IMAH LEUWEUNG
Part Epilog - Asrama Di bawah Pohon Beringin
Kita tutup rangkaian cerita ini dengan part epilog #imahleuweung ini ya.. apabila endingnya membekas tolong tinggalin kesan kalian dengan #diosetta supaya nanti saya gampang search komen2 kalian
IMAH LEUWEUNG
Asrama di bawah pohon beringin
Seorang anak berlari dengan tergesa-gesa menuju rumah Bu Ranti.
“Bu!! Itu bu!!! Di asrama” teriak anak kecil bernama Gio yang tinggal di rumah Bu Ranti.
“Apa lagi Gio…? Bocah-bocah itu lagi? “ Tanya Bu Ranti.
“I iya… “ Jawabnya yang terengah-engah.
“Ya udah.. sana masuk beres – beres dulu, terus cerita ke Mas Danan” Ucap Bu Ranti.
“Mas Danan sudah sampe? “ Tanya dio yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Bu Ranti.
Ya… sesuai rencana , hari ini aku kembali ke Desa Sukmaraya sebuah desa di daerah pegunungan dengan sebuah pohon beringin raksasa yang selalu dapat dilihat dari sisi manapun desa ini.
“Mas Danan! Sudah lama? ” Ucap Gio yang sepertinya sudah menunggu kedatanganku.
“lumayan.. udah sempet istirahat kok” Jawabku pada seorang bocah yang dulu kukenal sedikit pemalu.
“Mas Cahyo ga ikut?” Tanyanya sekali lagi yang membuatku segikit bingung untuk menjawab.
“Nanti Mas Cahyo nyusul kok” Jawabku seadanya.
“Gio mau cerita, di asrama ada penampakan.. temen-temenku ga ada yang percaya” Ucapnya tergesa-gesa.
“Udah.. ceritanya sambil jalan aja yuk” Aku langsung mengajak dio menuju asrama di belakang sekolahnya sekaligus mendengarkan ceritanya di perjalanan.
Sepanjang perjalanan Gio menceritakan cerita-cerita yang belum kudengar darinya, mulai dari saat ia bertemu hantu mirah, dikejar makhluk bernama lelepah hingga mengembalikan kalung titipan Pak Kuswara kepada hantu Mirah di pohon beringin.
Yang terakhir cukup membuatku cemas. Baru-baru ini ia melihat beberapa anak bermain di sekitar asrama, padahal anak-anak asrama tersebut masih sekolah.
Seorang temanya pernah ikut bermain bersama anak-anak itu dan akhirnya hilang , dan baru ditemukan setelah tiga hari di kolong kasur gudang asrama dengan kondisi lemas.
“Ini Asramanya Mas Danan… “ cerita Gio dengan menunjukan sekompleks bangunan tua di belakang sekolahnya.
Ternyata pohon beringin raksasa yang terlihat dari seluruh penjuru desa terletak tepat di sebelah komplek asrama ini.
Aku memperhatikan sekeliling, namun sama sekali tidak ada keanehan. Mungkin karena ini masih siang dan anak-anak asrama sudah kembali menempati kamarnya masing-masing.
“Gio , kamu nanti pulang duluan ya… Mas Danan mau nunggu di sini” Ucapku pada Gio.
“Mas Danan mau nunggu sampai malam ya? Ga papa, aku ikut…” bantah Gio yang terlihat semakin berani dibanding sebelumnya.
“Yakin… tapi kalau ada bahaya kamu nurut sama Mas Danan ya!” Peringatku pada Gio.
“Ok… “ Gio segera sepakat tanpa membantah.
Kami menunggu di sebuah bangunan tua, katanya di sini dulu Gio bertemu mirah dan setelahnya sempat melihat roh anak-anak asrama itu.
Ketika hari semakin malam, Lampu-lampu asrama mulai dinyalakan. Namun ternyata tidak seterang yang kubayangkan.
…
…
“main yuk… “
….
