Diosetta Profile picture
Sep 23, 2021 599 tweets >60 min read Read on X
JERITAN LEMBAH KERAMAT

Mimpi dan kemunculan makhluh halus yg dialami Dimas dan adiknya Rumi menuntunya ke sebuah lembah keramat yang dipenuhi dengan misteri.

tolong bantu retweet dulu ya, sore diupload
@IDN_Horor
@bacahorror
@horrorstw
@ceritaht
@bagihorror
@qwertyping Image
Schedule Update
Kamis 23/9 Jeritan Lembah Keramat part 1
Jumat 24/9 Getih Sedulur (kelanjutan kisah Para Rojo)
Sabtu 25/9 Jeritan Lembah Keramat part 2

siapkan nyali kalian
Jeritan Pertama - Mereka ada di sini

...

Enam utas tali tergantung di ranting-ranting pepohonan di pedalaman hutan. Terikat di setiap ujung tali itu tubuh –tubuh wanita yang tidak lagi bernyawa tanpa kepala yang menempel pada tubuhnya.
Tak jauh dari tempat itu berdiri dua orang manusia bersama dengan ke enam kepala yang sudah dikumpulkan dalam sebuah Wadah besar.

Bau kemenyan dan berbagai macam kembang merebak ke seluruh penjuru hutan.
Hanya cahaya dari beberapa batang lilin yang menerangi kegelapan di dalam hutan ini.

“Kowe pancen ra nduwe ati mas…. Opo salahe dheweke nganti kowe ngelakoni iki?”
(Kamu benar-benar ga punya hati mas… apa salah mereka sampai kamu melakukan ini?”)
Ucap seorang wanita yang terikat di salah satu pohon di hutan itu.

“Ra ono dalan liyane… mung iki carane supaya kabeh iso slamet, Duso iki ben dadi tanggunganku”
(Ga ada jalan lainya… hanya ini caranya agar semua bisa selamat, dosa ini biar menjadi tanggunganku) Jawab pria tua itu.
Wanita itu hanya menangis tak mampu menahan kesedihan atas apa yang dilakukan suaminya itu.
Setelan membacakan beberapa mantra , pria itu menghampiri istrinya yang terikat di pohon.
Sehelai pisau menggores dahi wanita itu hingga darah menetes melalui garis wajahnya , pria itu menampungnya setiap tetes darah itu pada sebuah mangkuk yang terbuat dari batok kelapa.
Dia mencampurkan darah itu dengan darahnya dan menyiramkanya pada keenam kepala manusia yang berada di hadapanya.
Hawa dingin semakin merasuk , rambut dari keenam kepala itu seolah bergerak tertiup angin. Dari dalam kegelapan muncul sosok bayang-bayang wanita cantik berpakaian seperti abdi keraton bersama seekor ular yang melingkar di tubuhnya.
“Tumbalmu kuterima…” Ucap wanita itu yang segera menghilang meninggalkan seekor ular yang menghampiri pria itu.
Seolah terhipnotis oleh kekuatan makhluk itu, pria itu tidak dapat menggerakan sedikitpun bagian tubuhnya.

Namun sosok ular yang sebelumnya melingkar di makhluk wanita tadi terus mendekat menaiki tubuh pria itu dan masuk ke tubuhnya melalui mulutnya.
Mata pria itu terlihat membelalak seolah tidak dapat menahan apa yang ia rasakan. ular itu terus merayap masuk ke dalam mulutnya hingga membuatnya hampir tidak bisa bernafas.
Ketika seluruh tubuh ular itu masuk ke dalam tubuh pria itu, keadaan dihutan itu kembali seperti semula. Kepala keenam wanita yang di tumbalkan menghilang bersamaan dengan kekuatan yang merasuk ke tubuh pria itu.
Tangis tanpa henti terdengar dari istrinya yang masih terikat di sebatang pohon. Ia terus meratapi keberadaan suaminya yang berubah menjadi manusia dengan sisik ular di seluruh tubuhnya.
Namun itu tak lama.. kekuatan yang ia miliki mampu merubuh tubuhnya kembali menjadi manusia bahkan dengan paras yang lebih muda.

“Wis dek… Sekarang dukun-dukun biadab itu tak lagi bisa menyakiti keluarga kita…”

.....
“Rumi!! Cepetan! Mas sudah mau terlambat” Teriaku pada adiku Rumi yang sudah hampir setengah tahun tinggal bersamaku di Ibukota dalam sebuah rumah kontrakan yang kusewa.

“Iya mas… sebentar , sudah siap nih..”
Rumi bergegas menuruni tangga dengan membawa tas dan buku kuliahnya yang hampir saja terjatuh.
Setelah kepergian kedua orang tua kami, aku memutuskan untuk mengajak Rumi meninggalkan desa dan membiayainya untuk kuliah di salah satu universitas yang tidak jauh dari tempatku bekerja.
Harapanku setidaknya nantinya Rumi bisa semakin mandiri dan semakin tangguh walau menanggung beban masa lalu yang kami rasakan.

Seperti biasa , aku menurunkan Rumi tepat di depan kampusnya dan segera berangkat menuju kantor tempatku bekerja.
….
“Terlambat lagi?” Tanya teman kantorku Nia yang melihatku terburu-buru menempelkan jariku pada mesin absen.

“Iya nih.. kesiangan bangunya, akhir-akhir ini sering kebangun jam dua pagi terus susah tidur lagi” Ceritaku pada Nia yang mejanya besebelahan dengan meja kerjaku.
“Kalau keseringan tandanya harus periksa ke dokter tuh, gak sedikit lho yang mati gara-gara insomnia” Balasnya menakut-nakutiku.

“Amit-amit… nggak lah, paling seminggu sembuh… tapi bener kata lu, kalau tambah parah kayaknya gua harus periksa ke dokter.”
Nia.. salah seorang teman sekantorku memang sering menjadi tempatku curhat. Bukan hanya karena meja kami bersebelahan , tapi juga karena kami sudah saling kenal semenjak awal training bekerja di kantor ini beberapa tahun lalu.
Akhir-akhir ini aku memang sulit untuk berkonsentrasi saat kerja. Sepertinya ini semua karena mimpi-mimpi aneh yang kualami setiap malam.

Salah satu mimpi itu menunjukan sebuah tempat pemandian di tengah hutan yang dikelilingi puluhan ular.
Mimpi itulah yang membuatku hampir setiap malam terbangun dan sulit untuk tertidur lagi .
...

Jarum pada jam menunjuk tepat pukul dua belas siang , hampir semua karyawan meninggalkan mejanya untuk istirahat makan siang, namun sepertinya aku harus menunda istirahatku untuk menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda.
“Dimas, ga istirahat?” Tanya Nia yang bersiap meninggalkan mejanya.

“Nanti aja gampang… masih ada kerjaan nih, harus cepet kelar biar gua ga lembur…” jelasku.

“Ya udah.. gua mau makan soto, mau nitip gak?” Tawar Nia.
“hehe.. elu emang temen paling pengertian, boleh-boleh tar gua ganti” Jawabku sambil melemparkan senyumku padanya.

“Iye.. jangan capek2 lu…” Ucapnya yang segera meninggalkanku sendiri di ruangan kantor.
Aku kembali mengalihkan fokusku ke komputer yang berada di mejaku, masih ada beberapa data yang harus aku setorkan ke bos sebelum digunakan untuk presentasi besok.
Saat ini ruangan terasa begitu sepi, hanya suara ketikan dari komputerku saja yang terdengar. Entah , ini terlalu sepi atau memang seperti ini suasana kantor saat istirahat .
Di tengah kesibukanku aku perlahan mendengar suara-suara yang dari tadi tidak terdengar. Seperti suara kursi yang bergeser.

Merasa sedikit aneh , aku segera menoleh ke belakang dan di sana terlihat kursi kosong di ujung ruangan bergeser perlahan.
Pikirku mungkin itu hanya kebetulan kontur tanah di ruangan ini sedikit miring sehingga aku tidak menghiraukanya.
Aku meneruskan pekerjaanku tanpa mempedulikan kejadian itu, namun suara gerakan roda kursi itu sesekali masih terdengar. Kali ini semakin mendekat dan ketika aku menoleh..

Kursi itu sudah berada di belakang menghandap kearahku.
Dengan segera aku berdiri dan melihat sekitar kantor.

“ Woi… siapa yang iseng?!”

Teriakanku terdengar ke seluruh ruangan. Namun tidak ada suara siapapun yang menjawab panggilanku.
Segera aku meninggalkan mejaku dan mengecek ke belakang, namun sekali lagi tidak ada siapapun di sana.

Hingga akhirnya aku memutuskan mengembalikan kursi itu dan kembali bekerja.
Nia kembali sebelum jam istirahat berakhir dengan membawakan pesananku.

Aku memutuskan untuk menghabiskan nasi soto yang dibawakan oleh Nia dan baru kemudian melanjutkan menyelesaikan pekerjaanku lagi.

….
Matahari mulai tenggelam , aku menunggu Rumi di kantin kampus tempat aku menjemputnya. Namun tidak seperti biasa , kali ini Rumi sudah terlambat hampir satu jam,

Aku mencoba meneleponya tapi hampir tidak ada jawaban sama sekali.
Haripun semakin malam, kampus Rumi sudah semakin sepi dengan mahasiswa yang sudah mulai pulang.

Hanya ada sedikit mahasiswa yang masih memiliki keperluan yang masih ada di kampus ini.
Aku merasa cemas hingga akhirnya memutuskan mencari Rumi di kelasnya.
Aku cukup mengenal kampus ini, karena disini juga dulu aku menuntut ilmu hingga akhirnya berhasil menyematkan gelar di ujung namaku.
Ruangan demi ruangan kulewati, namun keberadaan Rumi hampir tidak kutemukan. Beberapa kali aku mencoba untuk menelepon , namun sama sekali tidak ada jawaban.

Tanpa putus asa , aku terus mencari dan bertanya ke security penjaga kampus namun tetap saja nihil.
Sampai suatu ketika, aku melihat sosok seorang perempuan berjalan menuju antai paling atas..
Itu Rumi..
Dari jauh terlihat Rumi berjalan perlahan dengan tatapan kosong menaiki tangga satu persatu seorang diri.
Berkali – kali aku mencoba berteriak memanggilnya namun tidak ada reaksi sama sekali.
“Rumi!! Ngapain ke atas !!” Teriaku.
Namun Rumi tetap berjalan dengan perlahan hinga tiba di lantai teratas dan melihat ke bawah melalui pembatas.
Sudah jelas… ada yang aneh dengan Rumi. Dia menaikan kakinya ke atas pagar pembatas dan berdiri dengan tatapan kosong dari ketinggian lima lantai yang saat ini bisa dengan mudah menjatuhkanya.
“Rumi? Ngapain kamu? Jangan gila!”
Teriaku yang ingin segera berlari ke atas namun sudah pasti tidak akan sempat.

Dan benar, Rumi dengan wajah pucat menjatuhkan diri dari tempat itu.

“Rumiii!!! “teriaku yang tidak mengerti dengan kejadian ini
“Mas… Mas Dimas kenapa?” mendadak seorang menepuk punggungku.

Aku menoleh ke belakang, ternyata itu Rumi… ia terlihat baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa.

“Rumi.. kamu gapapa? “ Tanyaku yang masih bingung dengan semua kejadian ini.
“Nggak mas.. Rumi telat tadi dipanggil ke ruang dosen dijelasin revisi tugas, jadi ga bisa buka hp” Jawabnya.
Lalu , mahluk berwujud seperti Rumi yang jatuh dari lantai atas itu apa? Dan lagi , tidak ada tanda-tanda orang jatuh dari lantai atas sama sekali.

Mungkin benar kata Nia, aku harus mulai memeriksakan diri ke dokter.
“Udah-udah.. gapapa, kamu udah makan?” Tanyaku pada Rumi yang terlihat kelelahan.

“Tadi sore udah mas.. nanti makan di rumah aja” Jawabnya.
Aku memastikan sekali lagi kondisi Rumi , kupastikan tidak ada bekas luka seperti makhuk menyerupai Rumi tadi yang jatuh dari lantai atas.
Satu hal lagi yang terlihat mencurigakan, sedari tadi aku melihat sesosok perempuan yang berdiri memperhatikanku dari salah satu sudut lorong kampus seorang diri.

Aku mencoba tidak memperhatikanya dan segera bergegas kembali ke rumah.

……
“Brak!! “

Suara yang sangat keras membangunkan tidurku. Aku menoleh pada jam dinding dan memastikan saat ini masih jam dua pagi. Dengan segera aku keluar kamar memastikan asal suara itu.
Angin dingin berhembus masuk ke dalam rumah, sepertinya berasal dari pintu rumah yang terbuka.

Aku mencoba mengeceknya dan terlihat Rumi sedang terdiam terpaku melihat ke arah luar pintu dengan wajahnya yang pucat.
“Rumi… ngapain kamu?” Tanyaku yang sekali lagi dibuat bingung oleh kejadian beruntun ini.

Aku mencoba menghampirinya dan menyentuh bahunya.

“Ngapain , buka pintu malam-malam begini? Mas tutup ya..” Ucapku.
Rumi menoleh padaku dengan perlahan, di wajahnya yang pucat terlihat air mata menetes membentuk garisan yang membelah pipinya.

“Ibu… itu ibu mas..” Ucap Rumi dengan tingkahnya yang aneh.

Aku segera mengecek keluar , namun tidak menemukan apa yang ditunjukan oleh Rumi.
“Ngga ada apa-apa Rumi.. Ibu udah ga ada, udah jangan sedih lagi”

Ucapku yang langsung saja memeluk Rumi.

“Itu mas… itu ibu mas… ibu kasian” Ucapnya sekali lagi dengan menunjuk ke arah luar rumah.
Aku menoleh lagi keluar dan memastikan tidak ada siapapun disana, segera aku menutup pintu dan bersiap mengentar Rumi ke kamarnya. Namun aneh… setelah pintu tertutup aku menoleh ke belakang, Rumi sudah tidak ada di tempatnya.

….

….
“Brak!! “

Suara yang sangat keras membangunkan tidurku. Aku menoleh pada jam dinding dan memastikan saat ini masih jam dua pagi.

Tunggu… apa maksudnya ini? bukanya tadi aku di luar kamar bersama Rumi? apa kejadian tadi hanya mimpi?
Dengan segera aku keluar kamar memastikan hal itu sekaligus mencari tau asal suara itu.

Beda dengan di mimpiku tadi, kali ini pintu rumah tidak terbuka. Namun suara yang keras itu terdengar sekali lagi

“Brak!! “
Kali ini suara itu berasal dari kamar Rumi. Aku segera berlari keatas dan mengecek keadaan Adiku satu-satunya .

“Rumi… Kamu gapapa?” Tanyaku sambil mengetuk pintu kamar. Namun bukan jawaban yang kuterima, melainkan suara keras yang membentur pintu kamar Rumi.
Tanpa menunggu lama segera kubuka pintu kamarnya dan semua yang kulihat di ruangan itu sama sekali tidak dapat kupercaya.

Rumi tertidur lelap di kasurnya dengan seekor ular besar menindih tubuhnya.
Ular itu setengah berdiri meliuk-liuk seolah melakukan tarian d atas tubuh Rumi.
Tak cukup sampai di situ di ujung-ujung kamar gelap itu terlihat berbagai macam sosok mengerikan seolah menikmati pertunjukan yang disajikan oleh ular itu.
Dari atas lemari Rumi terlihat nenek-nenek tua yang duduk dengan menggantungkan kakinya, di langit-langit merayap makhluk hitam bermata merah dengan lidah yang menjulur ke bawah.
Dan yang paling mengerikan adalah makhluk hitam besar berbulu di sudut ruangan, kemungkinan makhluk inilah yang menyebabkan suara besar tadi.

Aku mencoba mencubit tubuhku berharap ini semua adalah mimpi seperti kejadian tadi.
Namun sayangnya rasa sakit tetap kurasakan yang berarti semua makhluk di hadapanku ini adalah nyata.

“Rumi!! Bangun Rumi!” Teriaku.

Namun Rumi sama sekali tidak bergeming. Nyaliku juga terlalu lemah untuk menatap makhuk mengerikan sebanyak ini. Namun Rumi harus diselamatkan .
Aku mengingat pesan Paklek , seseorang yang membantuku menguburkan jasad keluargaku dengan layak di desa.

Ia sempat mengajarkan beberapa doa dan mantra unuk menghadapi kejadian seperti ini. Sepertinya ia sudah menduga kejadian ini akan terjadi.
Dengan tubuh yang lemas, aku memaksakan untuk berdiri dan membacakan doa-doa yang cukup panjang.

Mendengar suaraku, ular yang sedari tadi menari di tubuh Rumi bergerak dengan gerakan yang aneh seolah terganggu dengan doaku.
Tak lama , ular itu memilih untuk meninggalkan tubuh Rumi dan menghilang di tengah kegelapan.
Mendadak Rumit terbangun dengan wajahnya yang terlihat aneh.

“Mas Dimas… Ini apaan mas?” Tanya Rumi yang ketakutan setelah melihat sosok-sosok di kamarnya.
Aku melawan rasa takutku dan segera berlari menghampiri Rumi untuk membawanya keluar dari kamar.
Namun suara gebrakan kembali terdengar dari makhluk hitam besar di sudut ruangan.

Sepertinya makhluk-makhluk ini marah karena tontonan mereka sudah terhenti.
“Ayo Rumi… kita keluar” Ucapku sambil membantu Rumi untuk berjalan.

Sialnya makhluk-makhluk di kamar bereaksi dan mulai mengejar kami. Dengan memaksakan diri kami berlari turun ke bawah mejauh dari makhluk-makhluk itu.
Sialnya , makhluk itu terus mengejar bahkan ketika kami sudah meninggalkan kamar Rumi.

“Rumah ini sudah tidak aman Rumi… kita keluar” Ucapku yang segera disetujui oleh Rumi dengan sebuah anggukan..

Kami tidak memperdulikan apapun dan segera membuka pintu rumah.
Sayangnya di luar rumah tidak lebih baik dar di dalam.

Ternyata yang menyaksikan ular itu tadi tidak hanya makhluk di kamar Rumi. Melainkan juga berbagai macam sosok makhluk di luar yang sudah mengepung rumah kami.
Makhluk berbetuk pocong sudah menunggu di sepanjang jalan , kuntilanak yang selama ini menjadi desas desus warga sudah dengan setia menunggu di salah satu pohon di depan rumahku.

“Apa-apaan ini mas? Kenapa bisa jadi begini?” Tanya Rumi yang mulai menangis.
Aku berusaha menguatkan diri menenangkan Rumi sambil membaca doa-doa tadi. Namun itu hanya mampu untuk mengganggu mereka dan tidak mengubah niat mereka untuk pergi.

“Kita harus bagaimana mas? “
Kami semakin bingung, makhluk dari dalam rumah sudah mulai mendekati kami.
Samar-samar terlihat cahaya api mendekat menuju rumah kami. Cahaya api itu dijauhi oleh makhluk makhluk yang mengepung rumah kami.

“Ke sini!” Ucap seorang perempuan yang wajahnya tidak asing.
Dia adalah perempuan yang sedari tadi memperhatikanku dari lorong kelas di tempat kuliah Rumi.

Terlihat tidak ada makhluk halus yang mendekat dari cahaya api yang ia nyalakan. Namun itu belum cukup untuk menghilangkan rasa curigaku pada wanita itu.
“Udah mas.. kesana aja, kita ga punya pilihan” Tangan Rumi menunjuk ke wanita itu dan memang ,sepertinya itu memang pilihan terbaik saat ini.

