IMAH LEUWEUNG
Part Epilog - Asrama Di bawah Pohon Beringin
Kita tutup rangkaian cerita ini dengan part epilog #imahleuweung ini ya.. apabila endingnya membekas tolong tinggalin kesan kalian dengan #diosetta supaya nanti saya gampang search komen2 kalian
IMAH LEUWEUNG
Asrama di bawah pohon beringin
Seorang anak berlari dengan tergesa-gesa menuju rumah Bu Ranti.
“Bu!! Itu bu!!! Di asrama” teriak anak kecil bernama Gio yang tinggal di rumah Bu Ranti.
“Apa lagi Gio…? Bocah-bocah itu lagi? “ Tanya Bu Ranti.
“I iya… “ Jawabnya yang terengah-engah.
“Ya udah.. sana masuk beres – beres dulu, terus cerita ke Mas Danan” Ucap Bu Ranti.
“Mas Danan sudah sampe? “ Tanya dio yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Bu Ranti.
Ya… sesuai rencana , hari ini aku kembali ke Desa Sukmaraya sebuah desa di daerah pegunungan dengan sebuah pohon beringin raksasa yang selalu dapat dilihat dari sisi manapun desa ini.
“Mas Danan! Sudah lama? ” Ucap Gio yang sepertinya sudah menunggu kedatanganku.
“lumayan.. udah sempet istirahat kok” Jawabku pada seorang bocah yang dulu kukenal sedikit pemalu.
“Mas Cahyo ga ikut?” Tanyanya sekali lagi yang membuatku segikit bingung untuk menjawab.
“Nanti Mas Cahyo nyusul kok” Jawabku seadanya.
“Gio mau cerita, di asrama ada penampakan.. temen-temenku ga ada yang percaya” Ucapnya tergesa-gesa.
“Udah.. ceritanya sambil jalan aja yuk” Aku langsung mengajak dio menuju asrama di belakang sekolahnya sekaligus mendengarkan ceritanya di perjalanan.
Sepanjang perjalanan Gio menceritakan cerita-cerita yang belum kudengar darinya, mulai dari saat ia bertemu hantu mirah, dikejar makhluk bernama lelepah hingga mengembalikan kalung titipan Pak Kuswara kepada hantu Mirah di pohon beringin.
Yang terakhir cukup membuatku cemas. Baru-baru ini ia melihat beberapa anak bermain di sekitar asrama, padahal anak-anak asrama tersebut masih sekolah.
Seorang temanya pernah ikut bermain bersama anak-anak itu dan akhirnya hilang , dan baru ditemukan setelah tiga hari di kolong kasur gudang asrama dengan kondisi lemas.
“Ini Asramanya Mas Danan… “ cerita Gio dengan menunjukan sekompleks bangunan tua di belakang sekolahnya.
Ternyata pohon beringin raksasa yang terlihat dari seluruh penjuru desa terletak tepat di sebelah komplek asrama ini.
Aku memperhatikan sekeliling, namun sama sekali tidak ada keanehan. Mungkin karena ini masih siang dan anak-anak asrama sudah kembali menempati kamarnya masing-masing.
“Gio , kamu nanti pulang duluan ya… Mas Danan mau nunggu di sini” Ucapku pada Gio.
“Mas Danan mau nunggu sampai malam ya? Ga papa, aku ikut…” bantah Gio yang terlihat semakin berani dibanding sebelumnya.
“Yakin… tapi kalau ada bahaya kamu nurut sama Mas Danan ya!” Peringatku pada Gio.
“Ok… “ Gio segera sepakat tanpa membantah.
Kami menunggu di sebuah bangunan tua, katanya di sini dulu Gio bertemu mirah dan setelahnya sempat melihat roh anak-anak asrama itu.
Ketika hari semakin malam, Lampu-lampu asrama mulai dinyalakan. Namun ternyata tidak seterang yang kubayangkan.
…
…
“main yuk… “
….
Mendadak terdengar suara anak kecil dari luar bangunan.
….
….
“Aku hitung sampe sepuluh ya… kamu ngumpet”
Suara anak lain terdengar lagi.
Aku keluar bangunan dan mencari suara itu, namun sama sekali tidak ditemukan sumber suara itu.