Mendadak terdengar suara anak kecil dari luar bangunan.
….
….
“Aku hitung sampe sepuluh ya… kamu ngumpet”
Suara anak lain terdengar lagi.
Aku keluar bangunan dan mencari suara itu, namun sama sekali tidak ditemukan sumber suara itu.
Gio mencoba melihatku dari jendela bangunan tua tempat kami menunggu, namun ia terjatuh ketika melihat sesosok wajah anak kecil pucat yang muncul dari jendela.
“hihihi… kok kamu ga ngumpet?” …
…
Suara itu muncul dari kepala yang menakuti Gio.
Gio yang ketakutan segera berlari dan menghampiriku..
“Tenang.. jangan jauh jauh dari Mas Danan ya” Ucapku.
Aku menajamkan pendengaranku , samar-samar terdengar suara bocah-bocah tanpa wujud yang bermain di seluruh tempat ini.
Aku mengikuti suara itu hingga sampai di gudang tempat anak hilang itu ditemukan.
Belum sempat masuk ke dalam, dari atas pintu sesosok kepala anak kecil menggantung terbalik dengan darah yang mengucur di hidung menuju dahinya.
“ini persembunyianku…. Jangan di sini”
..Ucap anak itu.
Aku melompat mundur dan menghindarinya, belum sempat membacakan doa ataupun mantra , roh anak kecil itu sudah menghilang dari pandanganku.
Tangan Gio menggengamku gemetar, sepertinya kejadian tadi membuat nyalinya cukup ciut.
“Sabar ya… ternyata susah juga mencari mereka” Ucapku pada Gio.
“I iya… tapi ada satu yang ga pernah pindah-pindah” Balas Gio.
“Maksud kamu..?” Tanyaku yang penasaran dengan ucapnya.
“Itu di belakang sekolah ada anak perempuan rambut panjang yang selalu menunggu di sana” Jawabnya.
Aku segera mengajak Gio ke tempat itu, setidaknya aku bisa mencari petunjuk dari makhluk yang Gio Bilang.
Benar seperti ucapanya, Ada hantu anak perempuan berambut panjang menunggu di belakang sekolah hanya menatap hantu lain yang bermain.
“Gio , kamu bisa liat hantu itu?” Tanyaku.
“sekarang samar-samar bisa mas… tapi sering ga keliatan juga” Jawab Gio.
Rasanya aku mulai mengerti mengapa Gio sering berurusan dengan makhluk halus, sepertinya ia mempunya kelebihan yang tidak dimiliki anak lain.
“Kamu kenapa di sini? Ga diajak main?” Tanyaku yang mencoba ramah pada hantu anak wanita itu.
Hantu itu hanya menggelengkan kepalanya.
Gio? Gio hanya bersembunyi ketakutan di belakangku. Sungguh berbeda dengan nyalinya tadi. Namun setidaknya ia sudah berani mencoba.
“Terus kenapa kamu di sini terus?” Tanyaku penasaran.
“kalu aku pergi dari sini , mereka bisa main di tempat lain” Ucap makhluk itu.
Rupanya hantu ini adalah yang tertua diantara mereka, sepertinya memang semasa hidup ia ditugaskan untuk menjaga teman-temanya itu.
“Kenapa kalian main terus? Ga mau selesai aja… nanti mas bantu biar ketemu temen-temen yang lain?” tanyaku yang berusaha menenangkan mereka tanpa menggunakan kekerasan.
Sayangnya makhluk itu hanya menggeleng.
Mungkin di mata manusia biasa, hantu-hantu ini sangat menyeramkan dan mengganggu. Namun saat ini aku melihat mereka sebagai roh anak yang masih polos yang tidak tahu apa yang mereka lakukan.
“Memang kenapa ga mau selesai?” Tanyaku lagi.
..
Anak wanita itu menengoku dengan wajah pucatnya.