Kami berlari menuju arah cahaya itu,dan benar saja tidak ada satupun makhluk yang berani mendekat ke arah kami.
“Udah gapapa…Seharusnya mereka ga akan mendekat” Ucap perempuan itu.

“kalian istirahat di kontrakanku dulu aja sampai mereka semua pergi” Lanjutnya.

Aku memperhatikan perempuan itu benar-benar dan memang tidak ada yang aneh dengan penampilanya.
“Kamu siapa? Gimana kamu bisa ada di sini tengah malam buta begini” Tanyaku yang masih curiga dengan keberadaanya. Namun tidak dengan Rumi.

“Dia satu kampus sama Rumi mas, memang katanya Rumahnya deket sini…” Ucap Rumi yang segera memperkelnalkan temanya itu.
“Tadi di kampus saya lihat ada yang aneh sama masnya , makanya tadi saya perhatiin terus.. dan saat saya tidur tadi ada kejadian aneh,
makhluk halus penunggu di daerah sini yang selama ini tidak pernah mengganggu tiba-tiba berkumpul di satu tempat… makanya tadi saya cek…” Jelasnya.

Penjelasanya cukup masuk akal , ini artinya kemungkinan perempuan ini juga sudah sering berurusan dengan makhluk halus.
Akhirnya kami segera melanjutkan perjalanan menuju rumah kontrakanya untuk menunggu hingga makhluk-makhluk itu meninggalkan rumah kami sesuai ceritanya tadi.
Aku mencoba memperhatikan sumber cahaya itu, rupanya cahaya itu berasal dari api yang menyala dari sebuah korek api tua dengan ukiran kuno di seluruh bagianya.
“Maaf ya.. saya pindahan dari desa, desa kecil di selatan… jadi agak kurang bisa bergaul” Ucap perempuan itu pada Rumi.
“Heh.. Jangan gitu, aku juga baru pindah dari desa.. “ Ucap Rumi yang ternyata bisa akrab denganya.
“Lagian aku juga tau kamu kok… Nama kamu Ismi kan?”
Perempuan itu mengangguk dengan sedikit senyuman. Mungkin ia juga merasa senang karna Rumi ternyata juga mengetahui namanya.

(Bersambung part 2 - Gerbang Lembah Keramat)
Biar ga pada capek2 scroll... Ismi itu cucunya Mbah Rusman yang ngasi Tabuh Waturingin

sambunganya kita upload malam minggu, seperti biasa yang mau baca duluan udah ada di karyakarsa..
tapi part 2nya cerita dari sudut pandang Paklek..

karyakarsa.com/diosetta69/jer…
Terima kasih sudah membaca cerita ini, mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian dari cerita saya yang menyinggung...

semoga awal cerita baru ini dapat menghibur teman2 pembaca sekalian...

#Jeritanlembahkeramat #diosetta
JERITAN LEMBAH KERAMAT

Jeritan Kedua - Gerbang Lembah
@bacahorror
@IDN_Horor
@ceritaht
@bagihorror
@HorrorTweetID
@HorrorBaca Image
Gerbang Lembah Keramat

Cukup panjang perjalananku hingga bisa mencapai tempat ini, sebuah tempat yang ditunjukan oleh penglihatanku saat berada di Kampung Srawen.
Aku melewati sebuah desa , desa tua yang cukup besar dan masih didominasi dengan rumah-rumah kayu yang sebenarnya cukup bagus.

Sepertinya warga di sini masih menjaga tradisi dan budaya di tempatnya. Namun entah mengapa aku merasa ada tidak nyaman di desa ini.
“Kulo nuwun…” (Permisi) ucapku pada beberapa pemuda yang sedang asik nongkrong di sebuah warung yang akan menjadi tempatku akan melepas lelah.

“Eh.. monggo pak “ Ucap salah seorang pemuda itu dengan ramah.
Aku mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka dan memesan segelas kopi hitam serta beberapa gorengan sebelum meneruskan perjalananku.

“Bapake bukan orang sini ya? “ Tanya pemuda itu.
“Nggih mas… mung mampir lewat, Nami kulo Bimo” (Iya mas, Cuma numpang lewat.. nama saya Bimo) Jawabku pada mereka yang terlihat cukup ramah.

“O… pantes saja saya belum pernah lihat bapaknya… “Balas pemuda itu lagi.
Segelas kopi disuguhkan kepadaku , beberapa pisang goreng hangat yang disajikan membuatku tak sabar untuk segera melahapnya.

Perbincangan-perbincangan ringan terjadi diantara kami hingga tiba-tiba terdengar suara teriakan warga tak jauh dari tempat kami berada.
“Pak… kowe kenopo pak ? uwis pak… !” (pak… kamu kenapa pak, sudah pak…) Terdengar suara seorang ibu berteriak mencoba menghentikan suaminya yang bertingkah tidak wajar saat keluar dari rumahnya.

Kami segera berlari keluar mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Seorang laki laki tersungkur di tanah dengan mata yang melotot, namun terus berusaha melata di tanah seolah mencari sesuatu.

Warga yang melihat hal itu segera berkumpul dan mecoba menolong laki-laki yang bertingkah aneh itu, namun sepertinya tidak ada gunanya.
Laki-laki itu malah terlihat melotot marah seperti dirasuki oleh sesuatu.

Aku segera bergegas menghampirinya untuk mencoba menolong.

Sebuah doa kubacakan pada sebotol air dan kuminumkan pada orang itu.
“Panas… ! Panas!” Laki laki itu beteriak tepat setelah meminum air pemberian dariku dan tak lama setelahnya ia kembali tenang.
Sayangnya, masalah tidak berhenti sampai di situ, kali ini salah seorang warga yang sedang melihat kejadian ini terjatuh dan berlaku sama persis seperti pria tadi.

Aku menggelengkan kepala dan beralih menghampiri orang itu.
Namun sebelum sampai ke sana , terlihat seseorang pria tua yang terlihat cukup berwibawa menghampiri orang itu terlebih dahulu.
“Udah.. gapapa pak, itu Mbah Jiwo.. beliau yang biasa bantuin warga yang terkena masalah seperti ini” Ucap salah seorang pemuda yang berada di warung tadi.
Aku mengamati apa yang iya lakukan, Orang yang dipanggil Mbah Jiwo ni menempelkan sebuah batu berwarna hitam pada dahi warga yang kesurupan itu dan membacakan beberapa mantra.
Di penglihatanku makhluk berwujud ular dipaksa keluar dari tubuh warga itu dan menghilang masuk ke sebuah batu yang ditempelkan oleh Mbah Jiwo ke dahi warga itu.

Tak lama kemudian warga yang kesurupan tadi segera sadar seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku cukup takjub melihat apa yang orang itu lakukan dan segera menghampirinya, mungkin saja ia mengetahui tentang apa yang menjadi tujuanku ke sini.
“Wah.. bapak bukan warga sini kan? Terima kasih banyak sudah membantu tadi..” Ucap Mbah Jiwo yang lebih dahulu menyambut kehadiranku.
“Nggih Pak, Saya Cuma kebetulan numpang lewat… Nama saya Bimo, melihat ilmu bapak kalau diijinkan saya ingin bertanya beberapa hal, terkait tujuan perjalanan saya..” Tanyaku pada Mbah Jiwo.
“Oh.. iya pak, Nama saya Jiwo.. tapi kita bicara di rumah saya saja ya sudah mau maghrib ” Ajak Mbah Jiwo yang ternyata tidak kalah ramah dengan warga-warga tadi.
Aku segera membayar jajananku di warung dan mengikuti beliau menuju rumahnya di ujung desa.
Terlihat di sana sebuah rumah kayu yang megah dengan ukiran-ukiran ornamen yang cukup indah di tengah halaman yang cukup besar. Sayangnya dibalik kemegahan itu terdapat hal yang mengerikan di sana.
Bebagai macam makhluk halus berkumpul di halaman rumah Mbah Jiwo, mulai dari hewan-hewan ghaib hingga makhluk berwujud raksasa… namun yang pelaling menarik perhatianku adalah sesosok makhluk besar berkepala kerbau yang sedari tadi memandangku.
“Sudah gapapa Pak Bimo , nanti saya ceritakan di dalam siapa makhluk-makhluk itu.. “ Ucap Mbah Jiwo yang segera membukakan pintu untuku.
Ruang tamu rumah Mbah Jiwo cukup besar, beberapa benda yang kuduga adalah pusaka banyak menggantung di dinding ruanganya. Mirip seperti ruangan praktek dukun, namun ini lebih terasa nyaman dan tidak begitu mengerikan seperti di luar.
“Maaf Mbah Jiwo, malah jadi ngerepotin..” Ucapku pada Pak Jiwo yang mengantarkan segelas teh hangat dan beberapa cemilan padaku.
“Pak Bimo mau ke lembah keramat di ujung desa itu ya?” Tanya Mbah Jiwo yang sudah menebak tujuanku.
“Iya pak… ada yang harus saya cari tahu di sana” Jawabku.
“Syukurlah.. Sudah saya duga kalau bapak orang baik, kebanyakan orang luar yang datang kesana selalu bertujuan mencari ilmu atau pesugihan” Cerita Mbah Jiwo.
Aku mulai mengerti arah pembicaraan ini. Sebelum Mbah Jiwo salah paham, aku menceritakan semua kejadian di desa srawen yang akhirnya menuntunku menuju tempat ini.
Aku menceritakan padanya mengenai desa srawen yang seluruh warganya mati mengenaskan oleh santet yang dikirimkan oleh orang sakti bernama “Topo Ulo”. Cerita mengenai Dimas dan Rumi yang selamat dari kejadian itupun aku ceritakan.
Sayangnya, walaupun selamat keberadaan Rumi seperti masih diincar oleh sosok lain yang lebih berbahaya seolah ada sesuatu pada Rumi yang membuatnya menjadi incaran.
Dimaspun mendapat petunjuk dari mimpinya mengenai sebuah tempat pemandian yang menurut mimpinya berada di tempat ini.
“Betul Pak Bimo… di tempat ini memang ada pemandian keramat, tapi untuk ke sana sepertinya bukan perkara mudah…” Balas Pak Jiwo.
“Makhluk yang kamu lihat di halaman rumah ini , sebelumnya adalah penunggu asli Lembah itu.. namun sudah beberapa tahun ini ada kejadian yang membuat mereka mengamuk dan mengganggu warga desa..” Lanjutnya.
Aku mencoba mencerna apa yang dimaksud Pak Jiwo, namun sebelum berfikir terlalu jauh tiba-tiba terdengar suara dari luar rumah.

“Mbah Jiwo… Mbah jiwo.. Tolong Mbah!” Teriak warga yang segera menghampiri kami.
Mbah jiwo segera meninggalkanku dan menghampiri warga yang berbondong-bondong datang dan menanyakan tujuan mereka.

“Itu Mbah… makhluk itu muncul lagi!” Ucap Salah satu warga.
Tanpa bertanya lebih jauh Mbah jiwo masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa benda.
“Pak Bimo, tunggu di sini aja ya…Saya tinggal sebentar” Ucapnya padaku.
Aku yang penasaran dengan apa yang terjadi segera berdiri dan tidak menghiraukan ucapan Pak Jiwo.
“Ndak pak.. saya ikut” Bantahku yang segera mengikutinya.
Warga menunjuk ke sebuah kandang ternak yang berbatasan dengan pepohonan menuju perbatasan lembah. Terlihat di sana warga dengan membawa obor mencoba menghalau sesosok makhluk yang mencoba masuk ke desa.
Terlihat di sana makhluk dengan tinggi dua kali tubuh manusia biasa dengan rambut panjang menutupi kulit tubuhnya yang penuh borok.
Dengan sebuah ayunan tangan, makhluk it berhasil melukai salah satu warga hingga tersungkur. Ceceran darah terlihat dari bekas luka itu.
Seolah tidak mau melewatkan kesempatan , setan itu melompat menuju orang yang terluka itu , memamerkan giginya yang tajam seolah bersiap memakanya.
Beruntung Mbah Jiwo segera sampai ke tempat pemuda yang terluka itu , mengambil sebuah cambuk dan menyabetkanya ke arah makhluk itu. terlihat kilatan cahaya hitam dari cambuk Mbah Jiwo yang membuat makhluk itu kesakitan.
Aku segera menghampiri warga desa yang terluka , membacakan beberapa mantra penyembuh untuk menutup lukanya.
Setan itu masih bersikeras mencoba masuk ke desa menyerang membabi buta hingga membuat Mbah Jiwo kerepotan. Semakin banyak warga yang terluka akibat serangan setan itu yang membabi buta hingga aku memutuskan untuk iku turut campur dalam pertarungan ini.
Sebuah mantra kubacakan hingga sebuah kobaran api kecil berwarna putih muncul dihadapanku. Dengan beberapa kali putaran tangan aku berhasil mengendalikan api itu dan semakin membuatnya bertambah besar.
“Mbah Jiwo… !” Teriaku memberi isyarat.
Mbah Jiwo menoleh ke arahku dan melihat kobaran api yang melayang di tanganku. Ia segera mengerti dan mundur dari pertarungan.
Aku menggantikan posisinya dan menerjang makhluk itu, dengan cepat api yang kubuat berhasil menyentuhnya hingga semakin membesar membakar tubuhnya.
“Ilmu yang luar biasa…” Ucap Mbah Jiwo. Sepertinya ia belum pernah melihat ilmu Geni Baraloka seperti yang kumiliki.
Namun sesuatu yang aneh terjadi , setelah mahkluk itu terbakar muncul sosok menyerupai manusia dari setan yang terbakar oleh kobaran api itu. Cakarnya menghilang, tubuhnya menciut hingga berukuran normal seperti manusia biasa.
“Mbah Jiwo.. apa maksudnya ini? “ Tanyaku pada mbah jiwo yang mungkin saja mengerti.
Ia tidak menjawab dan segera menghampiri orang itu.
“I… itu kan, orang yang datang ke desa ini beberapa bulan lalu… “ Ucap salah seorang pemuda yang mengenali wajah orang itu.
“maksud kamu apa mas? Coba jelaskan..” Perintah Mbah Jiwo.
Pemuda itu mendekat dan memperhatikan tubuh manusia yang tergeletak itu.
“Iya… benar, ini pemuda yang dulu pernah melewati tempat ini untuk mencari ilmu di lembah keramat” Cerita pemuda itu.
Aku dan mbah Jiwo saling menatap seolah mengambil sebuah kesimpulan.
Warga berinisiatif menolong orang itu dan berencana menanyakan apa yang terjadi sehingga dia bisa berubah menjadi setan dan mengamuk di desa.
Sebelum sempat membereskan yang terjadi di tempat ini , sayup-sayup terdengar suara dari arah lembah itu.
“Tolonggg…. “
“ Sakiiittt….”
Suara rintihan berbagai makhluk terdengar seperti jeritan yang meminta pertolongan, namun sama sekali tidak ditemukan wujud dari suara itu.
Semakin kencang angin berhembus, semakin jelas suara yang terdengar dari lembah itu. Seperti suara banyak orang yang kesakitan.
“Mbah…. Suara ini lagi..” Ucap seorang pemuda yang menghampiri Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo mengangguk mengerti maksudnya.
“Sudah sekarang kalian semua kembali ke rumah , tolong urus orang ini hingga benar-benar pulih” Perintah Mbah Jiwo.”
Suara itu semakin terdengar dari arah lembah. Aku yang tidak tahan dengan suara rintihan itu segera berlari menuju lembah mencari tahu apa yang terjadi. Aku harus memastikan sendiri apa yang ada di lembah itu.
Mbah Jiwo yang melihatku berlari merasa khawatir dan segera menyusul.
Semakin mendekati lembah , suara jeritan itu terdengar semakin jelas dari seluruh penjuru hutan yang kulewati namun tidak ada satu sosokpun sumber dari suara itu.
Aku terus berlari sampai akhirnya terhenti di perbatasan hutan yang tertutup oleh kabut. Saat menyentuh kabut itu sebuah penglihatan masuk ke fikiranku.

Mayat yang tergantung…

Enam buah kepala ditumbalkan…

Perang Santet antar dukun…
Hingga ‘Banjir Getih’ dari kematian warga-warga desa di lembah ini…

Semua masih samar dan tidak begitu jelas , seolah pernah ada sebuah desa di lembah ini yang mengalami bencana.
Sialnya saat aku membuka mata hal yang aku takutkan terjadi.
Dari dalam kabut muncul berbagai sosok makhluk berbentuk pocong dan mayat hidup yang menangis rintih meminta pertolongan.
Aku mencoba menggunakan ilmu geni baralokaku pada salah seorang dari makhluk itu, sayangnya seekor ular yang melilit makhluk itu mampu menahan seranganku.
Saat ini di tengah hutan yang gelap… puluhan makhluk merintih kesakitan meminta pertolongan kepadaku. Rintihan mereka membuatku tidak mampu memutuskan apa yang harus kulakukan . sampai sebuah suara cambuk terdengar di belakangku.
“Pak Bimo.. hati-hati” Teriak Mbah Jiwo yang berhasil menyusulku.
Di ujung cambuknya terlihat seekor ular yang telah terbelah. Sepertinya ular itu mencoba menyerangku saat sedang kebingungan.
Tak cukup sampai di situ, dari kedalaman kabut perlahan muncul seorang wanita cantik berpakaian keraton namun dengan sekumpulan ular yang melilit di tubuhnya.
Cantik… cantik sekali, namun senyumnya terlihat begitu mengerikan.
“Bawa anak itu ke sini.. perjanjian tumbal harus di selesaikan” Ucap wanita itu.
Entah , Aku segera mengerti yang ia maksudkan… Ia menginginkan Rumi. Ada yang istimewa dari anak itu hingga makhluk sekuat ini mengincarnya.
“Tidak… tidak ada satupun alasan untuk menyerahkanya pada iblis sepertimu” Balasku.
Makhluk itu tetap tersenyum dengan anggun.
“Anak itu sudah menjadi hakku bahkan sebelum ia dilahirkan… Bencana besar akan menimpa orang-orang terdekatnya hingga ia kembali ke sini
Dan kamu akan tetap di sini sampai ia datang…”
Hawa dingin mulai menusuk tubuhku, angin berhembus dengan begitu kencang.
“Pak Bimo lari!!!” Teriak mbah Jiwo yang mulai merasakan keanehan.
Terlambat…dari atas pohon berjatuhan berbagai jenis Ular, di kegelapan hutan muncul ular-ular besar mengelilingi tempatku berada saatini.
Mbah Jiwo menggunakan cambuknya mencoba menyerang ular-ular itu untuk menolongku, namun jumlahnya terus bertambah.
Sama sekali tidak dapat kutemukan jalan keluar dari kondisi ini.
Aku mengambil Keris Sukmageni yang sudah tidak memiliki kekuatan dan melemparkanya kepada mbah Jiwo.
“Mbah jiwo.. Aku titip ini! “
Mbah jiwo menerima keris itu tanpa mengerti maksudku.
“Serahkan keris itu pada anak yang kuceritakan, Sukmaku akan membimbing mereka..”
Aku tidak bisa berbicara lebih banyak lagi, ratusan ular sudah mengepungku dari berbagai penjuru.
Ajian muksa pangreksa kubacakan untuk melindungiku dari niat jahat ular-ular ini. aku mengambil posisi meditasi untuk melindungi diri dari berbagai serangan fisik dan ghaib yang menghampiriku satu persatu.
Dalam keadaan bingung Mbah Jiwo mulai mengerti setelah melihat pemandangan mengerikan di depanya. Ia melihat tubuhku dikelilingi ratusan ular dan puluhan makhluk ghaib yang menjaga dari ujung-ujung hutan.
“Aku mengerti…. Akan kucari cara untuk membebaskanmu, Takkan kubiarkan Orang baik sepertimu mati ditangan makhluk itu!”
Ucap mbah jiwo yang segera berlari meninggalkanku menerobos hutan yang dipenuhi ratusan ular.