Gio mencoba melihatku dari jendela bangunan tua tempat kami menunggu, namun ia terjatuh ketika melihat sesosok wajah anak kecil pucat yang muncul dari jendela.
“hihihi… kok kamu ga ngumpet?” …
…
Suara itu muncul dari kepala yang menakuti Gio.
Gio yang ketakutan segera berlari dan menghampiriku..
“Tenang.. jangan jauh jauh dari Mas Danan ya” Ucapku.
Aku menajamkan pendengaranku , samar-samar terdengar suara bocah-bocah tanpa wujud yang bermain di seluruh tempat ini.
Aku mengikuti suara itu hingga sampai di gudang tempat anak hilang itu ditemukan.
Belum sempat masuk ke dalam, dari atas pintu sesosok kepala anak kecil menggantung terbalik dengan darah yang mengucur di hidung menuju dahinya.
“ini persembunyianku…. Jangan di sini”
..Ucap anak itu.
Aku melompat mundur dan menghindarinya, belum sempat membacakan doa ataupun mantra , roh anak kecil itu sudah menghilang dari pandanganku.
Tangan Gio menggengamku gemetar, sepertinya kejadian tadi membuat nyalinya cukup ciut.
“Sabar ya… ternyata susah juga mencari mereka” Ucapku pada Gio.
“I iya… tapi ada satu yang ga pernah pindah-pindah” Balas Gio.
“Maksud kamu..?” Tanyaku yang penasaran dengan ucapnya.
“Itu di belakang sekolah ada anak perempuan rambut panjang yang selalu menunggu di sana” Jawabnya.
Aku segera mengajak Gio ke tempat itu, setidaknya aku bisa mencari petunjuk dari makhluk yang Gio Bilang.
Benar seperti ucapanya, Ada hantu anak perempuan berambut panjang menunggu di belakang sekolah hanya menatap hantu lain yang bermain.
“Gio , kamu bisa liat hantu itu?” Tanyaku.
“sekarang samar-samar bisa mas… tapi sering ga keliatan juga” Jawab Gio.
Rasanya aku mulai mengerti mengapa Gio sering berurusan dengan makhluk halus, sepertinya ia mempunya kelebihan yang tidak dimiliki anak lain.
“Kamu kenapa di sini? Ga diajak main?” Tanyaku yang mencoba ramah pada hantu anak wanita itu.
Hantu itu hanya menggelengkan kepalanya.
Gio? Gio hanya bersembunyi ketakutan di belakangku. Sungguh berbeda dengan nyalinya tadi. Namun setidaknya ia sudah berani mencoba.
“Terus kenapa kamu di sini terus?” Tanyaku penasaran.
“kalu aku pergi dari sini , mereka bisa main di tempat lain” Ucap makhluk itu.
Rupanya hantu ini adalah yang tertua diantara mereka, sepertinya memang semasa hidup ia ditugaskan untuk menjaga teman-temanya itu.
“Kenapa kalian main terus? Ga mau selesai aja… nanti mas bantu biar ketemu temen-temen yang lain?” tanyaku yang berusaha menenangkan mereka tanpa menggunakan kekerasan.
Sayangnya makhluk itu hanya menggeleng.
Mungkin di mata manusia biasa, hantu-hantu ini sangat menyeramkan dan mengganggu. Namun saat ini aku melihat mereka sebagai roh anak yang masih polos yang tidak tahu apa yang mereka lakukan.
“Memang kenapa ga mau selesai?” Tanyaku lagi.
..
Anak wanita itu menengoku dengan wajah pucatnya.
…
“ada satu yang belum ketemu…. “jawabnya dengan lirih.
…
Aku mengerti, rupanya hantu anak-anak ini merasa bertanggung jawab atas satu makhluk lain yang tidak ada di antara mereka.
“Si… siapa yang belum ketemu?” Tiba-diba Gio memberanikan diri untuk bertanya.
Hantu itu kembali menoleh ke arah Gio yang membuatnya ketakutan.
“Ibu…” Jawab hantu anak kecil itu.
Sekarang aku mengerti, rupanya mereka tidak bisa tenang karena kehilangan ibu mereka yang menghilang saat mereka bermain di tempat ini.
Aku mencoba menanyai makhluk itu, namun tidak ada jawaban lain yang kutemukan.
