.

Ruangan demi ruangan kuperiksa bahkan hingga keluar Imah leuweung namun yang kuharapkan tidak ada di tempat ini.
Di satu sisi aku teringat bagaimana cara kami meninggalkan alam ghaib saat melawan brakaraswana.

Pohon beringin.. ! Saat itu kami berlari ke arah pohon beringin tempat candramukti dimakamkan.

“Mas Danan kenapa?” Tanya Gio yang semakin bingung dengan tingkahku.
“Gapapa Gio, ayo kita selesaikan misi kita” jawabku yang segera bergegas kembali ke asrama , atau lebih tepatnya ke pohon beringin di sana.

“Mas Danan jangan cepet-cepet, tungguin” Keluh Gio yang melihatku terburu-buru.
“Gapapa, cepetan… kalau kemaleman bisa dimarahin Bu Ranti” Aku mencoba memberi alasan kepada Gio dan ternyata cukup manjur. Ia berjalan semakin cepat mengikutiku.
Tak butuh waktu lama, kami sudah sampai ke komplek sekolah yang jadi satu dengan asrama itu.

Aku mencari keberadaan hantu anak wanita berambut panjang tadi, namun tidak kutemukan sama sekali. Begitu juga dengan hantu anak-anak yang bermain petak umpet.
Aku mulai kebingungan, namun roh ibu tadi terlihat melayang ke arah pohon beringin.

“Hompimpa alaium gambreng… “

Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain di tempat ini.

jelas itu bukan suara dari anak manusia.
Aku segera berlari menyusul hantu ibu itu dan melihat hantu-hantu anak kecil tadi sedang bermain bersama di bawah pohon beringin bersama satu orang dewasa..

“Mas Danan, itu Mas Cahyo kan?”
Tanya Gio sambil menunjuk seorang pria yang identik dengan sarung kebanggaanya yang terlilit di bahu.

Menyadari kehadiran kami makhluk bernama Cahyo alias Panjul dengan julukan ‘Bocah ketek’ itu segera berdiri dan berlari ke arah kami.
Aku tak mampu menahan air mata haru ketika melihat sahabat terbaiku telah kembali, namun ia pasti sudah menyiapkan ledekanya bila melihat wajahku penuh air mata.

“Iya Gio… Itu Mas Cahyo.. kan Mas Danan udah bilang dia bakal nyusul…”

TAMAT
Catatan :

[ 8 maret 2021 ] Imah Leuweung - Makhluk di pohon beringin Asrama

Semua cerita saya bermula di sini saat memberanikan mengirim cerita ke podcast @bagihorror di spotify dan diberi judul "Tanah Kuburan"

sampai sekarangpun cerita itu masih bisa di dengar
Namun karena itu tulisan pertama saya, jelas masih banyak kekurangan yang terus saya perbaiki hingga saat ini.

Semoga seluruh rangkaian cerita ini, bisa membekas dan berkesan untuk semua pembaca.

open.spotify.com/episode/3nj6As…
Apakah cerita ini sudah selesai?

Tenang saja, Setelah Avenger End Game masih ada film Spiderman,black widow,dr Strang dll..

Setelah perang shinobi ke 4 pun masih ada serial Boruto

dan pasti akan ada cerita - cerita lain yang semoga lebih seru dari ini semua
Namun sebelum itu mungkin akan ada jeda untuk beristirahat dan bertemu dengan narasumber-narasumber penunjang cerita berikutnya.
Terakhir dari saya,

seandainya boleh, minta tolong tinggalkan kesan mengenai cerita saya dengan #diosetta agar suatu saat saya bisa dengan mudah menemukan komen kalian untuk membangkitkan semangat.

Mohon maaf apabila ada salah kata , ambil positignya dan semoga menghibur.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Mar 21
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 6 - Pusaka Merapi

Mereka terpisah sejak kecil, satu tinggal di alam manusia dan satu tinggal di sisi gaib hutan merapi..

#bacahorror @bacahorror Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.

Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.

Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.

Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.

Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.

Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”

Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.

Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”

Deg!

Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.

“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.

Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.

Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.

Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.


“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.

Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
Read 15 tweets
Mar 14
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 5 - Perburuan Sukma

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.

Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.

Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.

“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.

Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.

“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.

Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.

Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.

Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.

Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.

“PANJUL!!”

Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.

Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.

Sosok pocong.

Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.

“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)

Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.

Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.

“Nggak... nggak sudi aku!”

Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”

Tidak ada jawaban.

Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.

Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.

“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”

Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.

Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”

Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.

Keringatku semakin menetes.

“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”

Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Read 14 tweets
Mar 6
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 4 - PENARI DUNIA ARWAH

Galang dan Wulan bertemu lagi, dan perasaan mereka masih sama...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)

Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.

Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.

"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.

Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.

Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.

Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.

"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.

"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.

Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.

"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.

"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"

Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.

Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.

Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana kabarmu?"

Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."

Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.

Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.

"Ada yang datang..." bisikku.

Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.

"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.

Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.

Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."

Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.

"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."

Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."

"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.

Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.

"Lari!" teriaknya tiba-tiba.

Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.

"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.

"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Read 17 tweets
Feb 27
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 3 - Keraton Gaib

Di balik hutan-hutan yang lebat dan puncak yang gersang, tersembuyi entitas gaib yang saling berinteraksi dan memiliki kehidupannya sendiri..

Keraton Gaib Merapi, bersembunyi di balik kabut pekat di sana.

#bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Sudut Pandang Cahyo…)

Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.

Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.

Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.

“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.

Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.

Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.

“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.

“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”

Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.

“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.

Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.

Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.

Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.

Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.

Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.

Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Read 13 tweets
Feb 20
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata

Cahyo sudah menunggu Galang dan teman-temannya di jalur pendakian. Tak di sangka, kedatangan mereka sudah diawasi...

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang tertinggal
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.

Aku harus kembali ke Merapi.

Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.

"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."

Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.

Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.

Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.

Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.

Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.

***
Read 17 tweets
Feb 13
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal

Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.

Merapi memanggil kembali...

@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror Image
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :

2.910 Mdpl (Maut di Perbatasan Langit)
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 : x.com/diosetta/statu…
Part 5 : x.com/diosetta/statu…
Part 1 - Sukma yang Tertinggal

-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.

Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.

“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.

Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.

“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.

Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.

Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.

Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?

Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --
Read 22 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(