(Bersambung)
Udate lagi malam jumat
30/9

seperti biasa yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id

Terima kasih.. semoga malam minggunya menyenangkan.

karyakarsa.com/diosetta69/jer…
Jeritan Lembah Keramat
Jeritan Ketiga - Kisah Kampung Srawen

Karena partnya sedikit kita upload pagi ini aja ya... tar malem mau iseng upload cerita pendek

@bacahorror
@IDN_Horor
@bagihorror Image
“Rumi… kita ga bisa begini terus, kejadian semalem bener-bener udah parah , mas ga mau kejadian seperti di kampung terulang lagi” Ucapku pada Rumi yang masih tidak mengerti tentang kejadian semalam.
“Iya mas.. Rumi juga takut . Tapi Rumi juga ga tau harus gimana..” Jawabnya dengan cemas.
Dua gelas minuman hangat disajikan oleh Ismi yang berbaik hati memberikan kami tumpangan di kontrakanya setelah menolong kami semalam.
“Ismi , kamu bisa bantu kami ga? Mungkin aja kamu mengerti tentang permasalahanku” Tanya Rumi pada Ismi.
Ismi hanya menghela nafas dan menggeleng.
“Seandainya mbahku masih ada mungkin aku bisa membantu, namun sekarang aku ga lebih dari perempuan biasa yang kebetulan saja bisa melihat makhluk itu” Jelas Ismi.
Perempuan biasa? Bisa melihat hal ghaib dan tidak ketakutan menurutku adalah hal yang sangat luar biasa.
“Ismi.. terima kasih ya, kalau ga ada kamu semalem kita ga tau harus ngapain..” Ucapku pada Ismi.
“Sebenernya ada satu hal lagi yang saya ingin tau…
akhir-akhir ini saya sering mendapatkan mimpi yang menunjukan sebuah pemandian kuno di tengah hutan dan banyak ular yang mengelilingi pemandian itu… mungkin kamu ada petunjuk soal ini?”
Ismi berfikir sejenak , mencoba mengingat barangakali ia mengerti sesuatu tentang hal itu.
“Kalau soal pemandian dan ular, saya belum ada petunjuk.. tapi dari cerita Mas Dimas bisa jadi mimpi itu merupakan petunjuk atas sesuatu.. “ Jawab Ismi.
“Pemandian? Ular?.. “ Tiba-tiba Rumi menggumam.
“Mas.. Rumi sedikit ingat waktu desa diserang oleh santet… ada kejadian yang mungkin ada hubungan dengan dua hal itu”
Kali ini Rumi mencoba menceritakan apa yang ia alami.
Kampung Srawen…
Sebuah kampung kecil di pinggiran kota yang terletak di Jawa timur. Walaupun bukan kampung yang besar, setidaknya ujung jalan kampung ini masih dilalui kendaraan umum yang menuju desa yang lebih besar di sebelah kampung kami.
Mungkin karena letaknya dikelilingi hutan-hutan kecil, kampung kami jarang sekali dikunjungi oleh warga dari desa lain. Kecuali bila memang mereka memiliki kerabat di sana atau pedangang keliling yang kebetulan melintas.
Hari ini warga Kampung Srawen beraktivitas seperti biasa. Beberapa ada yang mencari makan ternak dan ada yang mengurus kebun mereka.
Saat itu aku sedang membantu ibu untuk menimba air di sumur. Saat itulah tiba-tiba seorang warga tiba-tiba berlari menuju desa.
“Ularrr!... Tolong pak, di kebun saya banyak ular…” Ucap pemuda itu.
Warga yang mendengar teriakan orang itu segera berlari dan mengecek ke kebun pemuda itu, dan benar sangat banyak ular yang mengelilingi kebun itu dan bersiapa memasuki desa.
Sebagian warga mengambil obor dan mencoba mengusir ular-ular tersebut namun ternyata semakin banyak ular yang mencoba memasuki desa melalui tempat yang lain.
Di tengah kepanikan itu , tiba-tiba seorang pria tua berpakaian hitam yang tidak dikenal muncul dari luar desa.
“Ora sopan…. Mereka jatahku!” Ucap orang itu yang dengan santai melemparkan garam yang sudah ia bacakan berbagai mantra ke arah ular-ular itu. Ajaibnya ular-ular itu segera pergi tanpa perlawanan.
Hari berlalu tanpa ada seorangpun warga yang mengetahui siapa orang yang mengusir ular itu. Namun ada yang mengatakan pria tua itu kembali pada malam hari dan terlihat di dekat sumur.
Seperti biasa, aku dan ibu melakukan rutinitas menimba air di sumur sementara bapak bekerja dengan membantu di ladang tetangganya.
Sayangnya sebelum sempat sampai di sumur seekor ular muncul dari dalam semak-semak dan dan menyerangku dan ibu.
Tanpa menunggu lama racun dari ular itu bereaksi dan membuat kami terjatuh.
Warga berlari menolongku, namun hal aneh terjadi. Sebelum aku kehilangan kesadaran aku melihat Ibunya mengamuk seperti kesurupan.
Ia menyerang siapapun yang mendekat, sampai bapak datang dan mencoba menahan Ibu di bangunan tua di belakang rumah.
Entah beberapa kali aku pingsan dan kembali sadar, setiap kehilangan kesadaran seperti sebuah mimpi memperlihatkanku perbincangan antara dua makhluk mengerikan.
Salah satunya seperti orang yang mengusir ular kemarin dan mirip seperti sosok yang sering diceritakan warga..
Topo Ulo…
“Mereka jatahku, jangan kau sentuh mereka…” Ucap Topo Ulo di tengah kegelapan itu.
Perlahan sesosok wanita berpakaian keraton muncul dihadapanya. Sosok ular-ular mengerikan muncul dari kegelapan mengelilingi mereka berdua.
“Leluhurnya sudah membuat perjanjian denganku, tidak ada satupun kesempatanmu mendapatkanya…”
Setelahnya tidak ada ada perbincangan diantara mereka, hanya terlihat ular-ular yang mengabdi kepada mereka saling memakan satu sama lain.
Tiba-tiba aku tersadar di tengah malam. Terdengar suara yang ramai dari luar rumah yang membuatku semakin bingung.
Aku memaksa tubuhkku untuk berjalan keluar rumah, di sana sudah bergelimpangan tubuh warga desa. Dan yang mengerikan, jasad mereka terbaring dengan darah yang mengalir dari setiap lubang tubuh mereka.
Beberapa yang masih hidup mencoba membantu.
tapi seperti sedang menunggu waktu, Satu persatu dari merekapun mati dengan cara yang sama.
Tiba-tiba Bapak masuk menerobos ke rumah dan buru-buru mengambil sesuatu dari dalam lemari. Tanpa berbicara apa-apa bapak menggendongku,
dan membawaku ke bangunan belakang tempat ibu berada.
“I… ibu” Aku mencoba berbicara pada ibu yang hanya terdiam di sudut gelap bangunan itu.
Namun bukan menjawab, ibu hanya menggeram dan mengamuk ke arah kami.
Beruntung bapak memasangkan rantai yang dibalutkan kain ke kaki ibu agar ia tidak melukai kami.
“Bapak.. apa maksud ini semua” Tanyaku.
Bapak menghela nafas sambil mempersiapkan sesuatu.
“Leluhur ibumu pernah melakukan perjanjian dengan makhluk berbahaya saat masih tinggal di desanya dulu.. bapak pikir dengan pindah ke kampung bapak di sini, kita akan aman…” Jelasnya.
“Bapak tidak menyangka malah ada bencana lain di desa ini... “
Bapak membentuk sebuah gumpalan berwarna hitam dan menghampiriku.
“Semoga dengan ini kamu bisa selamat”
Itu adalah kata-kata terakhir bapak sebelum ia memasukan benda itu kedalam mulutku dan membuatku menahan rasa sakit yang masuk ke tenggorokanku.
Tak lama setelahnya sesuatu yang terjadi kepada warga juga terjadi kepada Bapak. Darah menetes dari lubang mata, hidung dan telinganya hingga ia terjatuh di tanah.
Aku menangis dengan sisa tenaga yang ada padaku, samar-samar terlihat sosok dua ular besar masuk menghampiri tempat ini.
Tidak ada hal lain yang kuingat setelahnya sampai Mas Dimas datang menyelamatkanku di sebuah goa bersama Mas Danan dan Mas Cahyo.

…..
Cerita yang cukup panjang terdengar dari Rumi , aku tak menyangka adiku mengalami hal semengerikan ini sementara aku hidup tenang di kota ini.
Ismi terlihat mencoba menenangkan Rumi yang terlihat masih Trauma dengan kejadian itu.
“Mas Cahyo itu… temanya mas ardian bukan? Muridnya seseorang yang sering dipanggil Paklek”
Tiba-tiba Ismi menanyakan hal yang tidak pernah kuduga.
“Kamu kenal Cahyo sama Paklek?” Tanyaku pada Ismi.
Ia hanya menggeleng. Namun ia menceritakan suatu kejadian saat ia menelepon penyiar radio tengah malam yang berusaha mencari benda bernama Tabuh waturingin untuk menolong Cahyo dan Paklek.
“Saat di rumah mbah, Mas ardian nelpon seorang pria bernama cahyo dan Paklek… katanya korek api ini juga sebenarnya milik paklek..”
Aku menoleh pada Rumi dan sepertinya kami mengambil kesimpulan yang sama.
“Benar… aku ingat, cahaya api di korek itu mirip ilmu yang digunakan paklek” Aku mengatakan itu dengan raut muka yang sedikit senang.
Sekarang tidak ada lagi kecurigaanku pada Ismi. Kalau dia pernah menolong Cahyo dan Paklek, berarti dia memang benar-benar orang baik.
Cukup lama kami berfikir, namun tidak ada jawaban dari ujung permasalahan ini.
“Apa… kita harus ke kampung ibu?” Ucap Rumi tiba-tiba.
Aku mencoba mengingat cerita dari orang tua kami tentang kampung asal ibu yang terletak di sebuah lembah.
“Tapi kata bapak, kampung ibu sudah ga ada… “ Balasku pada Rumi.
“Mungkin kita bisa kesana dan mencari tahu dari warga sekitar… “
Entah mengapa Rumi terlihat begitu ngotot untuk pergi ke sana.
Sebenarnya semenjak kejadian yang menimpa Rumi aku sudah punya pikiran untuk mencari tahu tentang kampung ibu, namun paklek melarangku.
Paklek berjanji akan mencari tahu tentang tempat itu sementara aku memulihkan kondisi mental Rumi terlebih dahulu.
Mungkin ini sudah waktunya untu menyusul Paklek.
“Ya sudah.. sabtu ini kita ke sana…” Ucapku pada Rumi.
Rumi terlihat lega ketika aku sepakat, namun tetap terlihat rasa khawatir di wajahnya.
“Apa kalian punya kenalan yang bisa membantu apabila terjadi sesuatu?” Tanya Ismi.
Aku mengecek layar Handphoneku dan jariku terhenti di sebuah nama.. Mas Danan.
“Seharusnya Danan bisa membantu, namun saat ini dia sedang mencari cara untuk menyelamatkan Cahyo… rasanya tidak mungkin kita meminta tolong padanya” Jawabku.
Rumi mengangguk setuju, sepertinya kami memang tetap harus menghadapi resiko perjalanan ini sendiri.
Ismi terlihat bertingkah sedikit aneh, ia menoleh ke beberapa arah seolah mencari sesuatu.
“Kenapa Ismi… ?” Tanya Rumi padanya.
“Sepertinya kalian memang harus ke sana, sudah ada yang menunggu kalian…” Ucap Ismi.
Aku dan Rumi heran dengan ucapanya yang muncul secara tiba-tiba.
“Aku akan ikut dengan kalian , walaupun aku tidak punya ilmu sehebat mas cahyo… setidaknya aku bisa menjadi perantara kalian dengan seseorang yang memberiku petunjuk ini” lajutnya.
Entah kami harus senang atau khawatir, keberadaan Ismi yang bisa berkomunikasi dengan makhluk halus memang akan sangat membantu kami. Namun kamu juga tidak mau terlalu melibatkan Ismi dengan permasalahan kami yang bisa saja membahayakanya.
“Kamu benar mau membantu kami?” tanyaku pada Ismi.
Ia mengangguk seolah tidak ragu dengan keputusanya.
“Entah, setelah mendengar cerita mengenai orang – orang seperti Mas Cahyo, Mas Danan dan Paklek yang siap membantu siapa saja aku seperti merasa memiliki tanggung jawab atas kelebihan yang aku miliki ini.. “ Jelas Ismi.
“Jangankan saya… Mas Ardian dan kawan-kawanya, mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam hal ghaibpun sampai bisa tergerak dengan perbuatan mereka”
Aku mencoba memahami yang diucapkan oleh Ismi. Memang, setelah melihat apa yang Danan, Cahyo dan Paklek lakukan, aku juga jadi berharap bisa membantu orang lain seperti yang mereka lakukan.
“Ya Sudah… Terima kasih banyak ya, yang pasti kita harus tetap tau batasan masing-masing” Perintahku.
Kami bertiga sepakat. Perjalanan ini pasti akan cukup berbahaya , namun dengan adanya Ismi mungkin resiko itu bisa kita minimalisir.
“Aku akan meninggalkan pesan untuk Nia teman kantorku untuk berjaga-jaga apabila sampai terjadi apa-apa, dan mungkin aku juga kan mengirim pesan pada Danan… sekedar memberi informasi” Ucapku pada mereka.
Memang setelah kepergian kedua orang tua kami, tidak ada lagi orang dekat yang kami miliki selain mereka.
“Ismi.. mungkin kamu juga bisa memberi kabar ke orang tuamu juga supaya mereka tidak khawatir” Perintahku pada Ismi.
“Saya sudah tidak punya orang tua mas, selama ini saya tinggal sama mbah…” Jelasnya.
Kupikir setelah mengatakan itu wajahnya akan terlihat sedih, namun ternyata yang terlihat hanyalah wajah wanita kuat yang mampu menjalani semua beban hidupnya.
“Tapi saya akan ngabarin kenalan saya , mereka yang membiayai tempat tinggal dan biaya kuliah saya… Mas Ardian dan teman-teman dari Radio tengah malam..”
(Bersambung Jeritan keempat - "Warisan")
Update part 4 - sabtu tanggal 2/10

seperti biasa yang mau baca duluan bisa mampir di karyakarsa ya.. part 4nya agak panjang dan mulai seru

karyakarsa.com/diosetta69/jer…
JERITAN LEMBAH KERAMAT
Jeritan Kelima - "Warisan"

Yang malam minggunya Sendu angkat tangan! yuk kumpul!

@bagihorror
@bacahorror
@qwertyping
@IDN_Horor
@ceritaht
@HorrorTweetID

#diosetta @jeritanlembahkeramat Image
Sebuah kobaran api panas menyala di tengah-tengah ruangan yang sudah lama tidak pernah kumasuki. Satu tempayan besar yang berisi air sudah siap di sebelah api dengan tujuh rupa kembang yang kutaburkan di permukaanya.
Beberapa kali kupukulkan keris yang telah kubakar hingga menyala berwarna merah dengan sebuah palu besar peninggalan keluargaku.
“Keris itu sudah kehilangan kekuatanya… apa lagi yang kau harapkan?”
Sebuah suara muncul bersamaan dengan hadirnya roh seseorang yang tubuhnya masih terjebak di Lembah keramat.
“Bimo… Leluhurku dulu adalah mpu pembuat pusaka yang terkenal di kerajaan tempatnya mengabdi…”
Ucapku sambil berkali-kali memandang bilah keris yang kutempa dan kembali memukulnya.
“Anggaplah ini adalah caraku menebus dosa kepada leluhurku karena telah meninggalkan ilmu yang mereka turunkan kepadaku.”
Mendengar ucapanku, Roh Bimo mendekatiku dan memperhatikan lebih dekat kerisnya yang sedang kutempa.
“Teknik yang luar biasa.. aku bisa melihat simpul aliran tenaga yang kau masukan di setiap pukulanmu”Ucapnya.
Berkali-kali aku menghantamkan pukulan ke keris itu dengan keras, tidak peduli seberapa banyak keringat yang terjatuh aku harus tetap menyelesaikan keris ini.
“walaupun wujud keris itu bisa kembali seperti semula, apa mbah bisa menarik kesaktianya lagi? “
Tanya Bimo yang masih penasaran.
“Tidak… sisi terang Keris Sukmageni ini akan mampu meneruskan kesaktianya dengan darah mereka yang terpilih, dan ketajaman sisi gelapnya akan melindungi mereka dari darah yang terkutuk…”
Ucapku yang berusaha meyakinkanya.
Sebuah senyuman muncul di wajah Roh Bimo, diapun segera menjauh seolah mulai percaya dengan apa yang kulakukan.
“Baiklah… kupercayakan pusaka leluhurku ini padamu, Namun pasti Mbah Jiwo juga sudah tau.. untuk membuat satu bilah lagi, tidak cukup dengan bahan biasa…”
Tepat setelah Roh Bimo berhenti berbicara , suara benda besar terdengar jatuh dari langit menghantam tanah tepat di pekarangan rumahku.
Aku segera meletakan pekerjaanku, membersihkan tanganku dan segera keluar mengambil benda yang sengaja kupanggil dari tempat yang jauh untuk menyempurnakan Keris Sukmageni.
Sebuah pusaka milik seseorang yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk menolong orang lain tanpa ragu sedikitpun. Bahkan untuk orang yang sama sekali tidak ada hubungan denganya.
“Tunggulah… Sebelum orang-orang yang kau maksud itu datang, Keris Sakti Sukmageni ini akan selesai sepenuhnya untuk membantu kalian melewati rintangan ini..
Ini adalah janji dariku
Ki jiwo Setro…. “

---000---
Setelah mendiskusikan beberapa kali, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke desa tempat ibu berasal. Sepertinya Ismi juga memiliki alasan tersendiri untuk membantu menyelesaikan permasalahan kami.
Beberapa kali kami berganti bus antar kota untuk mencapai tujuan kami. Saat langit mulai gelap, sebuah mobil angkutan umum menurunkan kami tepat di depan gerbang sebuah desa.
“Kampung ibu di sini mas?” Tanya Rumi padaku.
“Bukan… dari sini kita masih harus berjalan cukup jauh ke arah lembah. Tapi sebaiknya malam ini kita menginap dulu di desa ini” Jawabku.
Seingatku untuk mencapai desa ibu, kami harus melewati desa ini terlebih dahulu dan melewati hutan-hutan yang menghubungkan kedua desa. Namun karena sudah malam, mungkin kami akan meminta ijin kepala desa untuk menumpang menginap di balai desa,rumah singgah,
atau tempat apa saja yang bisa membuat kami beristirahat menunggu pagi.
“Ya sudah… mas coba cari tau tempat kepala desanya dulu ya..” Ucapku.

“Ga usah Mas Dimas.. sudah ada yang menyambut kita” Ucap Ismi tiba-tiba.
Dari jalan desa, terlihat seorang Pria yang terlihat sudah cukup tua menghampiri kami dari gelapnya malam.