“Susah Gio.. tidak ada petunjuk untuk menemukan ibu mereka, mungkin Mas Danan harus memakai cara yang lebih keras untuk menenangkan mereka” Ucapku pada Gio.
Gio menggeleng seolah tidak setuju.
“Jangan Mas Danan… kasihan mereka” balas anak itu.
“Lah.. tapi katanya kamu takut? “
Aku heran sama anak ini, ia terlihat ketakutan.. namun ia tidak tega apabila hantu ini kutenangkan dengan ilmu tenaga dalamku.
“Dulu hantu di pohon beringin ini pernah cerita kalau pak kuswara dan dia pernah ditolong sesosok hantu perempuan di rumah kebun karet… apa mungkin hantu itu ibu mereka?” Tanya Gio padaku.
Sebuah cerita yang tidak kusangka terdengar dari seorang anak kecil yang berurusan dengan hantu.
“Kebun karet? Maksudnya di Imah leuweung?” tanyaku pada Gio.
Ia mengangguk.
Aku berfikir sejenak sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat itu lagi. Sebenarnya aku berniat mengantarkan Gio kembali sebelum memeriksa Imah Leuweung namun ia tetap ngotot untuk ikut.
“Mas Danan.. Pokoknya aku ikut sampai selesai, saat besar nanti saya mau menjadi seperti Mas Danan dan Mas Cahyo yang bisa membantu orang lain”
Sekali lagi ucapan anak ini membuatku kagum.
Masa lalu yang kelam yang dialami olehku dan Cahyolah yang membuat kami membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu batin untuk menolong orang lain. Tapi tidak dengan anak ini, ia memiliki motivasinya sendiri.
Sebuah rumah tua yang terlihat semakin lapuk terlihat di tengah hutan karet. Warga menyebut tempat ini dengan nama Imah Leuweung atau yang berarti Rumah Hutan.
Terlihat beberapa perkakas sederhana ada di sekitar sini, sepertinya ini sisa-sisa peninggalan mbah wira.
“Kalau memang masih ada hantu di sini, dia pasti sudah diurusin sama mbah wira “ ucapku pada Gio.
“tapi cerita dari mirah begitu mas” Bantah Gio.
Aku mencoba mengingat-ngingat selama dulu memasuki bangunan ini, aku tidak menemukan hantu lain selain anak buah Brakaraswana.
Namun ucapan Gio juga patut dibuktikan.
Kami melangkah masuk ke sebuah rumah tua yang gelap dengan bantuan senter yang kubawa.
Selangkah demi selangkah kami memperhatikan ruangan-ruangan yang sudah banyak dirusak oleh rayap.
Tidak ada hal mencurigakan di tempat ini, namun Gio terlihat merinding saat menatap kearahku.
“Gio… kamu kenapa?” Tanyaku yang ke heranan.
Kali ini tubuhnya benar-benar terlihat ketakutan, ia menunjuk ke arahku seolah melihat sesuatu.
Aku menoleh ke belakang ke arah tangan Gio menunjuk.
Dan ternyata di belakangku sudah terdapat Sesosok makhluk dengan rambut panjang menutupi seluruh tubuh, darah yang hampir tak berhenti mengalir dari matanya…
Gio yang ketakutan berlari sekuat tenaga ke sebuat ruangan yang pernah kumasuki, ruang penumbalan.
Aku mengejarnya, khawatir dengan apa yang masih tersisa di sana. Namun hantu itu lebih cepat memasuki ruangan itu.
“Pergi….”
Suara makhluk itu terdengar mengarah ke Gio yang meringkuk di pojok ruangan.
Melihat hal itu aku membacakan doa-doa penenang dan ayat suci untuk hantu yang mengejar Gio itu. Perlahan darah dari matanya menghilang dan wujudnya berubah menjadi seorang wanita tua.
Sebuah penglihatan muncul di kepalaku mengenai seorang ibu yang menemani anak-anaknya bermain petak umpet di sore hari.
Keluarga ini merupakan pemilik tanah sebenarnya yang digunakan untuk kebun karet.
Sebelum sempat menyelesaikan permainanya orang suruhan juragan kebun karet membakar rumah dan halaman keluarga itu dan menculik ibu dari anak-anak itu.