…
“ada satu yang belum ketemu…. “jawabnya dengan lirih.
…
Aku mengerti, rupanya hantu anak-anak ini merasa bertanggung jawab atas satu makhluk lain yang tidak ada di antara mereka.
“Si… siapa yang belum ketemu?” Tiba-diba Gio memberanikan diri untuk bertanya.
Hantu itu kembali menoleh ke arah Gio yang membuatnya ketakutan.
“Ibu…” Jawab hantu anak kecil itu.
Sekarang aku mengerti, rupanya mereka tidak bisa tenang karena kehilangan ibu mereka yang menghilang saat mereka bermain di tempat ini.
Aku mencoba menanyai makhluk itu, namun tidak ada jawaban lain yang kutemukan.
“Susah Gio.. tidak ada petunjuk untuk menemukan ibu mereka, mungkin Mas Danan harus memakai cara yang lebih keras untuk menenangkan mereka” Ucapku pada Gio.
Gio menggeleng seolah tidak setuju.
“Jangan Mas Danan… kasihan mereka” balas anak itu.
“Lah.. tapi katanya kamu takut? “
Aku heran sama anak ini, ia terlihat ketakutan.. namun ia tidak tega apabila hantu ini kutenangkan dengan ilmu tenaga dalamku.
“Dulu hantu di pohon beringin ini pernah cerita kalau pak kuswara dan dia pernah ditolong sesosok hantu perempuan di rumah kebun karet… apa mungkin hantu itu ibu mereka?” Tanya Gio padaku.
Sebuah cerita yang tidak kusangka terdengar dari seorang anak kecil yang berurusan dengan hantu.
“Kebun karet? Maksudnya di Imah leuweung?” tanyaku pada Gio.
Ia mengangguk.
Aku berfikir sejenak sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat itu lagi. Sebenarnya aku berniat mengantarkan Gio kembali sebelum memeriksa Imah Leuweung namun ia tetap ngotot untuk ikut.
“Mas Danan.. Pokoknya aku ikut sampai selesai, saat besar nanti saya mau menjadi seperti Mas Danan dan Mas Cahyo yang bisa membantu orang lain”
Sekali lagi ucapan anak ini membuatku kagum.
Masa lalu yang kelam yang dialami olehku dan Cahyolah yang membuat kami membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu batin untuk menolong orang lain. Tapi tidak dengan anak ini, ia memiliki motivasinya sendiri.
Sebuah rumah tua yang terlihat semakin lapuk terlihat di tengah hutan karet. Warga menyebut tempat ini dengan nama Imah Leuweung atau yang berarti Rumah Hutan.
Terlihat beberapa perkakas sederhana ada di sekitar sini, sepertinya ini sisa-sisa peninggalan mbah wira.
“Kalau memang masih ada hantu di sini, dia pasti sudah diurusin sama mbah wira “ ucapku pada Gio.
“tapi cerita dari mirah begitu mas” Bantah Gio.
Aku mencoba mengingat-ngingat selama dulu memasuki bangunan ini, aku tidak menemukan hantu lain selain anak buah Brakaraswana.
Namun ucapan Gio juga patut dibuktikan.
Kami melangkah masuk ke sebuah rumah tua yang gelap dengan bantuan senter yang kubawa.
Selangkah demi selangkah kami memperhatikan ruangan-ruangan yang sudah banyak dirusak oleh rayap.
Tidak ada hal mencurigakan di tempat ini, namun Gio terlihat merinding saat menatap kearahku.
“Gio… kamu kenapa?” Tanyaku yang ke heranan.
Kali ini tubuhnya benar-benar terlihat ketakutan, ia menunjuk ke arahku seolah melihat sesuatu.
Aku menoleh ke belakang ke arah tangan Gio menunjuk.
Dan ternyata di belakangku sudah terdapat Sesosok makhluk dengan rambut panjang menutupi seluruh tubuh, darah yang hampir tak berhenti mengalir dari matanya…
Gio yang ketakutan berlari sekuat tenaga ke sebuat ruangan yang pernah kumasuki, ruang penumbalan.