“Saya sudah menunggu kalian” Ucap orang itu.
Aku dan Rumi merasa bingung. Kami tidak pernah merasa meminta siapapun menjemput kami di desa ini, namun mengapa orang ini bisa mengetahui kedatangan kami.
Ditengah kebingungan kami, tiba tiba Ismi mendahului kami dan mengikuti orang itu.
“Ismi! Kamu kenal bapak itu?” Tanyaku padanya.
Ismi menggeleng..
“Nggak , tapi bapak itu bukan orang jahat..” Ucap Ismi pada kami.
Mendengar ucapan Ismi kami mencoba menahan kecurigaan kami dan mengikuti orang itu.
“Nama saya Jiwo.. kalian boleh memanggil saya Mbah Jiwo” Ucapnya memperkenalkan diri kepada kami.
Mendengar ucapanya, kami segera memperkenalkan diri kami masing-masing. Sebuah perkenalan yang singkat, tapi sepertinya Mbah Jiwo merasakan sesuatu dari Rumi.
“Mbah… “ Ucap ismi yang mungkin ingin membuka pembicaraan selama perjalanan.

“Sudah.. bicaranya nanti saja setelah di rumah” Potong Mbah Jiwo yang terus berdiam diri hingga kami sampai di sebuah rumah kayu yang cukup besar dengan halaman kebun yang cukup luas.
Kami mengikuti mbah jiwo menuju ke dalam rumah, namun tidak dengan Ismi. Ia yang pertama percaya dengan mbah jiwo kini terhenti di depan rumahnya dengan wajah yang pucat.
“Kenapa Ismi…” Tanyaku yang khawatir padanya.
Ia hanya menggeleng dengan wajahnya yang ketakutan dan tetap tidak berani masuk ke rumah mbah Jiwo.
Mbah Jiwo yang melihatnya segera menghampirinya.
“Rupanya kamu juga punya kemampuan… jangan khawatir, nanti akan kujelaskan siapa mereka” Ucap mbah jiwo yang berjalan mendampingi Ismi yang ketakutan.
“Ismi, bukanya kamu sudah biasa melihat hantu? Memangnya apa yang bisa bikin kamu takut begini?” Tanya Rumi yang penasaran.
“Kalau hantu atau roh penasaran aku sudah biasa… tapi yang ada di halaman rumah ini….
Ah sudahlah.. biar mbah jiwo sendiri yang menjelaskan..” Ucapnya yang masih mengambang.

“Ini di minum dulu… kalian pasti capek kan?” Ucap Mbah Jiwo sambil mengantarkan beberapa gelas teh hangat untuk kami.
Dengan segera kami menghabiskan minuman pemberianya dan bersiap mendengar penjelasan atas semua ini.
“Sebelum saya menjelaskan tentang yang ada di halaman rumah saya, sepertinya saya harus menjelaskan mengapa saya mengajak kalian ke sini” Ucap Mbah Jiwo sambil meletakan sebuah keris ke atas meja.
Aku mengenal keris ini. Ini adalah keris yang sama dengan yang kulihat di rumah Pak Karyo. Sebuah keris pusaka milik Paklek Bimo.
“Mbah.. ini punya Paklek Bimo kan?” Tanyaku.
Ia mengangguk.
“Paklek Bimo? Jangan-jangan dia Roh yang berbicara kepada saya dan menuntun kami ke tempat ini?” Tanya Ismi pada Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo mengangguk sekali lagi.
Rupanya ini alasan mengapa Ismi mantap mengantar kami ke tempat ini.
Dengan kemampuanya untuk melihat roh mungkin saja paklek berusaha menggunakan kemampuan Ismi itu untuk membantu kami.

Aku mulai mengerti, namun bersamaan dengan itu aku menyadari sesuatu.
“Mbah.. apa terjadi sesuatu dengan Paklek? Apa Paklek dalam bahaya?” Ucapku yang mulai panik.

Mendengar ucapanku Rumi juga mulai sadar, ketika Paklek menyampaikan pesan dengan cara seperti ini, mungkin terjadi sesuatu yang gawat yang menimpa Paklek.
“Sudah.. kalian tenang dulu, Paklek masih hidup.. dan benar apa kata kalian saat ini ia sedang dalam bahaya” Ucap Mbah Jiwo.
“M.. maksud Mbah Jiwo apa? Berarti kita harus segera menolong Paklek!” ucapku dengan nada yang cukup keras.
Tidak mungkin kami membiarkan Paklek celaka setelah mencoba membantu kami.

Mbah Jiwo terlihat menghela nafasnya dan mencoba menenangkan diri.
“Bimo lah yang telah memberitahukan soal kedatangan kalian ke sini.. namun tak kusangka, yang datang hanya bocah-bocah seperti kalian…” Ucap mbah jiwo.

“M.. maksud mbah apa?” Tanya Rumi yang penasaran.
Tak mau kami salah paham, mbah jiwo segera menceritakan saat kedatangan Paklek ke desa ini. Ia berusaha menyelidiki tentang kutukan yang menimpa kami. Di sinilah Paklek kenal dengan Mbah Jiwo.
Paklek menemukan banyak kejadian aneh di desa ini hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lembah untuk mencari pemandian seperti pada mimpi yang kuceritakan pada Paklek. Sayangnya itu seperti sebuah jebakan.
Makhluk halus berwujud wanita cantik dengan pakaian kraton mengirimkan ratusan ular anak buahnya untuk menyerang Paklek hingga Paklek terpaksa bermeditasi untuk melindungi diri dan tidak dapat meninggalkan hutan itu.
Namun sebelumnya Paklek sempat menitipkan keris miliknya pada Mbah Jiwo dan menunggu kami.
“Berarti.. sekarang Paklek masih terjebak di lembah itu?” Ucapku memastikan.
Mbah Jiwo mengangguk.
“Sekarang kutanya kalian.. setelah mendengar kondisi Bimo dan yang terdapat di lembah itu, apa rencana kalian?” Ucap Mbah Jiwo.
Kami berfikir sejenak. Benar ucapanya… tidak ada satupun dari kami atau bahkan kami bertiga sekaligus yang memiliki kemampuan untuk menolong paklek atau menghadapi sesuatu yang ada di Lembah itu.
“Ka.. kami tidak tahu mbah, kami ke sini juga karena menerima serangan dari makhluk-makhluk halus dan tak menyangka kalau ternyata yang ada di sini lebih mengerikan” Ucap Rumi yang mulai merasa sedih melihat apa yang harus kami hadapi.
Kami termenung, setelah sampai ke tempat yang kami tuju ternyata kami tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini cukup membuat kami kecewa.
“Tiga hari…” tiba-tiba Mbah Jiwo mulai berbicara.
“Saya akan mengajari kalian beberapa ilmu untuk kalian… setelah itu kita akan mengembalikan keris ini kepada Bimo”
“Mak..sudnya, Mbah Jiwo ingin mengajarkan kami ilmu batin?” Ucapku.
“Tidak ada ilmu yang bisa didapat dalam waktu singkat, namun saya akan mencoba mengajarkan kalian untuk melindungi diri agar tidak mati sebelum bertemu Bimo” Ucapnya.
Saat ini tidak ada pilihan lain, hanya ini satu-satunya cara untuk kami menyelamatkan Paklek dan menyelesaikan semua permasalahan kami. Kami menyetujui tawaranya dan bersiap mendengarkan perkataanya.
Mbah Jiwo menoleh pada Ismi seolah ingin menceritakan sesuatu.
“Semua makhluk yang ada di luar , mereka adalah penghuni asli lembah keramat yang sengaja menghindar dari ancaman makhluk yang sekarang menguasai lembah itu”
Ismi mencoba menyimak, tapi tetap saja penjelasanya tidak membuatnya tenang.
“Saya.. tidak pernah melihat makhluk-makhluk semengerikan itu..” Ucap Ismi.
“Sayangnya… mungkin mereka satu-satunya cara agar kalian bisa mencapai Lembah itu… “ Balas mbah jiwo.
Kami tak mengerti maksudnya, Namun setelahnya ia mengeluarkan tiga buah batu berwarna hitam dan meletakanya di depan kami.
“Kalian tau apa itu Khodam?” Tanyanya.
“Maksud Mbah Jiwo Makhluk yang mendampingi seseorang, atau yang menghuni suatu benda..?” Jawab Ismi.
Mbah Jiwo mengangguk dan melanjutkan penjelasanya.
“Ketiga batu ini berasal dari desa yang ada di lembah itu. Benda ini memiliki kemampuan untuk menjadi wadah dari roh-roh yang berasal tempat batu ini berasal”
Kami memperhatikan ucapan Mbah Jiwo, namun tatapan mata Rumi terlihat cukup aneh. Ia terlihat mencoba memperhatikan dengan jelas benda yang ditunjukan oleh mbah jiwo.
“Mas… sepertinya Rumi pernah melihat benda ini” Ucapnya.
“Yang bener Rumi? Di mana” Tanyaku.
Rumi mencoba mengingat ingat, namun sepertinya ingatanya tentang benda itu bukanlah ingatan yang baik.
“Waktu kampung srawen terkena santet. Bapak memasukan benda serupa dengan ini ke mulut rumi dan memaksa rumi untuk menelan… katanya benda ini bisa membuat Rumi selamat” Jelasnya.
Aku ingat cerita rumi sebelumnya tentang kejadian itu, namun aku sama sekali tidak menyangka bahwa bentuknya seperti yang saat ini ditunjukan Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo menghela nafas seolah mengambil kesimpulan.
“Hmmmm… jika yang kamu ceritakan itu benar, berarti orang tua kalian benar berasal dari desa di bawah lembah itu” Ucap Mbah Jiwo.
“Sebaiknya kita tidak membuang waktu lebih lama lagi… Biarkan saya memeriksa apa isi benda yang ditelan oleh Rumi…
dan sampai saya selesai,tugas kalian berdua adalah mengisi ketiga benda ini dengan Makhluk yang ada di halaman rumah”
Makhluk yang ada di halaman ruman? Maksudnya makhluk yang tadi membuat ismi ketakutan?
Maksudnya kami harus menjadikan mereka Khodam atas benda ini?” Tanya ismi yang terlihat tidak siap.
“Temui mereka… Cari diantara mereka yang sekiranya berguna untuk menolong kalian.. dan bacakan mantra ini “
Perintah Mbah Jiwo sambil mengucapkan mantra yang sepertinya berasal dari bahasa jawa kuno.
“Tapi mbah.. kami tidak tahu caranya? Bahkan saya saja tidak bisa melihat mereka…” ucapku yang masih benar-benar bingung.
Ismi terlihat terpaku pada suatu sisi rumah ini , dan seketika ekspresinya berubah.
“Saya akan membantu mas… Mereka juga memiliki tujuan dengan kita untuk kembali ke lembah itu..” Ucap Ismi seolah telah mendapat petunjuk dari sesuatu.
Aku cukup bingung dengan perubahan ekspresi Ismi, namun rumanya itu terjadi juga dengan Mbah Jiwo.
“Ternyata dia disini” Ucap Mbah Jiwo yang tiba-tiba tersenyum.
Ismi mengeluarkan korek api yang ia gunakan untuk menolong kami dan segera menyalakanya di ruangan ini.
Seketika cahaya api putih menyinari seluruh ruangan. Terlihat beberapa bayangan-bayangan roh dari pusaka yang menggantung di dinding ruangan di Rumah Mbah Jiwo.
Tapi satu yang pasti… Ismi bermaksud menunjukan sesosok yang kami kenal di sudut ruangan itu.
Itu adalah Roh Paklek yang memisahkan diri dari raganya yang terjebak di lembah.

“Paklek! “ Ucapku menghampirinya yang segera disusul oleh Rumi.

“Paklek gapapa?” Tanyaku.
Terlihat Paklek tersenyum setelah melihat kami bertiga.

“Mbah Jiwo… kutitipkan mereka padamu. Maaf merepotkanmu begitu banyak…” Ucap Paklek Pada Mbah Jiwo.

“Tiga hari… bertahanlah sampai tiga hari kedepan, kami akan siap menyelamatkanmu” Balas Mbah Jiwo.
Setelah mendengar Jawaban mbah jiwo perlahan roh paklek mulai menghilang dari sinaran cahaya korek api yang dipegang rumi.

“Paklek.. Apa kita harus meminta tolong mas danan untuk menolong paklek?” Tanyaku terakhir kali untuk memastikan keputusan kami.
Sebelum sempat menghilang paklek terlihat menggeleng.

“Bukan Danan… Kalianlah kunci yang mampu menyelesaikan permasalah ini.” Itu suara paklek sebelum ia menghilang.
Sepertinya Paklek membutuhkan tenaga yang besar untuk memisahkan sukmanya dari tubuhnya sehingga hanya mampu menyapa kami dengan sedikit waktu.
Setelah kejadian tadi aku membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah Mbah Jiwo menemui makhluk-makhluk yang ada di halaman rumah itu.
Tanpa menunggu lama , aku berpamitan dan keluar bersama ismi.
Pintu rumah dibiarkan terbuka, tujuanya agar mbah jiwo bisa mengawasi apabila terjadi sesuatu pada kami berdua. Di satu sisi , aku juga bisa melihat kondisi Rumi bersama mbah Jiwo.


“Oke Ismi… kita mulai dari mana”
Ismi mencoba memberanikan diri melihat ke sekitar , sepertinya wujud makhluk-makhluk ini begitu mengerikan sehingga membuat Ismi sangat gugup.
“Ga tau mas… wujudnya banyak, ada makhluk tanpa kepala, makhluk bertangan panjang yang bergelantungan di atas pohon, gagak besar berkaki satu… “
Aku tidak mampu membayangkan semua ucapanya. Semuanya terdengar mengerikan.
“Apa yang paling mencolok?” Tanyaku mencoba membuat Ismi lebih fokus.
“Itu…” Ismi menunjuk sesuatu.
“Raksasa yang berdiri disebelah pohon itu” Ucap Ismi.
Aku segera mengajaknya berjalan ke arah sana dan memperhatikan sekitar. Memang terasa hawa yang mengerikan , tapi aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa.
“Ini.. gunakan ini” Ucap Ismi yang menyerahkan Korek api yang tadi kami gunakan.
Benar… setelah api dari korek itu menerangi penglihatan kami sebuah kaki yang sangat bersar terlihat di hadapanku. Butuh mendongakan kepalaku cukup tinggi untuk bisa melihat wajah dair makhluk itu.
Dengan segera aku mengeluarkan benda hitam pemberian Mbah Jiwo dan menyodorkan pada makhluk itu. namun sepertinya tidak ada reaksi dari makhluk itu. ia hanya menatapku dengan matanya yang merah dari ketinggian.
“hihihihi…..”
Mendadak tergengar sebuah suara dari sekitar kami. Aku mencari asal suara itu namun tidak dapat kutemukan.
“Ora ngono kuwi carane… Khihkhihkhi…” (Bukan seperti itu caranya)
Berkali kali kami mencari, namun banyaknya makhluk halus di kebun ini membuat kami tidak dapat membedakan suara mereka.
Saat kami mulai kembali menoleh ke arah raksasa itu, sebuah kepala dengan wajah yang penuh darah jatuh menggantung tepat di hadapanku.
Aku yang kaget terjatuh di tanah dan menjauh dari makhluk itu.
Namun ternyata bukan kepala itu pelakunya, melainkan sesosok makhluk berwujud anak kecil yang memainkan rambut kepala itu untuk mengagetkanku.
“Hihihi… ono sing kaget” (Ada yang kaget) Ucap makhluk itu yang terlihat puas setelah mengagetkan kami.
Aku dan ismi segera menjaga jarak dan bersiap untuk pergi.
Namun bocah itu segera melompat dari atas pohon dan mengambil lagi bulatan kepala yang ia gunakan untuk menakuti kami.

“Si… siapa kamu..?” Tanyaku masih dengan kakiku yang lemas.

Sungguh memalukan, di saat seperti ini malah Ismi yang membantuku untuk berdiri.
“Aku? Aku Demit!” Khikhihkhi….. “ Jawab anak itu dengan polos.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari ucapanya, namun aku belum pernah mendengar ada Setan yang mengaku dirinya setan.
Makhluk itu berjalan mendekatiku, masih dengan menggendong kepala tadi dan menyodorkanya pada kami.
“Nek iki… Sirahe ibuku… “ (Kalau ini… Kepala ibuku) Ucapnya sambil mengulang tawanya tadi.
Wajah kepala itu masih terlihat dipenuhi darah dengan rambut panjang yang lusuh setelah dipermainkan oleh bocah itu.
Aku mencoba mengatur nafasku berusaha mempertahankan kesadaranku dari semua kejadian ini.
Seandainya pingsan adalah pilihan terbaik, mungkin aku akan memilih itu. Namun tanggung jawab kami terlalu besar untuk melarikan diri dari hal seperti ini.
“Dek… tadi katanya cara menggunakanya bukan seperti itu? berarti kamu tau caranya?” Ismi mencoba mengumpulkan keberanianya untuk berbicara dengan makhluk itu.
Sekali lagi bocah itu mengangkatkan kepala yang diakui sebagai ibunya itu dan membuatnya seolah melakukan anggukan
“Iyo… aku tau..” Ucapnya dari belakang kepala itu.

Tidak mungkin hal itu tidak membuat Ismi takut, namun sepertinya Ismi mencoba membiasakan diri dengan perilaku hantu anak kecil itu.
“Omongke sing mbok tawarke.. Ucapkan apa yang kalian tawarkan, Kalau mereka mau, mereka akan mendiami benda itu ” Jelas bocah itu.

Tawarkan? Apa yang bisa kami tawarkan… jangan-jangan ini perjanjian tumbal?
“Maksudnya… kami harus melakukan perjanjian tumbal dengan mereka?” Tanyaku memastikan.

“Nek De’en ra gelem… kuwi yo iso… Khkhihkhi…” (Kalau mereka ga mau, begitu juga bisa) Ucapnya sambil berlari meninggalkan kami.
Kami mencari keberadaanya, namun cahaya api dari korek ini tidak mampu menerangi sejauh itu.

“Kesini… kesini…” terdengar suara bocah itu dari sebuah sumur timba di sebelah bangunan rumah.
“iki koncoku, Temenku… siluman penghuni sungai..” Ucap bocah itu yang segera menghilang lagi.

Aku mendekatkan korek api itu dan mengarahkan ke sumur.

Seekor makhluk menyerupai ular dengan keempat kaki terlihat menghuni sumur itu.
Sesuatu terpikirkan olehku. Aku mengeluarkan benda hitam pemberian mbah jiwo dan mengarahkan kepada makhluk itu.
“Ikut aku… akan kubawa kau kembali ke sungai tempat asalmu” Ucapan itu terucap setelah aku mengingat sebuah sungai tempat bapak dulu sempat mengajaku saat pertama dan terakhir kalinya kami kembali ke desa ibu.

Makhluk itu terlihat bereaksi dan datang menghampiriku.
“Ismi… sepertinya berhasil” Ucapku pada Ismi , namun ia seperti bersikap aneh.

Dalam sekejap makhluk itu sudah mencapai batu hitam yang ada di tanganku namun ia hanya menciumnya dari jauh dan berbalik meninggalkan kami.
Melihat itu ismi terlihat lega. Ia segera menarik bajuku dan membawaku menjauh dari sumur itu.

“Mas.. Mbah Jiwo meminta kita mengajak makhluk yang bisa membantu kita. Aku rasa makhluk tadi tidak akan bisa banyak membantu.” Ucap Ismi.
Betul juga ucapan Ismi , hampir saja kami melakukan kesalahan. Namun setidaknya, kami sudah tau cara menggunakan benda ini.

“Ismi.. menurutmu makhluk paling kuat yang mana” Tanyaku.

Tanpa berfikir panjang, dengan segera ismi menunjuk ke sesosok makhluk lain.
“Itu.. dari tadi makhluk itu mengawasi kita” Ucap Ismi.

Aku mendekatkan korek api itu dan terlihat sesosok makhluk besar dengan kepala kerbau. Seperti minotaur di cerita-cerita legenda Yunani namun makhluk ini tidak sekeren itu.
Tubuh makhluk ini berwarna hitam legam dengan ratusan koreng menghiasi kulitnya seperti sosok seorang makhluk yang kena kutukan.
“Dia penguasa lembah… aku tidak mau ikutan” hantu Bocah kecil itu muncul dan menghilang lagi menjauh dari kami seolah sangat ketakutan dengan makhluk itu.