Sama seperti mirah, ibu ini ditumbalkan dandi kuburkan tepat dibawah tempat ini.
Ternyata rumah yang disebut imah leuweung ini memang dibangun untuk menyembunyikan kuburan sang ibu.
“Jadi benar.. hantu ibu itu Cuma muncul kalau ada anak kecil yang main ke sini” Ucap Gio.
Aku menoleh pada Gio.
“Jadi kamu sudah tau soal ini?” Tanyaku.
“Semua anak kecil juga tau Mas Danan… orang tua sering nakutin anak-anak supaya ga kesini, katanya kalo anak kecil main malem-malem ke Imah leuweung bisa diculik sama hantu nenek-nenek” Jawab Gio yang menjadi sok tau.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Ibu.. ikut kami ya, anak-anak ibu udah nungguin “ Ucapku pada roh wanita itu.
Roh ibu itu hanya mengangguk dengan wajah yang tidak lagi menyeramkan.
“Berati ibu ini dan hantu anak-anak di asrama sudah bisa tenang ya Mas Danan” Tanya Gio yang terlihat cukup senang.
Aku hanya mengangguk.
Kami bersiap meninggalkan ruangan itu , namun tiba-tiba langkahku terhenti dengan suara benda yang terjatuh dari atas ruangan itu.
Senter kuarahkan ke tengah-tengah ruangan yang masih terdapat bekas coretan lingkaran ritual , di sana terlihat sebuah benda yang baru saja terjatuh.
Sebuah patahan kayu bertuliskan aksara jawa yang pecah menjadi dua. Aku mengenali dengan jelas benda ini dan mencari ke seluruh sudut ruangan.
Ruangan demi ruangan kuperiksa bahkan hingga keluar Imah leuweung namun yang kuharapkan tidak ada di tempat ini.
Di satu sisi aku teringat bagaimana cara kami meninggalkan alam ghaib saat melawan brakaraswana.
Pohon beringin.. ! Saat itu kami berlari ke arah pohon beringin tempat candramukti dimakamkan.
“Mas Danan kenapa?” Tanya Gio yang semakin bingung dengan tingkahku.
“Gapapa Gio, ayo kita selesaikan misi kita” jawabku yang segera bergegas kembali ke asrama , atau lebih tepatnya ke pohon beringin di sana.
“Mas Danan jangan cepet-cepet, tungguin” Keluh Gio yang melihatku terburu-buru.
“Gapapa, cepetan… kalau kemaleman bisa dimarahin Bu Ranti” Aku mencoba memberi alasan kepada Gio dan ternyata cukup manjur. Ia berjalan semakin cepat mengikutiku.
Tak butuh waktu lama, kami sudah sampai ke komplek sekolah yang jadi satu dengan asrama itu.
Aku mencari keberadaan hantu anak wanita berambut panjang tadi, namun tidak kutemukan sama sekali. Begitu juga dengan hantu anak-anak yang bermain petak umpet.
Aku mulai kebingungan, namun roh ibu tadi terlihat melayang ke arah pohon beringin.
…
“Hompimpa alaium gambreng… “
…
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain di tempat ini.
…
jelas itu bukan suara dari anak manusia.
Aku segera berlari menyusul hantu ibu itu dan melihat hantu-hantu anak kecil tadi sedang bermain bersama di bawah pohon beringin bersama satu orang dewasa..
“Mas Danan, itu Mas Cahyo kan?”
Tanya Gio sambil menunjuk seorang pria yang identik dengan sarung kebanggaanya yang terlilit di bahu.
Menyadari kehadiran kami makhluk bernama Cahyo alias Panjul dengan julukan ‘Bocah ketek’ itu segera berdiri dan berlari ke arah kami.
Aku tak mampu menahan air mata haru ketika melihat sahabat terbaiku telah kembali, namun ia pasti sudah menyiapkan ledekanya bila melihat wajahku penuh air mata.
“Iya Gio… Itu Mas Cahyo.. kan Mas Danan udah bilang dia bakal nyusul…”
TAMAT
Catatan :
[ 8 maret 2021 ] Imah Leuweung - Makhluk di pohon beringin Asrama
Semua cerita saya bermula di sini saat memberanikan mengirim cerita ke podcast @bagihorror di spotify dan diberi judul "Tanah Kuburan"
sampai sekarangpun cerita itu masih bisa di dengar
Namun karena itu tulisan pertama saya, jelas masih banyak kekurangan yang terus saya perbaiki hingga saat ini.