Aku mengejarnya, khawatir dengan apa yang masih tersisa di sana. Namun hantu itu lebih cepat memasuki ruangan itu.
“Pergi….”
Suara makhluk itu terdengar mengarah ke Gio yang meringkuk di pojok ruangan.
Melihat hal itu aku membacakan doa-doa penenang dan ayat suci untuk hantu yang mengejar Gio itu. Perlahan darah dari matanya menghilang dan wujudnya berubah menjadi seorang wanita tua.
Sebuah penglihatan muncul di kepalaku mengenai seorang ibu yang menemani anak-anaknya bermain petak umpet di sore hari.
Keluarga ini merupakan pemilik tanah sebenarnya yang digunakan untuk kebun karet.
Sebelum sempat menyelesaikan permainanya orang suruhan juragan kebun karet membakar rumah dan halaman keluarga itu dan menculik ibu dari anak-anak itu.
Sama seperti mirah, ibu ini ditumbalkan dandi kuburkan tepat dibawah tempat ini.
Ternyata rumah yang disebut imah leuweung ini memang dibangun untuk menyembunyikan kuburan sang ibu.
“Jadi benar.. hantu ibu itu Cuma muncul kalau ada anak kecil yang main ke sini” Ucap Gio.
Aku menoleh pada Gio.
“Jadi kamu sudah tau soal ini?” Tanyaku.
“Semua anak kecil juga tau Mas Danan… orang tua sering nakutin anak-anak supaya ga kesini, katanya kalo anak kecil main malem-malem ke Imah leuweung bisa diculik sama hantu nenek-nenek” Jawab Gio yang menjadi sok tau.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Ibu.. ikut kami ya, anak-anak ibu udah nungguin “ Ucapku pada roh wanita itu.
Roh ibu itu hanya mengangguk dengan wajah yang tidak lagi menyeramkan.
“Berati ibu ini dan hantu anak-anak di asrama sudah bisa tenang ya Mas Danan” Tanya Gio yang terlihat cukup senang.
Aku hanya mengangguk.
Kami bersiap meninggalkan ruangan itu , namun tiba-tiba langkahku terhenti dengan suara benda yang terjatuh dari atas ruangan itu.
Senter kuarahkan ke tengah-tengah ruangan yang masih terdapat bekas coretan lingkaran ritual , di sana terlihat sebuah benda yang baru saja terjatuh.
Sebuah patahan kayu bertuliskan aksara jawa yang pecah menjadi dua. Aku mengenali dengan jelas benda ini dan mencari ke seluruh sudut ruangan.
Ruangan demi ruangan kuperiksa bahkan hingga keluar Imah leuweung namun yang kuharapkan tidak ada di tempat ini.
Di satu sisi aku teringat bagaimana cara kami meninggalkan alam ghaib saat melawan brakaraswana.
Pohon beringin.. ! Saat itu kami berlari ke arah pohon beringin tempat candramukti dimakamkan.
“Mas Danan kenapa?” Tanya Gio yang semakin bingung dengan tingkahku.
“Gapapa Gio, ayo kita selesaikan misi kita” jawabku yang segera bergegas kembali ke asrama , atau lebih tepatnya ke pohon beringin di sana.
“Mas Danan jangan cepet-cepet, tungguin” Keluh Gio yang melihatku terburu-buru.
“Gapapa, cepetan… kalau kemaleman bisa dimarahin Bu Ranti” Aku mencoba memberi alasan kepada Gio dan ternyata cukup manjur. Ia berjalan semakin cepat mengikutiku.
Tak butuh waktu lama, kami sudah sampai ke komplek sekolah yang jadi satu dengan asrama itu.
Aku mencari keberadaan hantu anak wanita berambut panjang tadi, namun tidak kutemukan sama sekali. Begitu juga dengan hantu anak-anak yang bermain petak umpet.