Sayangnya, untuk menyelesaikan misi ini aku harus melakukan pertaruhan ini.
Namun baru saja aku mendekat , makhluk itu sudah terlihat mencoba memberikan perlawanan.
Aku menggenggam salah satu batu hitam pemberian mbah jiwo.

Namun tatapan mata makhluk itu berhasil membuatku menahan langkahku.
Sialnya makhluk itu merasa terganggu dan mulai menerjang ke arahku.

Ismi menarik tubuhku untuk menghindar dan berlari ke arah rumah. Namun makhluk itu cukup cepat. Cakarnya yang besar berhasil membuatku terjatuh dengan bekas luka di punggungku.
“Ismi… lari! panggil Mbah Jiwo!” teriaku yang tidak bisa memikirkan cara lain.
Sekuat tenaga aku berusaha menjauh dari makhluk yang tiba-tiba menjadi buas itu. Aku mengingat kembali hal apa saja yang bisa kulakukan saat menghadapi hal seperti ini.
Doa-doa yang diajarkan oleh paklek kubacakan tepat dihadapanya dan ternyata doa itu mempu membuat makhluk itu untuk terhenti. Sayangnya itu hanya sesaat.

Suara geraman yang sangat besar terdengar dari makhluk itu seolah ingin melampiaskan emosinya.
Aku berlari ke arah rumah, namun entah bagaimana caranya makhluk itu sudah ada di hadapanku. Setidaknya saat ini Ismi sudah hampir sampai ke rumah.
Luka di punggungku terasa semakin perih hingga tak mampu lagi menahan pijakanku, namun makhluk berwajah kerbau itu mendekat dan bersiap mengayunkan cakarnya lagi.

“Wis cukup … Ki Maesa Ombo “
Tiba-tiba terdengar suara yang menghentikan serangan makhluk itu. Aku mencoba memastikan bahwa suara itu berasal dari mulutku. Apa yang terjadi?

Tubuhku bergerak dengan sendirinya dan menghampiri makhluk itu.
“Dimas… Makhluk ini bernama Ki Maesa Ombo, penunggu sebenarnya lembah keramat yang sedari dulu melindungi hutan desa”
Ucapan itu keluar dari mulutku seolah ada yang merasuki tubuhku. Aku mencoba mengingat suara yang sangat kukenal ini.
Bapak… ini suara bapak!
“Bapak! Ini benar bapak?” aku mencoba berbicara, namun tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku.

Di satu sisi Ismi dan Mbah Jiwo bersiap keluar menolongku namun setelah melihatku mbah jiwo menahan ismi untuk menghampiriku.
Tubuhku bergerak dengan sendirinya mengeluarkan batu hitam yang kubawa dan menunjukanya kepada makhluk berwajah kerbau yang bapak bilang bernama Ki Maesa Ombo.
“Ki Maesa Ombo.. Konco lawasku, Kulo nyuwun pitulung lindungi putraku sing arep mulih ning desane”
(Ki Maesa Ombo.. teman lamaku, aku meminta tolong untuk melindungi putraku yang ingin pulang ke desanya)
Teman lama? Maksudnya Bapak pernah berteman dengan mahluk ini?

Ternyata banyak hal dari orang tua kami yang tidak kami ketahui.
Namun setidaknya roh bapak yang merasuki tubuhku ini berhasil menyelamatkanku dari maut.
Emosi Ki Maesa ombo mulai mereda ia terlihat berjalan mendekat diiringi mantra berbahasa jawa kuno yang diucapkan oleh bapak persis seperti yang diajarkan Mbah Jiwo.
Sebuah ukiran terbentuk di batu hitam itu dan setelahnya Ki Maesa Ombo pergi meninggalanku.

“Ikuti bimbingan kedua orang yang membantumu ini yo nak….” Ucap suara bapak terakhir kali sebelum aku menguasai kembali tubuhku.
Aku tau dengan jelas, yang dimaksud oleh bapak adalah Mbah Jiwo dan Paklek
Melihat aku terjatuh mbah jiwo dan Ismi segera menghampiriku.

“Dimas.. kamu gapapa?” Tanya ismi.
Aku hanya menggeleng, tapi tetap saja luka di punggungku terasa perih.
“Benar-benar sebuah kejutan… bahkan aku sama sekali tidak mengetahui nama makhluk itu” Ucap Mbah bimo yang membantu membopongku.

“Itu tadi bapak yang merasuki tubuhku… sepertinya bapak mengenal baik makhluk ini “Ceritaku pada Mbah Jiwo.
Kami kembali ke dalam rumah, Rumi yang melihatku terluka segera berlari membantuku.

“Bener tadi mas dimas dirasuki roh bapak?” Tanya Rumi yang penasaran.
Aku mengangguk dan menjelaskan setiap kata yang keluar dari mulutku saat dirasuki roh bapak. Rumi terlihat tersenyum mendengarnya.

Sepertinya dibalik wajahnya yang kuat ia juga memendam rindu pada bapak dan ibu.
Ismi dan Rumi membantu mengobati lukaku dengan rempah dan perban pemberian dari Mbah Jiwo. Dari tempat itu samar-samar aku melihat sosok yang mengintip dari jendela rumah.

“Ismi.. itu…?” Tanyaku pada Ismi.
Ismi mengangguk dan mencoba melihat keluar namun makhluk itu melarikan diri dan kembali lagi saat Ismi kembali ke dalam.
“Sudah jangan ngumpet… kesini aja” Ucapku.
Mendengar ucapanku itu hantu bocah itu menampakan wujudnya tepat di depan pintu dengan wajahnya yang pucat dan masih menggenggam kepala yang penuh darah yang dia akui sebagai kepala ibunya.
“Mas.. Mas Dimas sekarang bisa melihat makhluk halus?” Tanya Rumi.

Benar juga, aku baru tersadar… setelah serentetan kejadian tadi ucapan rumi ini yang membuatku tersadar bahwa aku bisa melihat mereka tanpa bantuan korek api itu.
Aku menoleh bermaksud menanyakanya pada mbah Jiwo.

“Aku tidak membuka mata batinmu.. kalau kubuka dengan paksa, ia tidak akan menutup lagi sepenuhnya..

Kemampuan itu muncul karena raga dan sukmamu sudah terbiasa dengan keberadaan mereka..
saat nanti urusanmu sudah selesai kemampuan itu bisa hilang dengan sendirinya..” Jelas mbah Jiwo yang membuatku cukup lega.

Ismi kembali menghampiri setan berwujud anak kecil itu..

“Ono opo le?” (Ada apa dek?) Tanya Ismi dengan ramah namun hantu bocah itu hanya diam saja.
Sepertinya aku mengerti. Aku meninggalkan rumi dan menghampiri hantu bocah itu dengan membawa batu hitam pemberian mbah jiwo.

“Kamu pasti mau ikut kembali ke lembah ya?” Ucapku pada hantu bocah itu.

Makhluk itu tersenyum menunjukan gigi-giginya yang hitam.
Walaupun mulai terbiasa, namun pemandangan ini tetap saja mengerikan.

Aku menoleh pada mbah jiwo , dan ia mengangguk seolah menyetujui keputusanku.

Aku mengarahkan batu hitam itu padanya , namun hantu itu menggeleng.
“Ibuku melu…” (Ibuku ikut) Ucap hantu bocah itu.
Aku mengerti, sepertinya kedua batu hitam yang tersisa harus kugunakan untuk membawa mereka.

Secara bersamaan aku dan ismi membacakan mantra yang diajarkan mbah jiwo.
Bocah itu menyentuh batu yang ada di genggamanku dan setelahnya menyentuhkan kepala ibunya itu ke batu yang dipegang oleh ismi.
Sama seperti sebelumnya sebuah ukiran terbentuk di batu itu. setelahnya mereka segera pergi meninggalkan kami.
“Dimas.. bener gapapa ngajak mereka?” Tanya Ismi.
“Entah kenapa aku merasa yakin.. Bocah itu punya banyak informasi yang kurasa bisa berguna” Jelasku pada Ismi.

“Dan yang lebih penting… sepertinya mereka membutuhkan pertolongan”
Ismi setuju dengan ucapanku dan kami kembali merawat lukaku yang belum selesai diobati.

“Benar.. bukan hanya kekuatan yang kalian butuhkan. Kadang informasi yang tepat bisa menyelamatkan kalian” Ucap mbah jiwo yang duduk terpisah dari kami.
Ia terlihat sedang memandangi sebuah batu hitam yang ia letakan di sebuah meja.

“Rumi.. jangan-jangan itu benda hitam yang dimasukin ke tubuhmu oleh bapak?” Tanyaku pada Rumi.

“I.. iya mas”
Yang membuatku khawatir, dengan kemampuanku sekarang aku melihat batu hitam itu dikelilingi kabut berwarna hitam pekat seolah ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya.

(Bersambung Part 5 - Segoro Ulo (Lautan Ular))
Panjang juga partnya...
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini, 2 part lagi tamat ya...

mohon maaf apabila ada salah kata atau yang menyinggung.

seperti biasa yang mau baca duluan part 5nya atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..
karyakarsa.com/diosetta69/jer…
JERITAN LEMBAH KERAMAT
Jeritan Kelima - Segoro Ulo

Gimana cara Dimas , Rumi , dan Ismi nyelamatin Paklek dari lautan ular...

upload setelah maghrib ya...
@bacahorror
@IDN_Horor
@ceritaht
@bagihorror
@HorrorTweetID
@Penikmathorror

#diosetta #jeritanlembahkeramat Image
Tiga hari… sesuai janji Mbah Jiwo pada Paklek. Hari ini kami telah mempersiapkan seluruh yang kami bisa untuk bisa selamat saat menjemputnya nanti.
Aku menatap tubuhku di cermin tua di rumah milik Mbah Jiwo, hampir tidak ada perubahan secara fisik dari seorang Dimas sang pegawai kantoran. Namun penglihatanku akan makhluk-makhluk halus yang berada di sekitarku memastikan sebuah perubahan terlah terjadi.
“Mas Dimas… sarapan dulu” Panggil Ismi yang mengetuk pintu kamarku.
Aku segera melanjutkan membereskan barang-barangku dan segera menghampiri mereka.
“Selamat pagi…” Ucapku yang segera mengambil posisi duduk lesehan di sampingku Rumi.
“nyenyak tidurnya mas?” Tanya Rumi memastikan.
Selama kami menginap di rumah Mbah Jiwo, kami selalu menghabiskan malam dengan berurusan dengan makhluk ghaib dan belajar sedikit mengenai ilmu batin.
Namun malam terakhir tadi, Mbah Jiwo memerintahkan kami untuk istirahat senyaman mungkin agar kami siap menghadapi hari ini.
Terlihat dari dalam pawon Mbah Jiwo keluar dengan membawa sepiring lauk.
“Ayo dimakan… ini Ismi yang masak” Ucap Mbah Jiwo mempersilahkan kami.
“Saya kaget lho ada orang kota yang masih bisa masak pake kompor kayu” Lanjut Mbah Jiwo yang memuji Ismi.
Memang rumah Mbah Jiwo cukup besar dan terlihat cukup mewah diantara rumah warg desa lainya, namun di beberapa aspek rumah ini masih menggunakan cara tradisional.
Mulai dari kompor kayu bakar, pompa manual untuk sumur, hingga lampu petromax kadang masih digunakan di sini walau sebenarnya listrik juga sudah masuk ke tempat ini.
“Iya Mbah Jiwo , dari kecil sampai besar saya kan juga tinggal di desa…
di rumah mbah saya masaknya juga masih pakai kayu bakar” Balas Ismi sambil mengambilkan Nasi untuk kami berempat.
“Wah senang ya mbah kamu punya cucu pinter masak kayak kamu” Ucap Mbah Jiwo.

Ismi hanya tersenyum mendengar ucapan Mbah Jiwo.
“Iya Ismi.. masakanmu enak lho, masakan calon istri idaman nih..” Ucapku yang mencoba ikut menggodanya. Namun setelahnya kupingku seperti ditarik oleh sesuatu.

“Udah, makan ya makan aja… ga usah pake ngegombalin Ismi” Ucap Adiku Rumi sambil menjewerku.
Suasana pagi itu benar-benar menyenangkan. Sudah lama aku tidak pernah merasakan suasana seperti ini.

Seolah aku kembali ke masa dimana aku ,Rumi,bapak,dan ibu masih berkumpul dan menghabiskan waktu bersama.
“O iya Mbah Jiwo… mbahnya Ismi juga orang sakti lho, dia pernah bantuin Paklek juga dulu” Cerita Rumi di tengah waktu sarapan kami.
“O ya? Siapa namanya? Mungkin saya kenal…” Tanya Mbah Jiwo.
“Mbah Rusman mbah… Bukan orang sesakti seperti Mbah Jiwo dan Paklek, Mbah saya sudah lama memilih tinggal menyendiri di desa kecil di selatan pulau jawa dan membesarkan saya di sana” Cerita Ismi.
Mbah Jiwo terlihat berfikir sejenak seolah dia mengetahui sesuatu tentang cerita itu.

“Ki Rusman Basukarna? Apa itu nama lengkap Mbahmu?” Tanya Mbah Jiwo.

Ismi terlihat cukup kaget begitu mengetahui bahwa Mbah Jiwo mengetahui nama lengkap dari Mbah Rusman.
“Mbah Jiwo kenal Mbah?” Tanya Ismi penasaran.

Bukanya menjawab, Mbah Jiwo meletakan piringnya dan pergi ke belakang.

Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah kotak.
“Kamu tahu benda ini?” Ucap Mbah Jiwo sambil menunjukan sebuah batu sekepalan tangan yang berada di dalam sebuah kotak kayu.

“I ini… apa mungkin ini waturingin, batu dari kayu pohon beringin yang sudah menjadi fosil?” Tanya Ismi.
Mbah Jiwo mengangguk.
“Saya tidak mengenal mbahmu , tapi cerita dari warga desa windualit yang mengantarkan benda ini kepada orang tua saya saja sudah cukup menjelaskan kebaikan dan kehebatan Eyangmu itu..” Cerita Mbah Jiwo.
“Wah Ismi… ternyata Eyangmu juga orang hebat ya! Tapi kok bisa warga desa windualit sampai mampir ke sini?” Tanyaku penasaran.
Dari pertanyaanku Mbah Jiwo menceritakan apa yang ia tau. Ia bercerita mengenai warga desa windualit yang datang bertemu orang tua mbah yang dikenal sebagai ahli pusaka.
Warga itu menceritakan tentang desanya yang dilanda kutukan bernama “Gending Alas Mayit” dan seseorang yang berhasil menghentikanya bernama “Ki Rusman Basukarna” yang ternyata merupakan Eyang dari Ismi .
Warga menitipkan batu itu ke keluarga Mbah Jiwo untuk berjaga-jaga apabila kutukan itu kembali muncul.

“Wah Ismi.. ternyata Eyangmu juga sehebat Paklek..” Ucapku yang kagum dengan cerita Mbah Jiwo.

“Benar kata Dimas… Sampaikan salamku untuk eyangmu ya” Ucap Mbah Jiwo.
Mendengar kata-kata Mbah Jiwo , raut wajah Ismi berubah.
“Terima kasih mbah… Tapi Mbah Rusman sudah ngga ada” Cerita Ismi.
Mbah Jiwo menarik nafas dan mengerti.
“Tapi.. Mbah pergi dengan tenang. Setelah Mas Cahyo menghentikan kutukan Gending Alas Mayit, Mbah bisa hidup tenang…

Belum pernah saya melihat Mbah sedamai itu.

Dan saat kepergianya, benar-benar tidak ada tangis diantara kami… “ Cerita Ismi.
Ismi benar-benar orang yang kuat. Walaupun ia bercerita begitu, tetap saja tidak mungkin ada orang yang tidak sedih saat ditinggal oleh orang terdekatnya.

Mbah Jiwo teresnyum, tidak menyangka perbincangan di sarapan pagi ini bisa sedalam ini.
“Syukurlah kalau begitu… seandainya saya pantas meminta kepada Yang Maha Kuasa, saya juga ingin mengakhiri hidup saya seperti Mbah Rusman.. pergi dengan damai di sisi orang yang menyayanginya” Ucap Mbah Jiwo.
Setelah itu kami tidak melanjutkan perbicangan kami lagi dan lanjut menyelesaikan sarapan kami.

---000---
...

Ini masih pagi, namun pemandangan di hutan perbatasan desa terlihat menyeramkan untuku saat ini.

Sebelumnya aku hanya bisa melihat pohon-pohon dan hewan hutan, Namun kali ini sosok-sosok yang mengerikan terlihat juga olehku di hutan ini.
Mungkin inilah pemandangan yang sama seperti yang Ismi lihat semasa hidupnya.

“Ga usah takut mas.. mereka roh-roh penunggu hutan, anggap saja mereka seperti penduduk desa yang tidak kita kenal” Ucap Ismi yang mencoba menenangkanku.
Kami berangkat pagi berharap agar kami bisa menyelesaikan masalah ini di waktu terang , namun rupanya ketika kami mulai menuruni lembah.. rimbunya dedaunan mulai menutupi cahaya matahari.
“Mbah Jiwo, Arah kita bukan ke sana?” Tiba-tiba Rumi menunjuk ke satu arah yang berbeda dengan jalur yang ditunjukan Mbah Jiwo.
Kami melihat ke arah yang ditunjuk Rumi , namun hanya terlihat batu dan semak belukar disana.
“Ke sana kemana Rumi? Di sana ga ada jalan” Tanyaku.
“Ada… tadi ada ular warna putih yang lewat ke jalan itu “ Jawab Rumi.

Kami mencari dengan mata kepala kami, namun tidak terlihat ular berwarna putih sama sekali.
“Rumi… jangan ikuti apapun yang kamu lihat disini ya. Jangan lupa, kamulah incaran utama mereka.

Tujuan utama kita di sini adalah menyelematkan Bimo terlebih dahulu… untuk apa yang akan kita lakukan setelahnya biar Bimo yang memutuskan”
Ucapan Mbah Jiwo saat itu didengar dengan baik oleh Rumi. Namun Rumi tetap terlihat seolah memperhatikan sesuatu dari beberapa sudut hutan ini.
“Hati-hati… kita ambil jalan memutar saja” Tiba- tiba terdengar suara berbisik. Ini adalah suara hantu bocah yang ikut bersama kami dari rumah Mbah Jiwo.

“Mbah… hantu bocah itu bilang lebih baik kita ambil jalan memutar” Laporku pada Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo terlihat ragu namun, sepertinya tidak ada salahnya mencoba mengikuti saran hantu bocah itu.
Tepat di percabangan jalan menuju tempat Paklek terjebak kami mengambil ke arah persimpangan dengan jalur yang sedikit mendaki.
Sampai di penghujung jalur , kami terhenti oleh serangan sebuah makhluk yang jatuh dari atas pohon.
“Rumi awas!! “ Ucapku yang segera menarik tubuhnya ke dekatku.
Ekor ular yang sangat besar mencoba melilit kami. Kami berusaha menjauh mencoba memperhatikan lebih seksama makhlu yang menyerang kami.

Namun di sisi lain sesosok tubuh tanpa kepala merangkak dengan tanganya menghampiri mencoba meraih Rumi.
“I..itu makhluk apa ?” tanyaku pada Mbah Jiwo.

Wajar saja aku bertanya, dari dalam semak terlihat tubuh wanita tanpa kepala dan tanpa pakaian merangkak hanya dengan tanganya.