Semoga seluruh rangkaian cerita ini, bisa membekas dan berkesan untuk semua pembaca.
Tenang saja, Setelah Avenger End Game masih ada film Spiderman,black widow,dr Strang dll..
Setelah perang shinobi ke 4 pun masih ada serial Boruto
dan pasti akan ada cerita - cerita lain yang semoga lebih seru dari ini semua
Namun sebelum itu mungkin akan ada jeda untuk beristirahat dan bertemu dengan narasumber-narasumber penunjang cerita berikutnya.
Terakhir dari saya,
seandainya boleh, minta tolong tinggalkan kesan mengenai cerita saya dengan #diosetta agar suatu saat saya bisa dengan mudah menemukan komen kalian untuk membangkitkan semangat.
Mohon maaf apabila ada salah kata , ambil positignya dan semoga menghibur.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.
“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”
Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.
“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.
“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.
“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.
Brakk!! Brakk!! Brakk!!
Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.
“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.
“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana
Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.
Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.
Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.
Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.
Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.
Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.
Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...
Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.
Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.
“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.
“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”
Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.
“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”
Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.
“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”
Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.
Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.
Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.
Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.
“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.
Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.
Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.
#bacahorror @bacahorror
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.
Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.
Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.
Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.
Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.
Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.
Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..
***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.
Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.
Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.
Eyang Wirabumi Dayu Sambara.
“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.
“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.
Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.
“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.
“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.
“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.
“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.
Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.
“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.
Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.
“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.
“Kami?” Paklek bertanya.
Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.
“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.
“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.
“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”
Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.
“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.
Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.
“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.
Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.
“Pengkhianat?” Tanyaku.
Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.
“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.
“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.
Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.
“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.
“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.
Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.
“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.
Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.
“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.
Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.
“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”
Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.
Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.
“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.
Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.
Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa
Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.
“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.
Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.
“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.
“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!
Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”
Krakk!!!
Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.
Danan dan Cahyo terpisah di alam yang berbeda. Garis keturunan Trah Sambara memiliki takdir untuk berdiri di tengah perseteruan makhluk-makhluk yang merasa menguasai bagian dari alam.
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
SENDANG MAYAT
Suara mesin sepeda motor memecah keheningan di jalan setapak yang dikelilingi hutan-hutan menuju sebuah desa. Berkali-kali aku mengingatkan Mas Sapta yang menjemputku dengan motor tuanya untuk berhati-hati, namun rasa cemasnya akan keadaan keluarga dan warga desa tak bisa ditutupi.
Namaku Anggoro. Seorang dokter yang sedang menjalankan tugas di salah satu kota besar di Jawa Barat. Namun kemarin, bapak meneleponku dan memintaku untuk pulang.
“Pulang ya, Le… Bapak takut, mungkin saja hal buruk akan terjadi pada sama bapak. Setidaknya sebelum hal buruk itu terjadi, bapak pengen ketemu kamu..”
Kata-kata itu terus terngiang membuatku tak mungkin lagi menolak untuk pulang.
Bapak juga mengatakan bahwa seandainya aku bisa kembali, mungkin saja aku bisa membantu akan apa yang terjadi di desa. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana.
Belasan warga, mati…
Mas Sapta yang menjemputku di terminal pun menceritakan dengan tubuh yang gemetar dan lemas. Ia melihat sendiri bagaimana tetangga yang masih saudara jauh dengannya mati dengan tubuh yang menghitam dan bagian tubuhnya putus satu persatu. Dan saat ini, di rumah bapak masih terdapat beberapa warga yang bernasib serupa.
“Bangunan itu masih belum dibongkar?”
Aku bertanya pada Mas Sapta sambil menunjuk beberapa sisa rumah-rumah tua yang sudah hancur di salah satu sisi hutan. Hanya tersisa sebagian tembok-tembok saja yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan lumut.
Sisa dinding-dinding bangunan di sana sudah terkelupas dan menunjukkan tumpukan bata yang masih tebal. Ada sebuah sumur yang sepertinya juga sudah lama tidak digunakan.
“Nggak ada yang berani, Mas Anggoro. Katanya masih ada yang punya. Takut salah..”