Aku mulai kebingungan, namun roh ibu tadi terlihat melayang ke arah pohon beringin.
…
“Hompimpa alaium gambreng… “
…
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain di tempat ini.
…
jelas itu bukan suara dari anak manusia.
Aku segera berlari menyusul hantu ibu itu dan melihat hantu-hantu anak kecil tadi sedang bermain bersama di bawah pohon beringin bersama satu orang dewasa..
“Mas Danan, itu Mas Cahyo kan?”
Tanya Gio sambil menunjuk seorang pria yang identik dengan sarung kebanggaanya yang terlilit di bahu.
Menyadari kehadiran kami makhluk bernama Cahyo alias Panjul dengan julukan ‘Bocah ketek’ itu segera berdiri dan berlari ke arah kami.
Aku tak mampu menahan air mata haru ketika melihat sahabat terbaiku telah kembali, namun ia pasti sudah menyiapkan ledekanya bila melihat wajahku penuh air mata.
“Iya Gio… Itu Mas Cahyo.. kan Mas Danan udah bilang dia bakal nyusul…”
TAMAT
Catatan :
[ 8 maret 2021 ] Imah Leuweung - Makhluk di pohon beringin Asrama
Semua cerita saya bermula di sini saat memberanikan mengirim cerita ke podcast @bagihorror di spotify dan diberi judul "Tanah Kuburan"
sampai sekarangpun cerita itu masih bisa di dengar
Namun karena itu tulisan pertama saya, jelas masih banyak kekurangan yang terus saya perbaiki hingga saat ini.
Semoga seluruh rangkaian cerita ini, bisa membekas dan berkesan untuk semua pembaca.
Tenang saja, Setelah Avenger End Game masih ada film Spiderman,black widow,dr Strang dll..
Setelah perang shinobi ke 4 pun masih ada serial Boruto
dan pasti akan ada cerita - cerita lain yang semoga lebih seru dari ini semua
Namun sebelum itu mungkin akan ada jeda untuk beristirahat dan bertemu dengan narasumber-narasumber penunjang cerita berikutnya.
Terakhir dari saya,
seandainya boleh, minta tolong tinggalkan kesan mengenai cerita saya dengan #diosetta agar suatu saat saya bisa dengan mudah menemukan komen kalian untuk membangkitkan semangat.
Mohon maaf apabila ada salah kata , ambil positignya dan semoga menghibur.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.
Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…
Mereka hidup. Mereka menghakimi.
“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.
Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…
Brugghh!!
Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.
Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.
Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.
“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.
Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..
@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG
malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.
Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.
Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.
“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.
Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.
Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.
Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.
Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.
“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.
Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa
@IDN_Horor @bagihorror #bacahorror
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."
Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.
Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.
"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"
BRAKK!!
Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.
Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.
Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.
"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."
"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"
Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.
"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."
Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"
"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."
Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.
Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.
Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.
Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.
Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.
"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.
Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.
Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."
Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.
"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."
Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.
Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.
Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.
Ada yang dirayakan. Pementasan ini lebih dari sekedar pementasan gaib semata.
Niat awalku menaiki merapi sekali lagi bukan untuk hal ini. Aku tak menyangka bahwa niat kami menolong Galang dan yang lain mencari sukma Tiwi akan berujung pada tragedi ‘Padu Kolo’, pertengkaran bangsa lelembut.
Dan saat ini, dihadapanku tengah menghadang sosok makhluk-makhluk utusan dari keraton demit. Lebih dari sekedar menangani mereka, aku harus mencari tahu mengapa mereka mengincar Galang dan Wulan.
Pertarungan sengit sempat terjadi di antara kami. Aku mempercayakan Galang dan yang lain pada Cahyo sementara aku menghadang mereka.
“Kau tidak perlu mempertaruhkan nyawamu demi mereka. Takdir mereka sudah ditetapkan menjadi tumbal merapi…” Sosok penari setinggi tiga meter itu masih mencoba untuk mempengaruhiku.