Pinggangnya terlihat sangat panjang untuk ukuran mahluk berbentuk manusia.
“Mbuh.. saya belum tahu, tetap hati-hati” Jawab Mbah Jiwo yang bersiap mengeluarkan cambuknya.

Belum sempat merespon tiba-tiba ekor ular sudah muncul dari sisi lain hutan untuk menangkap Rumi, namun dengan sigap Ismi mendorong Rumi untuk menjauh.
Sayangnya ekor ular itu berhasil melilit kaki Ismi dan mencoba menariknya .

“Mbah Jiwo… Ismi!” Ucapku yang segera meminta pertolongan.
Dengan sigap Mbah Jiwo menyabetkan cambuk pusakana ke ekor ular itu hingga melepaskan Ismi. Namun yang cukup aneh, tubuh manusia tanpa kepala itu juga terlihat kesakitan.
Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata ekor ular yang melilt Ismi merupakan bagian tubuh dari makhluk itu.

Dari sudut hutan terlihat samar-samar hantu bocah yang kami bawa dari rumah Mbah Jiwo. Aku segera melihat dan menghampirinya.
“Heh.. kami bohongin kami? Bukanya kamu bilang ambil jalan memutar” Protesku kepadanya.
Namun bocah itu tidak menjawab dan mundur kedalam kegelapan hutan.

Setelah pulih dari serangan Mbah Jiwo , Ular itu mencoba kembali menyerang Rumi.
Kali ini dengan badanya yang tanpa kepala berjalan merangkak diikuti liukan ekor ular yang sangat panjang yang menyatu dengan tubuhnya.

Harusnya Mbah Jiwo segera menyerang makhluk itu , namun entah mengapa ia terlihat ragu.
Sebelum sempat mencelakai Rumi, tiba-tiba hantu bocah itu muncul kembali menghadang makhluk yang merangkak dengan cepat menuju kami.

“Bu… uwis bu… uwis…” (Bu… sudah bu.. sudah) Ucap anak itu dengan wajah yang sedih.

Tunggu? Dia bilang ibu?
Dibanding aku yang bingung, Ismi lebih sigap… ia mendekati bocah itu dan menyalakan korek api tua tepat sebelum makhluk ular bertubuh manusia tanpa kepala itu sampai ke sini.

Cahaya api itu membuat tubuh ular itu menggeliat seperti kesakitan.
“Ismi.. keluarkan batu hitam yang kamu simpan” Perintah Mbah Jiwo.

Saat batu itu dikeluarkan, Hantu bocah itu mengambil kembali kepala seorang wanita yang sudah tidak berbentuk yang selama ini ia panggi ibu dan mendekatkanya ke tubuh makhluk itu.
Seolah merespon tubuhnya , kepala yang dibawa hantu bocah itu terlihat mulai bergerak.

“Min… kowe Imin to?” (min.. kamu Imin kan?) Tiba tiba kepala itu berbicara dengan lemas.
“Nggih Bu.. niki kulo Paimin..” (Iya bu… ini saya, Paimin) Balas hantu bocah itu yang ternyata bernama Paimin.

“Bu.. Imin Nggowo konco-konco sing iso nulungi ibu…” (Bu Imin bawa teman-teman yang bisa nolongin ibu) Ucapnya.
Mendengar ucapan itu kami segera berkumpul di dekat hantu bocah itu. Tanpa bertanya apapun kami sudah mengerti mengenai kejadian ini.

“Jadi Ibumu dipaksa menjadi anak buah penunggu lembah itu?” Tanya Mbah Jiwo.
Hantu bocah itu mengangguk dengan wajah sedihnya. Terlihat tubuh ular yang menyatu dengan ibu Hantu paimin itu masih menggeliat terkena cahaya dari korek api milik Rumi.
“Mbah.. apa yang harus kita lakukan mbah?” Tanya Rumi yang merasa kasihan setelah melihat kejadian ini.
“Untuk membunuh satu makhluk tidak begitu sulit.. tapi saya tidak memiliki ilmu untuk menolong ibu bocah itu” Jawab Mbah Jiwo.
“Kalaupun ada yang bisa menolong .. itu Cuma dia”
Kami mengerti arah perkataan Mbah Jiwo..
seseorang yang memiliki ilmu untuk menenangkan makhluk yang sudah dikutuk tidak lain adalah Paklek.
Hantu bernama Imin itu terlihat sedih, namun kami berjanji setelah menyelamatkan Paklek kami akan meminta Paklek untuk menenangkan roh Ibunya.
Sebuah mantra diucapkan oleh Mbah Jiwo sama seperti saat kami mengajak Roh dari rumah Mbah Jiwo untuk mendiami batu hitam.

Seketika kepala ibu hantu bocah itu menghilang , namun berbeda dari sebelumnya..
kali ini tubuhnya yang menjadi satu dengan ular juga menghilang terikat dengan batu itu.

Kejadian itu menyisakan sesuatu di hati kami. Entah apa yang terjadi desa asal ibu kami hingga penderitaan tetap dialami oleh penduduknya bahkan setelah mereka mati.
“Jadi maksudmu meminta kami untuk memutar karna Ibumu ini ya? Kenapa ga langsung bilang aja?” Tanyaku pada Imin yang sekarang berjalan memandu kami,namun ia menggelengkan kepalanya.
“Yang menjaga di sisi satunya bukan roh manusia…” Jawabnya sambil terus berjalan ke depan tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Aku menoleh ke arah Mbah Jiwo, jawaban polos bocah itu ternyata juga membuatnya resah. Seolah cepat atau lambat kami harus menghadapi makhluk itu.
Setelah bejalan cukup lama, akhirnya sebuah pemandangan mengerikan muncul di hadapan kami. Sebenarnya persis seperti yang diceritakan Mbah Jiwo, namun saat melihat secara langsung ini jauh lebih mengerikan.
Di tengah-tengah hutan terlihat ratusan ular mengelilingi seseorang yang sedang duduk bermeditasi tanpa bergerak sedikitpun. Beberapa ular berukuran besar juga terlihat mengawasi dari jauh.
“Mas Dimas.. itu Paklek” Ucap Rumi yang menyadari sosok pria yang dikelillingi ular dengan tubuh yang tidak terurus.
Aku mengangguk, sambil menggenggam batu hitam yang kubawa aku bersiap menuju ke tempat Paklek berada.
“Mbah Jiwo.. berikan saya perintah, apa yang harus saya lakukan untuk menolong Paklek” Ucapku pada Mbah Jiwo berusaha untuk tidak bertindak gegabah.
“Bukan kamu… tapi Rumi yang bisa ke sana” Ucap Mbah Jiwo.
Aku menoleh pada Mbah Jiwo.
“Maksudnya Rumi ya harus ke sana?” Tanyaku.
Mbah Jiwo mengangguk.
“Ular itu akan menyerang siapapun yang mendekat. namun karena makhluk itu mengincar Rumi, ular-ular itu tidak akan menyentuh Rumi bila Rumi tidak menyerangnya.” Jelas Mbah Jiwo.
Aku mengerti walaupun sebenarnya akusetengah tidak setuju membiarkan Rumi ke sana, tapi sepertinya Rumipun terlihat sudah mempersiapkan nyalinya untuk hal ini.
“Rumi.. tugasmu hanya mengembalikan Keris Sukmageni pada Bimo. Setelahnya Ia akan mengurus sisanya” Jelas Mbah Jiwo.
“Dimas… kita berjaga jangan sampai ada satupun makhluk yang mendekat ke Rumi” Perintah Mbah Jiwo.
Seperti ucapanya, aku dan Ismipun sudah menyadari keberadaan makhluk lain yang bersiap menghalangi niat kami.
“Rumi.. bawa ini, pastikan korek ini terus menyala sampai kamu kembali” Ucap Ismi yang menyerahkan korek api pusakanya kepada Rumi.
Rumi yang mengerti segera berjalan perlahan ke dalam lautan ular di hadapanya.
Selangkah demi selangkah ia mendekat dengan diterangi cahaya korek pemberian Ismi. Rumi memilih langkahnya dengan hati-hati sebisa mungkin tidak menginjak ular yang ada di kakinya walaupun sebagian dari ular itu sudah bermain dengan melilitkan tubuhnya di kaki Rumi.
Di satu sisi Mbah Jiwo dikagetkan dengan keberadaan pocong dan mayat hidup yang merayap menghampirinya.
“Tolong…tolong kami…” Ucap makhluk itu.
Terlihat setiap makhluk itu terlilit ular berwarna hitam yang keluar masuk dari rongga-rongga matanya. Mbah Jiwo mencoba membacakan beberapa mantra.. namun sepertinya tidak berhasil. Di sisi lain aku mengingat-ingat doa yang diajarkan oleh Paklek dan segera membacakanya.
Makhluk itu terlihat mulai tenang dan berhenti, namun ular yang melilit mereka seperti mengamuk menyambut sesuatu.
Perlahan pocong dan mayat hidup itu tertarik kembali ke dalam semak oleh lilitan ular yang lebih besar.
“Bagus… kalian membawanya Kemari..”
Tiba-tiba terdengar suara wanita dari dalam kegelapan. Dari sana perlahan muncul seorang wanita cantik berpakaian keraton namun dengan sekumpulan ular yang melilit di tubuhnya.
“Dimas , Ismi.. perhatikan Rumi .. biar aku menahan makhluk ini hingga Bimo selamat” Perintah Mbah Jiwo.
Aku tau dengan jelas betapa berbahayanya makhluk itu, bisa jadi dialah yang menyebabkan semua bencana di tempat ini namun keadaan Rumi sama bahayanya.
Kali ini makhluk hitam berukuran tinggi dua kali tubuh manusia biasa melompat dari pohon dan bersiap menyerang Rumi yang hampir mencapai Paklek. Aku sudah bersiap menggenggam batu hitamku berusaha memanggil makhluk yang kubawa dari rumah Mbah Jiwo.
“Tunggu dulu mas…” Tiba-tiba Ismi menghalangi.
Entah apa maksudnya, namun aku tetap merasa cemas oleh makhluk yang menyerang Rumi.
Sebuah Cakaran melesat kedalam lingkaran cahaya yang mengelilingi Rumi. Rumi yang tidak siap berusaha melidungi dirinya seadanya.
Namun ketika memasuki cahaya itu lengan makhluk hitam yang menyerang Rumi berubah jadi lengan manusia.
“Tunggu… itu apa Ismi?” Tanyaku.
“Mbah Jiwo pernah cerita.. beliau dan Paklek pernah melawan makhluk seperti ini.
Ternyata mereka adalah manusia pencari ilmu yang disesatkan oleh setan wanita itu” Jelas Ismi.

Aku berusaha mengeri penjelasan Ismi, namun setan yang mulai kembali menjadi manusia itu membuat Rumi menjatuhkan koreknya hingga ia perlahan kembali berubah kewujud setanya.
Sepertinya Rumi membuat keputusan, ia mengambil koreknya yang terjatuh dan berlari menuju Paklek sekuat tenaga tanpa mempedulikan ular yang ia injak hingga refleks menggigitnya.

“Rumi Jangan nekad!” Teriaku.
“Ga bisa mas… kalau makhluk itu bangkit lagi kita dalam masalah” Balas Rumi yang masih berlari dengan luka di kakinya yang semakin banyak.
Benar ucapan rumi.. makhluk tadi mulai kembali ke wujud setan sepenuhnya. Aku mencoba membacakan doa-doa untuk menahanya setidaknya bisa memberi waktu untuk Rumi. Namun wajah Rumi terlihat menghitam. Sepertinya Racun ular-itu mulai mempengaruhinya.

“Rumi !!” Teriaku.
Beberapa langkah lagi Rumi mencapai Paklek. Namun racun dari ular yang menyerangnya sudah menjalar ke seluruh tubuh hingga membuatnya sulit bergerak.
Tangan Rumi mengambil keris sukmageni di pinggangnya. Tatapan matanya yang kosong terlihat seperti perjuangan terakhirnya , ia mengacungkan keris itu ke arah seorang pria yang masih menjaga posisi meditasinya tak jauh dari tempatnya berada sekarang.
Aku hampir tak mampu menahan air mataku. Namun sesuatu yang kami tunggu-tunggu ternyata terjadi.
Mata Paklek terbuka. Dengan segera ia merebut keris ragasukma dari tangan Rumi dan menggoreskan bilah putih dari keris ragasukma ke tanganya.
Beberapa tetes darah yang membasahi bilah keris itu berubah menjadi api berwarna putih. Paklek meneteskan api itu pada Rumi dan dirinya. Dengan segera ia menggendong Rumi melewati lautan ular di sekitarnya.
Pemandangan mengerikan terjadi, Paklek berlari dengan ratusan ular yang menyerangnya dan Rumi yang hampir kehilangan kesadaran.
Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh ular yang menggigitnya berulang kali. Namun sesuatu yang membuatku takjub juga terjadi.
Dari luka yang ditimbulkan oleh ular itu perlahan muncul api dengan warna yang sama dari keris itu dan menutup luka mereka hingga kembali pulih.
Tanpa butuh waktu lama Paklek segera mencapai tempat kami berada.
Aku cukup lega , namun saat aku menoleh ke arah Mbah Jiwo rasa itu mendadak menghilang.
Saat ini tubuh Mbah Jiwo tergantung di ketinggian dengan lilitan ular yang melawanya.
“Mbah Jiwo!!!”
Aku bersiap menghampiri Mbah Jiwo, namun Paklek menghadangku dan menyerahkan Rumi yang mulai kembali sadar kepadaku.
“Jaga adikmu!” ucap Paklek yang segera melesat ke arah Mbah Jiwo dengan keris digenggamanya.
Kali ini Paklek menerjang dengan bilah hitam keris sukmageni yang ia genggam. Dengan sigap Ekor Ular yang melilit Mbah Jiwo terpotong dengan mudah , tak hanya itu.. api hitam muncul dari bilah hitam keris sukmageni milik Paklek seolah mengenali darah makhluk yang diserangnya.
“Terima kasih Bimo…” Ucap Mbah Jiwo yang berhasil selamat dari makhluk itu.
“Jangan berterima kasih, serangan itu adalah hasil keringat dan darahmu yang mengembalikan kesaktian keris ini..
bahkan membuatnya hingga sekuat ini” Ucap Paklek tanpa memalingkan padanganya dari wanita cantik yang dikelilingi ular itu.
Seolah marah dengan serangan Paklek , makhluk itu terlihat memanggil seluruh makhluk yang menjadi pengikutnya. tak lama setelahnya ular-ular besar , makhluk hitam setinggi dua kali tubuh manusia, hingga siluman ular berbadan manusia sudah berada di sekitar kami.
Kami sudah bersiap dengan apapun yang terjadi. Namun Wanita itu berjalan menghampiri kami sebelum memerintahkan pengikutnya.
“Rumi… kenapa kamu ada di sana? Seharusnya kamu ada di sini..” Ucap makhluk itu.
Aku tidak mengerti apa maksudnya dan tetap menggengam erat tangan adiku.
“Kamu tahu untuk apa leluhurmu melakukan perjanjian denganku hingga mengorbankan keturunan-keturunanya..?” ucap makhluk itu.
“Rumi… Dimas… jangan dengarkan ucapan makhluk ini!” Teriak Paklek yang berusaha menjaga kami.
“Leluhur kalian, buyut kalian memohon kekuatan yang sangat besar kepadaku dengan menumbalkan enam kepala wanita perawan untuk melindungi desa dari santet yang dikirim oleh seorang dukun” makhluk itu melanjutkan ceritanya.
“Dan dukun yang berbuat keji membantai warga desa leluhur kalian itu adalah leluhur seseorang yang berpura-pura baik dengan kalian…”
Makhluk itu menoleh ke arah Mbah Jiwo..
Tunggu, maksudnya… semua bencana ini terjadi karena Leluhur Mbah Jiwo membantai desa leluhur kami dengan santet?
“Dimas.. Rumi, jangan dengarkan ucapan setan itu.. semua itu hanya untuk mempengaruhi kalian” Teriak Paklek yang khawatir dengan kami.
“Mbah Jiwo! Apa itu benar!!” Teriaku pada Mbah Jiwo.
Terlihat Mbah Jiwo tidak membela diri, iya mengangguk dan menundukan kepalanya.
“hahahaha…. Dimas.. Rumi, kemarilah… biar kubantu kalian membalaskan dendam kalian pada cucu dukun biadab itu!” Ucap makhluk itu dengan tertawa.
Aku mencoba mendekat ke arah Mbah Jiwo, namun Ismi segera berlari dan menghalangi kami mendekat ke Mbah Jiwo.
“Minggir Ismi! “ Teriaku pada Ismi yang mencoba menghalangiku dan Rumi.

“Dimas.. Rumi… aku tidak peduli apa yang terjadi padaku setelah ini. Namun jangan biarkan adikmu jatuh ke tangan makhluk ini.” Ucap Mbah Jiwo tiba-tiba
“Setelah kepergianku, tidak ada lagi keluarga atau keturunanku yang tersisa.. itu artinya tidak ada lagi dendam leluhur kalian yang harus dibalaskan dan kalian bisa hidup dengan tenang”
Ismi mencoba menahan tangisnya, ia tidak pernah tahu masalahnya akan menjadi sepelik ini.

Aku menggenggam tangan Rumi dengan dan mendekat ke Mbah Jiwo , begitu juga dengan Ismi yang mencoba menghalangiku.

“Apa maksud Mbah Jiwo? Tidak ada keluarga yang tersisa?
Lalu kami siapa? “ Ucapku yang segera berdiri di samping Mbah Jiwo bersama dengan Ismi dan Rumi.

“Iya Mbah.. Rumi ga peduli sama cerita makhluk itu , yang Rumi tahu Mbah Jiwo baik sama Rumi sama Mas Dimas..
Mbah udah kayak mbah Rumi sendiri… “ kali ini Rumi yang mencoba menyampaikan perasaanya ke Mbah Jiwo.
Kali ini air mata di wajah Ismi benar-benar tumpah. Sepertinya ia tidak menyangka reaksiku dan Rumi.
“Mbah Jiwo.. Ismi juga udah ga punya siapa-siapa. Walaupun tiga hari ini ada karena bencana ini, Ismi ngerasa punya keluarga lagi..” Ucapnya sambil menutup matanya untuk menyembunyikan air matanya.

Dengan sigap Rumi memeluk bahu Ismi dan mencoba menghiburnya.
“Hahahaha….” Tiba-tiba Paklek tertawa.
“Ternyata Mbah Jiwo juga bisa mendidik anak dengan baik”

Aku tersenyum melihat tingkah Paklek yang santai seolah tidak mengingat bahwa dirinya baru saja bebas dari lautan ular itu.
Karena.. tidak hanya Mbah Jiwo , ketulusan Paklek yang setengah mati membantu kami sejak di kampung srawen membuat kami tidak punya alasan apapun untuk menyimpan dendam apalagi menyakiti orang lain.
Akhirnya Paklek maju mendahului kami menghadapi setan wanita itu, aku segera menyusul dengan genggaman tanganku yang sudah dihiasi kabut berwarna hitam
“Dendam hanya akan menciptakan dendam yang lain… satu-satunya cara menyelesaikanya hanyalah dengan mengakhiri urusan kami dengan makhluk laknat seperti kalian!”
Ucapku sembari membacakan mantra berbahasa jawa kuno yang diajarkan Mbah Jiwo hingga sesosok makhluk besar bertubuh hitam berwajah kerbau muncul tepat di hadapan kami.
“Ki Maesa Ombo….”