Aku hanya menggeleng melihat sisa-sisa bangunan yang sudah ada sejak aku kecil. Entah kapan terakhir kali bangunan itu berbentuk rumah dan ditinggali, bapak pun tidak bisa menjawab.Gapura desa Darmo Kulon pun terlihat di hadapan kami, namun aku tak menyangka bahwa keadaan di desa begitu gelap.
Semua rumah mematikan lampu dan hanya ada beberapa obor yang dibuat menggunakan botol kaca yang menyala di beberapa sudut jalan.
“Gelap sekali, Mas? Mati listrik?” Tanyaku.
“Sengaja, Mas.. Kami semua mematikan listrik, mengunci semua pintu, tidur di lantai, supaya setan-setan yang mengutuk desa kami tidak masuk ke desa ini..”
“Masih percaya begituan?”
“Entah, Mas. Dari dulu desa kita percaya hal seperti itu setiap ada wabah..”
Aku memang mengingat beberapa kebiasaan-kebiasaan warga yang sekarang sudah kuanggap tidak masuk akal. Semenjak aku merantau dan mengenal dunia luar, beberapa hal di desaku terasa tidak relevan.
Brakkk!
“Sakiiit…. Sakit… hentikan!”
Tiba-tiba seorang perempuan menerobos keluar rumah. Ia berjalan dengan tangan dan kakinya yang kaku dengan sebagian kulitnya sudah terlihat bisul, bercak, hingga bagian yang menghitam. Matanya terus melotot tanpa bisa berkedip.
Mas Sapta pun mengerem motornya mendadak. Cahaya lampu menyinari sosok perempuan yang terlihat mengerikan di gelapnya malam. Aku pun turun dari motor untuk melihat lebih jelas, namun sosok itu lebih dahulu mengenaliku.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan mencoba meraihku.
“Anggoro…” Senyumnya terlihat aneh dan membuatku bergidik ngeri. “To—long…”
Belum sempat mendekat ke arahku, tiba-tiba jari-jari wanita yang telah menghitam itu terpisah dari tubuhnya dan jatuh ke tanah. Wajahnya terus menatapku namun tak lagi bergerak. Satu tangannya masih berusaha meraihku, namun jari-jarinya jatuh satu persatu.
Aku mengenali perempuan itu.
“Mu—murni? Kamu Murni, kan?” Aku memastikan bahwa di hadapannya adalah teman masa kecilku. Namun sudah terlambat cukup lama. Tubuh murni tak lagi bertahan, tubuh itu pun terjatuh tak bernyawa setelah beberapa bagian tubuhnya terpisah. Satu lagi korban jiwa terjadi di desa Darmo kulon.
***
Kedatanganku yang disambut dengan kematian Murni, teman masa kecilku membuat diriku terpuruk. Aku pun kembali ke rumah ayahnya yang merupakan seorang mantri di desa itu dengan wajah yang kusut.
“Kulo nuwun. Bapak, ini Anggoro…” Ucapku sambil mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Terlihat seseorang berusaha berjalan dengan cepat dengan kakinya yang tertatih untuk membukakan pintu.
“Alhamdulillah, Le.. kamu datang juga..” Sambut bapak yang bernafas lega melihat kedatanganku.
Aku mencium tangan bapak dan segera memeluknya. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan aku merasakan bahwa ia menanggung beban yang tak biasa.
“Pak Parmin, Tasnya Mas Anggoro izin saya masukkan ke dalam, ya..” ucap Mas Sapta.
“Iyo, Le. Matur nuwun yo..” (Iya, Nak. Terima kasih ya…) Balas Bapak yang bergegas mengajakku masuk ke dalam.
Baru beberapa langkah memasuki ruangan aku sudah mencium bau yang berbeda. Kadang tercium bau rempah-rempah obat, kadang tercium bau yang cukup busuk. Terdengar suara dengkuran dan rintihan dari dalam rumah.
“Nanti kamu tidur di rumah sapta saja ya, Le. Beberapa warga nggak punya keluarga, jadi bapak ngerawat mereka di rumah.” Jelas Bapak yang sepertinya menyadari gelagatku yang tidak nyaman.
“Ndak, Pak. Anggoro bantu bapak rawat mereka. Sekarang Anggoro sudah jadi dokter, jadi harusnya lebih mengerti, Pak…” Balasku.