“Merapi tidak pernah meminta tumbal. Kalian makhluk terkutuklah yang menghasut dengan mengatasnamakan Merapi!” Sosok roh yang menutupi wajahnya dengan topeng badut pun muncul dari kejauhan.
Badut Pak Suradirja. Firasatku mengatakan bahwa alasannya tetap memakai topeng itu adalah sesuatu yang penting.
“Nyai Lendheng. Percayalah kalian bukan lawan pemuda ini..” Pak Suradirja mencoba menggertak mereka.
“SOMBONG! Keris karatanmu itu tak ada artinya dibanding pusaka keraton demit!”
Srattt!!!
Saat itu juga keris Ragasukmaku melayang melesat ke lehernya. Sosok bernama Nyai Lendheng itu menghindar, namun kerisku sempat melukainya.
“Aku tak suka banyak bicara!” Balasku kesal sekaligus menggenapi gertakan Pak Suradirja.
Kali ini Nyai Lendheng terlihat cemas. Luka di lehernya tak bisa menutup.
“Cih! Mengurus kalian hanya akan membuang waktuku. Sebentar lagi pementasan selesai! Bersiaplah, kali ini serangan dari keraton demit tak mengenal ampun!” Ucap Nyai Lendheng yang mundur bersama dayang-dayangnya.
Jelas itu adalah ancaman. Bukan ancaman kosong. Sebuah tragedi akan terjadi di gunung ini.
“Pak? Bagaimana roh bapak bisa sampai di sini?” Aku segera menghampiri sosok roh yang jasadnya telah mati di kota itu.
Semua perlahan terasa masuk akal. Mimpi-mimpi yang selama ini menghantuiku kini terajut menjadi satu kenyataan yang utuh. Tak heran jika aku selalu merasa terikat dengan Merapi. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tertanam dalam diriku.
"Pantas saja kamu begitu terobsesi sama Merapi, Lang. Ternyata ada bagian dari dirimu yang memang berada di sini," ujar Farel dengan nada tak percaya. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.
Tanganku tak bisa lepas dari genggaman Wulan. Adikku. Namun, ia kini bukan lagi manusia seutuhnya. Sukmanya saja yang tersisa, sementara tubuh ragawinya telah lama tiada
. Aku merasakan getir yang menusuk dada, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam kesedihan.
"Akhirnya, tumbal yang hilang telah kembali..." Suara parau itu datang dari makhluk mengerikan di hadapan kami. Setan penari setinggi tiga meter itu menyeringai puas, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, Mas Danan tidak tinggal diam.
"Pergi! Kalian pergi dengan Cahyo! Cari sukma Tiwi dan tinggalkan gunung ini!" seru Mas Danan dengan tegas.
"Ngawur kowe, Nan!" Mas Cahyo membentak, jelas tak terima meninggalkan sahabatnya seorang diri menghadapi makhluk-makhluk mengerikan itu.
"Tenang, Jul. Aku nggak sendiri." Mas Danan memberikan isyarat. Tatapannya mengarah ke sudut gelap di belakang kami.
Dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat bulu kudukku meremang. Sosok badut dengan senyum mengerikan di wajahnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berkilat tajam.
"Badut itu... Pak Suradirja?" suaraku bergetar saat menyebut nama yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. "Rohnya sampai ke sini?"
Mas Danan mengangguk singkat. "Mungkin dia memang berasal dari tempat ini. Akan kuceritakan jika aku menemukan sesuatu. Sekarang pergi!"
Tanpa banyak pilihan, Mas Cahyo menarik lenganku, memaksa kami untuk segera berlari. Sekilas, aku melihat keris pusaka melayang-layang di udara, membentuk penghalang yang menjaga agar setan-setan itu tidak mengejar kami.
"Mas Cahyo! Apa yakin kita tinggalin Mas Danan?" Raka berteriak, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.