(Bersambung Part Terakhir)
Panjang juga partnya, setengah jam cuma buat pindahin dari word ke twitter 😆

terima kasih sudah baca part ini sampai akhir dan bantu retweet.

mohon maaf apabila ada salah kata,typo, atau bagian cerita yang menyinggung.
semoga dapat menghibur.
seperti biasa apabila mau membaca duluan part terakhirnya atau sekedar traktir / mendukung penulis bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..

ini linknya :
terima kasih sebelumnya.
karyakarsa.com/diosetta69/jer…
JERITAN LEMBAH KERAMAT
Part 6 - Dewi Ginidarna
Part 7 (Tamat) - Bali Mulih (Kembali Pulang)

Dua part jadiin satu aja ya tar malem.. biar cepet lunas ,bisa break lagi 🤣

Bantu Retweet yak, nanti habis maghrib di up

@bacahorror
@bagihorror
@IDN_Horor
@qwertyping

#diosetta Image
Part 6 - Dewi Ginidarna Image
“Le… ojo dolan ning alas adoh adoh , mengko diparani demit kebo ireng” (Nak… jangan main di hutan jauh-jauh , nanti didatangi setan kerbau hitam) Ucap ibu yang memperingatkanku setiap akan bermain di hutan.
“Nggih bu… “ Balasku yang segera berlari masuk jauh ke dalam hutan menuju sebuah tempat pemandian kuno yang mendapatkan aliran air dari mata air di atas bukit tanpa menghiraukan perkataan ibu.
Benar kata ibu , semakin dalam aku masuk ke dalam hutan sesosok makhluk berkepala kerbau berkulit hitam dengan cakar besar yang menggantung di lenganya yang panjang muncul dari dalam kegelapan hutan.
“enek sing masuk seko etan desa… “ (ada yang masuk dari timur desa) Ucapku memberi informasi pada makluk itu.
Seolah mengerti maksukdu, makhluk berwajah kerbau itu berlari menuju arah yang kutunjukkan hingga kami berhasil menemukan posisi beberapa orang yang masuk ke hutan ini dari arah timur desa.
Dari jarak yang tak terlihat makhluk berkepala kerbau itu meraung dengan keras hingga membuat orang-orang itu ketakutan.
Tak mau kalah , saat mereka mencapai pohon tempatku menunggu , aku melemparkan beberapa ular sawah yang sudah kukumpulkan dan kusimpan di tas kain lusuhku tepat ke atas tubuh mereka.
“Pergi…” Ucapku dengan berusaha membuat sauaraku terlihat berat dengan selongsong bambu yang kupasang di depan mulutku.
Dengan kekuatanya yang besar, makhluk berwajah kerbau itu memukul tanah berkali-kali seolah memperdengarkan suara langkah kaki raksasa yang mengejar orang-orang itu.
Cukup dengan cara ini, biasanya mereka yang datang ke tengah hutan ini untuk mencari ilmu atau pesugihan akan mengurunkan niatnya dan meninggalkan hutan ini. Jika mereka kembalipun aku sudah siap untuk mengusirnya lagi.
Entah dari mana tersebar kabar mengenai keajaiban dari pemandian di lembah ini. konon mereka yang mandi di tempat ini dengan membawa persembahan berupa ayam cemani dan beberapa syarat, keinginanya akan terkabul.
Namun aku tahu, walaupun keinginan mereka terkabul, mereka yang telah melakukan ritual itu akan menjadi akan menjadi pengikut ratu ular yang sering kita dengar di berbagai cerita-cerita.
Beberapa cerita yang tersebar, mereka pelaku pesugihan itu akan kembali ke tempat ini dalam wujud ular hingga demit bertubuh hitam.
Aku tak mau hal itu terjadi sehingga dulu aku seorang diri menggunakan beberapa trik nakalku aku mengusir siapapun yang mencoba mendekat ke pemandian.
Sampai suatu ketika di tengah kejahilanku , makhluk berwajah kerbau ini datang seolah menunjukan niat untuk membantuku untuk menjalankan misi ini hingga saat ini.
Sekarang dia adalah temanku. Penunggu sebenarnya lembah keramat , sang penjaga hutan di lembah ini..
Ki Maesa Ombo…

---000---
Seumur hidupku aku tidak pernah menyangka akan melihat pemandangan semengerikan ini. Berbagai wujud siluman ular dan makhluk jadi-jadian mengepung kami berlima di tengah gelapnya hutan yang merupakan sarang mereka.
“Kalian semua… jangan pernah berhenti membaca Doa kepada Yang Maha Kuasa, hanya dengan kekuataNyalah kita bisa selamat dari situasi ini..” Perintah Paklek pada kami.

Kami mengerti , kami butuh keajaiban untuk selamat dari tempat ini.
Saat bujuk rayu siluman wanita yang memimpin siluman ular itu sudah tidak berguna untuk kami, dengan segera ia memerintahkan seluruh pengikutnya untuk menyerang kami.

Berbagai macam ular jatuh dari atas pohon dengan berbagai ukuran.
Mbah Jiwo memutarkan cambuknya menghindarkan kami dari serangan ular-ular itu. Namun dari belakang siluman itu muncul makhluk-makhluk hitam besar bermata merah menyerang kami.

Untungnya Ki Maesa Ombo segera menyambut mereka dengan pukulan yang menghancurkan tanah di sekitarnya.
Paklek yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan segera menerjang siluman wanita itu dengan menghujamkan bilah hitam keris ke tubuhnya.

Beberapakali Paklek menyerang namun seperti menyerang hembusan angin. Tidak ada satupun serangan Paklek yang mengenainya.
Aku mengajak Rumi dan Ismi membacakan doa yang diajarkan oleh Paklek untuk menahan gerakan siluman-siluman di sekitar kami sementara Paklek , Mbah Jiwo , dan Ki Maesa Ombo menahan serangan-serangan yang datang kepada kami.
Tenyata usaha kami berhasil… doa yang kami bacakan mampu menahan siluman wanita cantik yang bertarung melawan Paklek hingga menunjukan wujud aslinya.

Kulitnya yang putih kini sebagian berubah menjadi sisik ular dengan mata dan lidah yang benar-benar mirip seperti ular.
Dengan sigap Paklek menyerang lagi tubuh siluman itu, namun tanpa disangka siluman itu mencabut sebuah keris dan menahan serangan Paklek hingga menimbulkan pecahan energi yang membuat Paklek terpental.

“Bukan kamu saja yang memiliki keris pusaka…”Ucap Siluman itu.
Paklek tidak mempedulikan ucapan sluman itu dan kembali menyerang, namun tetap saja Paklek terpental setiap kedua keris itu beradu.

“Hahaha.. pusaka ini akan mementakan semua serangan yang menyentuhnya, hebat bukan?” Ucap makhluk itu.
“Keris ini kurebut dari seorang dukun yang ku bunuh atas perintaan leluhur kedua bocah ini”

Mendengar ucapan siluman itu, aku menoleh ke arah Mbah Jiwo yang sepertinya tidak mempedulikan ucapan makhluk itu.
“Tak usah pedulikan… makhluk itu hanya ingin mempengaruhi kita” Ucap Mbah Jiwo yang masih sibuk dengan ular ular yang menghampiri kami.
“Benar Dimas… Jangan pernah mendengarkan ucapan dari siluman sesat seperti mereka, tapi yang membuat saya heran.. bagaimana Siluman bisa menggunakan pusaka yang dibuat oleh manusia?” Ucap Paklek yang masih mencari cara menangani pusaka siluman itu.
“Siluman tidak bisa menggunakan pusaka yang dibuat untuk manusia… kecuali kulit pemiliknya sendiri yang melapisi peganganya.. hahaha” Ucap makhluk itu sambil menunjukan kulit manusia yang membungkus gagang keris pusaka itu.
“Mas.. Maksud siluman itu , Dia menguliti pemilik pusaka itu untuk bisa menggunakan pusaka itu?” Tanya Rumi.
“Sepertinya begitu.. “ Aku menjawab sekenaku karena aku memang benar-benar tidak mengerti apapun mengenai pusaka. Namun lain dengan Mbah Jiwo, ia segera menyingkirkan ular yang mendekat dan menghampiri Paklek.
“Mbah Jiwo… Jangan terpancing, makhluk itu sengaja memancing emosimu” Ucap Paklek.
Namun Mbah Jiwo tidak membalas dan tetap berjalan ke samping Paklek.
“Sudahlah, aku tidak peduli dengan urusan leluhurku… aku hanya ingin memastikan seharusnyanya bilah hitam keris sukmageni sudah pernah menyentuh darah siluman itu kan? “ Tanya Mbah Jiwo.
Paklek mengangguk, terlihat ia mengingat api hitam yang muncul setelah Paklek memotong salah satu ekor siluman ular itu yang menjerat Mbah Jiwo.
“Kalau begitu, Ingat mantra ini baik-baik…”
Mbah Jiwo mendekat dan menatap bagian ekor siluman ular yang terpotong oleh keris Paklek dan membacakan sebuah mantra.
“Geni sukmo ngobong jiwo.. urupke karma geni kagem getih duroko…”
Sontak setelah mantra itu dibacakan, Siluman wanita itu menggelinjang seperti kesakitan.
“Panas!!!! Panasss!” siluman itu berteriak hingga suaranya terdengar ke seluruh hutan.

Darah yang terlihat menetes dari bagian tubuhnya yang terpotong berubah menjadi api hitam seperti yang sebelumnya menyala di keris Paklek.
“Bajingan kalian!!! Habisi mereka tanpa sisa!” Perintah makhluk itu pada seluruh pengikutnya.

Dengan segera seluruh makhluk di sekitar kami mengerubuti kami dan meyerang tanpa ampun , Paklek, Mbah Jiwo, dan Ki Maesa Ombo menahan dengan sekuat tenaga.
“Kesini… cepetan..” tiba-tiba roh bocah bernama imin itu memanggil kami dan menunjuk ke sebuah lubang hitam di bawah di sebuah tanah tak jauh dari tempat kami berada.
Kami segera mengerti dengan yang ia maksud. Aku memberi isyarat pada Ki Maesa Ombo hingga ia menimbulkan serangan yang membuat seluruh tanah di sekitar kami begetar.
Tak melewatkan kesempatan, kami berlari menuju lubang yang ditunjukan oleh hantu bocah itu dan Paklek terlihat seperti membacakan mantra untuk menghilangkan keberadaan kami.
Walau kecil, lubang ini ternyata cukup panjang. Cukup sulit bernafas di lubang ini namun masih lebih baik daripada harus berhadapan dengan makhluk-mahluk itu.
beberapa kali hantu bocah itu menembus tanah dan menengok ke atas memastikan apakah posisi kami sudah aman hingga akhirnya kami tiba di jujung lubang ini yang tertutup oleh semak yang cukup lebat.

“Aman.. ayo cepetan” Ucap Hantu bocah yang menuntun kami.
Ternyata benar ucapanya, tempat kami keluar terlihat aman. Tidak ada satupun ular yang berada di tempat ini.

“Ayo… Cepat, tempat ini masih wilayah kekuasaan makhluk itu..” Jelasnya lagi.

Kami segera keluar dari lubang dan tiba di sebuah hutan yang dipenuhi semak.
“Hebat kamu Imin… kamu nyelamatin nyawa kami” Pujiku pada hantu bocah itu.

Ia tersenyum, namun sepertinya ia juga sadar masalah kami belum selesai.
“Jangan senang dulu.. masih banyak makhluk yang lebih seram , lebih baik persiapkan diri dulu sebelum lanjut ke pemandian” Jelas Bocah itu lagi.

Kami mengerti, dengan segera kami mengeluarkan botol air minuman yang kami bawa dan sedikit melepas lelah selama pertarungan tadi.
“Mbah Jiwo… Kekuatan bilah hitam keris ini begitu mengerikan, entah bagaimana bila kekuatan ini ada di tangan yang salah” Ucap Paklek yang masih takjub dengan kekuatan keris sukmageni yang telah diperkuat oleh Mbah Jiwo.
“Kamu benar Bimo… begitu banyak pendekar yang meminta pusaka dengan kemampuan itu, namun saya tau resikonya dan tidak pernah memberikanya kepada siapapun” Jawab Mbah Jiwo.

Paklek masih takjub dengan keris sukmageni yang ia pegang saat ini.
“Lalu , Mengapa Mbah Jiwo memberikan kekuatan ini pada Keris Sukmageni miliku ini?” Tanya Paklek lagi.

“Ada banyak alasan, yang pertama karena saya percaya kekuatan ini dipegang oleh orang yang tepat sehingga tidak akan digunakan untuk hal yang salah.
Dan yang kedua kekuatan api putih keris sukmageni memiliki kemampuan penyembuh yang bisa menetralkan Api hitam itu sehingga kekuatanya dapat dikendalikan..” Jelas Mbah Jiwo.

Paklek mengangguk dan akhirnya mengerti maksud Mbah Jiwo.
“Terima kasih mbah, akan saya gunakan kekuatan ini dengan bijak…” Ucap Paklek yang merasa terhormat mendapatkan kekuatan yang dipercayakan oleh Mbah Jiwo.
Setelahnya Mbah Jiwo meminta Ismi mengeluarkan batu hitam yang ia genggam dan membacakan mantra yang sebelumnya yang telah ia ajarkan.

Seketika muncul makhluk mengerikan di tengah-tengah kami. Siluman ular besar dengan badan manusia yang terpisah dari kepalanya.
“Bimo… apa kamu bisa membantu makhluk ini, dia adalah ibu dari hantu bocah ini yang menjadi bawahan dari makhluk itu” Ucap Mbah Jiwo.

“Iya Paklek… tolong bantu Ibunya imin, Dia sudah banyak membantu kita” Tambahku.
Paklek terlihat tersenyum, dengan segera ia membacakan beberapa mantra dan memutarkan pergelangan tanganya beberapa kali hingga muncul kobaran api putih yang menyelimuti tanganya.
Dengan sekali sentuhan tubuh dan kepala makhluk itu terbakar oleh api putih yang keluar dari tangan Paklek. Api itu menjadi semakin besar, terlihat tubuh ular dari makhluk itu menggelinjang seperti kesakitan.
“Mas… ibu, ibu kenapa?” tanya Imin yang khawatir melihat ibunya merasa kesakitan.

“Kamu tenang dulu…percayakan sama Paklek” ucapku yang segera mendampingi Imin disebelahnya.
Setelah terbakar cukup lama bagian tubuh yang berbentuk ular terbakar habis menyisakan tubuh seorang perempuan yang kembali menyatu dengan kepalanya.

“Ibuuuuk!” Teriak Imin yang tiba-tiba merasa senang melihat sosok yang sudah lama sekali tidak pernah dilihatnya.
“Paimin… kamu nungguin ibu?” Tanya roh perempuan itu.
“Iya Buk… Paimin mau ketemu ibu, meluk ibu” Ucapnya sambil tak henti-hentinya memeluk roh wanita itu. Wajah bocah yang sebelumnya mengerikan dan terlihat nakal itu kini berubah menjadi manja seperti anak kecil yang polos.
“Ya sudah… ibu sudah tenang, api tadi sudah membakar semua penyesalan Ibu.. cepet nyusul ibu ya” Ucap wanita itu dengan sosoknya yang perlahan menghilang.
“Kamu… Imin ya? Sini pegang tangan Paklek… kamu bisa ikut ibumu” Ucap Paklek yang menjulurkan telapak tanganya yang masih diselimuti api putih.
Sayangnya bukan meraih tangan itu, Hantu imin mundur dan kembali ke ibunya yang mulai menghilang.
“Ibuk.. Imin di sini dulu ya, Imin mau bantuin Masnya Imin dulu… Imin pasti nyusul”
Tu.. tunggu, maksudnya imin masih ingin membantu kami? Benar-benar ucapan yang sama sekali tidak kami duga.
Seketika setelah ucapan itu , Ibu Hantu bocah itu menghilang dengan wajah yang tersenyum.
“Imin.. Jaga Mas sama mbakmu itu ya, jangan nakal… kalau sudah cepet susul Ibu”
Ucapan hantu itu benar-benar mengingatkanku pada sosok ibu yang selalu membuatku Rindu. Aku sama sekali tidak menyangka akan melihat kejadian ini dari wujud yang tak bisa kulihat sebelumnya.
….
Hari berjalan begitu cepat, aku menoleh pada jam tanganku dan menunjukan bahwa hari sudah mulai malam, walaupun sebenarnya di hutan ini sulit membedakan siang dan malam dengan minimnya cahaya yang masuk.
Kami segera melanjutkan perjalanan ke kampung ibu tepatnya sisa sisa kampung ibu yang terletak di lembah ini.
Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya kami mencapai sebuah tempat dimana terdapat bangunan-bangunan tua yang sudah rusak.
“Ini Rumi.. ini kampung ibu, bapak juga tinggal disini sejak kecil sejak pindah dari kampung Srawen.” Jelasku pada Rumi yang mungkin tidak mengingat tempat ini.
Mungkin Rumi tidak melihatnya. Namun aku yang sekarang, Ismi, Paklek dan Mbah Bimo pasti menyadari keberadaan sosol pocong dan mayat yang bergelimpangan dan merintih di seluruh sudut tempat ini.
“Mas… ini suara apa?” Cap Rumi yang merasa gelisah dengan suara yang didengarnya. Rupanya walaupun tidak dapat dilihat, suara makhluk ini masih bisa didengar oleh Rumi.
Ismi maju dan memperhatikan sosok makhluk makhluk itu.
“Ini suara roh warga desa yang menjadi korban siluman itu” Jelas Ismi pada Rumi.
“Maksudnya? Seperti yang di desa Srawen?” Tanya Rumi.
Aku mengangguk, walaupun sebenarnya aku tidak tahu dengan jelas.
“Bukan.. “ Jawab Paklek tiba-tiba.
“Roh Warga desa srawen tidak terikat dengan Topo Ulo.. mereka korban santet yang di rapalkan olehnya. Sedangkan warga desa ini terikat perjanjian dengan makhluk itu, sehingga mereka tidak bisa ditenangkan hingga makhluk itu binasa.. atau….”
“Atau apa Paklek?” Tanyaku yang penasaran dengan ucapan Paklek yang terputus.
Tiupan angin dingin seketika meniup pepohonan yang berada di desa mati itu dan memunculkan sosok yang kami kenal.