Tidak mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan seperti ini. Sejak kecil, bapak merawatku seorang diri setelah ibu meninggal di umurku yang masih lima tahun. Ia membiayai kebutuhanku dengan profesinya sebagai mantri yang pendapatanya tidak seberapa itu.
Walaupun rumah kami sederhana, uang kami tidak banyak, Bapak bercita-cita menyekolahkan aku hingga jadi dokter agar bisa lebih baik darinya dan bisa membantu lebih banyak orang. Sudah jelas gelar yang kumiliki saat ini adalah hasil keringatnya.
“Bapak tahu, kamu pasti lebih ngerti, Le. Tapi takutnya apa yang terjadi di desa ini belum tentu bisa ditangani oleh manusia biasa,” Balas bapak.
Aku hanya menggeleng mendengar jawaban bapak. Namun aku tak membalas pernyataan nya itu. Aku tak ingin menyinggungnya dengan tanggapanku mengenai hal-hal mistis.
Berbagai dugaan sudah berkecamuk di kepalaku. Malam itu juga aku membersihkan diri, mengenakan perlengkapanku, sarung tangan, dan masker untuk memeriksa warga desa.
Mereka semua memiliki gejala yang sama. tubuh yang kaku, bisul di telapak kaki, hingga kulit yang seperti luka bakar, hingga hitam membusuk. Saat itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh mereka.
“Bapak..”
Aku mendekat ke arah bapak sambil mengamati beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya belum ada gejala-gejala di tubuh bapak.
“Gimana, Le?” Mata bapak menaruh banyak harap kepadaku.
“Setelah ini kita pisahkan warga yang sehat dengan yang sakit. Besok akan saya panggil bantuan tim medis.” Aku menjelaskan pada bapak dengan serius mungkin. “Desa ini terkena wabah kusta..”
Mata bapak terbelalak mendengar pernyataanku. Sepertinya ia tidak menyangka penyakit itu akan menjangkit warga desa.
“Kamu yakin, Le? Ini bukan kutukan yang disebabkan karena itu…”
Aku menggeleng sambil melepas sarung tanganku dan menepuk pundak bapak.
“Yakin, Pak. Tidak usah khawatir tentang apa yang terjadi tujuh tahun lalu. Toh warga desa juga sudah sepakat mengambil keputusan ini…”
Bapak menghela nafas dan sedikit membuang muka. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan tanggapanku.
“Kalau bukan kutukan, kenapa mereka teriak-teriak kesetanan tiap malam, Mas? Ada yang kelihatan ketakutan, ada juga yang seperti kesurupan..” Mas Sapta tidak ingin percaya begitu saja.
“Bisa jadi halusinasi. Tapi kalau memang ada faktor lain, kita harus cari tahu. Tenang saja, Itu juga kan tujuanku ke sini,” Balasku.
Aku menelpon kenalan-kenalan tenaga medis yang bisa menghubungkanku ke rumah sakit terdekat. Aku menjelaskan tentang wabah kusta yang terjadi di desaku dan meminta mereka membuat leprasorium darurat di desaku secepatnya.
Saat itu Mas Sapta menghampiri bapak dan terlihat tengah berbincang dengan raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan kepadaku.
“Mas Anggoro. Kalau bisa menyempatkan waktu sebentar lagi, saya dan bapak mau ngajak mas Anggoro ke suatu tempat,” Ajak Mas Sapta.
“Malam-malam gini?” Balasku.
Mas Sapta menoleh ke arah bapak, dan bapak mengangguk menyetujuinya.
“Di keadaan ini kita nggak tahu bahwa ada nyawa yang bisa melayang jika kita menunda beberapa detik saja. Jadi saya rasa Mas Anggoro harus mengetahui hal ini secepatnya..” Balas Mas Sapta.
“Bapak juga ikut, Le. Kita cuma bisa sampai kesana dengan berjalan kaki. Sambil ada yang mau bapak ceritakan juga..” Tambah Bapak.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, sepertinya hal yang ingin mereka sampaikan adalah hal yang penting. Aku pun meminta waktu sebentar untuk bersiap-siap sementara mereka membuat obor yang akan kami gunakan untuk perjalanan kami.