“Atau Tumbal yang dijanjikan segera digenapi….”
Suara itu terdengar dari demit berwujud wanita cantik yang kini menunjukan wujud aslinya memiliki banyak ekor ular di kakinya dan dua buahkepala ular yang muncul dari kedua bahunya

“Mereka baru bisa tenang ketika kamu sudah bergabung dengan kami Rumi…” Ucap makhluk itu lagi.
Ismi terlihat jatuh terduduk mendengar kenyataan ini, keselamatan dirinya ternyata mengorbankan seluruh warga desa asal ibunya. Aku menoleh pada Paklek mempertanyakan kebenaran hal itu.
“Jangan dengarkan ucapan makhluk itu.. pasti ada cara untuk menenangan mereka” Ucap Paklek.
“Seharusnya kalian tidak ikut campur… Aku Dewi Ginidarna Penguasa lembah ini. kupastikan kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini” Ucapnya diikuti kemunculan pengikutnya di sekitarnya.
Aku kembali menggenggam batu hitam dan membaca mantra untuk memanggil Ki Maesa Ombo.
Seketika Makhluk berwajah kerbau itu muncul dan memperhatikan seluruh desa yang telah dikelilingi oleh pengikut Dewi Ginidarna itu. Namun bukanya bersiap melawan, Ki Maesa Ombo malah melompat menuju hutan di belakang desa dan meninggalkan kami.
“Tu.. tunggy Ki Maesa…” Aku mencoba menahanya namun sepertinya suaraku sudah tidak terdengar olehnya.
“Itu arah pemandian mas… “ ucap roh Imin yang tiba-tiba muncul memberitahuku.
Paklek terlihat seperti mengerti sesuatu.
“Dimas… Kamu ikuti Ki Maesa Ombo, biar kami yang mencoba menahan mereka semua di sini.” Perintah Paklek.
Aku mengerti dan bergegas mengikuti Ki maesa bersama Roh Imin.
“Mas.. Rumi Ikut!” ucap Rumi yang mau menyusulku, Namun aku berusaha menghentikanya. Untuk saat ini yang bisa melindunginya hanya Paklek dan Mbah Jiwo.
“Biar aku saja yang menemani Dimas.. Kamu tetap bersama Mbah Jiwo dan Paklek” Perinta Ismi pada Rumi dan segera menyusulku.
Kami berlari secepat mungkin mengikuti Roh Imin yang berlari di depan kami.
Terlihat beberapa makhluk berwujud ular dan siluman hitam tergeletak tak berdaya di jalur yang kami lewati. Sepertinya ini adalah ulah Ki Maesa Ombo.
“Itu… itu pemandianya!” Ucap imin menunjuk ke sebuah tempat.
Terlihat dari jauh Ki Maesa Ombo mengamuk sekuat tenaga menghancurkan setiap batu-batu yang berdiri menampung aliran air yang mengalir dari celah bebatuan.
Melihat tingkah lakunya aku mengerti sesuatu, ia mencoba menghancurkan pemandian dan mengeringan air yang ada di tempat itu.
Sementara Ki Maesa Ombo menghancurkan pemandian itu , aku dan Ismi berusaha menutup aliran air yang selama ini memenuhi pemandian itu dengan bebatuan dan mencoba mengalirkan ke arah lain.
Batu dan tanah yang mulai berhamburan menyebabkan air dari pemandian itu tumpah hingga hampir mengering.
“Dimas.. itu!” Ismi menunjuk ke sebuah lubang yang terdapat di dasar pemandian itu, dari situ terlihat seekor ular hitam yang tertidur di dasar kolam.
“Apa kita harus membunuh ular itu?” Tanyaku pada Ismi. Ia hanya menggeleng menandakan tidak tahu apa yang harus di lakukan. Namun tiba tiba Ki Maesa Ombo turun dari sebuah dahan pohon dan melemparkanku sebuah tas kain yang sudah sangat tua.
Aku membuka tas itu dan melihat beberapa benda salah satunya adalah pisau dengan bilah berwarna hitam.
“Bukan ular itu… tapi hancurkan sesuatu yang dijaga ular itu” Mendadak aku berbicara di luar kesadaran. Tapi aku tahu itu adalah suara Bapak.
Ismi terlihat segera menyadari apa yang harus dilakukan. Ia mengambil sebatang kayu panjang dan berusaha memindahkan ular hitam itu dari lubang yang dijaga ular itu. sayangnya tidak semudah yang terlihat.
Merasakan bahaya, ular itu seperti berteriak dengan suara mendesis seolah memanggil kawananya. Seekor ular besar jatuh dari atas pohon menuju ke arah Ismi.
Aku segera berlari ke arah Ismi yang masih sibuk dengan ular itu merangkulnya dan menghindarkanya dari serangan ular besar yang mendekat ke arahnya.
Melihat serangan ular itu Ki Maesa Ombo menangkap ular itu dengan tangan kosong, menggigitknya dan menariknya hingga terbelah menjadi dua.
“Sepertinya udah aman Ismi…” Ucapku yang mulai tenang.
“I… iya mas udah aman, ta.. tapi meluknya jangan kelamaan… Ismi Malu..” Ucapnya dengan wajah yang merah.
Aku tersadar, saking paniknya aku sampai lupa bahwa tanganku masih merangkul di pinggang Ismi setelah menariknya tadi.
Entah aku menjadi mersa canggung, apalagi setelah melihat wajah merah Ismi tadi yang menurutku terlihat manis.
Setelahnya aku mencari sesuatu dari tas yang diberikan Ki Maesa Ombo dan menemukan sebuah batu besar.
Ismi berhasil memindahkan ular hitam itu hingga aku bisa dengn leluasa menemukan benda seperti kulit yang menutupi dasar lubang.

Dengan pisau yang kugenggam, aku merobek benda itu dan menemukan sesuatu yang menjijikan.
Enam buah tengkorak kepala dengan beberapa rambut yang masih menempel terlihat terbenam di antara tanah dan sisa sisa air yang tertutup oleh lembaran kulit itu.
“Hancurkan tengkorak itu dan kuburkan dengan layak” Sekali lagi suara bapak terdengar merasuki tubuhku.
Seolah mengerti perintah bapak aku segera mengeluarkan batu hitam yang berasal dari tas itu dan memukulkanya ke kepala tengkorak itu.
Sontak sebuah penglihatan muncul di kepalaku setiap aku memukulkan benda ini.
Enam Mayat yang di gantung…
Kepala yang dipesembahkan ke Dewi Ginidarna…
Hingga sosok leluhur kami yang berubah menjadi pengabdi makhluk itu..

(Lanjut part Terakhir)
Part Terakhir - Kembali Pulang Image
Saat ini dihadapanku terdapat tumpukan tengkorang enam orang wanita dengan rambut mereka yang masih tersisa di sana.
Sekuat tenaga aku memukulkan batu hitam dari tas yang diberikan oleh Ki Maesa Ombo untuk menghancurkan satu persatu tengkorak ini dan menguburkanya dengan layak.
Ketika sebuah tengkorak terpecah, terdengar sebuah teriakan dari arah desa . Aku menduga teriakan itu berasal dari Dewi Ginidarna. Tak lama setelahnya aku mendengar suara pepohonan yang tersibak seolah ada makhluk besar yang mengarah ke arah tempat kami.
Aku tidak mempedulikan hal itu dan terus menghancurkan tengkorak manusia itu satu persatu. Sayangnya siluman hitam yang menyerupai manusia sampai duluan ke tempat kami dan segera menyerangku yang masih berkutat di dalam kolam kering ini.
Untung saja Ismi cukup sigap menyalakan korek api kuno miliknya dan mencegah makhluk itu untuk mendekat. Ki Maesa Ombopun dengan sigap melindungiku dari makhluk lain yang mencoba mendekat hingga akhirnya muncul sosok yang kukhawatirkan.
Dewi Ginidarna menerobos hutan menghampiri kami. Ki Maesa Ombolah yang maju menahanya. Pukulan pukulan kuatnya saling beradu dengan sabetan ekor ular dari Dewi Ginidarna.
Sebenarnya aku mencemaskan keberadaan Paklek, Rumi dan Mbah Jiwo namun untungnya kecemasanku terjawab dengan kemunculan Rumi yang dipandu oleh Roh Imin menuju tempatku berada.
Seolah mengerti dengan apa yang kulakukan, Ismi bersiap mengeluarkan sisa tengkorak yang ada di dalam lubang dan memeganginya untuk segera kuhancurkan.
“Rupanya itu tumbal yang mengikat makhluk itu di tempat ini… “ Ucap Paklek yang masih sibuk melawan Dewi Ginidarna dan pengikutnya.

Setelah tengkorak terakhir hancur terlihat satu persatu siluman hitam pengikut makhluk itu kembali mendapatkan wujud manusianya.
Tak hanya itu, siluman ular berbadan manusia pengikutnya kehilangan bagian tubuh ularnya dan kembali menjadi roh manusia seperti yang terjadi pada ibu imin.
“Manusia brengsek!!” Di tengah amarahnya Dewi Ginidarna itu memaksakan tubuhnya yang sudah hampir menyerupai monster ular ke arah Rumi dan menggigitkan tubuh Rumi dengan kepala ular yang berada di bahu kananya.
Aku panik dan menusukan pisau yang ku pegang ke kepala ular itu, namun ekor makhluk itu membuatku terpental.
Rumi terlihat kesakitan. Namun sebelum Mbah Jiwo dan Paklek mendekat, Rumi terlihat menggenggam sebuah batu hitam yang Dimasukan oleh bapak ke tubuh Rumi dan membacakan mantra yang diajarkan oleh Mbah Jiwo.
Seketika Dewi Ginidarna Terpental jauh dari Tubuh Rumi diiringi dengan kemunculan sesosok kakek tua dengan tubuhnya yang telah dipenuhi sisik ular.
“Jadi itu orangnya… “ Ucap Mbah Jiwo yang sepertinya mengerti sesuatu.
“Dia adalah leluhur Rumi yang menyegel rohnya ke batu hitam itu untuk saat seperti ini” Jelas Mbah Jiwo lagi.
Aku segera berdiri mendampingi Rumi. Paklek segera membacakan mantra untuk menyembuhkan Rumi dari serangan makhluk itu.
“Ini adalah akhir dari perjanjian laknat itu.. aku akan menebus semuanya” Ucap Kakek itu yang menerjang Dewi Ginidarna.
Setiap pukulanya membuat makhluk itu tidak berdaya, dengan sadis makhuk yang disebut sebagai leluhurku itu menarik lengan dan ekor Dewi Ginidarna hingga terputus dan mencabik-cabik tubuhnya.
“Ratu… Ratu siluman ular yang agung! Tolong pinjamkan kekuatanmu” Teriak Dewi Ginidarna kepada sosok yang sama sekali tidak kuketahui wujudnya namun sepertinya Ratu yang ia maksud adalah makhluk yang sering kudengar di cerita legenda.
“bukankah kau seorang dewi… mengapa kau masih memohon kepada ratu yang lebih rendah dari seorang dewi…”
Suara wanita yang mengerikan terdengar dari suatu tempat yang tidak kuketahui asalnya.
Kini keadaan berbalik Aku , Rumi, Ismi,Mbah Jiwo , Paklek , Ki Maesa Ombo dan tak lupa roh imin kini berkumpul menghadapi semua serangan dari pengikutnya yang sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi hingga seluruh tubuh Dewi Ginidarna lenyap oleh pembalasan leluhur kami.
….
Ketika sudah tidak ada serangan yang mengarah kepada kami , keheningan tercipta dengan posisi kami yang masih tidak percaya bahwa tragedi ini telah selesai.
“Paklek… apa ini sudah selesai?” Tanyaku yang masih tidak percaya.
Paklek menyarungkan keris sukmageninya seolah menjawab pertanyaanku. Namun ia mendekat ke sosok kakek tua itu seperti mencari penjelasan.
“Terima kasih sudah menolong cucu-cucuku, aku tidak akan menjelaskan apapun… dosaku terlalu besar dan terlalu hina untuk diceritakan” Ucap kakek itu.
Sepertinya Paklek mengerti , namun tetap mendekatinya.
“Bukan kami yang berhak menghitung dosamu mbah.. namun usaha mbah untuk menebusnya sangat berarti bagi kami..”
Ditengah ketenangan itu mendadak aku terjatuh seperti ada sesuatu yang meninggalkan tubuhku.
Sosok roh seorang pria dengan kaos lusuhnya terlihat meninggalkan tubuhku.
“Wis yo.. Rumi.. Dimas.. Bapak pergi dulu… Sekarang kalian bisa hidup dengan tenang” Ucap roh bapak yang meninggalkan tubuhku.
“Bapak… Rumi kangen” Teriak Rumi sekencang-kencangnya. Terlihat pula air mata Rumi mulai membasahi pipinya dengan deras.

Tak tega melihat Rumi seperti itu, roh bapak menghampiri Rumi dan mencoba menyentuh kepalanya. Sayangnya tangan bapak hanya menembus tubuh Rumi.
Namun sosok tangan lain terasa di bahu Rumi. Itu Ismi yang berusaha menghibur Rumi di tengah kesedihanya.
“Rumi , Dimas… Bapak bisa pergi dengan tenang bukan karena makhluk itu sudah bisa dikalahkan, tapi karena bapak sudah bisa melihat kalian memiliki orang-orang yang sayang dengan kalian… Jaga mereka baik-baik ya”
Itu ucapan terakhir Bapak sebelum rohnya menghilang. Tak lama setelahnya terlihat api putih yang mulai membesar di tengah-tengah hutan ini. Itu adalah Geni Baraloka milik Paklek.
Satu persatu roh penasaran yang sebelumnya berwujud siluman ular menyentuh geni baraloka milik Paklek dan mulai menghilang.
Ki Maesa Ombo melompat menuju ke salah satu batu tertinggi di pemandian dan duduk bersila seolah menjadikan tempat itu peristirahatanya.
“Maesa ombo… maafkan kesalahanku, terima kasih sudah menjaga tempat ini dan keturunanku” Ucap kakek leluhur kami sambil menyentuh makhluk hitam perkasa berwajah kerbau itu.
Mendadak, dari sentuhanya Ki Maesa Ombo yang telah menutup matanya berubah menjadi sebuah batu besar seperti sedang menjaga tempat itu.
Namun Aku tahu, saat ada hal jahat yang akan mengusik lembah ini, Ki Maesa Ombo akan bangkit kembali untuk mempertahankan wilayah kekuasaanya dari hal jahat.
Kami menghabiskan malam dengan membaca rangkaian doa untuk menenangkan warga desa asal ibu hingga tidak ada lagi roh manusia yang terjebak dalam kutukan Dewi Ginidarna dan menghabiskan sisa tenaga kami untuk kembali ke rumah Mbah Jiwo.
.....
....

“Paklek… sini Paklek, sarapanya sudah siap” Ucapku memanggil Paklek yang masih menikmati udara pagi di halaman rumah Mbah Jiwo.

Saat ini tepat di hadapan kami sudah berjejer makanan dengan berbagai lauk yang menggiurkan.
“Wah… Keliatanya enak nih, sangat berdosa bila makanan ini tidak dihabiskan” Ucap Paklek yang takjub dengan makanan yang ada di hadapanya.

“Jelas Paklek… masakan Ismi ini ga kalah sakti, bahan seadanya tapi rasanya istimewa” Ucapku yang memerkan masakan smi.
“Hayo… ngomongin siapa” Ucap Ismi yang datang dengan membawa lauk terakhir bersama dengan Mbah Jiwo yang segera ikut bergabung.

“Haha.. ini lho, kata Dimas masakan kamu bener-bener istimewa, calon istri idaman katanya” Ucap Paklek yang mencoba menggodaku.
Mendengar ucapan itu wajah Ismi mulai terlihat memerah menahan malu, entah mengapa wajahnya yang seperti itu terlihat sangat lucu.
Entah.. pagi ini terasa sangat istimewa. Seolah semua beban sudah terangkat dan keberadaan Ismi,Paklek, dan Mbah Jiwo mampu menutup semua rasa kehilangan yang sebelumnya aku dan Rumi rasakan.
Setelah ini Paklek akan kembali ke klaten dan kami bertiga akan kembali ke aktivitas kami masing-masing. Namun aku sudah ijin ke Paklek dan Mbah Jiwo bahwa kediaman mereka akan menjadi tujuan kami pulang kampung setiap lebaran nanti.

(Selesai)
EPILOG :

Suara kendaraan mesin mobil terdengar cukup keras membangunkanku dari tidur. Aku ingat.. kami sedang perjalanan pulang menuju rumah setelah melalui hari-hari yang melelahkan.

Namun tepat dihadapanku terlihat Rumi yang menatapku dengan wajah yang aneh.
Bukan.. bukan seperti wajah perempuan yang kesurupan. Tapi Rumi menatapku dengan mengerutkan dahinya seolah mengharapka penjelasan.

“Mas Dimas… udah bangun? Sekarang Jawab yang jujur..!” Tanya Rumi Tiba-tiba.

Aku heran dengan perkataan Rumi.
“Apa yang sudah terjadi di antara Mas Dimas dan Ismi?” Tanyanya lagi.

“Enggak.. Mas Dimas ga ada apa-apa dengan Ismi” Jawabku spontan. Lagipula kenapa Rumi bisa tiba-tiba bertanya seperti itu.
“Kalau ga ada apa-apa, kenapa Ismi bisa ada di situ?” Ucap Rumi sambil menunjuk ke sebelahku.

Ternyata aku tidak sadar, saat ini Ismi tertidur di bahuku dengan memegangi tanganku dengan erat.
Wajahnya yang sedang tertidur terlihat sangat polos tidak seperti wanita kota pada umumnya.

“Tuh kan bengong… masih bilang ga ada apa-apa?” Tanya Rumi yang masih mengintrogasiku.

“Be… beneran, ga ada apa-apa Ismi kecapean aja kali” Jawabku.
“Kalau gitu pindah sini, Biar Rumi yang di sebelah Ismi” Perintah Rumi yang memintaku untuk berpindah.
Aku berpikir sejenak dan mengurunkan niatku.
“Hihi.. ga usah ya Dek Rumiku sayang, mbok sekali-kali ngebiarin mas mu ini seneng dikit” Ucapku sambil sedikit tertawa.
“Tuh Kan!!!” Tumi yang terima dengan ucapanku memasang wajah yang cemberut sambil membuang muka. Tapi setelahnya terlihat senyuman kecil dari bibirnya setelah melirik Ismi yang tertidur di pundaku.

-Tamat-
Catatan :
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini dari awal sampai akhir, dan juga terima kasih buat semua pembaca yang mensupport dengan unlocked di Karyakarsa.

Mohon maaf apabila ada salah kata maupun bagian yang menyinggung
semoga dapat diterima sebagai hiburan.

setelah ini mungkin saya akan break sebentar karena ada tuntutan kerjaan di kantor sambil mempersiapkan kisah Danan dan Cahyo.

tapi tenang , saya masih ada stok cerita dari narasumber yang ada di twitter juga untuk di share.
sambil menunggu cerita berikutnya mungkin bisa mampir akun @karyakarsa_id saya .. siapa tau ada yang belum dibaca.

Selamat bermalam minggu
karyakarsa.com/diosetta69

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Dec 19
PERANG TANAH DANYANG
Part 11 - Angkarasaka

Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..

#bacahorror Image
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.

"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.

"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."

"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.

Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.

"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.

"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."

Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.

"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.

"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."

Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.

"Mas Danan! Mas Cahyo!"

Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.

Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.

"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.

"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.

"Tolong, jangan ular!" potong Cahyo cepat.
"Tumben, kamu trauma sama ular?" sindir Danan.
"Bukan, Nan," jawab Cahyo sambil menunduk.
"Terus kenapa?"

"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.

"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.

"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.

Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.

"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.

"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.

Dharrr! Dharrr!

Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.

"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.

Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.

"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."

Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.

"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.

Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.

“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.

Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.

“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”

“Kami mengerti!” Danan seketika memotong penjelasan Abdi Jinten.

“Tidak kalian harus…”

“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”

Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.

“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”

“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.

Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.

Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.

Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.

"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.

"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."

Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.

Deg!

Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.

"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."

Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Read 16 tweets
Dec 12
PERANG TANAH DANYANG
Part 10 - Tanah Perjanjian

Sosok-sosok danyang misterius mulai bermunculan. Entah kawan atau lawan... Image
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.

“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.

“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”

“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.

Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.

“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”

“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.

Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.

“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”

Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.

Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.

Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.

“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.

“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.

Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.

***
Read 12 tweets
Dec 6
PERANG TANAH DANYANG
Part 9 - Roro Mayit

Dosa itu terjadi antara Dananjaya Sambara, dan sosok Danyang yang bermain-main dengan nyawa...

#bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...

Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.

Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.

“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.

“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.

“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.

Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.

“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.

Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.

Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.

“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.

Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.

Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.

Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.

“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”

Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.

“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.

Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.

“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.

“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.

Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.

“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.

“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.

Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.

“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.

“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.

“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.

“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.

Yang ia tinggalkan hanyalah... rasa bersalah.

***
Read 10 tweets
Nov 28
PERANG TANAH DANYANG
Part 8 - Rayuan Kegelapan

Perang Tanah Para Danyang berakhir dengan tragis. Empat manusia yang berjuang untuk keseimbangan kini tidak lagi bernyawa...

#bacahorror Image
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.

Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.

Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.

“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.

Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.

Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.

“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”

Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.

Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”

Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”

Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.

Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.

Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.

Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.

“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***
Read 14 tweets
Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(